08 | Permen Karet
⚠️ WARNING ⚠️
Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.
[pythagoras]
.
.
.
.
"Alby, gue boleh tanya sesuatu?"
Alby lantas menoleh, mengalihkan pandangannya dari buku yang ia baca. Di sampingnya ada Ruha yang menatapnya dengan kepala di atas meja.
"Tanya apa?"
Ruha mengubah posisinya. Menumpu kepalanya dengan telapak tangan, kemudian bertanya. "Kenapa lo milih sekolah di San Juan?"
"Karena sistem pendidikan disini bagus."
"Kenapa ngga SMA lain? Banyak juga yang bagus. Contohnya SMA San Antonio yang lebih deket dari rumah lo. Disana juga sistem pendidikannya 11 12 sama San Juan," ucap Ruha belum sadar akan perkataannya.
"Apa? Dari mana lo tau rumah gue deket sekolah itu?" selidik Alby.
Seketika Ruha sadar. Ia mengelus tengkuknya bingung. "Em, jadi beberapa hari ini gue ngikutin lo pulang setiap dari rumah gue."
"Ngga sopan!"
"Gue ngelakuin itu karena khawatir lo kenapa-napa dijalan pulang. Lagian rumah lo sejauh itu dari rumah gue, kenapa lo mau aja selama ini pulang pergi ngajarin gue."
Ucapan Ruha itu berhasil membuat Alby merasakan desiran aneh di dadanya. Refleks ia menyentuh bagian itu. Ada apa dengannya tiba-tiba?
"Lo juga aneh, jauh-jauh sekolah di San Juan malah naik sepeda," lanjut Ruha.
"Tapi naik sepeda itu lebih sehat. Terus ngga bikin polusi udara kaya asap knalpot motor," timpal Alby.
"Iya deh iya, si paling hidup sehat." Ruha mengucapkan itu dengan nada sedikit mencibir. "Tapi jujur gue penasaran, ada sekolah yang lebih deket kenapa lo milih yang jauh?"
"Bunda yang nyuruh gue sekolah disini, juga yang daftarin gue beasiswa itu dan ngurus semua keperluan sekolah gue. Gue ngga enak kalo mau nolak," jawab Alby sambil kembali membalik lembar buku bacaannya.
Alis Ruha menyatu, "Bunda? Nyokap lo?"
"Bukan, wali gue."
"Wali? Terus nyokap kandung lo kemana?"
"Udah meninggal."
Ruha langsung tersentak. Bibirnya terkatup rapat mendengar jawaban dari Alby. Tak ia sangka Alby sama sepertinya, ditinggalkan sosok ibu kandung.
"Oh, bunda yang lo maksud jadi wali itu pasti ibu tiri lo 'kan? Ternyata nasib kita sama ya, ditinggal ibu kandung. Bokap nikah lagi terus punya ibu tiri."
"Bunda bukan ibu tiri gue. Dan ayah gue, dia... dia dipenjara."
Lagi-lagi ia dibuat terkejut dengan jawaban Alby. Ruha terlalu cepat berasumsi tanpa tau yang sebenarnya. Dan sekarang dirinya merasa canggung karena membahas topik yang tak ia sangka begitu sensitif ini dengan Alby.
'Ruha bego! Tolol!' umpat dalam hati sambil merutuki mulutnya.
Kalau diingat-ingat ia pernah membahas soal keluarga dengan Alby. Dan dengan percaya dirinya mengadu nasib seolah hidupnya yang paling buruk karena memiliki ibu tiri yang jahat. Kemudian bilang kalau keluarga Alby mungkin lebih harmonis dari pada keluarganya.
Nyatanya, Alby bahkan ditinggal oleh kedua orangtua kandungnya. Pantas saja selama beberapa hari mengikuti Alby sampai rumah, ia tak pernah melihat satu orang pun yang menyambut Alby pulang.
"Orang yang lo panggil bunda itu, gue mau ngucapin terima kasih sama dia."
Kalimat aneh itu meluncur begitu saja dari mulut Ruha membuat Alby menatapnya dengan bingung. Sebuah senyum kecil Ruha berikan. Tangan kanannya terulur menyingkap rambut yang menutupi kening dan hampir mengenai mata Alby.
Sekarang ia bisa melihat jelas keseluruhan wajah yang cenderung manis itu.
"Gue mau berterima kasih, karena berkat bunda lo itu gue jadi bisa ketemu sama lo disini."
Debaran aneh pada dada kembali Alby rasakan. Apalagi dengan tangan hangat Ruha yang masih menyentuh sisi kiri wajahnya. Alby benar-benar tak tau perasaan aneh apa yang baru pertama kali ini ia rasakan.
'Aaa~ pipinya merah lagi. Lucu!' Ruha membatin dalam hati. Berusaha menahan rasa ingin berteriak karena melihat wajah Alby yang memerah lucu.
Ruha mengambil satu karet gelang yang tak sengaja terbawa di saku celananya. Menyingkap keseluruhan rambut yang menutupi kening Alby keatas dan mulai mengikatnya.
"Rambut gue mau diapain?" Alby mencoba menggapai tangan Ruha.
"Diem dulu!" Ruha mengikat rambut Alby jadi seperti air mancur diatas kepala. "Nah, gini kan enak dipandang."
"Ngga mau ah, aneh."
Alby berusaha melepas ikatan rambut yang dibuat Ruha. Tapi tangan Ruha mencekalnya dengan tatapan menajam.
"Jangan coba-coba lepas mahakarya gue!" peringat Ruha.
Decakan keluar dari mulut Alby. Ia kembali menurunkan tangannya dengan terpaksa, membiarkan rambutnya seperti itu untuk saat ini. Di samping, Ruha sudah terkikik geli melihat bagaimana wajah merengut Alby itu. Lucu, benar-benar sangat lucu.
Kalau seperti ini, bagaimana Ruha tak jatuh hati. Wajah itu begitu menarik untuk dipandangi setiap saat.
Kenapa ia baru sadar tentang hal ini. Setelah hampir dua tahun sekelas dengan Alby.
"Daripada lo ngelihatin gue terus, mending cari buku bacaan buat persiapan ujian bulanan rabu depan!" celetuk Alby masih dengan fokus pada bukunya. Tangannya sibuk menyalin setiap hal penting ke buku tulis yang sengaja ia bawa ke perpustakaan ini.
"Ngga mau. Wajah lo lebih menarik buat dilihat daripada buku-buku disini."
"Terserah aja."
Alby kembali fokus. Suasana begitu hening sekarang. Ruha hanya terus memandangi Alby tanpa melakukan apapun. Dan jujur saja, ia mulai bosan karena Alby tak mengajaknya mengobrol lagi.
"By! Balik yuk!" ajak Ruha.
"Gue masih belum selesai. Kalo lo mau balik, duluan aja," timpal Alby.
"Gue maunya sama lo!"
"Tapi gue belum selesai."
Ruha berdecak dan kembali diam sambil menunggu. Ia berdiri mencoba mencari buku bacaan yang menarik. Tapi baru beberapa menit berkeliling perpustakaan, Ruha kembali ke samping Alby tanpa membawa satu buku pun. Tak ada yang menarik.
Fokusnya kembali pada Alby. Lebih tepatnya kunciran diatas kepala Alby. Ia memainkan kunciran itu beberapa kali sampai Alby merasa terganggu dan menepis tangannya.
"Gue laper!" keluh Ruha. "Lo ngga ada makanan, By?"
Alby berhenti menulis sejenak. Ia merogoh saku blazer miliknya dan mengeluarkan sesuatu. Ruha langsung memasang wajah gembira.
"Cuma ada ini," ucap Alby sambil menyodorkan beberapa permen karet di tangannya.
"Kok permen karet," timpal Ruha kecewa. Jauh dari harapannya.
"Terserah lo mau atau enggak." Alby menaruh permen karet tersebut di meja. Mengambilnya satu untuk ia makan.
Hal itu menarik perhatian Ruha. Saat Alby membuka bungkus permen karet, aroma khasnya menyebar. Dan waktu permen karet itu masuk ke mulut Alby, saat itulah Ruha dengan cepat mencondongkan tubuhnya kearah Alby. Meraup sisa permen karet yang belum sempat masuk semua ke mulut Alby.
Bibir keduanya bersentuhan. Seketika tubuh Alby membeku dan tanpa sadar membuka sedikit mulutnya.
Ruha berhasil mengambil alih permen karet itu dari mulut Alby. Tapi ia tak langsung melepas pangutannya. Malah membuatnya menjadi sebuah ciuman dan lumatan lembut. Rasa manis dari permen karet mendominasi mulut keduanya.
"Manis."
Senyum Ruha merekah setelah melepas ciuman mereka. Alby tak berontak ataupun menolak. Lebih tepatnya, syok.
"Pantesan mulut lo selalu terasa manis. Pasti lo sering makan permen karet kaya gini," komentar Ruha, ia mengambil semua permen karet di meja, menyisakan satu dan memasukkannya di saku seragam.
Satu permen karet terakhir itu ia buka dan menyodorkan tepat di depan mulut Alby. "Aaa!"
Alby tak menurut. Pikirannya baru saja ditarik kembali. Dengan sedikit gugup ia merapikan buku-bukunya kemudian meninggalkan Ruha begitu saja tanpa kata.
"Eh, kok gue ditinggal."
Seorang Alby untuk kesekian kalinya malu dan salah tingkah karena Ruha.
...
"Hari ini belajarnya ngga di rumah gue ya."
"Terus dimana?"
"Ikut gue, lo ngga bawa sepeda 'kan."
Begitu bel pulang berbunyi, Ruha langsung menarik Alby keluar. Mengambil motor sportnya di parkiran dan membawa Alby pergi. Tujuan Ruha adalah markas Scorpion.
Ada alasan khusus Ruha melakukan ini, Papa-nya pulang ke rumah. Dan karena kejadian terakhir kali membuatnya masih enggan untuk bertemu sang Papa.
"Kita belajarnya disini."
Ruha turun dari motor dan masuk ke markas diikuti Alby di belakang. Ada anggotanya di sana, salah satunya Gaffi. Beberapa anggota kelas 10 menyapa Ruha dan menatap penasaran kehadiran Alby yang ikut bersama Ruha.
"Fi! Gamma sama Riko kemana?" tanya Ruha pada Gaffi yang sedang menyemprot tanaman hias dengan air.
"Si Gamma tadi bilang ada urusan bentar di rumah, nanti malam baru ke sini. Kalo si Riko lagi beli minuman kaleng sama snack. Anak-anak pada mau party," jelas Gaffi.
"Party?"
"Ya, lo ikutan juga nanti. Masa ketua ngga pernah ikutan, sibuk mulu sejak lo belajar bareng Alby."
Alby yang namanya disebut-sebut langsung menoleh.
"Nggak ah, gue ngga ikut. Gue mau belajar disini, yang ada konsentrasi gue buyar kalo ikut party," tolak Ruha.
"Emang party ngapain?" Alby yang sejak tadi menyimak akhirnya penasaran dengan obrolan Ruha dan Gaffi.
"Party itu kita mab—mphh!"
Ruha dengan panik langsung membungkam mulut Gaffi sebelum selesai bicara. Ia melempar tawa sumbang kearah Alby. "Maksud Gaffi itu, kita makan-makan. Gitu, ya kan Fi?" Ruha melirik Gaffi memberi isyarat.
Gaffi yang mulutnya masih dibungkam terpaksa mengangguk. Meski rasanya janggal, tapi Alby percaya-percaya saja dengan itu.
"Lo duduk duluan ke sofa, siapin materi buat gue nanti," pinta Ruha dan mendorong Alby pergi.
Setelahnya ia kembali lagi ke Gaffi yang menatap bingung.
"Suruh anak-anak party di luar. Jangan masuk, apalagi sampai ketahuan Alby kalian mabuk-mabukan disini," suruh Ruha dengan nada berbisik kepada Gaffi.
"Kenapa?" Gaffi menautkan alisnya.
"Udah nurut aja. Sebagai gantinya nanti kapan-kapan gue traktir kalian semua." Tepukan tangan Ruha mendarat beberapa kali di bahu Gaffi.
"Ya udah iya."
Makasih buat yang udah vote dan komen sebelumnya (jangan bosen baca ucapan ini setiap akhir bab karena bakal selalu ada)
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip