21 | Alby Sakit

⚠️ WARNING ⚠️

Cerita ini mengandung unsur adegan kekerasan, LGBT, seksualitas, kata-kata kasar, kenakalan remaja yang tidak layak untuk ditiru. Pembaca diharap bijak.

[pythagoras]

.

.

.

.

Malam itu anak-anak panti asuhan makan malam bersama anggota OSIS dan Scorpion.

Suara riuh canda tawa yang beberapa menit lalu mengisi ruang makan, kini telah berganti sunyi. Semua anak-anak pergi ke tempat tidur mereka. Sedangkan anggota OSIS dan Scorpion beberapa ikut membereskan bekas makan malam.

Ruha baru saja menaruh piring kotornya di tempat anak perempuan sedang mencuci piring. Ia kembali ke ruang makan sejenak, kemudian menuju ruangan tempat mereka tidur, dan kembali lagi ke ruang makan seperti mencari sesuatu.

Sampai akhirnya, Riko yang sedang mengelap meja dibuat kesal karena tingkah Ruha tersebut. "Lo cari apa sih? Muter-muter mulu dari tadi."

"Gue cari Alby. Lo tau dia kemana?" tanya Ruha balik dengan wajah cemas.

"Lah, gue juga ngga tau kalo itu. Sejak selesai makan tadi ngga lihat si Alby," jawab Riko ikut bingung.

"Anak udah gede ngapain dicariin? Ngga bakal ada yang nyulik juga disini."

Disaat Ruha dan Riko sama-sama berpikir kemana perginya Alby, sebuah suara menyahuti mereka berdua dari belakang. Sosok Aidan muncul dengan wajah menjengkelkan keduanya.

"Idih, lo tuh ngga diajak ngomong main nyerocos saja," sembur Riko seperti memiliki dendam tersendiri. Matanya melotot kearah Aidan yang hanya mendengus dan lantas pergi begitu saja. "Coba cari ke toilet aja, Ru. Siapa tau Alby kesana," ujarnya pada Ruha.

Ruha menuruti saran dari Riko dan segera menuju toilet panti dari yang paling dekat.

Keadaan panti yang sudah sepi membuat hawa di sekitar cukup mencekam. Ruha itu kadang parnoan, takut makhluk halus. Jadi ia cukup was-was berjalan sendiri di lorong panti. Posisi toilet yang berada diujung lorong membuat Ruha semakin mempercepat langkahnya untuk kesana.

"Alby! Lo disini?" panggil Ruha begitu sampai depan toilet. Ia mengetuk pintunya pelan, tapi tak ada jawaban. "Kayanya ngga di toilet ini," gumamnya lantas berbalik.

Ia lanjut untuk mencari di tempat lain. Yang ia ingat toilet satunya berada dekat dengan kamar Ibu Panti. Dan itu cukup jauh dari sini. Jadi rasanya mustahil juga Alby akan ada di sana. Sontak ia menghentikan langkahnya.

"Apa gue telepon aja ya. Semoga aja Alby bawa ponselnya." Ruha merogoh ponsel di saku celananya lantas men-dial nomor Alby. Butuh beberapa waktu untuk panggilan itu berdering.

Drrrttt~ Drrrttt~

Kepala Ruha spontan menoleh kearah suara dering ponsel tersebut. Terdengar sangat dekat. Ia melangkahkan kakinya mengikuti suara itu yang ternyata dari dalam toilet sebelumnya. Sontak saja ia membuka pintu toilet tersebut.

"Alby!"

Sosok Alby berada di dalam toilet. Berjongkok di depan closet dengan tubuh bergetar. Ruha langsung mendekat dan memegangi tubuh Alby yang ingin tumbang. Ada bekas muntahan di sekitar closet. Di tambah wajah Alby yang pucat jelas bukan keadaan yang baik-baik saja.

"By, mana yang sakit? Bilang sama gue!" Ruha dengan cemas mengusap-usap punggung Alby dan peluh pada kening bergantian.

Alby terus mengernyit menahan sakit, dengan satu tangan memukul pelan area dadanya yang terasa sesak. Nafasnya memburu tak teratur. "Dada gue sakit, Ru..." lirihnya.

Ruha bertambah cemas saat tau kalau sakitnya Alby kambuh. "Udah minum obat?"

"Udahh... ta-pi, keluar lagi pas m-muntah." Alby semakin tak bisa menahan sesak di dadanya. Setiap tarikan nafas yang ia ambil terasa sangat sulit.

"Atur nafas lo pelan-pelan, By. Jangan pukulin dadanya terus," ujar Ruha, tangannya refleks menahan tangan Alby yang ingin kembali memukul dada dan menarik tubuh Alby agar bersandar padanya.

Ruha memilih duduk di lantai yang beruntungnya tak basah, kemudian menopang tubuh Alby di dadanya. Tangannya membantu memijit dada Alby berharap bisa mengurangi rasa sakit yang Alby rasakan.

"Nafas pakai mulut!" perintah Ruha. Alby langsung menurut dan mencoba menarik oksigen lewat mulutnya. Matanya yang semula memejam sedikit terbuka sayu menatap wajah Ruha di atasnya.

"Ngga bisa... hhah..." Alby menggelengkan kepalanya dengan panik. Air matanya turun saat itu juga. Dadanya benar-benar terasa sangat menyakitkan.

"Lo harus tenang, By. Jangan panik! Ambil nafasnya pelan-pelan." Dengan penuh perhatian Ruha terus mengusap kepala dan dada Alby. Ia memandu Alby untuk mengambil nafas dengan pelan.

Untuk beberapa waktu, akhirnya nafas Alby kembali normal. Meski masih terdengar sedikit berat. Tubuh Alby yang melemas bertumpu sempurna pada Ruha. Tenaganya terkuras habis saat muntah tadi, ditambah sesak nafas. Dan lagi nyeri pada dadanya yang masih belum reda.

"Sakit..." lirih Alby parau.

Di saat seperti ini Ruha selalu mengingat cerita dari tante Renata. Semua penyebab Alby menjadi sakit yang tak lain ayah kandung Alby sendiri.

"Gue telepon tante Rena ya? Atau ke rumah sakit aja langsung?" tanya Ruha.

Alby menggeleng dalam pelukan Ruha, dengan tangan menggenggam erat pakaian depan Ruha setiap kali dadanya berdenyut menyakitkan. Ia menggigit bibirnya untuk meredam suara tangisannya.

"Bagi sakitnya sama gue, By. Lo bisa gigit tangan gue, salurin rasa sakitnya. Bila perlu lo bisa nangis yang keras... asal jangan mukulin dada lo kaya tadi." Tangan Ruha kembali menyeka keringat di wajah Alby dengan lengan bajunya.

Ia menangkup wajah Alby menatapnya. Wajah merah berurai air mata yang mencoba menahan tangis. Ruha melepas gigitan Alby pada bibirnya sendiri dengan ibu jari.

"Jangan redam rasa sakit dengan sakit yang baru. Kasihan bibir lo kalo digigit kaya gitu."

"Sakit..."

"Iya gue tau sakit. Gigit bibir gue aja."

Dengan perlahan Ruha mencondongkan tubuhnya. Ia menempelkan bibirnya pada bibir Alby, berharap Alby mau berbagi rasa sakitnya. Tapi Alby tak merespon apapun, hanya terus terisak kecil dengan dada yang naik turun. Ruha berganti mencium kening Alby. Mengusap terus kepala Alby sampai Alby tenang.

Ia mengubah posisi duduk Alby jadi saling berhadapan dengannya. Menaruh kepala Alby pada pundaknya, lantas terus mengusap belakang kepala Alby. Membiarkan Alby terus terisak memeluknya.

"Dulu Mama sering giniin gue waktu sakit. Dipangku, dielus kepala gue sampai akhirnya sakitnya hilang dan gue tidur."

Ruha bisa merasakan detak jantung Alby saat tubuh mereka benar-benar menempel seperti ini. Detakan yang sangat keras dan cepat. Organ itu pasti sangat menyakiti Alby sekarang.

"Coba buat tidur..." ujar Ruha.

"Takut..." Alby mengeratkan pelukannya pada tubuh Ruha. "Kalo tidur kaya gini takut ngga bisa bangun lagi..."

"Jangan bilang gitu, By. Tidur aja, nanti gue yang bangunin kalo udah waktunya bangun."

Setiap sakitnya kambuh, Alby pasti akan terjaga sepanjang malam sampai sakitnya reda. Ia takut setiap mencoba tidur saat jantungnya masih berontak, takut tak akan membuka matanya lagi.

Tapi kali ini ia menuruti ucapan Ruha. Mencoba memejamkan matanya di pundak Ruha. Ruha bilang akan membangunkannya nanti.

Butuh setengah jam sampai Ruha benar-benar yakin Alby sudah tertidur. Setengah jam itu pula ia tak berhenti mengelus rambut Alby. Detakan jantung Alby juga sudah kembali normal. Ia lantas berdiri perlahan menggendong Alby keluar.

"Kalian berdua barusan ngapain di toilet?"

Suara itu langsung menyambut Ruha saat baru melangkahkan satu kakinya keluar toilet. Aidan berdiri dengan wajah syok sambil menunjuk Ruha.

"Kenapa? Emang apa yang lo lihat?" datar Ruha.

"Kalian ciuman..." Aidan mundur dengan tertawa hambar. Ia yang tak sengaja melihat adegan Ruha dan Alby ciuman tentu merasa aneh. "Gila..."

Ruha mencoba tak memperdulikan Aidan dan berlalu begitu saja membawa Alby kembali ke ruang tidur mereka. Meninggalkan Aidan yang masih penuh dengan pikirannya sendiri.

...

Kamar laki-laki dan perempuan dibedakan. Anggota OSIS laki-laki harus berbagi satu ruangan untuk tidur bersama anggota Scorpion. Waktu Ruha sampai disana semuanya sudah tertidur beralaskan karpet lantai.

Ia membawa Alby ke tempat paling ujung yang kosong dan membaringkannya disana setelah mengambil satu bantal. Sebuah kernyitan muncul di dahi Alby saat Ruha menyelimutinya.

"Ketemu dimana si Alby?"

Riko yang terbangun karena suara gaduh yang ditimbulkan Ruha berdiri di belakang dengan wajah acak-acakan.

"Di toilet," balas Ruha.

"Tuhkan bener feeling gue. Tapi kenapa lama banget baru balik? Kalian ngapain dulu?"

Tak ada jawaban dari Ruha yang tengah sibuk menyingkirkan anak rambut Alby dari kening. Beberapa kali tangannya meraba leher dan telapak tangan Alby dibalik selimut.

Riko lantas mendekat, karena heran dengan Ruha yang lebih pendiam dari biasanya.

"Ko, sisa air panas tadi masih ada?" Ruha tiba-tiba bertanya.

"Kayanya masih ada di dapur. Buat apa?" jawab Riko sambil mengingat-ingat. Matanya tak lepas menatap Alby yang tak tenang dalam tidurnya. Baru sadar kalau wajah Alby terlihat pucat. "Jangan bilang si Alby sakit?" tebaknya.

Ruha mengangguk sambil menatapnya. "Badan Alby panas. Gue boleh minta tolong lo buat ambilin airnya sama kompresan?"

Tanpa diminta dua kali Riko langsung melesat pergi menuju dapur panti mengambil air hangat dan kompresan. Sambil menunggu Riko kembali, Ruha mengambil beberapa selimut lagi dan juga memeriksa tas bawaan Alby untuk mencari kaos kaki tambahan. Benar ada beberapa disana.

Dengan pelan ia memasangkan kaos kaki tersebut ke kaki Alby. Kemudian menambah selimut untuk menutupi tubuh Alby yang nampak kedinginan.

"Ru, ini air sama kompresannya!" Riko kembali dengan cepat membawa sebaskom air hangat dan segera ia berikan pada Ruha. Ruha yang dengan cekatan langsung mengompres kening Alby dengan air hangat tersebut.

"Si Alby kenapa bisa sakit?" tanya Riko yang memilih duduk di sisi lain Alby daripada kembali tidur.

"Kecapekan kayanya. Seharian ini dia terus main sama anak-anak panti. Tadi juga bantuin Ibu Panti beres-beres sama masak buat kita semua," jelas Ruha.

Riko mengangguk paham sambil menopang dagu melihat perhatiannya Ruha dengan Alby yang sakit. Selama berteman dengan Ruha baru kali ini ia melihat Ruha sepeduli itu dengan seseorang. Anak berandalan seperti Ruha yang biasa mengganggu orang lain, sudah berubah.

"Sialan gue iri," gumam Riko mendengus. Beruntungnya Ruha tak mendengar itu, kalau sampai dengar dirinya bisa diejek habis-habisan nanti.

"Lo ngga balik tidur, Ko?" celetuk Ruha.

"Lo sendiri ngga tidur?"

"Gue masih harus ngompres Alby."

Tiba-tiba Riko teringat sesuatu. Ia merogoh saku celana trainingnya mengambil plester penurun panas yang sempat ia ambil juga saat mengambil air dan kompresan.

"Daripada lo begadang semalaman gantiin kompresan Alby, mending pakai ini aja," ujarnya sambil menyodorkan benda tersebut pada Ruha.

Ruha menerimanya dengan senang hati, "Thanks, Ko!"

"Kalo gitu gue tidur duluan. Lo juga jangan lupa tidur, jangan Alby mulu yang lo pikirin," ujar Riko setelahnya menguap lebar dan segera kembali ke tempatnya tidur.

Ruha hanya membalas dengan deheman singkat. Ia mengganti kompresan di dahi Alby dengan plester penurun panas dari Riko. Setelahnya ikut berbaring di sebelah Alby sambil memeluk tubuh itu agar menambah kehangatan untuk Alby.

"Tidur nyenyak, By!"

Makasih yang udah vote dan komen.

(~ ̄▽ ̄)~

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip