Ti-ga
Arthan's POV
Sekali lagi aku terbangun dengan aroma stroberi yang membuatku menggila. Dengan segera kubuka kedua mataku dan mendapati seorang gadis berambut cokelat tengah meletakkan makanan serta minuman di nakas yang berada di samping ranjangku.
"Kau sudah bangun?" Gadis itu menoleh menatapku, membuatku terpaku dan dirinya yang ikut menegang. "A—Aku membawakan mak—makan."
Mendadak aku tersenyum, menghirup aromanya sekali lagi sebelum akhirnya menepuk ranjang di sisi kananku—memintanya untuk duduk. "Jadi, Sena Sebastian?"
Sena pun ikut tersenyum. "Ya, Ar."
"Kau sudah tahu sejak awal?"
Ia mengangguk. "Sejak kau datang di malam itu." Dan wajahnya pun merona.
Kali ini aku terkekeh, mencoba bangkit dari posisiku kemudian bersandar pada kepala ranjang. Sena pun mengambilkan semangkuk sup yang biasa Azra berikan padaku ketika aku sakit. Ketika aku hendak mengambilnya, Sena menariknya kembali.
"Ini panas. Sebaiknya kau diam saja dan akan aku suapi."
"Tapi tanganku baik-baik saja." Balasku seraya menatapnya lurus.
"Ti—Tidak." Sena semakin menarik mangkuknya menjauh dariku. "Akan aku suapi."
Rasanya ingin sekali menyubit pipi gadis ini dengan gemas. Namun aku menahan diri untuk tidak membuat wajahnya semakin merona dan memerah padam. Hingga pada akhirnya aku hanya mengangguk dan menerima dengan pasrah suapan demi suapan yang Sena berikan.
Demi apapun, aku akan menjaga gadis ini dengan nyawaku.
Setelah menyelesaikan kemauan Sena dalam diam, aku mengucapkan terima kasih yang hanya dibalas dengan seulas senyuman manis serta dirinya yang beranjak pergi dari kamarku sembari membawa nampan yang berisikan gelas serta mangkuk tadi.
Tepat saat pintu tertutup kembali, dapat kurasakan sebuah aliran kejutan di betisku. Membuatku sontak menyibakkan selimut yang menutupi setengah tubuhku dan mendapati sebuah ukiran yang terbuat dari cahaya tengah menjalar di kulit betisku.
Cahaya itu berwarna biru pudar, melingkar dengan rapi dan terus berputar hingga mereka kembali bercabang. Saat aku menyapunya dengan jemari, terasa sangat panas dan dingin secara bersamaan. Sihir.
Sihir yang tengah terjadi sangatlah langka. Aku hanya pernah membacanya namun belum pernah mencobanya—atau lebih tepatnya, belum cukup kuat untuk melakukannya. Aku pernah bertanya kepada ayah tentang hal ini—yang sebelumnya tak pernah mau ibu jawab—dan dengan santai ayah menjawab bahwa ini adalah sihir untuk melumpuhkan sihir yang korban miliki.
Melumpuhkan?
Astaga!
"XLAVIRA!"
Aku merapalkan mantera perlindungan diri sembari menunggu Xlavira datang. Membuat cahaya krem berpendar cepat dan terang di sekitar tangan serta lukaku.
Entah kenapa mendadak aku menjadi lebih panik, membuat lafal manteraku semakin cepat dan jelas. Suaraku bahkan meninggi dan tak lagi memedulikan kepanikan yang akan melanda seluruh penghuni rumah.
"Arthan!"
Xlavira membanting pintu kamarku seraya berlari ke arahku. Kemudian ia memegang pergelangan kaki beserta lututku dan mengucapkan mantera dengan lebih cepat.
Mendadak suhu di sekitar kami meninggi, cahaya biru pudar yang tadi melingkar di kakiku semakin membesar dan bercahaya. Melahap cahaya krem milikku yang tadi mendominasi sembari perlahan-lahan membuat kakiku mati rasa.
Aku pun mulai berhenti melafalkan mantera saat keringat mulai membasahi tubuhku. Mati rasa itu bahkan semakin merambat ke atas tubuh seolah tak membiarkanku untuk mengucapkan mantera lagi.
Pada saat itu aku mendapati Xlavira masih mengucapkan mantera dengan air mata serta keringat yang telah bersatu. Air-air itu bahkan terjatuh di atas betisku hingga membuat percikkan yang terasa sangat menyakitkan.
Napasku mulai menderu saat tiba-tiba cahaya ungu milik Xlavira meledak di hadapanku. Kedua sayapnya mengembang dengan marah dan api berwarna senada membakar sayap bagian atas gadis itu.
"A—Apa ya—ng k—ka—kau la—kukan?" tanyaku terbata-bata saat oksigen yang kuhirup mulai menipis.
Xlavira melotot ke arahku dengan kedua mata ungunya yang mendadak membuat tubuhku kembali bertenaga. Aku ingin memujinya atas peningkatan kemampuannya yang begitu drastis, namun ini belum saatnya.
Kemudian kedua tangan hangat Xlavira menekan lukaku dengan keras, membuatku nyaris meringis saat api-api ungu mulai membakar betisku. Membuat napasku semakin tidak beraturan dan perasaan takut yang mulai menjalar ke dalam diriku.
Namun detik berikutnya, api itu menghilang. Kedua sayap Xlavira beserta apinya ikut menghilang saat kedua mata ungunya kembali menatapku. Dan entah mengapa, rasa takut itu langsung menghilang. Tergantikan dengan senyuman tipis yang kutujukan untuk adikku itu.
Xlavira ikut tersenyum, wajahnya sangat pucat hingga kusadari bahwa ia nyaris pingsan. Dengan segera aku menarik salah satu tangannya, membawanya berbaring di sampingku kemudian menyeka air mata beserta keringat yang berada di wajahnya.
"Aku senang kau sudah baik-baik saja, Ar." Lirih gadis itu tepat di telingaku.
Aku menggeleng, memeluknya di dekapanku seraya mengusap kepalanya lembut. "Kau sangat-sangat hebat, Xlav. Terima kasih."
Xlavira hanya mengangguk kecil. Dan beberapa detik kemudian, dapat kurasakan napasnya berhembus sangat teratur tepat di leherku. Mendadak aku kembali tersenyum tipis, kembali mengusap kepalanya dengan lembut sembari berterima kasih kepada Tuhan bahwa aku memiliki saudara seperti Xlavira.
"Ar?"
Aku sedikit mendongak, menoleh ke arah pintu dan mendapati Azra di sana. Walaupun kedua tangannya penuh dengan darah, kedua matanya menatapku dengan sirat khawatir. Di samping pria itu pun ada Sena beserta kedua saudaranya, membuatku kembali menatap Azra seolah membiarkannya masuk.
"Apa yang terjadi?"
Aku melontarkan cahaya kecil ke arah betisku, membiarkan keempat manusia itu melihat luka bakar yang terukir di betisku dengan bekas ukiran cahaya sialan tadi.
"Itu adalah lambang kutukan. Sejak ibu memberantas habis Penyihir Hitam, para tingkatan di bawah mereka—yang nyaris berhasil menjadi Penyihir Hitam—membuat sebuah sihir yang dinamakan Sihir Kelabu. Mereka mengklaim warna kelabu dari kepemilikan para Penyihir yang seharusnya tak bisa diganggu gugat." Jelas Sera yang lantas membuat kami menatap ke arahnya.
"Jika mereka memiliki nama Sihir Kelabu, kenapa cahaya yang dihasilkan berwarna biru pudar?" tanyaku seraya mencoba untuk tidak membangunkan Xlavira.
Kali ini Azra yang membuka mulut. "Karena mereka belum menjadi Penyihir Hitam yang sempurna. Lagipula, ini Bumi. Semua yang berasal dari Ave, akan berubah warna saat di Bumi."
"Tidak, itu karena mereka memang berasal dari Bumi." Sahut Marco. "Aku menganalisa aroma yang tercium dari betis Arthan saat ia pingsan di sofa. Dan aku membawa Sera bersamaku tadi. Mereka benar-benar berasal dari Bumi. Tidak memiliki hubungan dengan Ave."
"Mungkin ada satu hingga dua orang yang berasal dari Ave. Namun mereka tidak menetap di sana." Tambah Sera.
"Kau beruntung Xlavira bisa mengatasinya," ujar Marco lagi.
Aku mengernyit, merasa tidak mengerti dengan apa yang Marco katakan.
"Ayah memang benar bahwa itu adalah sihir untuk melumpuhkan sihir orang lain." Azra menatapku. "Namun itu memiliki efek lainnya kepada sang korban, yaitu hilangnya kepemilikan diri sang korban."
"Maksudmu?" tanya Sena.
"Jiwaku akan mati dan digantikan oleh salah satu jiwa dari Penganut Bulan. Dan ia akan memiliki semua kemampuanku, memanipulasi kehidupanku serta menggunakannya di jalur yang salah." Jawabku yang mendadak langsung membuat kami semua terdiam.
Selang beberapa detik hanya ada deru napas kami yang terasa sangat berat, hingga erangan kecil Xlavira membuyarkan segalanya dan kami tertuju olehnya.
Kedua tangan hangat gadis itu menyentuh dadaku, menjauhkan dirinya dariku kemudian kedua matanya terbelalak sembari menatapku. "Ibu?"
Aku mengernyit. "Ibu?"
"Ibu, Ar!"
Aku menggeleng. "Apa? Aku tidak mengerti, Xlav."
"Mereka mengincar Xave! Ibu!"
"Ibu kami juga?" Pekik Sera yang lantas membuat seluruh manusia di sini menjadi panik. Terkecuali aku. Aku masih sibuk dengan pikiranku sendiri sampai-sampai tak sadar bahwa kini Xlavira tengah menangis di dekapanku lagi.
Aku tak mengerti. Jika mereka mencoba menyakiti Xave, maka seharusnya aku sudah mengetahuinya dan kerabat kami yang berada di Ave sudah menyeret kami kembali. Namun ini semua terasa janggal.
Entah aku harus memercayai Xlavira atau tidak, perasaanku semakin tidak tenang saat Azra memintaku untuk kembali ke Ave dan mencari keluarga kami. Mereka semua memelas, menatapku memohon seolah keputusan ada di tanganku—sebenarnya memang begitu.
Hingga pada akhirnya aku kembali ke kenyataan. Tangan kananku secara otomatis mengusap kepala Xlavira seraya berbicara kepada manusia lainnya yang masih memintaku untuk memutuskan.
"Azra, Xlavira dan Sena akan mengecek keadaan keluarga kita di Ave," ujarku tenang. "Aku, Marco dan Sera akan mencari sesuatu tentang Penganut Bulan. Dan kita bertemu lagi tepat pukul delapan malam. Di sini. Mengerti?"
Semuanya mengangguk, tak terkecuali Xlavira yang langsung diambil alih oleh Azra seraya digendong. Sebelum mereka kembali menuju Ave pun, Sena menatapku sekilas dengan seulas senyuman tipis di wajahnya.
"Berhati-hatilah." Telepatinya yang langsung kurespon dengan seulas senyuman pula.
"Kau juga."
To be continue
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip