She's Gone
kabar baik untuk kita semua akun psychoxls sekarang menulis short story. Kabar baik bukan sih? He abaikan.
Jadi ini kumpulan cerpen yang kubuat. Awalnya sih buat ikutan event//challange. Tapi tak apa hanya ingin berbagi... semoga suka!!^^
-------
Cinta kita begitu sederhana.
Kamu, pensil, dan aku
Hari sudah semakin sore. Matahari sudah enggan menampakkan wujudnya. Langit biru berganti menjadi jingga. Ditambah setumpuk tugas yang tersebar berantakan diatas meja kayu cokelat muda ini.
Pukul empat sore dan keadaan sekolah sudah mulai sepi. Ray Alvano terdiam dengan semua hadiah ini dan hanya memainkan pensilnya tanpa menyentuh tumpukan kertas yang sebagiannya sudah tak berbentuk lagi atau bahkan sudah terbelah dua.
Sesekali ia mengecek ponselnya, menunggu balasan pesan yang dikiriminya beberapa menit lalu, namun nihil, tidak ada satu balasan pun.
Ray mengutuk dirinya sendiri dengan semua tugas ini dan menggerutu tak henti. Terus begitu hingga hampir saja ia ingin melempar semua kertas memuakkan di hadapannya itu.
Tidak setelah suara derap kaki terburu-buru menuju sebuah ruangan yang ditempati Ray saat ini, tempat menunggu lebih tepatnya.
"Aduh Ray, maaf banget... tadi aku... ada kumpul."
Tubuh mungil, pipi merah, rambut lurus se-bahu dan manik hitam legam milik perempuan yang saat ini tengah berdiri di hadapan Ray mampu membuat semangat Ray bertambah tujuh kali lipat. Dan semua rasa kantuknya menguap begitu saja.
"Nyantai Kei... tarik napas dan buang." Ray menginstruksikan dengan menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan. Perempuan itu mengikutinya secara refleks yang langsung dihadiahi tawa pecah Ray.
"Apaansih Ray, sebel!! lagi kaya gini masih jailin aku, masih untung aku mau bantu kamu kesini, cape tau lari dari lapangan ke lantai tiga, lagian ya Ray kelas kita tuh di lantai dua... kamu ngapain ngungsi dikelas kosong kaya gini? Mau bunuh setan apa kamu?" Perempuan itu berbicara tanpa henti dan membuat Ray bungkam. Entah diam menahan geli atau tidak mau lagi mendengar lanjutan ucapan perempuan itu.
"Cerewet banget yaampun Kei."
Kini giliran perempuan itu tertawa keras seraya memegangi perutnya yang sakit. Ray menaikkan sebelah alisnya. "Kamu kenapa lagi?" Tanyanya.
"Ih galucu banget sih setan gabisa dibunuh hahaha."
Krik.
"Untung Aku sayang kamu loh Kei, kalo ga udah aku tinggalin kamu sama makhluk di sini biar bisa buat kelompok paduan suara."
"RAYYYYYYY IHHHHH GASEREMMM BODOAMAT AKU MAU PULANG."
"Eh eh jangan pulang dong... sini duduk." Ray menepuk kursi di sebelah-nya yang kosong dan perempuan itu dengan patuh mengikutinya.
"Ayolah buruan udah jam segini aku mau nonton masa depan." perempuan itu membuka suaranya setelah menaruh ranselnya disamping kursi yang ia duduki.
"Nontonnya sekarang aja, ada didepan mata juga." Ray mengedipkan sebelah matanya yang dibalas cubitan di pinggangnya.
"Jiji." Perempuan itu mendelik dan tertawa geli.
"Udah ah, mana yang kamu gangerti?" Perempuan itu memecahkan topik pembicaraan mereka yang tidak berujung.
"Semua," Ray membalas pertanyaannya dengan polos. Perempuan itu menghela napas lalu mulai membantu Ray mengerjakan tugasnya dari awal, dari dasar dan bahkan mengajarinya menulis dengan benar. Karena tulisan Ray yang tidak jelas bentuknya.
45 menit berlalu, dan semuanya selesai. Perempuan itu mengemasi alat tulisnya dan buku catatan yang ia gunakan sebagai referensi mengajarnya. Begitupun Ray mulai memasukkan seluruh alat tulisnya secara sembarangan kedalam tas hitamnya. Dan berhenti ketika hendak memasukkan pensil bergaris hitam dan merah dengan penghapus kecil di ujungnya yang masih bersih. Pensil itu belum diserut, bahkan sekalipun.
Pada pensil itu terukir sebuah nama. Kezia Qairen Nafeeza.
"Kamu masih simpen pensil aku?" Perempuan itu--Kezia menarik pensil yang dipegang Ray dan mengamati setiap sisinya.
"Wow, masih bagus?" Kezia membelalakkan matanya tidak percaya. Bagaimana mungkin seorang Ray Alvano bisa menjaga barangnya sendiri?
"Iyalah masa iya aku buang," Ray membalas dengan cengiran lebar.
"Ini cuma pensil Ray." Kezia mengembalikan pensil itu ditangan Ray dan memasang ransel cokelat miliknya dipundak kanannya.
Ray menahan Kezia yang hendak berdiri dari kursinya. "Pensil ini bukan cuma sekedar pensil." Ray tersenyum simpul dan itu mampu membuat seluruh kerja otak Kezia berhenti seketika. Tidak juga, mungkin seperti kupu-kupu beterbangan di perutmu atau seketika terasa panas menjalar hingga ke wajah.
Kezia mengingat bagaimana pensil ini mampu mempertemukan mereka, menyatukan mereka, hingga saat ini, detik ini, dan seterusnya.
"Pensil kita? Dimulai dari kamu yang sering pinjem pensil aku, dan suatu hari aku pinjemin pensil berharga aku ini dan Kamu bilang kalau pensilnya hilang?" Kezia memulai cerita dengan tawa kecil di akhirnya.
"Yang kamu gatau itu kalau pensil itu aku simpen karena ada nama kamunya, terus kamu marah sama aku dan gamau ngomong sama aku selama sebulan dan itu hampir buat aku frustasi." Ray menambahkan dan ikut tertawa pelan.
"Sampai aku nemuin pensil ini lagi dipegang kamu dan dipandangin terus sama kamu selama pelajaran sejarah dan akhirnya kamu dimarahin Bu Dinah karena ga fokus sama pelajaran."
"Dan Kamu dengan polosnya nunjuk Aku terus teriak. 'Pensil gue ko ada di lo sih Ray?'"
"Dan Kamu masih keukeuh kalo itu bukan pensil aku padahal aku jelas tau kalau itu pensil aku."
"Akhirnya aku ketauan ambil pensil itu dan kamu nyebut aku klepto selama seminggu yang buat aku semakin frustasi."
"Aku bilang gitu karena kamu tetep gamau balikin pensilnya, kamu emang nyebelin Ray."
"Tapi akhirnya kamu kasih ke aku juga kan pensilnya?"
Tawa Kezia pecah seketika, mengingat kembali bagaimana pensil itu menyatukan mereka.
"Iya dan kamu akhirnya balikin pensil itu dan...."
Kezia berhenti melanjutkan cerita mereka dan tersipu malu. Bahkan mengingat cerita itu saja mampu menciptakan sensasi aneh dalam hatinya bahkan letupan-letupan aneh pada jantungnya, Kezia hampir saja takut kalau Ray bisa mendengarnya.
Karena setelah kejadian itu, sepulang sekolah pukul empat sore didepan gerbang sekolah. Ray Alvano, seseorang yang 'katanya' dingin dan cuek akhirnya menyatakan perasaannya pada seseorang, Kezia. Caranya agak sedikit aneh, dengan membandingkan Kezia dan pensil.
Mungkin terdengar konyol... dan basi. Bahkan Kezia masih mengingat bagaimana ekspresi Ray saat itu, dan bagaimana dirinya yang langsung tertawa keras setelah mendengar ucapan Ray, padahal tawa keras itu hanya untuk menutupi kegugupannya.
"Kamu tau perbedaan kamu dan pensil?" Ray mengulang kalimat yang ia tanyakan dulu pada Kezia.
Tanpa menunggu Kezia menjawabnya, Ray langsung melanjutkan kalimatnya, "Kalau pensil bisa membuat kata kata indah di kertas, kalau pamu bisa membuat cerita yang indah untuk hidup aku."
Kata-kata yang sama yang diucapkan Ray dulu tidak dapat membuat Kezia menutupi semburat merah di pipinya.
Mungkin Ray tidak sepintar Albert Einstein, tidak setampan Ansel Elgort, atau tidak seromantis Gong Tae Kwang di drama favorit Kezia. Bahkan kata-kata Ray itu kadang terkesan menggelikan dan berlebihan. Tapi setidaknya kehadiran Ray dalam hidupnya sudah lebih dari kata cukup.
"Jadi, mau kan kamu terus jadi pensil aku yang menuliskan cerita kita selamanya?" Ray bertanya lagi dan dihadiahi anggukan serta senyum simpul yang menghiasi wajah Kezia yang mulai semakin memerah.
"Tapi, aku gabisa terus jadi pensil kamu, karena suatu hari nanti pensil itu akan habis diraut karena terlalu banyak menuliskan cerita."
BRUKKK.
Suara buku berjatuhan menusuk gendang telinga Ray dan membangunkannya dari alam mimpi. Butiran bening membasahi pipi Ray tanpa ia sadari.
Semuanya mimpi.
Ray memandangi pensil yang sedari tadi ia genggam. Seraya mengusap air mata yang hendak turun lagi, Ray tersenyum masam. Karena Kezia, pergi meninggalkannya.
Seperti pensil. Suatu hari akan habis dan hilang. Sama seperti yang Kezia ucapkan, Kezia adalah pensilnya, namun bukan untuk selamanya.
***
a/n : ABSURD PARAH. Btw, idenya muncul pas lagi ngerjain tugas .. /gada yang nanya oke sip.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip