10 | Albynya Ruha

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Taksi yang ditumpangi oleh Ruha dan Alby baru saja sampai di depan rumah Alby. Ruha lantas kembali menggendong Alby setelah membayar taksinya.

"Waa~ jalannya mundur. Alby terbaang~"

"By, jangan gerak-gerak nanti lo jatoh!"

Alby yang semula merentangkan tangannya kembali memeluk leher Ruha.

"Alby kangen bunda... kenapa bunda ninggalin Alby? Apa Alby nakal jadi bunda milih ninggalin Alby? Hiks..."

Langkah kaki Ruha yang membawa masuk Alby langsung berhenti saat mendengar rancauan kali ini. Pelukan pada lehernya semakin erat, dengan isakan lirih yang terus terdengar. Tak pernah Ruha tau sisi Alby yang seperti ini.

"Bunda maafin Alby... hiks... Alby ngga bisa ikut bunda pergi... maafin Alby, gara-gara Alby ada, bunda sama ayah jadi susah... gara-gara... Alby, bunda jadi sering dipukulin ayah. Maafin Alby, bunda..."

Entah kenapa Ruha yang sakit mendengar rancauan itu. Ruha mengelus lembut kepala Alby dan memperbaiki gendongannya, lantas kembali berjalan menuju pintu rumah Alby.

"By, hei tenang. Jangan nangis terus..." Ruha menepuk-nepuk punggung Alby yang terus menangis.

"Hik... Alby ngga nangis, Alby ngga nangis ayah... jangan pukul Alby, Alby janji ngga nangis."

Ruha sedikit kuwalahan saat Alby bergerak gusar sambil terus merancau seperti itu. "Ngga ada yang mukul lo, By... tenang ya?" ucapnya menenangkan. Ia tak tau seberapa sering Alby mendapat pukulan dari ayahnya sampai jadi seperti ini.

"Sekarang kasih tau gue pin rumah lo, biar gue bisa bawa lo ke dalam."

"...3...0...1...1...0...8..."

"301108," gumam Ruha mengulangi ucapan Alby sambil jarinya menekan angka yang sama. Pintu rumah Alby benar-benar terbuka setelahnya. "301108? Ulang tahun lo, By? Tapi kok 08, 2008?"

"Ukh, pengen muntah..."

Alby digendongan Ruha mulai bergerak tak nyaman. Ruha yang mendengar Alby ingin muntah segera bergegas masuk. Ia melempar asal tasnya dan milik Alby ke sofa terdekat yang ia lihat. Kemudian mencari keberadaan kamar mandi di tengah ruangan yang gelap.

"Jongkok sini! Muntahin ke closet!"

Ruha menurunkan Alby begitu masuk kamar mandi. Membantu anak itu bejongkok di depan closet dan memijit tengkuk Alby.

Hoek!

Hoek!!

Alby terus memuntahkan isi perutnya yang hanya didominasi cairan bening. Wajah kuyuh itu memerah dengan mata sedikit berair.

"Uh, ngga enak... pahit," keluh Alby.

"Namanya juga alkohol. Udah muntahnya?"

Kepala Alby mengangguk pelan menjawab Ruha. Alby mengangkat lengannya berniat mengusap bibirnya dengan blazer, tapi keburu ditahan Ruha.

"Gue bantu bilas pake air, jangan pake blazer. Ayo berdiri!"

Dengan perlahan Ruha kembali membantu Alby berdiri menuju wastafel. Menahan tubuh lemas itu di depan wastafel agar bisa ia bilas. Ruha mulai menyalakan kran dan begitu perhatiannya membilas wajah Alby dengan air.

"Lain kali kalo mau minum lihat dulu bungkusnya. Emangnya lo ngga bisa bedain mana susu kaleng mana alkohol apa?"

Ruha terus mengomel sambil melepas blazer sekolah dan juga dasi Alby. Alby yang diomeli hanya diam sambil mengernyit seperti menahan sakit. Anak itu beberapa kali terbatuk.

"By, lo kenapa? Ada yang sakit?"

Kekhawatiran Ruha mulai muncul saat batuk Alby tak kunjung reda. Ditambah sekarang Alby seperti kesulitan bernafas.

"Ekhh, hhh... o-obat... h-hah!"

"Obat? Obat apa?"

Wajah itu memerah pucat. Tangan Alby beberapa kali memukuli dadanya yang menjadi sumber rasa sakit. Dengan nafas yang kian berat Alby kembali mencoba membuka mulutnya.

"Di... tas—"

Ruha yang dilanda panik langsung mengangkat tubuh Alby dan membawa ke kamar terdekat. Ia membaringkan tubuh Alby terlebih dahulu disana sebelum berlari keluar mengambil tasnya dan tas Alby di sofa sebelumnya. Begitu dapat Ruha langsung kembali ke kamar Alby dan menggeledah tas milik Alby.

Beberapa kali terdengar erangan sakit dari Alby yang membuat Ruha semakin panik. Ia lantas membalik tas Alby hingga isinya berceceran. Cara tercepat untuk menemukan obat Alby.

Tak!

Dua buah tabung plastik menggelinding di bawah kakinya. Ruha langsung mengambil benda tersebut dan membawanya ke Alby.

"By, obat lo ketemu. Ini... dua-duanya diminum?" tanya Ruha. Alby masih meringkuk kesakitan di atas ranjang.

Mata Ruha menyisir sekitar mencari air. Tak ada. Buru-buru Ruha keluar dari kamar menuju dapur untuk mengambil air. Dengan secepat kilat ia kembali. Ia lantas menyangga tubuh Alby setengah duduk. Membuka kedua tabung tadi dan mengambil masing-masing satu butir dari dalam.

"Buka mulut lo, By!" titah Ruha.

Alby tak kunjung membuka mulut, masih bergelut dengan rasa sakitnya. Dengan begitu Ruha tak memiliki cara lain selain memaksa Alby menelan obatnya.

Dengan sedikit bimbang, Ruha menaruh dua obat tadi ke mulutnya sendiri. Kemudian mengambil airnya. Ia lantas sedikit menunduk, mensejajarkan wajahnya dengan Alby, lalu menyatukan bibirnya dan milik Alby.

Perlahan, obat dimulut Ruha berpindah ke mulut Alby. Ruha tak melepasnya sampai Alby benar-benar menelan obat-obat tersebut.

Butuh waktu sepuluh menit sampai Alby mulai tenang. Ruha akhirnya bisa bernafas lega setelah dibuat panik seperti tadi.

"Lo sakit apa By? Gue ngga pernah tau kalo lo sakit." Pertanyaan tersebut hanya menjadi monolog Ruha seorang. Alby sudah nyaman dalam tidurnya dengan peluh yang masih menghiasi wajah.

Hal itu menggerakkan Ruha untuk segera mengganti pakaian Alby. Ia beranjak ke lemari di kamar tersebut. Mencari-cari pakaian yang sekiranya nyaman untuk Alby. Ada banyak tumpukan kaos kaki warna-warni dalam salah satu bagian lemari. Entah apa gunanya semua kaos kaki itu.

Ruha lantas mengambil sebuah piyama putih dengan motif gambar kuning. Sekarang, Ruha berganti melepas satu persatu seragam yang masih menempel di tubuh Alby. Tak tau kenapa tangannya keringat dingin saat melepas celana dan kemeja Alby.

Plak!

"Ruha fokus! Jangan mikir aneh-aneh!" sugestinya.

Ia memakaikan bagian celana lebih dulu. Kemudian bagian atas. Gerakannya terhenti saat melihat bekas jahitan di dada Alby. Seketika otaknya berpikir tidak karuan.

"Eng... dingin..."

Lirihan itu menyadarkan Ruha. Alby yang kembali menggeliat dengan kedua kaki yang bergerak tak nyaman. Buru-buru Ruha memakaikan atasan piyama Alby.

"Kaki lo dingin banget, By," ujarnya saat memegang kedua telapak kaki Alby.

Ruha kembali ke lemari dan mengambil dua pasang kaos kaki dari sana. Ia memakaikan keduanya pada kaki Alby agar tak kedinginan. Sekarang ia tau kenapa Alby menyimpan begitu banyak kaos kaki.

"Tidur yang nyenyak."

...

Alby menggeliat dalam tidurnya. Cahaya yang masuk membuat matanya yang semula hampir terbuka kembali memejam karena silau. Ia sedikit merenggangkan tubuh, tapi ruang geraknya terasa sempit.

Tangannya meraba sekitar. Ada sesuatu yang ia peluk, tapi Alby belum mau membuka matanya. Sesuatu itu hangat, membuatnya nyaman. Teksturnya halus seperti kulit manusia. Perlahan tangannya turun ke bawah, ada beberapa tonjolan yang ia rasakan.

'Satu... dua... tiga...'

Alis Alby menyatu, bagian yang ia sentuh itu bergerak teratur.

"Apa guling bisa nafas?" gumamnya dan menusuk-nusuk benda yang ia peluk tersebut dengan telunjuknya.

"Alby, perut gue sakit kalo lo gituin."

"Emang guling bisa ngomong?" heran Alby.

Alby langsung membuka matanya lebar-lebar. Mendongak ke atas dan menemukan wajah Ruha yang tengah terpejam dengan bibir mengulas senyum. Dengan kesadaran yang sudah terkumpul sempurna, Alby menarik diri menjauhi Ruha.

"R-Ru... l-lo k-kok..."

"Jangan bangun tiba-tiba gitu!"

Ruha dengan tubuh setengah telanjang mendekati Alby yang semakin beringsut ke ujung kasur. Tangan Ruha terangkat kearahnya, membuat Alby refleks menutup mata.

"Masih agak panas," ujar Ruha sembari melepas tangannya dari kening Alby. "Lo semalem demam tinggi. Terus menggigil. Waktu gue mau cari air buat ngompres, lo malah ga mau gue tinggal. Jadinya, gue peluk lo semalaman."

Alby diam, matanya masih tak lepas dari tubuh setengah telanjang milik Ruha. Jadi, tubuh itu yang ia peluk semalaman?

Ruha yang sadar Alby menatapnya tanpa kedip lantas melihat tubuhnya sendiri.

"Seragam gue bau, niatnya mau pinjam baju lo malah ngga ada yang muat," jelas Ruha. "Lo ngga ngerasa pusing? Atau mau muntah lagi? Efek hangover-nya harusnya masih ada."

Alby menggeleng pelan sebagai jawaban. Ia baru mengingat semuanya. Tentang dirinya yang mengira kaleng alkohol itu kaleng susu dan meminumnya tanpa ragu. Berakhir mabuk berat.

"Gue mau bikin makanan buat kita sarapan. Lo masih harus minum obat penurun panas," ujar Ruha sambil beranjak dari ranjang, lantas melenggang pergi ke dapur rumah Alby.

Seingat Ruha semalam ia melihat ada banyak bahan mentah di kulkas dapur Alby. Itu bisa ia manfaatkan untuk membuat sarapan mereka. Dengan cekatan Ruha mulai memasak satu masakan.

Sosok Alby muncul ke dapur saat Ruha masih sibuk masak. Anak itu mendekati Ruha dan menoel pelan lengan Ruha.

"Kenapa By? Bentar lagi sarapannya mateng. Lo udah laper?"

"Ini, pakai!"

Ruha langsung menoleh. Menemukan Alby yang menyodorkan sebuah kaos padanya. Ia mematikan kompornya dulu sebelum menghadap Alby.

"Kaos siapa? Emang muat?" Ruha mengambil kaos tersebut dan langsung memakainya. Anehnya kaos yang ini muat di tubuhnya.

"Itu punya ayah gue."

Ah, pantesan.

Kini Ruha menarik Alby menuju meja makan. Mendorong anak itu untuk duduk manis di kursi, sedangkan dirinya kembali ke dapur mengambil makanan.

"Gue bikin omurice, semoga cocok sama selera lo."

Dua piring berisi masakan khas negeri sakura itu terlihat menggugah selera di hadapan Alby. Bau harumnya bahkan sudah tercium sebelum Ruha menaruhnya di atas meja.

"Habisin tanpa sisa. Kata Mama gue dulu, kalo makan ngga habis nanti makanannya nangis."

Alby tertawa mendengar ucapan Ruha itu.

Mereka berdua mulai makan dengan tenang. Ruha sesekali menatap Alby yang terlihat lahap makan masakannya.

"Gimana? Enak?"

Alby mengangguk dengan semangat. "Enak. Ngga nyangka kalo Ruha pinter masak," puji Alby dengan pipi mengembung.

Ruha tak bisa tak menarik bibirnya untuk senyum. Meskipun otaknya minus, tapi di keahlian lainnya Ruha banyak plusnya.

"Gue sering nginep rumah kakak gue. Dia jago masak dan gue sering ngerecokin dia waktu masak. Ngga taunya keahliannya nular," ucap Ruha dengan bangga. Ada gunanya juga punya kakak, batinnya kemudian.

...

Ruha memutuskan pulang setelah memastikan Alby selesai minum obat dan dalam keadaan baik-baik saja.

"Kalo emang masih ngga enak, hari ini ngga usah masuk sekolah dulu. Istirahat! Sebenernya gue juga masih pengen disini, tapi karena satu hal jadi gue harus balik sekarang," ucap Ruha yang kini sedang berpamitan dengan Alby di depan rumah.

"Gue emang mau izin aja hari ini, tapi lo jangan ikutan bolos ngga ada sebab. Inget bentar lagi ujian bulanan."

"Iya iya, gue tau. Gue pulang ya, jangan kangen."

Bibir Alby mencebik membuat Ruha terkekeh. Dengan gemas Ruha mengusak rambut Alby yang lebih pendek itu.

"Ru, makasih," cicit Alby pelan.

"Hm? Lo ngomong apa? Ga kedengeran."

"Makasih buat semalem, sama pagi ini juga," ulang Alby lebih keras.

Kembali Ruha dibuat gemas sendiri. Entah kenapa semua tingkah dan ucapan Alby itu lucu baginya.

Ruha yang tak menjawab ucapannya, membuat Alby mendongak. Mereka saling tatap untuk beberapa detik.

"By, gue boleh cium lo?"

"Apa?"

Cupp!

Tanpa menunggu jawaban Alby, Ruha langsung mencium si Ketua OSIS itu. Sayangnya hanya di pipi, tapi mampu membuat Alby membeku di tempat dengan wajah memerah.

"I love you... Albynya Ruha."

Setelah berbisik Ruha langsung berlari keluar halaman rumah Alby. Ia melambai kearah Alby dengan riang.

"KETEMU BESOK DI SEKOLAH, BY!"

Terima kasih untuk yang udah vote dan komen. ('▽'ʃ♡ƪ)

Pas bagian Ruha gantiin baju Alby, kalo itu posisi Raga sama Alta dulu bakal beda lagi ceritanya. Kalo diinget lagi ada scene yang mirip juga disebelah... haha...

Tenang, cerita ini bakalan ringan. Seringan kapas gak kek sebelah.

Btw, ada yang baca cerita sebelah? Kangen gak sama Raga?

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip