Chapter 1
Kerajaan Qua-Toyne. Pelabuhan di Utara Kota Perdagangan Maihark.
Pelabuhan yang terletak di sebelah utara Kota Perdagangan Maihark agak terpisah dari kota, tetapi karena berafiliasi dengan Maihark, pelabuhan itu disebut Pelabuhan Maihark.
Di Pelabuhan Maihark tersebut, terdapat sebuah pangkalan di mana Armada ke-2 Angkatan Laut Kerajaan Qua-Toyne dibungkus dengan ketegangan yang di atas biasanya. Asal mula ketegangan ini adalah peristiwa yang terjadi 3 hari yang lalu. Sebuah benda besar tak dikenal dengan mudah melintasi jaringan pertahanan udara skuadron naga terbang yang dimiliki Kerajaan dan berputar-putar di atas Maihark. Karena tidak melakukan serangan apapun, benda itu diduga sedang melakukan pengintaian, tapi masalahnya, unit itu jelas bukan dari Kerajaan Louria. Selain itu, tidak ada laporan tentang keberadaan unit tersebut di Negara adidaya Wilayah Peradaban Ketiga, Kekaisaran Papardia. Pertama-tama, ada kemungkinan bahwa unit itu tidak berafiliasi dengan negara mana pun.
Meski begitu, itu adalah fakta bahwa Kerajaan telah diintai oleh keberadaan tak dikenal, yang melipatgandakan ketegangan militer.
Karena Militer Kerajaan Qua-Toyne dalam keadaan siaga tinggi, semua kapal perang dikerahkan untuk tugas patroli lepas pantai. Skuadron Wyvern Keenam juga melipatgandakan kewaspadaan mereka terhadap jaringan pengamatan mereka lebih dari sebelumnya.
Situasi patroli dari segala penjuru dilaporkan secara rutin ke Ruang Kontrol Pertahanan Maihark.
Tidak ada kelainan tertentu dan mereka tidak mendeteksi apapun.
"Apa pendapat Komandan Nouka tentang bentuk sebenarnya dari objek tak dikenal itu?" Perwira muda itu bertanya pada Komandan.
"Hmm...... Karena aku tidak melihatnya, aku tidak bisa mengatakannya. Hanya saja, jika itu hanya dilihat oleh satu Ksatria Wyvern, maka itu akan berakhir tidak lebih dari gosip kosong. Tapi setiap anggota Skuadron Wyvern Keenam telah menyaksikannya, terlebih lagi, ada laporan saksi mata dari warga Maihark dan Korps Ksatria. Paling tidak, objek tak dikenal itu pasti ada." Nouka melanjutkan deduksinya seolah-olah dia sedang mengatur pikirannya.
"Tidak ada negara di timur, dan di timur laut, ada sekelompok pulau dengan pemukiman, namun dari laporan, tidak ada yang memiliki unit semacam itu. Ada kemungkinan itu dari Kerajaan Louria atau Kekaisaran Papardia di Wilayah Peradaban Ketiga, tapi berdasarkan persenjataan kedua negara yang telah dicatat sampai sekarang, tidak ada yang memiliki karakteristik seperti itu. Kami tidak dapat mengesampingkan kemungkinan bahwa itu adalah unit yang baru dikembangkan, tetapi bentuknya sangat tidak biasa. Intuisi saya mengatakan, bahwa ini bukan milik salah satu dari keduanya." Perjelas Nouka ke anak buahnya.
"Begitu, huh......" Perwira muda yang belum berpengalaman itu, tidak bisa menyembunyikan kegelisahannya dan menurunkan bahunya.
Seolah-olah dipicu oleh kegelisahan itu, operator komunikasi berteriak dengan keras.
"Komandan! Komandan!"
Ekspresi komandan dan perwira muda itu diwarnai dengan ketegangan dan saling menatap ke arah operator komunikasi.
"Laporan dari kapal perang Pima! Terdeteksi kapal besar tak dikenal. Lokasi saat ini, 60 km utara dari Pelabuhan Maihark. Akan mendekati kapal dan melakukan pemeriksaan di dalam kapal."
"Kapal besar....?" Nouka nampak heran.
Apa yang mereka temukan bukanlah objek tak dikenal, jadi komandan membuat ekspresi ragu. Namun, bisa dipastikan bahwa pihak ini memiliki hubungan dengan masalah yang disebutkan di atas.
"Jika mereka hanya mendeteksinya, maka masih belum jelas jenis kapal apa itu.... Kapal Perang Pima adalah kapal Kapten Midori, kan? Perintahkan mereka untuk melapor segera setelah mereka membedakan kapal itu, berikan banyak perhatian saat memeriksa kapal tanpa insiden apapun, setiap hal yang mencurigakan harus diselidiki secara menyeluruh." Perintah Nouka dengan tegas.
"Ya, Pak!" Perintah tersebut kemudian disampaikan dengan baik ke kapal perang Pima oleh operator komunikasi.
Kerajaan Qua-Toyne. 60 km Utara dari Pelabuhan Maihark.
Kapal perang Pima yang merupakan bagian dari Armada ke-2 Angkatan Laut Kerajaan Qua-Toyne, saat ini sedang menuju ke arah kapal besar yang aneh itu.
Layar dikibarkan sepenuhnya, angin yang tertangkap diubah menjadi tenaga kinetik, sementara dayung didorong keluar dari kapal dan didayung sesuai irama drum.
Kapal perang sudah beralih ke kesiapan tempur. Semua kru mengenakan baju besi kulit. Awak kapal yang bersenjatakan pedang sudah bersiap di dek atas dan menyiapkan busur mereka. Perisai kayu untuk menangkal anak panah berjejer di dek atas, dan ballista besar dipasang di sisinya. Ada juga beberapa toples minyak yang ditempatkan di dekatnya untuk serangan panah api. Mereka siap untuk terjun ke medan perang kapan saja.
Sambil menjaga kesiapan ini, kapten kapal Midori menjadi pucat melihat kapal besar tak dikenal yang semakin mendekat. Mungkin dia menyadari alasan mengapa mereka belum juga tiba bahkan setelah mereka telah mendekatinya selama beberapa waktu.
"Kapten, mungkin kapal tak dikenal itu menyadari kalau kita mendekat sehingga mereka tiba-tiba mengurangi kecepatannya." Wakil Kapten berkata sambil melihat ke kejauhan.
Midori mulai berbicara pada Wakil Kapten yang belum menyadari situasi tersebut.
"Benar sekali, Wakil Kapten, saya akan memimpin rombongan inspeksi. Jika terjadi sesuatu, saya serahkan perintah pada anda." Kata Midori yang sudah menerima takdir apapun yang diberikan padanya.
"Ya, Kapten...... Apakah ada sesuatu yang kamu khawatirkan?" Tanya Wakil kapten dengan khawatir.
Karena Midori menatap kapal besar itu dengan ekspresi yang tidak berubah, Wakil Kapten juga menatap kapal besar itu.
Tak lama kemudian, akhirnya dia juga menyadari kebenaran mengapa mereka belum juga sampai di kapal itu meski sudah mendekat sejak beberapa waktu lalu. Hanya siluet kapal yang perlahan-lahan menjadi semakin besar. Saking besarnya, mereka sempat salah menghitung jarak antar kapal.
".....Wakil Kapten. Bukankah ukurannya sudah melewati standar kapal normal?" Midori berkata dengan berkeringat dingin.
"Ya, aku juga tidak bisa melihatnya selain sebuah pulau kecil yang mengambang." Si Wakil membalas, sama-sama pucat pasi.
Midori dan wakil kaptennya berdiri di atas geladak, tubuh mereka terdiam kaku di bawah sinar mentari yang terik. Di depan mereka, sebuah kapal perang raksasa mendominasi cakrawala, menjulang seolah-olah memotong langit dan lautan dengan keelokan sekaligus kekuatan yang menggetarkan hati. Kapal itu begitu besar—panjangnya mencapai empat ratus meter, seperti monster laut purba yang bangkit dari kedalaman untuk mengancam dunia yang mereka kenal.
Detik-detik berlalu dalam keheningan yang memekik, dan akhirnya Midori memaksakan diri untuk berbicara, suaranya sedikit bergetar. "Tampaknya... ada bendera berbentuk Segi Lima berwarna merah putih yang berkibar di atas sana. Apakah kau pernah melihat simbol seperti itu?"
Wakil kaptennya menatap dalam kebingungan, matanya terpaku pada bendera aneh tersebut. "Tidak... aku tak pernah melihat atau mendengar bendera seperti itu. Segi Lima warna merah putih... begitu sederhana namun penuh arti."
Midori mengangguk, masih mencoba memahami apa yang tengah mereka saksikan. "Lalu, negara mana yang bisa memiliki kapal sebesar ini?"
Wakil kapten menggeleng, ingatannya berputar pada pengalaman sebelumnya. "Aku pernah pergi ke Kekaisaran Papardia untuk latihan, dan bahkan dibandingkan dengan 'Kapal Perang Kelas 100 Meriam Kekaisaran' yang sering disebut sebagai senjata pamungkas... kapal ini lebih besar, lebih megah, seperti karya dari mimpi atau legenda."
Para kru kapal Pima tak mampu berkata apa-apa saat mereka menyaksikan kapal besar itu semakin mendekat. Jantung mereka berdegup kencang, mata-mata mereka tak berkedip, seolah takut berkedip berarti kehilangan kesempatan menyaksikan keajaiban atau kutukan yang sedang mendekat. Tak lama kemudian, dari geladak kapal raksasa itu, muncul puluhan sosok yang bersinar, tubuh mereka memancarkan cahaya berkedip seperti bintang yang menari di tengah lautan gelap. Para kru kapal Pima berjaga-jaga, meyakini bahwa cahaya itu pertanda serangan. Namun, alih-alih senjata, sosok-sosok itu mengangkat tangan mereka, melambaikan isyarat damai yang tertahan di udara.
Dengan penuh kewaspadaan, Kapten Midori membalikkan badan, memandang para krunya dengan sorot mata yang tetap kokoh namun penuh ketenangan.
"Jaga posisi kalian," suaranya tenang, namun dalamnya seolah bergema hingga ke tulang-tulang. "Apa pun yang akan kita hadapi, kita akan hadapi bersama. Bersiaplah menghadapi yang tak terduga."
Di balik ketegasan itu, tersirat kekaguman yang tak terucapkan, seperti laut yang menyimpan kedalaman rahasia, seperti angin yang berhembus tanpa suara di atas lautan tanpa batas. Kapal itu, sebuah monumen dari dunia yang asing, datang membawa tanda-tanda yang tak bisa dipahami. Di tengah debaran dan keterkejutan, mereka tahu—sebuah babak baru telah terbuka di hadapan mereka, misterius dan megah seperti samudra yang tak terduga.
"Aku akan segera mengirim tim pemeriksa untuk naik ke kapal itu. Kecuali ada perintah dari ku, atau kapal mereka menyerang, jangan pernah menyerang kapal monster itu, mengerti? Selain itu, afiliasi kapal lain masih belum diketahui, mungkin kapal itu milik negara yang baru muncul. Karena ini bisa menjadi pertukaran internasional, aku melarang sikap mengintimidasi yang ceroboh, apa kau mengerti?!" Midori dengan tegas berkata.
"Ya, Pak!"
Kapten Midori kemudian dipandu oleh kru kapal besar, menaiki kapal besar itu...
Di bawah terik matahari siang yang memantulkan sinar tajam di permukaan laut, KRI Kutai melaju dengan penuh semangat. Di belakangnya, kapal perusak berbaris dalam pengawalan yang hati-hati, melindungi namun menjaga jarak agar kehadiran mereka tak terlalu kentara. Para kru Kutai merasa dadanya berdebar tak menentu, campuran antara rasa penasaran, kegembiraan, dan ketakutan akan apa yang mungkin mereka temui di dunia yang asing ini.
Ketika layar kecil itu mulai tampak dari kejauhan, suasana di atas Kutai berubah. Radar tak salah—di hadapan mereka, sebuah kapal layar kuno bergerak pelan, terpahat sempurna seperti lukisan dari masa lalu yang muncul di tengah laut biru. Mata para kru terbelalak saat melihatnya, dan kegemparan kecil mulai menyebar di antara mereka. Kapal itu penuh detail yang asing namun memukau; di deknya tampak perisai kayu berderet, berjaga-jaga seperti benteng, dan toples-toples minyak yang disusun seolah siap digunakan dalam pertempuran.
Namun, yang paling menarik perhatian adalah barisan prajurit berbaju zirah yang berdiri tegak di atas kapal itu, menyusun formasi kaku, tatapan mereka campuran antara kebingungan dan ketegangan. Para kru Kutai menatap mereka dengan penuh rasa ingin tahu dan sejumput kecemasan. Dunia yang mereka hadapi begitu berbeda, jauh dari semua yang pernah mereka lihat. Ada bisikan kecil di antara mereka—tanda-tanda ini seperti dari peradaban yang mereka pikir hanya ada dalam buku-buku sejarah, seolah-olah waktu sendiri telah berbelok di sini.
Dengan jantung berdebar, komandan memerintahkan kapal untuk melambat, dan tangga gang diturunkan dengan perlahan, sebuah jembatan yang menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Kru tak bersenjata berdiri berjajar, melambai ramah pada kapal layar itu. Mereka memberi isyarat bagi para prajurit berbaju zirah untuk mendekat, tangan mereka bergetar sedikit karena gugup bercampur antusiasme. Inilah momen yang tak pernah mereka bayangkan: kesempatan untuk melihat peradaban kuno dari dekat—dan sekaligus rasa gentar akan apa yang mungkin terungkap dari pertemuan ini.
Satu per satu, penduduk asli dunia ini pun menaiki tangga menuju dek KRI Kutai, mata mereka membelalak saat melihat teknologi dan bentuk kapal yang begitu jauh dari dunia mereka. Para kru Kutai memperhatikan dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, rasa ingin tahu mereka membara, menginginkan jawaban atas misteri yang berada di hadapan mereka; di sisi lain, ada kekhawatiran terselubung—tak ada yang tahu apa konsekuensi dari pertemuan ini.
Di bawah sinar matahari siang yang menyilaukan, para penduduk asli itu akhirnya berdiri di dek KRI Kutai, menghadap diplomat yang menanti mereka. Para kru, yang biasanya tenang, kini berbisik-bisik, perasaan mendebarkan mengisi udara. Ini adalah awal dari perjumpaan yang akan dikenang. Dalam hati kecil mereka, setiap kru tahu bahwa sejarah baru saja terbuka di depan mata mereka, dan dunia mungkin takkan lagi sama.
Midori berdiri terpaku, matanya menyapu dek kapal yang terhampar luas seperti padang terbuka. Rasa bingung memenuhi pikirannya—apakah ini benar-benar bagian atas sebuah kapal? Ukurannya begitu luar biasa besar, hingga ia bisa membayangkan medan ini menjadi arena pertempuran kavaleri, bahkan ruang untuk ribuan prajurit berbaris rapi. Dek kapal ini bukanlah sesuatu yang ia kenal atau bahkan mampu ia bayangkan sebelumnya.
Di tengah lapang dek tersebut, berdiri beberapa orang yang mengenakan pakaian asing. Tidak satu pun dari mereka membawa senjata, namun tampak wibawa tenang di setiap gerak mereka. Salah satu dari mereka, pria dengan pakaian halus yang tampak seperti pejabat atau pemimpin, melangkah maju. Midori merasakan jantungnya berdegup kencang, perasaan cemas dan waspada berbaur dengan rasa penasaran. Orang-orang ini jelas berbeda, seperti datang dari dunia yang lebih maju atau mungkin dari dimensi lain. Namun, meski rasa takut berkecamuk dalam dirinya, pihak di depannya tidak menunjukkan tanda-tanda ancaman atau niat buruk.
Midori melirik sekeliling. Dek yang kosong ini terasa penuh misteri—jika kapal ini begitu besar, pasti ada banyak kru tersembunyi di balik struktur baja raksasa ini. Terlintas di benaknya, seandainya kelompoknya mencoba menyerang atau melawan, mereka mungkin akan kalah dengan cepat dan tak bisa kembali dalam keadaan hidup.
Namun, tatapan damai dan sikap sopan pria di depannya memberi sedikit ketenangan. Dengan mengumpulkan seluruh keberanian dalam hatinya, Midori menarik napas dalam-dalam, mengusir ketakutan yang sempat mencengkeram, dan melangkah maju untuk berbicara. Dalam detik-detik itu, ia merasa seolah berdiri di antara dua dunia, seperti seseorang yang telah melintasi batas dari kisah lama ke dunia baru yang penuh teka-teki dan janji-janji yang tak terucapkan.
"Saya Kapten Midori dari Kapal Perang Pima, Armada ke-2 Angkatan Laut Kerajaan Qua-Toyne. Saat ini Anda berada di perairan yang berdekatan dengan wilayah laut Kerajaan Qua-Toyne. Jika Anda melanjutkan melampaui titik ini, Anda akan memasuki perairan teritorial kami. Bisakah Anda menjelaskan kewarganegaraan kapal Anda dan maksud dari pelayaran Anda?"
Ketika Midori selesai berbicara, ia melihat pria di depannya, bersama dengan orang-orang di sekelilingnya, saling bertukar pandang dengan ekspresi kaget yang sulit disembunyikan. Beberapa bahkan tampak menahan napas, tatapan mereka berkilat dengan rasa tak percaya.
“Apa-apaan?! Dia mengerti bahasa Indonesia!” gumam salah seorang dari mereka, cukup keras hingga terdengar oleh Midori.
Midori tertegun. Apa yang mereka kagumi, ia tak sepenuhnya mengerti. Bahasa Indonesia, bagi dirinya, hanya sebuah alat komunikasi di antara banyak bahasa yang ia kuasai. Namun, pria yang tampak sebagai pemimpin kelompok itu segera melangkah maju, dengan tenang dan sopan menjawab.
"Maafkan kelalaian kami dalam menyampaikan maksud dengan jelas sebelumnya. Nama saya Hudson, seorang diplomat dari negara bernama Indonesia. Pemerintah Indonesia, negara kami, ingin menjalin hubungan diplomatik dengan negara Anda, yang saya asumsikan bernama Kerajaan Qua-Toyne. Kami berharap dapat mengawali hubungan ini dengan niat baik dan persahabatan. Apakah Anda berkenan menyampaikan maksud kami kepada pemimpin di negara Anda?"
Midori menatap Hudson, kata-katanya perlahan terpatri dalam benaknya. “Artinya… Anda adalah utusan dari suatu negara?”
Hudson tersenyum tipis dan mengangguk. "Ya, benar. Saya perwakilan resmi. Orang-orang di belakang Anda tampaknya sedikit tegang, tapi kami tidak punya niat bermusuhan, jadi saya harap Anda dan rekan-rekan Anda bisa tenang."
Kata-kata Hudson memberikan efek menenangkan. Ketegangan yang sempat melingkupi para bawahan Midori sedikit mereda, dan mereka mulai mengendurkan postur, walaupun masih memandang dengan tatapan penuh kehati-hatian. Namun, rasa ingin tahu Midori masih membara, pertanyaan yang tertahan sejak beberapa hari lalu akhirnya muncul di bibirnya.
“Saya mengerti. Saya akan menyampaikan niat Anda kepada pihak Kerajaan kami. Namun, saya memiliki satu pertanyaan yang ingin saya ajukan. Beberapa hari lalu, ada unit yang muncul di wilayah udara di atas Maihark di negara kami… Apakah itu milik negara Anda?” tanyanya dengan nada penuh kehati-hatian namun penasaran.
Hudson tampak sedikit tersentak mendengar pertanyaan itu, namun wajahnya segera tenang kembali, memberi tanda bahwa ia bersedia menjawab sebaik mungkin. Para kru kapal Pima menahan napas, terpaku pada percakapan yang terasa bagaikan pintu gerbang menuju pengetahuan baru, dan mungkin, era baru yang akan menghubungkan kedua dunia.
"Ksatria...?" Hudson bergumam, mencoba memahami maksud dari kata itu.
Hudson sadar apa yang dimaksud, lalu dengan tenang, kemudian menjelaskan. "Jika yang Anda maksud adalah V-34 Bangau dari negara kami, maka benar adanya. Mengenai insiden itu, kami meminta maaf atas pelanggaran yang tidak disengaja. Harap Anda sampaikan permintaan maaf resmi dari pihak kami kepada negara Anda."
Midori terdiam sejenak, berusaha mencerna kata-kata Hudson. Istilah dan konsep yang disampaikan asing dan sama sekali baru, membuatnya sedikit ragu. Namun, setelah mengambil napas dalam-dalam, Hudson mulai menceritakan sesuatu yang tak pernah terbayangkan sebelumnya, sebuah kisah yang terdengar bagai dongeng atau legenda yang sulit dipercaya.
"Negara kami… tiba-tiba berpindah ke dunia ini,” Hudson melanjutkan dengan ekspresi serius. “Untuk memahami lebih jauh tentang dunia yang asing ini, kami mengirimkan sejumlah pesawat patroli untuk mengumpulkan informasi. Salah satu pesawat itulah yang akhirnya masuk ke wilayah udara negara Anda. Kami sungguh menyesal jika hal itu menyebabkan kegelisahan di pihak Anda."
Para bawahan Midori mendengarkan dengan ekspresi bingung dan takjub, saling memandang satu sama lain dengan tatapan bertanya-tanya, sementara tatapan mereka sesekali berpindah ke para personel Marinir yang mengawal diplomat itu. Semua ini terasa nyaris tak masuk akal—gagasan tentang sebuah negara yang berpindah ke dunia lain bagaikan cerita dari legenda atau fiksi. Namun, tatapan Hudson dan sikap serius orang-orang di sekitarnya tidak menunjukkan tanda-tanda kebohongan atau kelakar.
Midori menghirup udara, merasakan gravitasi dari apa yang baru saja didengarnya. Mungkin ini kisah yang sukar dipercaya, tapi ia tahu tugasnya adalah membawa kebenaran, seaneh apa pun itu. Sementara deburan ombak dan cahaya matahari mengiringi suasana di dek, Midori memutuskan bahwa untuk saat ini, ia akan melaporkan kata-kata ini apa adanya kepada pihak Kerajaan. Di hatinya, terselip ketegangan dan rasa penasaran, menyadari bahwa pertemuan ini bukanlah pertemuan biasa, melainkan awal dari sesuatu yang jauh lebih besar—sesuatu yang bisa mengubah nasib dunia mereka.
"....Saya mengerti, saya mengerti keadaan Anda. Kalau begitu, saya akan melaporkan niatmu pada negara kami, aku meminta kamu untuk menunggu." Kata Midori sambil menganggukkan kepalanya.
"Baik... Umm, berapa hari lagi kami harus menunggu?" Tanya Hudson penasaran.
"Ah, tidak. Saya akan segera melapor ke negara kami dengan Manacom dan meminta keputusan mereka, jadi tidak apa-apa untuk menunggu sebentar. Hal seperti ini tidak bisa diputuskan sendiri." Kata Midori sambil menenangkan Hudson.
"Saya paham... Terimakasih atas kepahaman anda, Pak Midori." Hudson tersenyum.
Kerajaan Qua-Toyne, Ruang Kendali Armada ke-2 Angkatan Laut.
"Komandan Nouka! Kiriman dari Kapal Perang Pima telah tiba!"
Nouka memutar tubuh, menatap Operator Radio dengan penuh antisipasi. "Bacakan laporannya."
Operator menghela napas dalam sebelum membacakan pesan yang penuh kejanggalan. "Dari hasil pemeriksaan di atas kapal besar tersebut, pihak lain tidak menunjukkan niat permusuhan. Di dalam kapal, ditemukan seorang diplomat dari negara bernama Indonesia yang mewakili niat pemerintahnya untuk menjalin hubungan diplomatik dengan Kerajaan kita. Adapun kapal tersebut memiliki panjang sekitar 400 meter dan lebar 50 meter—menurut pengamatan mata. Tidak ada indikasi layar atau dayung."
Nouka tercengang, matanya melebar seolah tak mempercayai apa yang baru didengarnya. Ukuran kapal yang disebutkan itu bukan sekadar besar—itu sudah seperti sebuah istana terapung, sesuatu yang mustahil dalam pemahamannya tentang pembuatan kapal.
Operator melanjutkan dengan nada hati-hati, tampaknya menyadari bahwa laporan ini akan semakin tak masuk akal. "Mengenai insiden beberapa hari yang lalu dengan objek tak dikenal di langit negara kita... Menurut diplomat tersebut, itu adalah pesawat patroli milik Indonesia. Negara tersebut, katanya, tiba-tiba dipindahkan ke dunia ini dan, tanpa bermaksud melanggar wilayah, pesawat mereka masuk ke wilayah udara kita saat dalam patroli."
"Sebuah negara yang dipindahkan ke dunia ini!?" seru Nouka dengan marah, melangkah gelisah di sekitar ruangan. "Bagaimana aku bisa melaporkan ini kepada para atasan tanpa dianggap gila?"
Kemarahan dan kebingungan terpancar jelas di wajahnya. Namun, ia menyadari bahwa ini bukan situasi yang bisa ia abaikan begitu saja. Dia menghembuskan napas berat, memikirkan implikasi dari laporan ini.
Operator Radio mengangguk dengan tenang, melanjutkan laporannya. "Mereka juga menyampaikan permintaan maaf resmi atas pelanggaran yang tak disengaja. Pemerintah Indonesia memohon jawaban dari pejabat Kementerian Luar Negeri kita untuk kelanjutan hubungan ini."
Nouka bergumam, bingung oleh absurditas situasi ini, tetapi segera ia memutuskan langkahnya. "Tidak melaporkan ini… mungkin akan membawa masalah lebih besar. Apakah sekarang sedang berlangsung pertemuan pemerintah tentang insiden objek tak dikenal itu?"
"Benar, Pak."
Nouka mengangguk tegas. "Segera kirimkan laporan ini ke ibu kota. Mereka perlu tahu tentang temuan ini secepat mungkin."
"Siap, Pak," jawab Operator, yang langsung menyiapkan komunikator mana untuk mengirim laporan penting ini ke pusat pemerintahan Kerajaan Qua-Toyne.
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip