Sakura Yang Kau Rindukan
Untuk kamu bulan purnamaku.
Sudah berapa tahun kita berpisah? Sudah berapa lama kita tidak bertemu? Mungkin sudah lama sekali sampai seluruh angka di kalenderku berhiasi lingkaran berwarna merah tua.
Kalau kamu bertanya apa yang paling aku rindukan, aku dengan jujur akan menjawab kamu.
Benar memang kamu yang selama ini aku nanti, kamu yang selama ini aku tunggu. Tapi mungkin setiap manusia memang memiliki tingkat kesabaran yang berbeda. Bukan, bukan aku yang tidak sabar menunggumu, aku hanya lelah.
Aku lelah selalu dihantui bayang-bayangmu, tanpa sedikit saja kabar darimu. Bagaimana kamu hari ini, apa yang kamu lakukan hari ini, siapa yang kamu temui hari ini, dan masih banyak lagi yang selama ini hanya selalu aku tanyakan dalam diam.
Aku terlalu lelah untuk berdiam diri tanpa sedikit saja tanda bahwa kamu akan datang. Bagaimana kalau kamu tidak akan pernah datang? Memangnya aku harus terus menunggumu seperti ini? Aku juga punya perasaan, aku juga ingin hidup. Aku bosan menjadi mati tak berdaya tanpamu.
Mungkin kamu benar, aku akan menyesali semua ini. Ya, pernyataanmu itu memang tepat sekali. Aku menyesal, aku menyesal telah menyiakan semua waktu yang kulalui dengan bayangmu hanya untuk seseorang yang membuatku hidup.
Dan sekali lagi kuyakinkan kalau kamu memang benar, meski aku hidup, apakah aku bahagia? Jawabannya tidak perlu lagi kusebutkan bukan? Kamu tahu, kamu benar benar tahu jelas bahwa aku sama sekali tidak bahagia.
Seharusnya aku bahagia, seharusnya. Tapi bagaimana aku bisa bahagia kalau aku justru menyakitimu?
Aku ingat bagaimana rupa wajahmu waktu itu, di sebuah kafe di sudut kota Paris. Salah satu lagu milik Westlife yang merupakan satu dari sekian lagu kesukaanmu itu mengalun dengan indahnya. Tidak bisa dipungkiri lagi kalau suara mereka benar-benar membuat hati tenang. Tapi tidak untukku.
Ah aku jadi mengingat malam itu, kamu mengirimiku sebuah pesan untuk menemuimu. Aku sama sekali tidak kaget ataupun heran, karena itu bukanlah pertemuan kita yang pertama setelah berpisah. Tapi malam itu, hanya karena sebuah berlian kecil mampu menyisakan kenangan buruk tentang kita.
Berlian itu bagaikan borgol, aku tidak bisa melepasnya begitu saja. Bukannya aku mengkhianatimu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkannya. Aku tahu memang salahku.
Seharusnya malam itu kita tertawa bersama sambil menyesap kopi hangat andalan kafe tersebut, pernah kukatan padamu kan kalau capuccino di kafe tersebut benar benar membuat lidahmu ketagihan? Benar, dua minggu yang lalu akhirnya kita bertemu, dan ketika aku berkata itu, kamu dengan sigap tanpa ba-bi-bu langsung menarik tanganku dan mengajakku ke tempat itu. Lalu terakhir kali kita bertemu, lagi-lagi kamu memintaku menemuimu di tempat itu, kafe itu, yang sejak saat itu telah menjadi suatu memori menyesakkan bagiku, mungkin juga bagimu.
Namun seketika keadaan kafe tersebut menjadi sangat kelam, sekelam cat berwarna coklat tua pada dinding kafe tersebut. Aku juga masih ingat saat pertama kali kita ke kafe itu, kamu memprotes karena tempatnya tidak elegan sama sekali, kuno dan lama.
Tapi setelah kamu menyesap capuccino milikmu, aku ingat ekspresimu yang begitu berbeda saat kamu pertama kali membuka pintu kaca kafe tersebut. Wajah murungmu berubah seketika menjadi senyum hangatmu.
Senyum hangatmu yang sehangat capuccino milikku itu mampu menciptakan suara letupan pada detak jantungku, aku bahkan takut kalau saja kamu bisa mendengar detak jantungku yang begitu cepat.
Sambil tersenyum kamu mengucapkan sebuah kalimat yang tidak pernah akan kulupakan seumur hidupku.
"Ada persamaan antara cappuccino dan kamu. Kalian berdua adalah referensi perasaan khas yang hanya dapat diracik oleh hati yang tepat. Kamu dan capuccino sama-sama hangat yang dapat membuatku tersenyum karenanya, cappuccino dan kamu itu seperti satu," katamu dengan nada serius yang baru pertama kali itu aku dengar, tidak lupa juga dengan senyum milikmu yang selalu membuatku menahan napasku seketika, refleks, aku tidak pernah mengerti mengapa aku melakukan itu.
Dan untuk yang kesekian kalinya aku membenarkan pernyataanmu bahwa aku salah mengenai dirimu dan hal-hal kecil yang kau berikan padaku.
Aku juga ingat malam itu kamu menanyakan arti dari perkataanmu setelahnya.
Aku tahu kamu tidak akan memberikanku kesempatan untuk berbicara sedikitpun. Tanpa perlu mendengar jawabanku kamu bertanya lagi padaku, terus menerus tanpa menuntut jawaban dari bibirku.
Karena aku tahu kamu yakin bahwa ada jawaban atau tidak pun, semuanya tidak akan bisa membalikkan keadaan, semuanya sudah berlalu.
Dan justru kamu yang meminta maaf padaku. Padahal aku lah yang menyakitimu, aku yang mengkhianatimu.
Aku begitu egois hanya memikirkan perasaanku, padahal jauh disana kita sama sama menunggu. Aku terlalu lemah sehingga menyerah meski belum memulainya.
Dan aku pun ingat bagaimana terakhir kalinya kamu bertanya padaku, "Apakah capuccino hangatku saat ini diracik dengan hati yang tepat?"
Kamu tahu jawabannya. Tidak ada yang tepat dihatiku selain kamu. Aku merutuki diriku sendiri yang bahkan sedikitpun tidak dapat menjawab pertanyaanmu.
Dan aku menyesali seumur hidupku telah membuatmu tertawa dengan mata sendu yang terlukis di wajahmu, senyummu yang tidak bisa aku mengerti. Kamu berkata padaku. "Ah, Kamu bahkan bukan capuccino milikku."
Seharusnya malam itu kita berkeliling kota, menikmati indahnya malam di kota Paris, tapi justru kita sama-sama berjalan berlawanan arah. Tanpa kulihat kamu membalikkan badanmu ke arahku, bahkan sekali saja sebelum kamu benar-benar pergi, aku hanya mampu terdiam memerhatikan punggungmu yang menghilang di ujung jalan dan tertutupi kabut malam, seakan memang setelahnya aku harus menangisimu tanpa ada kamu lagi yang akan menyeka air mataku.
Kamu pergi, membawa serpihan hati yang telah kita patahkan bersama-sama, meninggalkanku dengan sepotong kenangan sendu akan dirimu.
Kita saling mencintai, tapi entah mengapa saling menghancurkan. Kita sama-sama ingin bersatu, entah mengapa rasanya berat sekali.
Kita sama-sama merindu, meski melabuh pada hati yang lain, dan kenyataannya bukan itu yang kita inginkan. Hidup kita bukan lagi rangkaian impian masa kecil yang kamu janjikan padaku. Aku menghancurkannya dan kamu memutuskannya.
Dari Sakura yang kau rindukan.
[Paris, 2015]
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip