01 | Homicide

⚠️WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur kekerasan, adegan dewasa, homoseksual, harsh & disguisting words, pembunuhan, dan lain sejenisnya yang tidak pantas untuk ditiru. Tidak disarankan untuk pembaca di bawah 18 tahun dan fobia badut.

[pythagoras]

.

.

.

.

"Pagi tadi tepat pukul tiga dini hari, ditemukan mayat seorang anak berusia sekitar sepuluh tahun berada dalam bak sampah di sebuah gang terpencil di dekat taman kota dengan kondisi mengenaskan tanpa kedua bola mata. Setelah dilakukan penyelidikan di rumah sakit, diketahui bahwa semua organ tubuh anak tersebut telah menghilang."

Ia memperhatikan video berita siaran tersebut dari layar ponselnya. Menampilkan gambar korban yang disensor sekilas sebelum beralih ke berita lainnya.

"Kau juga mendengar tentang pembunuhan itu, Luigi?"

Sebuah lengan mendarat di bahunya. Tepat di sampingnya duduk seseorang baru saja melepas kepala kostum kelincinya. Rambut yang sengaja diwarnai merah cerah sebagian itu lepek menempel pada kulit karena hawa panas dari kostum yang dikenakan. Pria disampingnya terlihat sangat kelelahan.

"Akhir-akhir ini sering sekali terjadi pembunuhan, dan targetnya adalah anak-anak. Para orang tua jadi lebih protektif pada anak mereka setiap ke taman hiburan." Harvey—pria dengan rambut merah nyentrik dan beberapa tindik di kedua telinga itu menghela nafas lesu.

Harvey bekerja sebagai badut kostum di taman hiburan ini. Kostum kelinci lebih tepatnya. Kostum itu memberi kesan lucu menyembunyikan penampilan asli Harvey yang lebih tepat disebut menakutkan karena tindikannya. Meski begitu, Harvey adalah pria yang baik dan ramah dalam kostum maupun diluar kostum sejauh ia kenal.

Tak jauh berbeda dari Harvey, dirinya juga badut di taman hiburan bernama 'Fantasy World' ini. Hanya saja kostumnya bukan berbentuk hewan. Ia memakai kostum badut sirkus dengan riasan tebal di wajah, wig warna-warni dan sebuah topi jester.

"Mereka takut anak mereka jadi korban berikutnya."

"Jelas seperti itu." Harvey mengeluarkan bungkus rokok dari kantong kostumnya. Menyalakan satu di mulutnya kemudian menyodorkan benda itu pada Luigi. "Ingin satu?"

Luigi menggeleng sambil mendorong rokok itu kembali. "Aku masih ada pekerjaan setelah ini."

"Pekerjaan apa lagi? Taman hiburan akan tutup sebentar lagi. Lagipula sudah banyak pengunjung yang pulang." Harvey kembali menawarkan rokoknya. "Ayolah, hanya satu batang untuk melepas lelah hari ini."

Pada akhirnya Luigi tak berhasil menolak. Mungkin benar kata Harvey, satu batang nikotin itu bisa menjadi pelepas rasa lelahnya seharian ini setelah berkeliling taman hiburan menjadi badut menghibur bagi para pengunjung. Belum lagi anak-anak yang selalu mengerubuninya seperti lalat.

Harvey tersenyum puas begitu Luigi menarik satu batang dari bungkusnya. Ia dengan senang hati mengikis jarak wajah mereka dan berbagi api dari rokoknya yang telah menyala dengan Luigi. Harvey lantas menjauh begitu rokok Luigi menyala dan menikmati ekspresi terkejut di wajah badut itu karena tindakannya yang tiba-tiba.

"Wajah badutmu terlihat konyol. Aku jadi ingin tau ekspresi aslimu tanpa riasan bodoh itu."

Gelak tawa Harvey masih terdengar keras. Mendengar itu Luigi hanya berdecak kecil. Selama menjadi badut disini, Harvey memang tak pernah tau wajah aslinya tanpa riasan tebal. Harvey selalu pulang lebih dulu daripada dirinya. Dan juga, ia lebih sering membersihkan riasan bodohnya ini di rumah alih-alih memanfaatkan toilet yang ada disini.

"Sebenarnya beberapa orang tua membuatku kesal hari ini. Mereka melarang anaknya bermain denganku. Bahkan ada yang memarahiku secara terang-terangan. Aku mengerti mereka khawatir terhadap orang asing apalagi badut seperti kita dengan adanya berita pembunuhan yang terdengar akhir-akhir ini. Tapi marah tanpa sebab itu keterlaluan." Senyum cerah Harvey sebelumnya berganti dengan mendung.

Luigi secara sadar mengakui kalau Harvey adalah pria yang cukup sensitif. Tapi Harvey bukan orang yang mudah marah. Meski kesal, ia yakin Harvey lebih memilih memendam rasa kesalnya itu daripada melampiaskannya.

"Dampak baiknya, anak-anak itu tak lagi mengerumuniku dan memintaku menggendong mereka. Cukup bagus untuk kesehatan telingaku juga dari suara nyaring mereka." Kembali senyum Harvey merekah sampai memperlihatkan giginya yang rapih.

Ya, itulah Harvey si pria nyentrik yang baik hati.

Luigi hanya tersenyum kecil menanggapi sembari tangannya menepuk bahu Harvey.

"Ah, aku harus kembali. Ada beberapa kostum baru yang harus aku pindahkan ke gudang penyimpanan." Harvey berkata saat melihat jam besar di tengah taman hiburan tak jauh dari tempat mereka. Ia berdiri lantas berlari pergi sambil melambai pada Luigi. "Aku pergi dulu, Luigi! Semoga malammu menyenangkan!"

Sepeninggalan Harvey, Luigi tak tinggal diam. Ia juga harus segera bersiap pulang. Setelah mematikan rokoknya yang tinggal sedikit, ia mulai berjalan pergi kearah sebaliknya dari Harvey.

Udara malam lumayan dingin hari ini, beruntung kostum badut miliknya cukup tebal untuk menghalau dingin yang menerpa. Di sela-sela langkahnya menuju ruang ganti, Luigi sesekali menatap ke sekeliling. Para pengunjung hampir semua pulang, hanya sedikit tersisa dan beberapa petugas kebersihan yang mulai bertugas.

Malam itu rasanya cukup tenang dan sepi, sebelum sebuah suara tangisan anak kecil terdengar ke telinga Luigi. Ia mencari ke beberapa sudut, sampai berhasil menemukan seorang anak perempuan dengan rambut kuncir dua sedang menangis di belakang wahana rumah hantu jauh dari keramaian.

"Halo!" sapanya mencoba seramah mungkin.

Luigi menempatkan dirinya berjongkok di depan gadis kecil yang sedang memeluk lututnya itu. Gadis itu terpenjat sesaat sebelum mengangkat kepalanya menatap Luigi. Terlihat raut ketakutan dari wajah manis berderai air mata itu.

"Jangan takut, aku bukan badut jahat. Mau permen?" Luigi menarik senyumnya. Ia membuka telapak tangannya menunjukkan dua buah permen chupa chups.

Tangisan gadis itu perlahan berhenti. Lama tangan Luigi menggantung di udara saat si gadis kecil hanya menatapnya. Sebelum kemudian gadis itu meraih permennya. Tatapannya sedikit bersahabat padanya.

"Nama kamu siapa?"

"Ra-rachel."

Luigi tersenyum mendapati tanggapan dari gadis kecil itu. "Kenapa Rachel disini sendirian? Dimana orang tuamu?"

Gadis kecil bernama Rachel itu menggeleng pelan. Luigi mengerti tanpa perlu dijelaskan. Gadis itu terpisah dari orang tuanya yang kini tak tau dimana. Ia melirik jam tangannya sekilas. Taman hiburan akan ditutup sekitar dua puluh menit lagi.

"Mau ikut kakak badut? Kakak badut akan bantu mencari orang tua Rachel."

Perlahan tangan kecil meraih tangannya yang terulur. Gadis itu mempercayainya. Matanya melirik kesekitar sekilas, merasa ada yang sedang mengawasinya. Entah karena mereka di area wahana rumah hantu atau memang malam ini suasananya cukup mencekam. Ia segera membawa Rachel pergi dari sana.

"Rachel!"

"Mama! Papa!"

Luigi menatap gadis kecil itu menangis senang dalam pelukan kedua orang tuanya. Mereka tak sengaja bertemu saat Luigi membawa Rachel tak lama setelah berkeliling. Dengan begitu ia segera undur diri membiarkan keluarga kecil itu berbagi kehangatan setelah beberapa saat lalu kehilangan anak mereka.

Orang tua yang disebut ayah dan ibu. Ia ingat bagaimana pelukan mereka. Kehangatan tubuh mereka. Kasih sayang dan senyum mereka padanya. Ia pernah memilikinya dulu. Dulu sekali sebelum mereka direnggut paksa dalam satu kecelakaan. Dan semuanya berubah.

Luigi menggeleng pelan. Masa lalu yang kelam itu tak seharusnya ia ingat lagi. Ia sekarang hidup untuk masa kini dan masa depan yang entah apa tujuannya. Melihat jam yang akan menunjukkan pukul delapan, Luigi segera menuju ruang ganti mengambil tasnya sebelum pulang.

Ruang ganti berada di sudut taman hiburan. Dalam perjalanan kesana lagi-lagi ia merasa ada seseorang yang mengawasinya. Ia mencoba menoleh ke belakang. Tak ada siapapun disana. Bahkan sekitarnya telah sepi. Luigi semakin mempercepat langkahnya. Di jam seperti ini, badut-badut lain jelas sudah pulang. Semakin diperjelas saat hanya tinggal tasnya yang berada di ruang ganti. Luigi segera mengambil benda itu dan bergegas keluar.

"BAA!"

Tubuhnya terlonjak saat seseorang dengan iseng melompat di depannya begitu ia keluar ruangan. Luigi mendengus saat wajah dengan cengiran milik Harvey memenuhi pandangannya. Pria nyentrik itu tak lagi memakai kostum kelinci, berganti dengan celana cargo dan hoodie. Harvey tertawa seakan puas membuatnya terkejut.

"Apa yang kau lakukan? Kukira kau sudah pulang." Luigi berkata pelan dengan sedikit rasa kesal yang terdengar.

"Kostum baru itu terlalu berat. Jadi aku perlu waktu lama untuk memindahkannya. Apalagi dengan tenaga kerja yang terbatas." Harvey mulai bercerita. Ia memasukkan kedua tangannya dalam saku celana sambil berjalan bersisihan dengan Luigi. "Kau tau? Hanya aku sendirian memindahkan sekitar tigapuluh box kostum itu dan harus menatanya di gudang. Tanganku rasanya mau patah."

"Bersemangatlah! Demi uang." Luigi menepuk punggung Harvey dengan senyum kecil.

"Ya, itulah tujuan hidupku! Mencari uang sebanyak-banyaknya dan menabung untuk hari tuaku yang bahagia."

Sejenak pandangan Luigi teralihkan saat melihat gadis kecil yang ia tolong sebelumnya berlari kecil pada sosok yang berjongkok di samping VR Room sekitar lima belas meter darinya. Di bawah lampu redup, sosok  dengan pakaian hitam itu terlihat menggandeng Rachel.

"Hei, Luigi! Kau melamun?"

Kibasan tangan Harvey membuat pandangan Luigi teralihkan sejenak. Ia menatap pria nyetrik itu sebentar sebelum kembali melihat kearah tempat Rachel dan sosok hitam tadi berada. Mereka telah pergi.

"Apa yang kau lihat, Luigi?" Harvey ikut menoleh ke belakangnya. Tak menemukan apapun yang menarik perhatian.

"Bukan apa-apa. Sepertinya aku salah lihat."

"Kalau begitu mari kita pulang."

Diperjalanan pulang itu mereka habiskan waktu untuk mengobrol sampai di halte bus. Bahkan tetap mengobrol begitu memasuki bus yang akan mengantar mereka pulang. Obrolan itu seluruhnya didominasi oleh cerita Harvey dan Luigi hanya menyimak dengan tenang.

Waktu menunjukkan pukul sembilan malam saat Luigi sampai di rumah sederhana miliknya. Sebenarnya jauh dari kata sederhana karena bagian depannya hampir tak layak disebut sebagai rumah. Pintu kayu itu bahkan tak ada kuncinya. Sebelah kanan kiri tak ada orang yang bisa dipanggil tetangga.

Luigi menjalani hidup di rumah terpencil jauh dari hiruk pikuk kehidupan manusia. Harus berjalan melewati gang sempit yang minim penerangan sekitar duapuluh menit. Itulah mengapa ia baru sampai pada jam segini.

Beberapa bagian rumah berdebu dan banyak sarang laba-laba. Ada sedikit banyak sampah berserakan yang belum sempat dibersihkan. Sofa yang peernya telah keluar di depan sebuah televisi tua di ruang tengah. Luigi menaruh tasnya di atas meja. Ia berjalan menuju kulkas yang sedikit berkarat di bagian bawah untuk mengambil air minum. Setidaknya kulkas itu masih berfungsi semestinya.

"Aku pulang!"

Suara dari pintu depan membuat Luigi menoleh. Menemukan seseorang dengan pakaian serba hitam memasuki ruang tengah dan menaruh sebuah box biru di samping tasnya. Sosok itu melepas topi dan maskernya menampilkan wajah dengan bekas luka melintang di mata kirinya. Wajah datar seketika dipenuhi senyum lebar begitu mata mereka saling bertemu.

Sosok itu langsung berjalan cepat kearahnya dan memeluknya dengan erat. Seolah semua beban ditumpu pada tubuh Luigi dengan kepala bersandar di bahu. Dalam jarak sedekat itu Luigi dapat mencium bau anyir yang sangat menyengat dari tubuh yang memeluknya.

Halo halooo!

Selamat datang di wahana kegelapan ini~

Jangan lupa kasih vote & komen 👉🏻

Catatan: Cerita ini hanya memiliki 2 bab.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip