06 | Edukasi Dini

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Beberapa anggota OSIS berjaga di sekeliling gerbang. Termasuk Alby sebagai Ketua OSIS. Rutinitas yang wajib setiap hari oleh OSIS San Juan. Mengukum anak-anak yang datang terlambat.

"Kalian berdua mau kemana? Ngga usah ngendap-ngendap!" seru Alby pada dua anak yang baru saja loncat dari pagar tembok. Sepuluh meter dari gerbang utama.

Dua anak laki-laki kelas 10 itu lantas berhenti saat mendengar suara Alby. Satu dari mereka berbalik, tepat berhadapan dengan Alby yang menelisik tajam.

"Kenapa lihatin gitu? Ngga pernah lihat orang loncat pagar?" nyolot si anak dengan badge name Vino.

"Telat, loncat pagar, ngga ada dasi, seragam ngga dikancing, blazer juga mana?" tunjuk Alby pada seragam yang dikenakan adik kelasnya itu. "Baris ke depan gerbang! Minta hukuman sama anggota OSIS di sana!"

"Ogah! Mending gue pergi."

Belum ada dua langkah pergi, Alby sudah menarik kerah belakang milik Vino.

"Bangsat, lepas!"

"Enggak! Pergi ke depan gerbang dulu," tegas Alby, ia melirik anak satunya. "Lo juga pergi!"

Tatapan geram Vino mengarah pada Alby. Ia dengan kasar menepis pegangan Alby dari kerah belakangnya.

"Jangan mentang-mentang Ketua OSIS terus lo pikir gue takut! Di geng Scorpion ngga ada yang namanya tunduk sama orang lain. Dan yang gue patuhi cuma perintah bang Ruha."

Kepalan tangan Vino mengepal kuat dengan pandangan lurus kearah Alby yang masih berdiri tenang. Tangannya terangkat bersiap memukul Alby sebelum dihentikan oleh teman di sampingnya.

"Vin! Vin! Jangan lo pukul..."

"Apa sih, Fa?!" geram Vino menatap Alfa yang memegangi tangannya. "Lepas nggak?"

"Gue baru inget. Dia Alby, si Ketua OSIS," bisik Alfa pada Vino sambil melirik Alby sekilas.

Vino yang masih belum mengerti lantas menautkan alis, "Ya emang kenapa? Lo takut? Cuma Ketua OSIS doang."

"Bukan itu, anjing! Lo ga inget apa kata bang Gamma?"

"Apa?"

Alfa berdecak kesal menatap Vino yang tak ingat apapun. "Jangan cari masalah sama si Ketua OSIS. Perintah dari bang Ruha."

"Emang bang Ruha pernah bilang gitu?" tanya Vino. Spontan Alfa menoyor kepala temannya itu.

"Gue 'kan bilang kata bang Gamma. Makanya kalo ada kumpul markas lo jangan sibuk sendiri, bego!" geram Alfa.

"Ya terus?"

"Kalian berdua bisik-bisik apa? Bukannya langsung ke depan gerbang!"

Suara si Ketua OSIS yang menjadi objek perbincangan memutus obrolan mereka berdua. Vino dan Alfa lantas sama-sama menatap si Ketua OSIS itu dengan diam.

"Tunggu apa lagi? Ke gerbang sekarang kalo ngga mau hukuman ganda!" perintah Alby.

Vino melirik Alfa di sampingnya, "Lo rela dihukum?"

"Mau gimana lagi. Emang sialnya kita aja kepergoknya sama si Ketua OSIS ini. Ayolah, itung-itung olahraga," ucap Alfa dan menarik Vino pergi ke gerbang sesuai perintah dari Alby.

Dan sekarang tinggal lah Alby yang terheran dengan dua adik kelasnya yang tiba-tiba jadi penurut. Jarang-jarang hal itu terjadi mengingat mereka satu kumpulan geng paling berandal di San Juan.

...

Sosok Ruha duduk diam di ujung tangga menuju lantai dua dengan tatapan tak lepas dari pintu perpustakaan. Sudah tiga puluh menit berdiam diri di sana tanpa melakukan apapun. Hingga datanglah sekawan Ruha dari lantai dua yang lantas menepuk punggung Ruha.

"Ruha! Ke markas, kuy!" seru Gamma.

Ruha yang sempat terpenjat langsung menoleh kearah Gamma di sampingnya.

"Nggak ah, skip dulu hari ini," tolak Ruha.

"Tumben, bisanya paling semangat diajak bolos keluar. Kesambet apa lo?" kali ini Riko yang bicara dengan nada nyolot seperti biasa. Anak rambut coklat itu bersandar pada pegangan tangga bersama Gaffi memblokir jalan ke lantai atas.

"Di sini ada yang lebih menarik," timpal Ruha lagi.

"Apa?"

"Nanti juga keluar." Tatapan Ruha tak lepas dari perpustakaan. Ketiganya ikut menatap arah pandang Ruha.

"Weih, siapa Ru? Lo punya gebetan?" tanya Gamma penasaran. "Dilihat dari tempatnya, nih cewek pasti pinter, rajin, siswi teladan. Tumben cari yang beneran dikit, mantan lo yang terakhir aja spek reog."

Ruha menahan tawa mendengar ucapan Gamma. Riko yang tau siapa yang di tunggu Ruha hanya melempar mata malas. Sedangkan Gaffi yang tak tau apa-apa hanya diam menyimak, karena tak suka banyak bicara.

Bermenit-menit kembali berlalu, beberapa siswa dan siswi telah banyak yang keluar dari perpustakaan. Tapi tak ada gerak-gerik dari Ruha sedikitpun. Gamma yang merasa bosan mengeluarkan bungkus rokok dari saku seragamnya.

"Ko! Fi! Mau rokok?" Gamma menawarkan kepada dua temannya lebih dulu. Mereka sama-sama mengambil satu batang.

"Thanks, Gam," ucap Gaffi.

"Koreknya mana? Nawarin cuma rokoknya doang."

Tangan Riko menadah ke Gamma yang langsung Gamma kasih pemantik api dari sakunya. Sekarang Gamma beralih menawari Ruha.

"Ru, rokok?"

Ruha refleks menggeleng, "Gue udah berhenti ngerokok."

"Dih, kok bisa?! Biasanya juga sehari dua bungkus abis," seru Riko setengah berteriak tak jadi menyalakan rokoknya.

"Kapan anjir? Sehari dua bungkus yang ada sekarat paru-paru gue."

Kini ketiga sahabat Ruha itu menatap dengan penuh heran. Tiada angin dan hujan yang tiba-tiba membuat perokok aktif seperti Ruha yang sudah benar-benar kecanduan tiba-tiba berhenti merokok.

"Tunggu-tunggu, gue juga ngga habis pikir. Lo? Berhenti ngerokok?" tunjuk Gamma tak percaya.

"Gue udah nemuin yang lebih candu daripada batang nikotin itu. Yang tentunya lebih sehat dan lebih manis. Yah, meski ngga bisa tiap hari gue nikmatin," jelas Ruha. Membayangkan rasa manis yang membuatnya candu itu saja Ruha tak bisa menahan senyumnya.

"Apaan anjir! Narkoba ya?"

Senyum Ruha langsung buyar, "Gila aja gue pake narkoba! Mati digantung bokap gue yang ada kalo ketahuan."

"Ya kali aja," timpal Gamma sambil cengengesan.

Ruha mendesis dan kembali menatap pintu perpustakaan. Pintu itu kembali terbuka untuk kesekian kalinya. Kali ini sosok yang dinanti-nantikan sejak tadi akhirnya keluar.

"Albyyy!" panggil Ruha.

Dengan semangat empat lima Ruha menghampiri Alby yang mematung di depan pintu perpustakaan. Senyum lebar Ruha kembali merekah.

"Mau ke kelas? Bareng!" seru Ruha sambil merangkul pundak Alby yang lebih pendek.

"Tapi itu temen lo..." lirik Alby yang sadar kehadiran tiga makhluk penghuni tangga sekarang.

"Biarin aja, mereka mau bolos. Gue ga ikutan."

Segera Ruha menyeret Alby menuju kelas mereka. Meninggalkan dua orang yang sedang syok dan satu orang yang biasa-biasa saja menatap kepergian Ruha dan Alby. Rokok di mulut Gamma jatuh dengan tidak estetik ke lantai.

"BANGSAT! SEJAK KAPAN RUHA BELOK?!" teriak Gamma. "Sama si ketos itu pula."

...

"By, bakteri Treponema pallidum apaan?"

Jari Ruha menoel-noel bahu Alby yang fokus mengerjakan soal di sampingnya. Sudah menjadi kebiasaan Ruha sekarang selalu ke meja Alby setiap ada soal dari guru.

"Hm? Mana?"

"Ini soal nomer 3..." Ruha langsung menyodorkan kertasnya. "Penyakit apa yang disebabkan oleh bakteri Treponema pallidum?"

"Coba lo cari di materi dulu, kalo ngga ketemu baru tanya gue lagi."

"Bab apa?"

"Sistem reproduksi."

Ruha langsung membalik lembaran buku paketnya menuju halaman bab yang Alby katakan. Ia membaca setiap kalimat yang ada mencari kata Treponema pallidum. Tapi fokusnya malah tertarik pada gambar organ reproduksi pria dan wanita.

"Bentuknya gini banget, ngga kaya ruru yang gede," komentar Ruha dan lanjut membaca.

Begitu banyak bacaan yang minim gambar membuat matanya pusing sendiri. Belum lagi istilah-istilah asing yang tak ia mengerti. Benar-benar menyiksa otaknya. Tapi pada akhirnya nama bakteri itu ia temukan di bagian kelainan pada sistem reproduksi.

"By, jawabannya sifilis?" tanya Ruha.

"Iya."

"Serem juga orang yang kena bisa meninggal. Emang kalo keseringan seks bisa langsung kena sifilis?"

"Ngga tau juga, tapi kalo seks-nya ngga sehat bisa kena begituan," jawab Alby sambil menutup bolpoint miliknya.

Mulut Ruha langsung membentuk huruf 'o' sambil mengangguk. Setelah menjawab soal nomor 3 tadi, sekarang Ruha fokus menatap Alby. Anak itu ternyata sudah menyelesaikan soalnya.

"Lo pernah seks, By?"

Alis Alby langsung berkerut mendengar pertanyaan Ruha yang tiba-tiba random itu. "Ya ngga pernah lah. Kan belum nikah."

"Tapi lo tau ngga, cara mainnya?"

Alby terdiam, kemudian menggeleng. "Ngga tau."

Jawaban Alby itu membuat Ruha melebarkan mata karena terkejut. Ternyata seorang Alby masih sangat polos. Sangat diluar dugaan.

"Emang gimana caranya?"

Dan pertanyaan dari Alby itu semakin membuat Ruha syok di tempat. Haruskah ia ajarkan? Jelas ia sudah menguasai materinya luar dalam. Tapi kalau ia yang mengajari, akan jadi berbeda dengan materi yang ada dibuku. Bukan lagi sel sperma yang bertemu sel telur.

"Ah, gila. Mikir apa sih lo, Ruha!" refleks Ruha menampar pipinya sendiri, sadar akan kesesatan otaknya yang kotor. Hal itu membuat Alby yang memperhatikan bingung dengan tingkah Ruha.

Wajah penasaran dan penuh tanya yang begitu polos. Ruha jadi tak tega mau menodai pikiran Alby yang masih suci itu.

"Lupain aja lupain. Kapan-kapan aja gue ajarin, sekalian praktek."

"Kenapa ngga sekarang? Apa susah? Jelasin aja, gue juga penasaran gimana caranya sel sperma sama sel telur ketemu terus terjadi fertilisasi. Di buku ngga dijelasin secara detail."

Baru kali ini Ruha merasa lebih pintar dari Alby. Ia yakin anak di sampingnya ini bahkan tak pernah melihat video porno sekalipun. Kenapa bisa ada anak laki-laki yang begitu polos seperti ini? Ah~ Ruha jadi gemas sendiri.

"Alby, kayaknya belum saatnya lo tau," ucap Ruha dengan tangan yang mengusak rambut Alby saking gemasnya.

"Tapi gue penasaran."

'Masalahnya rasa penasaran lo ini ngga tepat, Alby', batin Ruha. Segera ia memutar otak. "Gini, lo pernah pacaran?"

"Ngga pernah," jawab Alby.

"Jadi gini, materi ini bakal lebih mudah dipahami kalo lo punya pacar." Ruha menjelaskan.

Dahi Alby berkerut. "Emang harus ya?"

Dengan semangat Ruha menganggukkan kepalanya. "Ya! Harus banget. Kalo emang lo penasaran, gimana kalo lo jadi pacar gue. Baru nanti gue ajarin pelan-pelan."

"Kalo cuma materi kenapa harus sam—"

Alby menggantung kalimatnya. Baru sadar kemana arah pembicaraan Ruha menjurus.

"Kenapa By? Kok diem?"

"Ngga ada. Omongan lo ngelantur." Alby lantas berdiri sambil membawa kertasnya menuju meja guru. Gagal lagi rencana Ruha mendapatkan Alby. Tapi jelas Ruha tak pantang menyerah.

Kalian yang kasih vote & komen ku kasih lope sekebon ('▽'ʃ♡ƪ)

Lihatlah gimana lucunya seorang Ruha bujuk Alby. Beda sama cara abangnya, haha.

Percaya gak percaya, otakku pernah sepolos Alby. Bener-bener gak ngerti gimana bayi bisa dibikin. Dulu ngira sekadar tidur bareng udah bakal jadi ~( ̄▽ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip