01 | Ruhaka
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
"RUHAKA! KEMBALI KESINI SEKARANG?! KAMU MAU BOLOS KEMANA LAGI!"
Teriakan guru itu menggelegar di belakang Ruha. Sedangkan yang diteriaki sudah berlari menjauh sambil menenteng tas ranselnya menuju pagar terdekat.
Ruha, siswa tingkat dua itu dengan santainya melempar tas ke luar pagar. Disusul kemudian tubuhnya melompat dan menaiki pagar untuk keluar dari area sekolah. Begitu Ruha turun, ia sudah disambut beberapa siswa berseragam sama sepertinya. Teman-temannya. Ada tiga anak sudah menunggunya.
"Akhirnya lo dateng juga. Lama banget kemana sih?" sambut seorang anak laki-laki dengan seragam yang jauh dari kata rapi. Namanya, Riko.
"Tau nih si Ruha. Kita udah nungguin di sini lima belas menit, hampir aja lo kita tinggal," timpal satunya. Gamma.
"Sorry, gue ketahuan guru BK. Hampir di seret ke ruang guru tadi, untungnya bisa kabur."
Ketiga teman Ruha kompak berdecak mendengar alasan Ruha.
"Makanya, yang pinter dikit dong kalo kabur. Kita bertiga aja ngga ketahuan." Satu lagi teman Ruha menimpali.
Gaffi, anak paling tinggi itu memberikan tas milik Ruha yang ia pungut di tanah kepada pemiliknya. Ruha menerimanya dan berterima kasih. Mereka berempat lantas berjalan bersama menjauhi sekolah. Ke tempat biasa mereka nongkrong. Markas mereka.
Tempatnya sebenarnya tak jauh dari sekolah. Hanya sebuah rumah terbengkalai yang sudah di sulap menjadi tempat layak pakai untuk markas mereka.
Ruha itu punya geng, namanya Scorpion. Anggotanya banyak, hanya saja sekarang yang hadir hanya empat orang termasuk dirinya. Jelas yang lainnya masih di sekolah. Dan keempat orang di sini adalah anggota inti.
"Ini yang lain masih di sekolah?" tanya Ruha basa-basi sambil menempatkan bokongnya untuk duduk.
"Ya iya lah. Yang bolos hari ini cuma kita berempat," timpal Riko. Anak itu mulai menyamankan diri di sofa tepat di depan monitor lebar untuk bermain PS.
Ruha melihat teman-temannya yang lain, sibuk dengan kegiatan masing-masing. Ia lantas berdiri menuju tempat Riko dan mengambil tempat di samping anak rambut cokelat itu. Bukan untuk ikut bermain. Ruha lebih memilih menyandarkan punggungnya dan menutup mata.
"Eh, Ru! Geng sebelah kemarin bikin ulah lagi."
"Hm? Kenapa?" Ruha menimpali tanpa niatan membuka mata.
"Mereka ambil jatah wilayah kita. Masa anak-anak sekolah kita dicegat pas pulang terus dipalakin," ucap Riko dengan mata masih fokus pada layar monitor yang menampilkan permainan bola. "Padahal itu bagian kita 'kan."
"Oh gitu..."
Prak!
Riko membanting stik PS-nya emosi karena kalah. Ia mematikan layar monitor. Tak lagi bernafsu untuk main. Matanya lantas menatap Ruha yang masih betah menutup mata. Tapi ia yakin anak itu tak tidur.
"Respon lo kenapa gitu sih?" kesal Riko bertambah saat Ruha biasa-biasa saja mendengar informasi darinya.
"Terus gue harus gimana? Mau nyerbu sekolah sebelah sekarang? Kita berempat ke kandang musuh gitu?" Ruha memiringkan tubuhnya, menatap Riko yang bersungut. "Kalo mau pulang tinggal nama ya ayo berangkat."
"Bukan gitu doggy! Seenggaknya bikin rencana atau apa kek."
"Iya nanti gue pikirin. Sekarang gue capek mau tidur dulu."
Ruha mendekatkan tubuhnya pada Riko, melingkarkan tangannya pada perut anak laki-laki itu. Sontak Riko melotot karena tindakan Ruha.
"Bangsat! Gue tau lo belok, tapi jangan sama gue juga. Ga usah peluk-peluk gini, jijik anjing!" Riko dengan segala umpatan yang keluar sambil menyingkirkan tangan Ruha dari perutnya.
Anak rambut cokelat itu bergeser agak menjauh setelah menoyor kepala Ruha untuk lepas dari dirinya.
"Kasar banget sih. Peluk doang padahal, belum aja gue apa-apain."
"Dih najis! Cari bencong sana buat di anu."
Riko pergi setelah mengatakan itu. Wajah kesal yang sempat ditampilkan oleh Riko membuat Ruha tertawa ditempatnya. Lucu juga menjahili temannya itu. Sepeninggalan Riko, Ruha memilih kembali melanjutkan tidurnya.
...
Sosok anak laki-laki berkulit putih itu berdiri di depan rumah tua yang terlihat ramai. Matanya menatap dari jauh beberapa anak laki-laki yang sedang berkumpul di depan rumah tua itu. Suara tawa terdengar sangat keras.
Ia merapatkan jaket merahnya. Berjalan dengan mantap setelah beberapa menit berpikir menuju kumpulan anak-anak yang memiliki gelar berandal sekolahnya. Mereka yang di sana langsung menyadari kehadirannya.
"Eh siapa nih yang datang?" Seseorang menyambutnya dengan tawa.
"Wah wah, Ketua OSIS ini kenapa malem-malem datang kesini? Ada perlu apa?" Gamma yang juga berada diluar ikut menyambut sosok yang baru tersebut.
"Kalian ini apa-apaan? Jangan malu-maluin sekolah sama kelakuan kalian yang kaya gini. Apalagi masih pakai seragam."
Sontak ucapan itu memicu beberapa gerutuan dan umpatan dari anak-anak geng Scorpion. Gamma mendekat dan merangkul leher si Ketua OSIS dengan erat hingga anak itu mengernyit.
"Alby, lo tau tempat dong kalo mau nasehatin. Ini bukan sekolah. Jabatan Ketua OSIS lo ngga akan berlaku disini. Yang ada lo mungkin bisa aja babak belur," ucap Gamma sambil menepuk pipi Alby si Ketua OSIS itu dengan kasar.
Salah satu anak lain tiba-tiba mendekat dan menarik Alby dari Gamma. "Mumpung di sini ya mending dihajar aja lah. Dateng-dateng ngga diundang udah bikin emosi aja."
Anak itu sudah mengangkat kepalan tangannya bersiap memukul. Alby diam di posisinya tanpa rasa takut. Malah menatap wajah anak itu dengan tajam.
"Udah! Jangan ada kekerasan sekarang," pisah Gamma sebelum kepalan tangan itu menyentuh wajah Alby. "Kalian lanjutin main sana! Biar Alby urusan gue!" perintah Gamma.
Beberapa anak yang semula berdiri di depan Alby kembali ke tempat masing-masing. Kini Gamma berganti menatap anak laki-laki berkulit putih itu.
"Lo ada urusan apa ke sini? Kalo cuma mau mancing emosi mending pulang."
"Gue cari Ruha."
Sontak alis Gamma berkerut. "Cari Ruha? Ngapain?"
"Siapa cari gue?"
Sosok Ruha tiba-tiba keluar dari dalam markas. Matanya langsung tertuju pada Alby yang bersama Gamma. Raut wajahnya sontak berubah kesal.
"Ini si Ketua OSIS. Ngga tau kenapa nyariin lo. Kalian ada urusan apa?" tanya Gamma.
"Gam, lo ke dalam sana. Si Riko perlu bantuan. Dia biar gue urus!"
Gamma menurut saja saat diperintah Ruha. Meski masih penasaran kenapa tiba-tiba Ketua OSIS seperti Alby mencari Ruha si ketua berandal sekolah.
Ruha menarik Alby pergi. Jauh dari markasnya berada untuk bicara empat mata.
"Lo ngapain ke sini? Dan darimana lo tau tempat ini?" tanya Ruha langsung pada intinya.
"Gue udah nungguin berjam-jam di depan rumah lo. Lo ngga ingat hari ini jadwalnya belajar?"
"Astaga..." Ruha mendesah lelah. Ia menatap Alby. "Hari ini gue ngga mau belajar. Lo pulang aja," ucapnya dan berbalik.
Alby langsung menahan tangan Ruha sebelum pergi. "Ngga bisa. Gue udah diberi amanah sama wali kelas buat bantu lo belajar sampai ujian berikutnya."
Ruha kembali menghadap Alby. Menatap anak itu dengan serius cukup lama. Cukup kesal karena sejak dua hari lalu kegiatan malamnya harus terganggu karena kehadiran Alby.
Belajar bersama. Itu salah satu hal yang paling tidak disukai Ruha. Berandalan sepertinya disuruh belajar? Aneh!
Tapi mendadak Ruha tersenyum aneh. "Oke, lo tunggu sini. Gue mau ambil tas dulu."
...
Sekarang Alby berakhir di rumah Ruha. Duduk di lantai beralaskan karpet bulu di rumah mewah milik Ruha. Menunggu Ruha yang katanya mau berganti pakaian dulu di kamar.
"Lama nunggu?"
Bermenit-menit berlalu akhirnya sosok Ruha kembali dengan pakaian yang lebih santai. Anak itu langsung mengambil posisi duduk di depan Alby dengan perantara meja.
Alby tak menjawab pertanyaan Ruha tadi dan lebih memilih mengeluarkan buku-bukunya dari tas. Membuka salah satu buku yang penuh dengan sticky note. "Langsung aja ke pelajaran. Hari ini kita belajar Kimia. Gue udah siapin beberapa soal yang harus lo kerjain biar gue tau sejauh apa kemampuan lo di mata pelajaran ini."
"Gue ngga mau belajar."
Sontak Alby berhenti membuka lembar bukunya. "Apa?"
"Buat apa belajar? Nilai itu bukan segalanya. Emang kenapa kalo nilai gue jelek? Seenggaknya non akademik gue bagus."
Alby kembali menutup bukunya dengan kasar. "Kepala gue hari ini lagi pusing. Langsung aja, apa yang lo mau? Mau nyuruh gue beliin makanan diluar kaya kemarin?"
Ruha tersenyum menatap Alby yang tau akan maksudnya. Niatnya memang hanya ingin mengerjai Alby sebelum sesi belajar.
"Enggak, gue ngga akan nyuruh lo beliin makanan kaya kemarin. Yang kali ini gampang kok."
"Apa?"
Senyum penuh arti milik Ruha mengembang. Tangannya menunjuk bibirnya sendiri.
"Cium gue!"
Alby sontak terkejut dengan ucapan Ruha yang terdengar sangat santai itu. Ia bahkan sampai tak bisa merespon dengan kata-kata.
"Cium gue! Baru gue mau belajar. Kalo ngga mau, sesi belajar gue berakhir di sini."
"..."
Ruha mencoba menahan tawanya menatap ekspresi Alby di depannya. "Oke, karena ngga ada jawaban gue anggap lo nolak. Jadi, lo bisa pulang sekarang!"
Sesuai dugaannya. Kali ini ia benar-benar akan berhasil membuat Alby menyerah untuk mengajarinya. Anak itu mungkin akan segera pulang setelah ini.
"Ayo, lo bisa pul--"
Srak!
"--emphh!"
Ganti Ruha yang dibuat terkejut sekarang. Alby yang tiba-tiba menariknya hingga jarak mereka sangat dekat. Dan bibir anak laki-laki itu yang langsung menyapa bibir miliknya. Hanya sebuah kecupan singkat. Setelah itu Alby kembali mendorong Ruha menjauh.
"Udah, sekarang ayo belajar!" ucap Alby masih santai. Meski tidak dengan tangannya yang sedikit gugup membuka bukunya kembali.
Ruha masih mematung. Lidahnya menjilati bibirnya sendiri bekas kecupan Alby. Meski itu bukan ciuman pertamanya, tapi rasanya ada yang berbeda. Bibir Alby benar-benar lembut dengan rasa manis.
Ditatapnya Alby dengan intens. Ruha berdiri tiba-tiba dan beralih ke samping Alby yang langsung memasang wajah bingung. Tangannya langsung menarik tubuh Alby mendekat.
"Bibir lo manis, gue mau lagi!"
"A-apa? Mmphh!"
Belum sempat Alby selesai berucap, Ruha sudah kembali membungkam bibirnya. Lain halnya dengan yang dilakukan Alby tadi. Ciuman Ruha lebih agresif. Ruha melumat bibir Alby lebih dalam dengan tangan kanan yang menahan kepala Alby di belakang.
Ciuman itu terus berlanjut. Ruha yang mulai menggigit bibir bawah Alby hingga terbuka. Lidahnya langsung menerobos masuk. Menjelajah rongga mulut Alby yang hangat dan benar-benar terasa manis.
"Engh... Stop! Hahh..."
Alby mendorong tubuh Ruha dengan sekuat tenaga untuk menjauh. Nafasnya langsung terengah begitu ciuman mereka terlepas. Tatapan mata Alby terlihat syok dengan perlakuan Ruha. Kulit putih di sekitar pipi itu memerah. Detak jantungnya menggila.
"G-gue izin pakai kamar mandi," ucap Alby. Ia mengambil sesuatu dari dalam tasnya sebelum melenggang pergi dari sana.
Ruha sendirian sekarang. Meskipun sama-sama syok karena tindakannya yang tanpa pikir panjang, tapi Ruha tak merasa menyesal melakukan itu. Anak itu kini malah tersenyum senang.
Cek gelombang dulu.
Draft dua tahun lalu yang sayang banget kalo mau dihapus.
Rame lanjut, kalo gak terpaksa masuk draft lagi.
(◍•ᴗ•◍)
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip