Chapter 10

Di pertengahan tahun 1640, Republik Louria berdiri di atas puing-puing sejarahnya yang hancur. Bangsa yang dahulu megah kini hanya menjadi bayangan dirinya yang dulu, ditundukkan oleh Perjanjian Jin-Hark yang merampas kebanggaan dan kekuatannya. Mereka kehilangan wilayah strategis, menyerahkan reparasi yang melemahkan ekonomi, dan diselimuti penghinaan dari tetangga mereka—Kerajaan Qua-Toyne dan Kerajaan Quila—yang tidak segan-segan memanfaatkan kelemahan mereka. 

Sir Benedictus, seorang pemimpin dengan mata penuh beban, mengambil alih pemerintahan di tengah keputusasaan nasional. Dia bukan seorang penyelamat yang dielu-elukan rakyatnya, melainkan seorang pria yang dipaksa untuk membawa obor harapan di kegelapan yang hampir tanpa akhir. Republik Louria di tangannya adalah bangsa yang nyaris runtuh, tetapi dia menolak untuk menyerah. Dengan langkah yang tertatih-tatih, Benedictus memulai upaya monumental untuk membangkitkan negerinya.   

Pukulan terbesar datang dari sektor ekonomi. Reparasi perang yang dituntut oleh Qua-Toyne dan Quila telah menguras kas negara yang sudah kosong. Untuk memenuhi tuntutan ini, pemerintah memaksakan pajak yang tidak masuk akal, merampas hasil panen petani, dan menjual aset-aset negara kepada pedagang asing.

Petani di pedesaan Louria menjadi korban pertama. Ladang mereka yang dulu subur kini dikerahkan untuk memenuhi kuota hasil bumi yang tidak pernah cukup. Mereka dipaksa bekerja hingga kelelahan, hanya untuk menemukan bahwa hasil kerja keras mereka akan diambil sepenuhnya oleh negara. Kelaparan menjadi pemandangan yang akrab di desa-desa Louria. Bayi-bayi menangis kelaparan di pelukan ibu mereka, dan orang-orang tua mati perlahan di ladang yang kering. 

Di kota-kota, para buruh bekerja siang dan malam di pabrik-pabrik yang dibangun terburu-buru untuk memproduksi barang-barang ekspor. Upah mereka hampir tidak cukup untuk membeli makanan, dan kondisi kerja yang buruk membuat banyak dari mereka jatuh sakit atau terluka. Namun, mereka tidak punya pilihan. "Bekerja atau mati" adalah mantra yang terucap di setiap sudut Louria. 

Sir Benedictus menghadapi tekanan dari segala arah. Di satu sisi, ada tuntutan reparasi dan ancaman dari tetangga mereka yang tidak pernah membiarkan Louria lupa akan kekalahannya. Di sisi lain, ada rakyatnya sendiri, yang semakin muak dengan pajak tinggi dan kemiskinan yang tak kunjung reda. 

Dalam malam-malam tanpa tidur, Benedictus duduk di mejanya yang sederhana, menatap peta Louria yang penuh coretan rencana. Setiap garis adalah mimpi yang ia coba wujudkan, meski tahu bahwa sebagian besar dari mereka mungkin tidak akan pernah menjadi kenyataan. 

Namun, meskipun rakyatnya memendam kebencian terhadap pemerintahannya, Benedictus terus berusaha. Dia memerintahkan pembangunan infrastruktur dasar, meskipun hanya menggunakan kayu dan batu dari sumber daya lokal. Jalan-jalan yang diperbaiki menghubungkan desa-desa terpencil, dan pasar-pasar baru mulai bermunculan, meskipun hanya dipenuhi oleh barang-barang murah dan kebutuhan pokok. 

Militer Louria adalah bayangan dirinya yang dulu. Pasukan mereka telah dilucuti oleh Perjanjian Jin-Hark, meninggalkan hanya segelintir unit yang diperbolehkan beroperasi. Senjata mereka usang, seragam mereka compang-camping, dan moral mereka berada di titik terendah. 

Namun, Benedictus tahu bahwa tanpa pertahanan, Louria tidak akan bertahan lama. Ia memerintahkan pelatihan ulang bagi pasukan yang tersisa, memanfaatkan medan pegunungan dan hutan Louria untuk mengembangkan taktik gerilya. Senjata-senjata tua dipugar dan diubah menjadi sesuatu yang setidaknya bisa digunakan. 

Sementara itu, patroli dari Kerajaan Qua-Toyne dan Quila menjadi ancaman konstan. Kedua kerajaan ini tidak segan-segan memamerkan kekuatan mereka di perbatasan Louria, menghina dan meremehkan tentara Louria yang mencoba mempertahankan martabat mereka. 

Pada akhir tahun 1640, tanda-tanda perubahan mulai muncul, meskipun sangat lambat. Sebuah kontrak kecil dengan pedagang dari Parpaldia memberikan sedikit nafas bagi ekonomi Louria. Di desa-desa, meskipun panen tetap dirampas, petani mulai menemukan cara untuk menyembunyikan sebagian kecil hasil mereka untuk bertahan hidup. 

Namun, setiap langkah maju selalu diikuti oleh dua langkah mundur. Wabah penyakit melanda beberapa wilayah akibat sanitasi yang buruk dan kelaparan. Di perbatasan, ketegangan dengan tetangga terus meningkat. 

Masuknya tahun 1641 tidak membawa perubahan besar bagi Louria. Bahkan, beban yang mereka pikul semakin berat. Namun, sesuatu yang aneh mulai terjadi. Di tengah semua penderitaan itu, muncul rasa kebanggaan yang aneh di antara rakyat Louria. 

Mereka mulai melihat diri mereka sebagai bangsa yang tidak akan hancur, tidak peduli seberapa besar tekanan yang mereka hadapi. Mereka melihat Sir Benedictus, seorang pria dengan wajah lelah dan rambut yang mulai memutih, tetap berdiri teguh di tengah badai. Mereka mungkin tidak mencintainya, tetapi mereka mulai percaya bahwa dia adalah pemimpin yang mereka butuhkan. 

Di setiap desa, di setiap kota kecil, orang-orang mulai berbicara tentang "kebangkitan Louria." Tidak dengan optimisme yang membara, tetapi dengan keyakinan dingin yang perlahan tumbuh. "Kita telah melalui yang terburuk." Kata seorang petani tua kepada cucunya. "Sekarang, kita hanya harus terus berjalan."

Kerajaan Qua-Toyne dan Quila tidak pernah mengizinkan Louria untuk merasa nyaman. Kapal-kapal perang mereka sering kali berlayar mendekati pantai Louria, mengingatkan mereka akan kekalahan mereka. Pesawat pengintai Quila melintasi perbatasan Louria tanpa izin, seolah mengejek kemampuan mereka untuk melindungi diri sendiri. 

Namun, Sir Benedictus tahu bahwa waktu adalah sekutunya. Dia tidak membalas provokasi ini, memilih untuk fokus pada pembangunan dalam negeri. "Biarkan mereka melihat kita lemah." Pikirnya.

Pada akhir tahun 1641, Louria masih jauh dari kejayaan. Mereka masih miskin, masih lemah, dan masih dihantui oleh bayang-bayang kekalahan mereka. Namun, di balik semua itu, ada sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh musuh mereka: tekad. 

Republik Louria adalah bangsa yang terluka, tetapi mereka tidak mati. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, bahwa penderitaan mereka belum berakhir. Namun, mereka percaya bahwa selama mereka tetap berdiri, mereka masih memiliki peluang untuk bangkit. 

Sir Benedictus, di malam-malamnya yang sunyi, menatap peta Louria dengan mata yang penuh kelelahan tetapi tidak kehilangan harapan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa kebangkitan mereka mungkin tidak akan terjadi dalam hidupnya. Tapi dia juga tahu bahwa benih yang dia tanam akan tumbuh suatu hari nanti. Dan ketika hari itu tiba, Louria akan kembali berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain, bukan sebagai pecundang, tetapi sebagai pemenang yang bertahan dari kegelapan terburuk.

Pada awal tahun 1642, Republik Louria masih tampak seperti bangsa yang berjalan tertatih-tatih di atas jurang kehancuran. Hasil dari perjuangan tiga tahun terakhir menunjukkan sedikit perbaikan, tetapi rakyatnya masih hidup dalam kekurangan, dan luka perang masih terlihat jelas di setiap sudut negeri. Namun, di tengah segala penderitaan itu, sebuah kejutan yang tak terduga datang dari arah yang tak disangka—Kekaisaran Suci Mirishial, negara superpower terkuat di dunia. 

Kekaisaran Suci Mirishial, dengan teknologi canggih dan ekonomi yang tak tertandingi, memutuskan untuk menginvestasikan sumber daya mereka ke Louria. Bagi Mirishial, Louria adalah tanah yang strategis, kaya akan sumber daya alam, dan, yang lebih penting, dapat menjadi sekutu berharga dalam upaya menghadapi ancaman dari Kekaisaran Kuno Ravernal. 

Investasi skala besar dimulai dengan kunjungan diplomatik dari perwakilan Mirishial, dipimpin oleh seorang pejabat tinggi bernama Viscount Alaric D’Estan. Dengan aura otoritas dan kemewahan, delegasi Mirishial tiba di ibu kota Louria, membawa rencana besar yang akan mengubah masa depan republik tersebut. 

Proposal mereka mencakup pembangunan infrastruktur utama, dari jalan raya yang menghubungkan daerah pedalaman hingga pelabuhan besar yang dapat menampung kapal-kapal dagang berukuran raksasa. Mereka juga menawarkan pengembangan sektor energi, dengan membangun pembangkit listrik berbasis teknologi magitech yang hanya dimiliki oleh bangsa mereka. 

Bagi Sir Benedictus, tawaran ini adalah mukjizat yang datang di saat yang tepat. Meskipun ia tahu bahwa ketergantungan pada investasi asing memiliki risiko tersendiri, ia tidak dapat menolak kesempatan ini. Dengan tangan yang masih gemetar, ia menandatangani perjanjian tersebut, membuka pintu bagi perubahan yang monumental. 

Investasi dari Mirishial segera mengalir ke Louria seperti banjir yang tak terbendung. Pelabuhan-pelabuhan yang selama ini terbengkalai mulai dipenuhi alat-alat berat dan pekerja yang diimpor dari Mirishial. Jalan-jalan berlubang yang sebelumnya menjadi mimpi buruk bagi perdagangan lokal kini berubah menjadi jalan raya mulus yang menghubungkan seluruh negeri. 

Di pedalaman, desa-desa yang selama ini terisolasi mulai merasakan dampak dari pembangunan ini. Pasokan listrik mulai mengalir ke rumah-rumah, memberikan cahaya di malam hari yang selama ini hanya diterangi oleh lilin. Alat-alat pertanian modern yang diberikan oleh Mirishial meningkatkan produktivitas para petani, mengubah ladang-ladang tandus menjadi sumber hasil bumi yang melimpah. 

Salah satu perubahan terbesar adalah transformasi struktur ekonomi Louria. Sebelumnya, Louria bergantung pada pertanian tradisional dan perdagangan skala kecil untuk menopang ekonominya. Namun, investasi Mirishial membawa industri baru yang belum pernah ada sebelumnya. 

Pabrik-pabrik besar mulai dibangun di kota-kota utama Louria, memproduksi segala sesuatu dari alat berat hingga komponen magitech. Industri tekstil yang selama ini dikelola secara manual kini dilengkapi dengan mesin-mesin canggih, memungkinkan produksi dalam jumlah besar yang diekspor ke berbagai negara di dunia. 

Bank-bank baru yang dikelola bersama oleh Mirishial dan Louria mulai bermunculan, memberikan pinjaman dengan bunga rendah kepada pengusaha lokal. Akibatnya, sektor bisnis lokal yang sebelumnya lesu mulai bangkit, menciptakan lapangan kerja baru bagi jutaan rakyat Louria. 

Pelabuhan-pelabuhan Louria yang kini beroperasi penuh menjadi pusat perdagangan internasional. Kapal-kapal dagang dari Mirishial, Quila, bahkan Parpaldia mulai berlabuh di sana, membawa barang-barang impor yang selama ini hanya menjadi impian rakyat Louria. 

Hasil bumi dan produk industri Louria mulai diekspor ke negara-negara lain, membawa masuk aliran pendapatan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam sejarah modern Louria, rakyatnya mulai merasakan apa itu kemakmuran. 

Dampak dari perubahan ekonomi ini merambah ke semua aspek kehidupan rakyat Louria. Sistem pendidikan yang sebelumnya hancur kini diperbaiki dengan bantuan dana dari Mirishial. Sekolah-sekolah baru dibangun, dan buku-buku pelajaran modern yang dicetak di Mirishial mulai digunakan oleh anak-anak Louria. 

Di sektor kesehatan, rumah sakit modern mulai didirikan, dilengkapi dengan peralatan canggih dan tenaga medis yang dilatih oleh para ahli dari Mirishial. Penyakit yang selama ini menjadi momok di desa-desa Louria mulai terkendali, dan angka harapan hidup rakyatnya meningkat drastis. 

Namun, kebangkitan ini tidak datang tanpa tantangan. Investasi besar-besaran dari Mirishial juga membawa risiko ketergantungan yang berbahaya. Beberapa pihak di dalam negeri mulai khawatir bahwa Louria akan kehilangan kedaulatannya secara perlahan, menjadi sekadar boneka dari Kekaisaran Suci Mirishial. 

Selain itu, kemajuan Louria memicu amarah dari tetangga mereka, Qua-Toyne dan Quila. Kedua kerajaan ini mulai meningkatkan provokasi di perbatasan, mencoba menggagalkan kebangkitan Louria sebelum mereka menjadi ancaman. 

Sir Benedictus, yang kini memimpin negara yang sedang berkembang pesat, tahu bahwa tantangan ini adalah harga yang harus mereka bayar. Dengan wajah yang penuh kelelahan tetapi hati yang tidak gentar, ia memimpin Louria melewati badai, memastikan bahwa kebangkitan mereka tidak akan berakhir sebagai mimpi yang terhenti di tengah jalan. 

Pada akhir tahun 1642, Louria telah berubah menjadi bangsa yang hampir tidak dikenali lagi. Dari negara yang terpuruk dan penuh kehancuran, mereka kini berdiri sebagai simbol kebangkitan dan ketahanan. Ekonomi mereka melesat, infrastruktur mereka modern, dan rakyat mereka mulai merasakan harapan yang nyata. 

Namun, kebangkitan ini masih rapuh. Sir Benedictus tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan tantangan yang lebih besar menanti di depan. Tetapi untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Louria memiliki alasan untuk percaya pada masa depan mereka. 

Dan di tengah segala kemakmuran ini, Sir Benedictus duduk di kantornya yang sederhana, memandang ke arah jendela yang menghadap kota yang kini penuh cahaya. Di dalam hatinya, ia tahu bahwa apa yang telah mereka capai bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang untuk mengembalikan kehormatan dan kejayaan Louria di panggung dunia.

Awal tahun 1643 menjadi saksi bisu ketegangan geopolitik yang berpotensi mengubah lanskap kekuasaan di benua Rodenius. Kebangkitan ekonomi Republik Louria yang difasilitasi oleh investasi masif Kekaisaran Suci Mirishial menuai kemarahan dari dua tetangga terdekat mereka, Kerajaan Qua-Toyne dan Kerajaan Quila. Perjanjian Jin-Hark, yang dengan tegas melarang Louria untuk berinteraksi dengan negara lain pasca kekalahan mereka dalam Perang Rodenius, kini dianggap dilanggar secara terang-terangan. 

Kerajaan Qua-Toyne, yang selama ini waspada terhadap kebangkitan kembali Louria, menganggap keterlibatan Mirishial sebagai ancaman langsung terhadap keamanan kawasan. Perdana Menteri Kanata, seorang pemimpin tegas, segera mengirimkan protes diplomatik ke Mirishial. Pesan tersebut, ditulis dengan nada penuh kemarahan, menegaskan bahwa investasi Mirishial di Louria adalah pelanggaran serius terhadap perjanjian yang telah disepakati. 

Kerajaan Quila, dengan sifatnya yang lebih agresif, mengambil langkah lebih jauh. Mereka memerintahkan mobilisasi besar-besaran di perbatasan Louria. Pasukan Quila, lengkap dengan tank-tank baja mereka dan artileri berat, mulai bergerak ke garis depan. Tidak hanya itu, kapal-kapal perang Quila, meskipun tidak sekuat armada Qua-Toyne, mulai patroli intensif di sekitar perairan Louria. 

Di sisi lain, Qua-Toyne mengerahkan armada laut terkuatnya, dipimpin oleh kapal perang QRS Albina, sebuah kapal tempur besar dengan desain yang terinspirasi dari dreadnought Inggris. Armada ini dengan cepat memblokir teritori laut Louria, memotong akses dagang yang baru saja berkembang. Qua-Toyne tidak hanya ingin menghentikan kebangkitan Louria, tetapi juga memberikan pesan kuat kepada Mirishial bahwa campur tangan mereka tidak akan diterima begitu saja. 

Namun, bagi Kekaisaran Suci Mirishial, protes ini hanyalah suara angin di tengah badai. Mereka memandang Qua-Toyne dan Quila sebagai negara kecil dengan kekuatan militer yang tidak seberapa dibandingkan armada dan pasukan Mirishial. Sebagai respons, Mirishial tidak memberikan jawaban diplomatik apapun, melainkan memilih untuk menunjukkan kekuatan mereka secara langsung. 

Sebuah Taskforce, dipimpin oleh Kapal Induk Super Magis Sol Invictus, dikirim ke kawasan Rodenius. Sol Invictus, sebuah monolit teknologi dan magis, adalah simbol absolut supremasi militer Mirishial. Dilengkapi dengan ratusan pesawat tempur magis dan kapal pengawal yang membawa senjata penghancur massal, gugus tugas ini merupakan peringatan bagi siapa pun yang berani menentang mereka. 

Di tengah ketegangan yang memuncak, Indonesia, dengan kebijakan luar negeri yang pragmatis dan pengalaman panjang dalam menengahi konflik, memutuskan untuk turun tangan. Presiden Anna memerintahkan pengerahan armada laut untuk menjaga perdamaian di kawasan tersebut. Armada ini dipimpin oleh KRI Kutai, kapal induk supermodern yang dilengkapi dengan teknologi terkini dan awak yang sangat terlatih. 

Tujuan utama Indonesia adalah untuk mencegah konflik terbuka antara pihak-pihak yang terlibat. Armada Indonesia mengambil posisi di dekat perairan netral, siap untuk menjadi perantara antara Mirishial, Louria, dan dua kerajaan tetangga yang marah. 

Di laut, perairan Louria menjadi medan persaingan kekuatan besar. Armada Qua-Toyne yang dipimpin oleh QRS Albina bertahan dengan formasi blokade yang rapat. Kapal-kapal Quila memperkuat posisi mereka, berpatroli dengan senjata siap ditembakkan kapan saja. Di sisi lain, armada Mirishial yang dipimpin oleh Sol Invictus berlabuh di perairan internasional, menebarkan bayang-bayang kekuasaan yang tak tertandingi. Di antara mereka, armada Indonesia dengan KRI Kutai berdiri sebagai perisai perdamaian, mencoba menahan api konflik yang siap meledak kapan saja. 

Sementara itu, di darat, perbatasan Louria menjadi benteng-benteng hidup. Pasukan Quila, dengan seragam bergaya Soviet mereka, mendirikan barikade yang diperkuat oleh artileri dan tank. Pasukan Qua-Toyne, dengan disiplin tinggi, menjaga perbatasan mereka dengan ketat. Louria, meskipun masih berkembang, menunjukkan keberanian luar biasa dengan mempertahankan posisi mereka di tengah ancaman dari dua sisi. 

Ketegangan ini menciptakan suasana mencekam di seluruh kawasan. Para nelayan Louria tidak berani melaut, takut kapal mereka akan dihancurkan oleh patroli Qua-Toyne atau Quila. Rakyat sipil di perbatasan hidup dalam ketakutan, memandang langit setiap malam, khawatir akan datangnya serangan mendadak. 

Di ruang pertemuan militer Louria, Presiden Sir Benedictus berjuang untuk tetap tenang di tengah tekanan yang luar biasa. Ia tahu bahwa bangsanya berada di ambang krisis baru yang bisa menghancurkan semua yang telah mereka bangun dalam tiga tahun terakhir. 

Ketegangan di awal tahun 1643 ini menjadi titik balik dalam sejarah Rodenius. Di satu sisi, ini adalah ujian bagi Louria untuk bertahan dan membuktikan bahwa mereka pantas berdiri di antara bangsa-bangsa besar. Di sisi lain, ini adalah panggung bagi kekuatan dunia baru seperti Mirishial dan Indonesia untuk menunjukkan kebijakan mereka di kawasan yang rapuh. 

Namun, di bawah permukaan, semua pihak tahu bahwa konflik ini hanyalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Rodenius, dengan segala ketidakstabilannya, kini menjadi ladang percobaan bagi kekuatan-kekuatan dunia yang saling bertarung demi supremasi. Dan dalam bayang-bayang ketegangan ini, rakyat kecil hanya bisa berharap bahwa mereka tidak akan menjadi korban berikutnya dari ambisi besar para pemimpin mereka. 

Kekaisaran Parpaldia, meskipun dikenal dengan sikap ambisiusnya di wilayah selatan, memilih langkah bijak dalam menghadapi ketegangan yang meningkat di Rodenius. Dengan pengalaman diplomatik yang matang dan keinginan untuk menjaga stabilitas wilayahnya, Parpaldia menghindari mengambil sisi dalam konflik yang melibatkan Qua-Toyne, Quila, Louria, Mirishial, dan Indonesia. Mereka sadar bahwa ikut terlibat hanya akan membawa kehancuran pada wilayah mereka sendiri.

Di ibu kota Parpaldia, Esthirant, aula diplomatik yang megah mulai menjadi pusat aktivitas yang padat. Kaisar Ludis, pemimpin Kekaisaran Parpaldia yang dikenal cerdas dan pragmatis, memerintahkan pengiriman diplomat terbaik ke masing-masing pihak yang terlibat. Perintah ini disertai dengan pesan sederhana: "Kita tidak membutuhkan konflik lain di Rodenius. Undang semua pihak untuk berdialog di Esthirant. Jika wilayah ini ingin damai, Parpaldia harus menjadi jembatannya."

Diplomat pertama dikirim ke Qua-Toyne dan Quila, dua kerajaan yang memimpin eskalasi militer di sekitar Louria. Masing-masing membawa pesan yang sama: "Stabilitas regional adalah kepentingan bersama. Mari kita bicarakan ketegangan ini di meja perundingan sebelum senjata benar-benar berbicara."

Pesan serupa juga dikirim ke Louria. Parpaldia mengakui bahwa mereka telah menyaksikan kebangkitan Louria dengan investasi dari Mirishial, tetapi memperingatkan bahwa kebangkitan yang terlalu cepat bisa menimbulkan amarah dari tetangga mereka.

Mirishial, meskipun jauh lebih kuat, juga mendapat utusan Parpaldia. Sang diplomat, dengan keberanian luar biasa, meminta Kekaisaran Suci itu untuk mengurangi provokasi dan menunjukkan bahwa kekuatan besar tidak harus selalu menyelesaikan konflik dengan demonstrasi kekuatan.

Sikap netral Parpaldia juga mencakup undangan kepada Indonesia. Mengingat peran Indonesia sebagai mediator yang sedang aktif di kawasan, Parpaldia mengusulkan agar Jakarta mendukung konferensi di Esthirant. Mereka mengirim pesan resmi kepada Presiden Anna, menyatakan:

"Kami menyadari posisi Anda sebagai penengah yang dihormati di kawasan. Parpaldia menawarkan wilayah kami sebagai tempat pertemuan yang aman untuk menyelesaikan ketegangan ini. Bersama-sama, kita bisa mencegah konflik yang hanya akan membawa kehancuran bagi Rodenius."

Di Esthirant, aula diplomatik mulai disiapkan untuk kemungkinan besar berlangsungnya konferensi ini. Pasukan keamanan dikerahkan untuk memastikan bahwa kota tersebut tetap netral dan aman bagi semua delegasi. Penduduk setempat, yang awalnya khawatir akan dampak konflik pada perdagangan mereka, mulai melihat upaya diplomasi ini sebagai peluang untuk memulihkan ketenangan di wilayah Rodenius.

Parpaldia juga memastikan bahwa konferensi ini tidak hanya tentang membahas isu Louria. Mereka berencana menjadikan pertemuan ini sebagai forum yang lebih besar, di mana semua pihak dapat menyuarakan kekhawatiran mereka tentang keamanan dan stabilitas jangka panjang di kawasan.

Namun, di balik layar, tantangan besar menanti Parpaldia. Tidak semua pihak memandang konferensi ini dengan antusias. Quila, dengan sifat agresifnya, skeptis terhadap niat Parpaldia. Qua-Toyne, meskipun lebih terbuka, menginginkan jaminan bahwa hasil dari pertemuan ini tidak akan merugikan posisi mereka di kawasan.

Mirishial, dengan kepercayaan diri yang tinggi, menganggap diplomasi sebagai pemborosan waktu ketika mereka bisa memaksakan kehendak mereka melalui kekuatan militer. Sementara itu, Indonesia, meskipun mendukung upaya ini, menyadari bahwa perdamaian sejati hanya bisa dicapai jika semua pihak bersedia berkompromi—sebuah hal yang tampaknya sulit dicapai di tengah ketegangan ini.

Parpaldia kini berdiri di persimpangan jalan sejarah. Dengan menawarkan diplomasi sebagai jalan keluar, mereka berusaha menghindari kehancuran yang bisa meluas di Rodenius. Namun, keberhasilan mereka tergantung pada kemampuan mereka untuk meyakinkan semua pihak bahwa meja perundingan adalah tempat yang lebih baik daripada medan perang.

Di Esthirant, lilin-lilin harapan mulai menyala di tengah bayang-bayang konflik yang gelap. Dunia Rodenius kini menanti apakah lilin itu akan menyinari jalan menuju perdamaian—atau apakah angin perang akan memadamkannya selamanya.

Pada bulan Maret 1643, kota pelabuhan Esthirant di Kekaisaran Parpaldia menjadi saksi sejarah diplomasi yang dipenuhi ketegangan, ambisi, dan demonstrasi kekuatan. Pertemuan ini bukan sekadar forum untuk mencari jalan damai, melainkan juga ajang unjuk gigi setiap negara yang terlibat. Armada-armada terbaik dari masing-masing pihak berlayar menuju Esthirant, membawa serta simbol kekuasaan, teknologi, dan kebanggaan mereka.

Dari cakrawala barat, siluet KRI Kutai—kapal induk super yang menjadi kebanggaan armada laut Indonesia—muncul dengan megah. Kapal itu dikelilingi oleh dua kapal penghancur kelas Raja Ampat. Lengan-lengan besi mereka membawa misil-misil jarak jauh yang siap menghancurkan apa pun yang mengancam dominasi Indonesia di lautan.

Dek KRI Kutai penuh dengan aktivitas. Pesawat-pesawat tempur F-55C Jalak terparkir rapi, siap terbang kapan saja. Di jantung kapal, Menteri Luar Negeri Indonesia, seorang pria tenang dengan pengalaman puluhan tahun di dunia diplomasi, berdiri memandang jauh ke depan. Kapal itu perlahan memasuki pelabuhan Esthirant, dengan bendera merah putih berkibar tinggi, menggambarkan sikap Indonesia yang netral namun tidak lemah.

Ketika KRI Kutai berlabuh, banyak yang terkesan dan kagum dengan skala dan kecanggihan kapal ini. Di bawah gemuruh tepuk tangan diplomatik, Menteri Luar Negeri Indonesia turun dari kapal dengan sikap tenang, membawa pesan damai sekaligus sinyal bahwa Indonesia tidak akan segan-segan menggunakan kekuatan jika diperlukan.

Tak berselang lama setelah kedatangan Indonesia, angin barat membawa aroma minyak dan mesiu. Armada Kerajaan Quila, dipimpin oleh kapal perang utama mereka, QRNS Imperator, mengarungi lautan dengan keangkuhan yang tak tertandingi. Kapal itu, dengan desain kokoh yang terinspirasi dari kapal perang kelas Gangut, dipersenjatai dengan meriam-meriam besar dan beberapa meriam otomatis. Di belakangnya, kapal penjelajah dan kapal penghancur Quila mengawal dengan formasi rapat, menampilkan kedisiplinan dan kekuatan militer mereka.

Di atas QRNS Imperator, delegasi Quila berdiri tegap. Sang diplomat, seorang pria dengan reputasi keras dan taktis, memandang Esthirant dengan penuh perhatian. Quila datang tidak hanya untuk diplomasi, tetapi juga untuk menunjukkan bahwa mereka adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.

Ketika Imperator tiba di pelabuhan, suara meriam penghormatan menggema. Namun, di balik sikap formal itu, ketegangan terasa. Para prajurit Quila menjaga delegasi mereka dengan mata tajam, seolah siap menghadapi bahaya kapan saja.

Dibelakang Armada Quila, Armada Kerajaan Qua-Toyne muncul dengan QRS Albina, kapal Dreadnought yang menjadi kebanggaan armada mereka. Tidak seperti Quila yang mengandalkan desain kokoh, Albina memancarkan keanggunan dan efisiensi. Meriam utama kaliber besar menghiasi geladak depannya, sementara sistem radar modern mengawasi setiap sudut lautan. Kapal ini didampingi oleh beberapa kapal perusak dan frigat, membentuk formasi yang anggun namun mematikan.

Di atas Albina, delegasi Qua-Toyne memancarkan suasana percaya diri. Mereka membawa misi untuk mempertahankan kepentingan mereka di kawasan dan menunjukkan kepada dunia bahwa mereka siap untuk melindungi kedaulatan mereka. Ketika kapal ini berlabuh, delegasi Qua-Toyne disambut dengan rasa hormat, namun suasana dingin terlihat jelas antara mereka dan Quila.

Dari utara, Kapal Induk Magis Super Sol Invictus muncul, dikelilingi oleh kapal penjelajah magis dan kapal penghancur yang memancarkan aura mistis dan teknologi canggih. Sol Invictus, dengan lambungnya yang besar dan megah, memancarkan cahaya magis biru dari inti energinya, menunjukkan keunggulan teknologi Mirishial yang jauh di atas negara lain.

Di dek atas, berdiri Laksamana Lanael, seorang wanita Elf tua dengan rambut perak panjang yang berkibar tertiup angin laut. Sosoknya memancarkan wibawa dan kebijaksanaan, sementara matanya memandang ke horizon dengan ketenangan yang mengintimidasi. Kehadirannya sendiri cukup untuk mengirim pesan bahwa Mirishial tidak hanya datang untuk berbicara, tetapi untuk mengawasi dan, jika perlu, mengatur ulang permainan.

Ketika Sol Invictus mendekati pelabuhan Esthirant, semua aktivitas di pelabuhan sejenak terhenti. Kapal ini tidak hanya besar; ia memancarkan aura yang membuat semua yang melihatnya sadar bahwa Mirishial adalah kekuatan yang tidak bisa diremehkan.

Pelabuhan Esthirant menjadi panggung utama bagi parade kekuatan ini. Penduduk lokal berkerumun, terpesona oleh kapal-kapal megah yang datang satu per satu. Namun, di balik kekaguman itu, ketegangan menyelimuti udara. Setiap langkah, setiap gerakan, dan setiap kata yang diucapkan oleh delegasi akan menentukan apakah pertemuan ini menghasilkan perdamaian atau justru memicu konflik yang lebih besar.

Di dalam aula diplomatik, meja besar telah disiapkan. Para diplomat dari Parpaldia, yang menjadi tuan rumah, menyambut delegasi dengan formalitas tinggi. Namun, mereka juga sadar bahwa peran mereka hanyalah fasilitator; kekuatan besar yang datang inilah yang akan menentukan arah dunia.

Meskipun pertemuan ini dimaksudkan untuk mencari jalan damai, setiap pihak membawa kepentingan mereka sendiri. Qua-Toyne dan Quila memandang kehadiran Mirishial sebagai ancaman langsung terhadap stabilitas kawasan. Indonesia, meskipun netral, memahami bahwa posisi mereka sebagai mediator menempatkan mereka dalam bahaya terseret ke dalam konflik. Mirishial, di sisi lain, datang bukan untuk berkompromi, tetapi untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka adalah penguasa sebenarnya.

Di tengah-tengah semua ini, Republik Louria, yang menjadi pusat konflik, hanya bisa menunggu dan berharap bahwa diplomasi ini akan membawa mereka lebih dekat ke pemulihan penuh.

Di dalam aula besar istana diplomatik Esthirant, atmosfer terasa panas meskipun udara dingin dari lautan menyelimuti kota. Dinding-dindingnya yang dihias megah dengan relief kisah-kisah kejayaan Parpaldia tampak kurang bermakna di tengah ketegangan yang memuncak. Para delegasi telah duduk di kursi masing-masing, namun suasana di ruangan itu jauh dari harmonis. Kaisar Ludius bersama sang Istri, Remille, hanya menatap dari samping dalam diam.

Delegasi dari Indonesia, Kerajaan Qua-Toyne, Kerajaan Quila, Republik Louria, dan Kekaisaran Suci Mirishial berkumpul di meja panjang berbentuk oval. Setiap delegasi membawa argumen, kepentingan, dan, di atas segalanya, kebanggaan nasional mereka. Pertemuan ini yang dimulai dengan formalitas ringan segera berubah menjadi arena perdebatan sengit.

Para Delegasi yang Hadir:

Menteri Luar Negeri Indonesia: Ir. Rendra Prakoso, sosok yang dikenal dengan ketenangan dan keahliannya dalam menengahi konflik.

Diplomat Kerajaan Qua-Toyne: Lady Elenora Faelyn, seorang bangsawan yang dikenal karena sikap tegas dan argumen yang tajam.

Perwakilan Kerajaan Quila: Lord Reinhardt Valtier, seorang diplomat senior dengan pengalaman panjang dalam dunia diplomasi yang keras.

Utusan Republik Louria: Marcus Alferon, diplomat muda dengan semangat membela negaranya di tengah tekanan dari negara-negara tetangga.

Laksamana dari Kekaisaran Suci Mirishial: Laksamana Lanael Artheniel, seorang elf wanita dengan usia ratusan tahun yang dikenal bijak, namun memiliki otoritas yang tidak bisa ditentang.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Pak Rendra, dengan sikap netral yang profesional, membuka diskusi.

"Kami berharap pertemuan ini dapat menghasilkan solusi damai untuk menghindari eskalasi lebih lanjut." Ucap Rendra. "Kita semua memiliki tanggung jawab besar untuk menjaga stabilitas Rodenius, demi keamanan dan kemakmuran bersama."

Namun, ucapan itu seperti angin yang berlalu begitu saja. Sebelum sang Menteri selesai, perwakilan dari Kerajaan Quila, seorang diplomat senior dengan wajah tegang, Reinhardt, menyela.

"Stabilitas? Kemakmuran bersama?" Ujar Reinhardt dengan nada sinis. "Bagaimana mungkin kita berbicara tentang stabilitas jika Mirishial terang-terangan melanggar Perjanjian Jin-Hark dengan berinvestasi besar-besaran di Louria? Mereka tidak hanya melemahkan keseimbangan kekuatan di Rodenius, tetapi juga merusak kedaulatan kami sebagai pihak yang berhak mengawasi Louria pasca perang!"

Diplomat Reinhardt melanjutkan dengan suara yang semakin meninggi, matanya tertuju tajam ke arah Laksamana Lanael dari Mirishial.

"Louria adalah ancaman yang kami jinakkan dengan darah dan besi. Kami dan Qua-Toyne telah menanggung beban itu! Dan sekarang kalian, Kekaisaran Suci, datang seperti penyelamat yang mulia, menuangkan emas dan teknologi kalian kepada mereka, tanpa peduli dengan dampaknya bagi kami!"

Laksamana Lanael, yang hingga saat itu diam dengan wajah tanpa ekspresi, hanya tersenyum tipis. Ketika diplomat Quila selesai berbicara, ia menjawab dengan nada lembut namun penuh kekuatan, seperti angin sepoi yang bisa berubah menjadi badai kapan saja.

"Kami, Kekaisaran Suci Mirishial, tidak perlu meminta izin dari siapa pun untuk membantu negara yang membutuhkan." Ucap Lanael, tatapannya yang tajam menusuk ke arah delegasi Quila. "Investasi kami di Louria adalah tindakan kebaikan, bukan pelanggaran. Jika kalian merasa terganggu, itu adalah masalah kalian, bukan masalah kami."

Diplomat dari Qua-Toyne, Lady Elenora, seorang Elf wanita juga dengan jubah kehormatan yang elegan namun sikap penuh determinasi, mengangkat tangannya untuk berbicara.

"Laksamana Lanael." Ucap Elenora dengan tegas. "Mirishial mungkin memiliki kekuatan yang tak tertandingi, tetapi itu bukan alasan untuk mengabaikan kesepakatan yang sudah disepakati. Perjanjian Jin-Hark dirancang untuk mencegah kebangkitan Louria menjadi ancaman. Bantuan yang kalian berikan kepada mereka bertentangan langsung dengan itu."

Dia menoleh ke perwakilan Louria, matanya berkilat dengan kemarahan yang tertahan.

"Dan kalian, Louria, bukannya memperbaiki hubungan dengan tetangga kalian, justru memilih berlindung di bawah bayangan kekuatan asing. Ini adalah pengkhianatan terhadap Rodenius!"

Delegasi Louria, Marcus, seorang diplomat muda dengan ekspresi penuh tekanan, akhirnya berbicara.

"Kalian menyebutnya pengkhianatan." Ucap Marcus, suaranya bergetar namun tetap jelas. "Tapi apa yang kalian lakukan kepada kami selama ini? Setelah perang, kalian memblokade pelabuhan kami, membatasi perdagangan kami, dan bahkan mengintimidasi kami dengan kekuatan militer kalian. Bagaimana kami bisa membangun masa depan jika kami terus-menerus dihancurkan oleh kalian?"

Laksamana Lanael, yang tampaknya menikmati permainan kekuatan ini, mengangkat tangannya untuk menenangkan ruangan.

"Kalian semua berbicara tentang Perjanjian Jin-Hark seolah-olah itu adalah hukum universal." Katanya, suaranya pelan namun membawa beban otoritas yang tidak bisa diabaikan. "Tetapi mari kita ingat: siapa yang menciptakan perjanjian itu? Siapa yang mendapat keuntungan paling besar darinya? Qua-Toyne dan Quila, kalian ingin menjaga status quo karena itu menguntungkan kalian. Tapi Louria? Mereka pantas mendapat kesempatan kedua."

Lanael memandang semua delegasi di ruangan itu, matanya bersinar seperti pedang yang tajam.

"Dan jika investasi kami mengganggu keseimbangan kekuatan? Maka biarlah. Dunia tidak akan maju jika kita terus-menerus takut pada bayang-bayang masa lalu."

Rendra akhirnya angkat bicara, mencoba meredakan ketegangan yang semakin membara.

"Kami memahami kekhawatiran dari Qua-Toyne dan Quila." Ucapnya dengan nada diplomatik. "Namun, kami juga percaya bahwa Mirishial memiliki hak untuk membantu negara mana pun sesuai dengan kebijakan luar negerinya. Yang perlu kita capai di sini adalah kesepakatan yang memungkinkan Louria untuk berkembang tanpa mengancam stabilitas kawasan."

Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, diplomat Quila kembali menyela.

"Stabilitas apa yang kalian bicarakan? Apa kalian benar-benar percaya bahwa membiarkan Mirishial mendominasi Rodenius akan membawa stabilitas?"

Di luar aula, armada-armada besar dari masing-masing negara terus berjaga di pelabuhan Esthirant, mencerminkan ketegangan yang terjadi di dalam ruangan. Kapal-kapal itu, dengan senjata-senjata mereka yang mengancam, seolah-olah siap meledakkan seluruh kawasan jika diplomasi gagal.

Suasana di Aula Diplomatik Esthirant semakin memanas. Para delegasi tidak lagi berbicara dengan nada diplomatis; nada suara mereka meninggi, penuh emosi, dan dengan kata-kata yang semakin tajam. Ketegangan itu terasa begitu nyata, seperti tali yang meregang, siap putus kapan saja.

Lady Elenora Faelyn, dengan tatapan membara, memukul meja di depannya. Suara dentingan cangkir teh yang bergoyang menggaung di ruangan.

"Laksamana Lanael, dengan segala hormat, Kekaisaran Suci Mirishial tampaknya lupa bahwa Rodenius adalah kawasan yang telah kami jaga dengan susah payah dari kehancuran! Jika kalian benar-benar peduli pada stabilitas, kalian tidak akan membangun kembali Louria, negara yang sudah terbukti sebagai ancaman bagi tetangga-tetangganya. Apakah kalian sengaja menciptakan ketegangan baru untuk mengukuhkan dominasi kalian di kawasan ini?"

Lanael menatap Elenora dengan ekspresi datar, tak tergoyahkan oleh kemarahan itu.

"Lady Elenora." Jawabnya dengan suara dingin. "Kami tidak mencari dominasi. Kami hanya memberikan kesempatan kepada mereka yang membutuhkan. Louria bukan lagi ancaman; mereka adalah bangsa yang berusaha untuk bangkit dari kehancuran. Jika kalian begitu takut pada kebangkitan mereka, mungkin masalahnya bukan pada Louria, melainkan pada ketidakmampuan kalian menghadapi perubahan."

Lord Reinhardt, tidak tinggal diam. Ia berdiri dengan gerakan yang tegas, suaranya bergema di seluruh aula.

"Ketidakmampuan? Apa yang kalian tahu tentang ketidakmampuan?" Reinhardt mengepalkan tangan, mencoba menahan emosinya. "Mirishial mungkin memiliki kekuatan yang jauh melampaui kami, tetapi itu tidak memberi kalian hak untuk meremehkan perjuangan kami menjaga Rodenius dari kehancuran yang disebabkan oleh perang Louria! Kalian berbicara tentang kesempatan kedua, tetapi apa yang kalian lakukan hanyalah menyulut api baru di wilayah ini!"

Ia melanjutkan dengan nada semakin keras.

"Dan Louria—Marcus." Reinhardt menoleh ke diplomat muda Louria dengan tatapan jijik. "Jika bangsa kalian memiliki sedikit saja kehormatan, kalian akan menolak bantuan itu. Tapi tidak, kalian memilih jalan pintas, menerima segala bantuan yang datang tanpa peduli pada dampaknya bagi tetangga kalian. Apa kalian ingin perang terjadi lagi?"

Marcus Alferon, yang sejak tadi berusaha menahan diri, akhirnya tidak bisa lagi menahan emosinya.

"Kalian berbicara tentang kehormatan seolah-olah kami ini tidak manusiawi!" Marcus bangkit dari kursinya, suaranya pecah oleh emosi. "Setelah perang, kami kehilangan segalanya. Kami kehilangan tanah, kehormatan, bahkan hak untuk berdagang dan berinteraksi dengan dunia luar. Qua-Toyne dan Quila memblokade kami, menghukum kami tanpa henti, seolah-olah kami harus terus membayar dosa perang itu selamanya! Dan sekarang, ketika akhirnya ada harapan untuk bangkit, kalian ingin menghancurkannya?"

Matanya memandang tajam ke arah Elenora dan Reinhardt.

"Jangan bicara tentang kehormatan kepada kami, karena kalian tidak pernah memberi kami kesempatan untuk memilikinya!"

Laksamana Lanael tersenyum tipis mendengar perdebatan itu. Ia berdiri dengan anggun, gerakannya tenang namun penuh otoritas.

"Kalian semua berbicara tentang kehormatan, stabilitas, dan keadilan." Katanya dengan suara lembut, hampir seperti bisikan yang menenangkan, tetapi ada ketegasan yang menakutkan di baliknya. "Tapi apakah kalian benar-benar tahu apa arti dari kata-kata itu? Qua-Toyne dan Quila, kalian bertindak seperti penjaga moral, tetapi apa yang kalian lakukan tidak lebih dari menjaga kepentingan kalian sendiri. Kalian takut pada Louria, bukan karena mereka ancaman, tetapi karena mereka adalah simbol perubahan yang tidak bisa kalian kendalikan."

Ia melirik Marcus dan mengangguk sedikit, seperti memberikan dukungan.

"Dan Marcus, bangsa kalian memiliki hak untuk bangkit. Kekaisaran Suci Mirishial percaya pada masa depan Louria. Jika negara-negara di Rodenius tidak bisa menerima itu, maka itu adalah kelemahan mereka, bukan kesalahan kalian."

Melihat perdebatan itu hampir berubah menjadi pertengkaran terbuka, Rendra Prakoso dari Indonesia bangkit dari kursinya. Ia menatap setiap delegasi dengan tatapan tajam, mencoba membawa mereka kembali ke fokus utama.

"Rekan-rekan sekalian." Katanya dengan suara tegas namun penuh ketenangan, "kita berada di sini bukan untuk melanjutkan konflik, tetapi untuk menemukan solusi. Saya mengerti bahwa semua pihak memiliki kepentingan masing-masing, tetapi mari kita ingat bahwa perang tidak akan membawa kita ke mana-mana. Jika kita terus terjebak dalam siklus saling menyalahkan, kita hanya akan menghancurkan diri kita sendiri."

Ia menatap langsung ke arah Lanael, Elenora, Reinhardt, dan Marcus, berbicara dengan nada penuh harapan.

"Indonesia siap menjadi mediator untuk menemukan solusi terbaik. Tapi itu hanya bisa terjadi jika kita semua bersedia mendengarkan satu sama lain, bukan saling menyerang. Saya mohon, demi masa depan kawasan ini, mari kita hentikan ketegangan ini sebelum terlambat."

Namun, kata-kata Rendra tampaknya tidak cukup untuk meredakan ketegangan. Elenora dan Reinhardt tetap pada pendirian mereka, menolak untuk menerima kebangkitan Louria yang dibantu oleh Mirishial. Marcus tetap pada posisinya, membela hak bangsanya untuk menerima bantuan. Sementara itu, Lanael tetap tenang, tetapi dengan sikap arogan yang menyiratkan bahwa Mirishial tidak peduli pada protes-protes itu.

Dari belakang Aula Diplomatik, Kaisar Ludius dan Permaisuri Remille menyaksikan perdebatan sengit yang berkobar di depan mereka. Cahaya lilin besar yang menerangi aula memantulkan bayang-bayang di wajah mereka, menampilkan ekspresi serius dan penuh perhitungan.

Ludius, meski tetap tenang, tidak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. "Mereka seperti serigala yang saling mencabik. Qua-Toyne, Quila, Mirishial, bahkan Indonesia—semua terlalu keras kepala untuk melihat gambaran besar."

Remille, dengan matanya yang tajam dan penuh perhatian, mengangguk pelan. "Jika ketegangan ini dibiarkan, perang tidak terhindarkan. Dan jika perang pecah, Parpaldia akan terjebak di antara mereka, tak peduli kita memilih pihak atau tidak."

"Jadi apa rencanamu, Remille?" Ludius bertanya, nada suaranya menunjukkan bahwa ia sepenuhnya mempercayai kebijaksanaan istrinya.

Remille tersenyum tipis, senyum yang tidak mencerminkan manipulasi, melainkan niat tulus untuk melindungi negaranya. "Kita akan pergi ke sana. Kita biarkan mereka berdebat sampai kelelahan, lalu kita tawarkan solusi yang tidak bisa mereka tolak. Sesuatu yang terlihat adil, tetapi tetap menguntungkan Parpaldia."

Ketika perdebatan mencapai puncak kekacauan, langkah kaki bergema, menarik perhatian semua delegasi. Kaisar Ludius masuk lebih dahulu, mengenakan jubah kebesaran berwarna ungu gelap yang melambangkan otoritasnya sebagai pemimpin Parpaldia. Di belakangnya, Remille melangkah dengan anggun, mengenakan gaun elegan berwarna emas yang memantulkan kehangatan lilin aula.

Kehadiran mereka memaksa keheningan di tengah aula yang sebelumnya gaduh. Semua delegasi, dari Laksamana Lanael hingga Elenora Faelyn, menghentikan perdebatan mereka dan menoleh dengan pandangan terkejut.

Ludius berbicara lebih dahulu, suaranya tegas namun tenang. "Kami telah mendengar cukup banyak. Rodenius berada di ambang kehancuran, bukan karena kekuatan eksternal, tetapi karena perpecahan di antara kita. Parpaldia tidak akan tinggal diam dan melihat kawasan ini terjerumus ke dalam perang yang tidak perlu."

Remille melangkah maju, berdiri sejajar dengan suaminya. Ia menatap setiap delegasi, pandangannya tajam tetapi tidak mengintimidasi.

"Perang hanya akan membawa kehancuran, tidak hanya bagi Louria, tetapi bagi seluruh Rodenius. Qua-Toyne dan Quila, apakah kalian benar-benar percaya bahwa perang melawan Mirishial adalah solusi terbaik? Apakah kalian siap menghadapi konsekuensi ekonomi, sosial, dan politik yang akan menghantui generasi kalian selanjutnya?"

Ia menoleh pada Lanael, yang duduk dengan ekspresi dingin. "Dan Mirishial, apakah kekuatan kalian benar-benar cukup untuk mengatasi perlawanan bersatu dari dua kerajaan besar Rodenius? Tidak peduli seberapa maju teknologi kalian, perang adalah biaya yang mahal. Apakah itu benar-benar pilihan terbaik untuk memperkuat posisi kalian di dunia ini?"

Melihat tidak ada yang menjawab, Remille melanjutkan. Kali ini, nada suaranya menjadi lebih lembut, hampir seperti seorang ibu yang menasihati anak-anaknya.

"Rodenius tidak membutuhkan perang. Apa yang kita butuhkan adalah stabilitas. Maka dari itu, Parpaldia mengusulkan ini: sebuah perjanjian multilateral yang diawasi oleh sebuah dewan gabungan dari semua pihak yang terlibat di sini. Louria dapat melanjutkan pembangunan ekonominya dengan dukungan Mirishial, tetapi di bawah pengawasan bersama dari Quila, Qua-Toyne, Indonesia, dan Parpaldia. Dengan ini, kekhawatiran akan ancaman kebangkitan Louria dapat diredam, sementara mereka tetap memiliki kesempatan untuk membangun masa depan yang lebih baik."

Delegasi dari Qua-Toyne, Elenora Faelyn, terlihat ingin memprotes, tetapi Remille melanjutkan tanpa memberinya waktu.

"Sebagai tambahan, Parpaldia bersedia menyediakan wilayah netral untuk mendirikan kantor Dewan Pengawas ini. Semua pihak akan memiliki akses yang sama, dan keputusan akan dibuat melalui musyawarah, bukan dominasi sepihak. Ini bukan tentang siapa yang menang atau kalah. Ini tentang menjaga perdamaian di Rodenius."

Elenora berdiri dengan enggan, wajahnya masih dipenuhi dengan rasa curiga. "Usulan ini… bisa kami pertimbangkan. Tapi hanya jika Mirishial tidak menggunakan pengaruhnya untuk mendominasi dewan ini."

"Kami juga akan setuju dengan syarat. Dewan ini harus benar-benar transparan, tanpa ada yang memaksakan kepentingan pribadi." Reinhardt menambahkan.

Lanael tersenyum tipis. "Mirishial tidak memiliki niat untuk mendominasi. Jika ini adalah cara untuk menjaga ketenangan di kawasan ini, kami setuju."

Delegasi Louria, yang sejak awal berada di bawah tekanan, menghela napas lega. "Kami berterima kasih atas kebijaksanaan ini. Kami akan mematuhi keputusan dewan, selama itu adil dan memungkinkan kami untuk membangun kembali negara kami."

Rendra, yang sejak awal memantau dengan netralitas, tersenyum dan mengangguk. "Indonesia mendukung penuh usulan ini. Semoga ini menjadi awal dari era baru bagi Rodenius."

Dengan kesepakatan yang mulai terbentuk, ketegangan di aula mereda. Kaisar Ludius dan Permaisuri Remille berhasil membawa arah diskusi ke jalur yang lebih produktif, meski semua pihak tahu bahwa ini hanya langkah awal dari perjalanan panjang menuju perdamaian.

Berikut adalah daftar isi perjanjian yang disepakati setelah beberapa hari diskusi intensif di Esthirant. Perjanjian ini dikenal sebagai "Perjanjian Esthirant 1643", yang menjadi landasan baru hubungan politik, ekonomi, dan keamanan di kawasan Rodenius.

1. Prinsip Dasar dan Tujuan

1.1 Stabilitas Regional: Semua pihak sepakat untuk menjaga keamanan dan stabilitas Rodenius tanpa menggunakan kekuatan militer secara sepihak.

1.2 Pengawasan Bersama: Penekanan pada kerja sama multilateral untuk memastikan keadilan dalam pengawasan perkembangan Louria.

1.3 Netralitas Parpaldia: Kekaisaran Parpaldia akan bertindak sebagai tuan rumah Dewan Pengawas Rodenius dan tidak memihak salah satu pihak.

2. Dewan Pengawas Rodenius

2.1 Pembentukan Dewan: Dewan Pengawas Rodenius akan dibentuk dengan perwakilan dari Mirishial, Quila, Qua-Toyne, Indonesia, Louria, dan Parpaldia.

2.2 Struktur Organisasi:

Ketua Dewan akan bergilir setiap dua tahun.

Setiap negara memiliki satu suara, dan keputusan diambil melalui musyawarah.

2.3 Tugas Utama:

Mengawasi investasi asing di Louria.

Memastikan Louria mematuhi isi Perjanjian Jin-Hark dan Esthirant.

Menjaga perdamaian di kawasan melalui jalur diplomasi.

2.4 Lokasi Kantor: Kantor utama Dewan akan berlokasi di wilayah netral yang disediakan oleh Parpaldia.

3. Aturan Investasi dan Perdagangan

3.1 Pengawasan Investasi: Semua investasi di Louria harus diawasi dan disetujui oleh Dewan Pengawas.

3.2 Porsi Investasi: Negara-negara yang berinvestasi di Louria harus memberikan laporan tahunan kepada Dewan.

3.3 Keuntungan Regional: Sebagian keuntungan dari investasi Louria akan digunakan untuk mendukung stabilitas ekonomi di Rodenius.

3.4 Perdagangan Laut: Jalur perdagangan laut Louria akan tetap terbuka di bawah pengawasan gabungan dari Quila, Qua-Toyne, dan Indonesia.

4. Pembatasan Militer Louria

4.1 Jumlah Pasukan: batasan jumlah tentara yang dapat Louria miliki naik ke maksimal 30.000 tentara aktif.

4.2 Peralatan Militer: Louria tidak diperbolehkan memiliki persenjataan berat tanpa izin dari Dewan.

4.3 Latihan Militer: Semua latihan militer Louria harus diumumkan terlebih dahulu kepada Dewan.

4.4 Non-Agresi: Louria harus mematuhi kebijakan non-agresi terhadap semua negara Rodenius.

5. Resolusi Konflik Laut

5.1 Penghentian Blokade Laut: Armada Qua-Toyne dan Quila akan menarik kapal perang mereka dari perairan Louria dalam waktu 7 hari setelah penandatanganan perjanjian.

5.2 Jalur Perdagangan Internasional: Jalur laut Louria akan dilindungi oleh patroli gabungan, termasuk Indonesia sebagai penengah.

5.3 Hak Laut Internasional: Louria diberikan hak akses ke perairan internasional, tetapi tidak boleh menggunakannya untuk ekspansi militer.

6. Peran Indonesia

6.1 Penengah Konflik: Indonesia akan tetap netral dan bertindak sebagai mediator dalam setiap konflik di Rodenius.

6.2 Armada Penjaga: Indonesia akan mengerahkan armada KRI Kutai dan kapal pendukung lainnya untuk menjaga keamanan laut sementara Dewan mulai beroperasi.

7. Komitmen Mirishial

7.1 Pembatasan Dominasi: Mirishial berkomitmen untuk tidak menggunakan kekuatan ekonominya untuk memaksakan kebijakan di Rodenius.

7.2 Delegasi Diplomasi: Mirishial akan bekerja sama dengan Dewan untuk memastikan pengaruh mereka di Louria transparan.

7.3 Dukungan Regional: Mirishial akan menyediakan dana untuk pembangunan regional melalui skema bantuan yang diawasi oleh Dewan.

8. Penegakan Perjanjian

8.1 Sanksi: Setiap pelanggaran perjanjian akan mendapatkan sanksi yang disetujui oleh Dewan, mulai dari embargo ekonomi hingga intervensi diplomatik.

8.2 Arbitrase: Semua sengketa akan diselesaikan melalui Dewan, dan keputusan Dewan bersifat mengikat.

8.3 Evaluasi Tahunan: Perjanjian ini akan dievaluasi setiap tahun untuk memastikan efektivitasnya.

9. Penandatanganan dan Implementasi

9.1 Tanggal Implementasi: Perjanjian Esthirant mulai berlaku pada 1 April 1643.

9.2 Penandatangan: Semua delegasi negara yang hadir akan menandatangani perjanjian ini sebagai perwakilan resmi negara mereka.

9.3 Komitmen Bersama: Semua pihak sepakat untuk bekerja sama dalam semangat perdamaian dan pembangunan.

Anna yang saat ini duduk di Kantor Kepresidenan nya menghela nafas sangat panjang saat melihat laporan dari hasil pertemuan diplomatik di Esthirant, Parpaldia. Dia sangat bersyukur karena semuanya berakhir dengan damai tanpa konflik. Indonesia juga dapat fokus untuk pembangunan tanpa harus khawatir Perang Rodenius Kedua akan terjadi... Semoga saja...

Setelah perang saudara yang meluluhlantakkan Ibu Kota Neo-Jakarta dan membelah bangsa menjadi dua kubu, Indonesia berdiri di ambang kehancuran. Di tengah reruntuhan, Presiden Anna memulai perjalanan beratnya: membangun kembali Republik yang retak.

Dari barat ke timur, suara mesin berat dan peralatan konstruksi menggema, menggantikan dentuman senjata yang pernah mendominasi langit. Neo-Jakarta menjadi saksi pertama dari upaya pemulihan besar-besaran. Gedung-gedung yang hancur dibongkar hingga ke fondasi, dan pusat administrasi sementara dipindahkan ke Surabaya. Dalam pidato yang disiarkan secara nasional, Anna menyatakan bahwa Indonesia akan bangkit, satu batu bata dalam satu waktu, meski butuh generasi.

Di Kepulauan Andaman, yang jauh dari pusat konflik, pembangunan dimulai dengan mendirikan pusat logistik dan pelabuhan baru untuk menghubungkan wilayah barat ke pulau-pulau utama. Sementara itu, di Kepulauan Solomon di ujung timur, perbaikan infrastruktur dimulai dari bandara dan pelabuhan yang rusak akibat kelalaian perang. Selain karena menjadi wilayah paling dilupakan, Kepulauan Solomon ini menaungi puluhan hingga ratusan bekas Kapal Perang Indonesia dulu yang sampai sekarang masih dicari mana yang pantas untuk dihidupkan kembali dan mana yang harus dibongkar sepenuhnya.

Pemulihan tidak hanya berarti membangun kembali kota, tetapi juga menyatukan bangsa yang tercerai-berai oleh perbedaan politik. Anna memahami bahwa teknologi menjadi kunci, tetapi ia menolak pendekatan terburu-buru. "Pembangunan yang tergesa-gesa akan melahirkan pondasi yang rapuh." Katanya dalam rapat kabinet.

Proyek pembangunan besar dimulai di semua sektor.

Transportasi:

-Jalur kereta maglev dibangun menghubungkan Sumatra ke Jawa, melintasi Selat Sunda melalui terowongan bawah laut.

-Di Sulawesi dan Kalimantan, pembangunan jalan raya baru diprioritaskan, melintasi medan sulit dengan bantuan drone konstruksi otomatis.

-Bandara internasional generasi baru mulai dirancang di Papua, menjadikannya pintu gerbang ke wilayah Timur Jauh.

Energi dan Lingkungan:

-Pembangkit listrik berbasis tenaga surya di Jawa Timur menjadi simbol baru ketahanan energi Indonesia.

-Kalimantan diproyeksikan menjadi "hutan pintar," mengintegrasikan teknologi drone dan AI untuk mengelola reboisasi masif.

-Di Nusa Tenggara Timur, pembangkit listrik tenaga angin yang futuristik mulai menghidupkan desa-desa terpencil, membawa cahaya ke tempat yang dulu gelap.

Urbanisasi:

-Ibu Kota baru mulai dirancang di Kalimantan dengan nama Nusantara Raya, sebuah kota pintar yang diatur oleh teknologi hijau dan jaringan AI.

-Perkampungan-perkampungan tradisional di daerah pedalaman Sumatra dan Papua mendapatkan akses teknologi seperti internet satelit dan fasilitas pendidikan modern.

Namun, pembangunan berjalan lambat. Setiap langkah menghadapi tantangan besar: ketegangan politik yang masih membara, kesenjangan wilayah, dan trauma yang mendalam di masyarakat. Di beberapa daerah seperti Aceh dan Maluku, rakyat masih menyimpan luka perang dan menolak campur tangan pemerintah pusat. Untuk mengatasi ini, Anna mengirim tim mediator dari latar belakang akademik, agama, dan budaya untuk membangun kembali kepercayaan.

Tahun terakhir sebelum penandatanganan Perjanjian Esthirant adalah tahun yang menentukan. Pembangunan fisik mulai terlihat nyata, meskipun kemajuan sosial dan psikologis masih terseok-seok.

Pelabuhan raksasa di Kepulauan Andaman resmi dibuka pada awal 1643. Pelabuhan ini menjadi simpul perdagangan yang menghubungkan Laut Rodenius dengan Nusantara, menggantikan pelabuhan lama yang sudah usang. Sumatra, dengan ladang sawit yang dulu menjadi simbol ekonomi kolonial, bertransformasi menjadi pusat teknologi pangan dengan robot agrikultur.

Neo-Jakarta tetap menjadi pusat pemulihan paling sibuk. Gedung parlemen sementara berdiri di Surabaya, tetapi pembangunan di Kalimantan untuk ibu kota baru mulai menampakkan hasil. Sebuah monumen peringatan Perang Saudara, setinggi 10 meter, berdiri megah di lokasi konflik besar terakhir di Neo-Jakarta sebagai pengingat masa kelam.

Di Kalimantan, pembangunan bendungan futuristik di Sungai Mahakam dimulai, menggunakan teknologi 3D printing untuk menghasilkan struktur raksasa yang ramah lingkungan.

Maluku dan Papua menjadi kawasan dengan fokus pembangunan yang berpusat pada keadilan sosial. Di Jayapura, sekolah-sekolah berbasis teknologi hologram didirikan untuk memberikan akses pendidikan yang sama bagi anak-anak di daerah terpencil.

Kepulauan Solomon, yang selama ini dianggap wilayah pinggiran, akhirnya mendapat perhatian serius. Stasiun energi laut dalam dibangun untuk memenuhi kebutuhan energi kawasan timur. Pusat penelitian kelautan didirikan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem laut yang telah mulai pulih dari eksploitasi di masa lalu.

Pada Maret 1643, meskipun perkembangan belum sempurna, tanda-tanda kebangkitan mulai terlihat. Armada KRI Kutai memimpin misi diplomatik ke Esthirant, membawa serta kebanggaan Indonesia sebagai mediator konflik di Rodenius. Pembangunan yang dimulai dari reruntuhan kini menjelma menjadi tatanan baru.

Namun, Anna tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Di bawah permukaan keberhasilan, bayangan trauma perang masih menyelimuti bangsa. Setiap jalan baru yang diaspal, setiap bangunan megah yang berdiri, hanyalah awal dari rekonsiliasi sejati yang lebih sulit: menyembuhkan hati rakyatnya.

..
....

Di tengah riak diplomasi yang mengguncang kawasan Rodenius pasca Perjanjian Esthirant 1643, Kekaisaran Parpaldia mengambil langkah besar dalam memperkuat stabilitas politik kawasan. Dalam pertemuan dewan internal mereka, Kaisar Ludius dan jajaran tertinggi lainnya memutuskan untuk menunjuk Kerajaan Altaras sebagai wilayah netral untuk pembangunan "Dewan Rodenius", sebuah organisasi baru yang bertujuan menjaga perdamaian dan kerja sama antarnegara di kawasan itu.

Keputusan ini tidak datang tanpa kontroversi. Kerajaan Altaras, meski secara resmi netral dalam konflik-konflik regional, memiliki sejarah kelam dengan Parpaldia. Beberapa abad lalu, Altaras hampir menjadi jajahan penuh Kekaisaran Parpaldia, hanya berhasil mempertahankan kemerdekaannya dengan perlawanan sengit yang memakan waktu puluhan tahun. Luka sejarah ini membuat sebagian pihak di Altaras menolak penunjukan tersebut.

Namun, Raja Tara XIV, yang terkenal karena kebijaksanaannya, menerima tawaran ini dengan hati-hati. Dalam pidato yang disampaikan di hadapan para bangsawan Altaras, ia berkata:
"Netralitas kita adalah kebanggaan kita. Jika menjadi tanah di mana perdamaian dibangun adalah takdir kita, maka kita akan menyambutnya dengan hati yang terbuka. Namun, kita harus tetap waspada, karena sejarah tidak boleh dilupakan begitu saja."

Parpaldia juga memberikan sejumlah insentif untuk menghilangkan kecurigaan Altaras, termasuk kesepakatan perdagangan baru dan perlindungan terbatas dari angkatan laut Parpaldia untuk memastikan keamanan maritim Altaras selama pembangunan dewan.

Dengan dukungan dari berbagai negara, pembangunan markas Dewan Rodenius dimulai di pesisir Altaras, tepatnya di Ibukota Altaras, Le Brias, sebuah lokasi strategis yang mudah diakses oleh negara-negara Rodenius lainnya. Bangunan utama dewan dirancang dengan arsitektur modern bercampur elemen klasik khas Altaras. Gedung berbentuk segi delapan itu melambangkan kesetaraan dan kerja sama antara negara-negara anggota.

Selama proses pembangunan, suasana kota Le Brias menjadi hidup. Delegasi dari negara-negara seperti Qua-Toyne, Quila, Louria, dan bahkan Mirishial mulai berdatangan untuk mengawasi proyek tersebut. Para diplomat, insinyur, dan pekerja konstruksi memenuhi kota, menciptakan suasana internasional yang penuh harapan namun tetap tegang akibat sisa-sisa perselisihan sebelumnya.

Di tengah ketegangan yang menyelimuti pembangunan Dewan Rodenius, sebuah interaksi tak terduga terjadi. Ketika beberapa pelaut Indonesia dari KRI Gajah Mada, yang sedang berlabuh di pelabuhan Esthirant, melihat anak-anak lokal bermain bola dengan bahan seadanya, mereka memutuskan untuk memperkenalkan permainan sepak bola modern.

Para pelaut, dipimpin oleh Letnan Wahyu, membawa bola sepak asli dari kapal dan mengajarkan aturan dasar permainan kepada anak-anak Esthirant. Tak butuh waktu lama, permainan itu menarik perhatian penduduk lokal, termasuk beberapa diplomat dan tentara dari Mirishial, Louria, Qua-Toyne, Quila, dan bahkan Parpaldia.

Dalam beberapa hari, lapangan kosong di dekat pelabuhan Esthirant berubah menjadi arena sepak bola spontan, di mana orang-orang dari berbagai bangsa berkumpul untuk bermain atau menyaksikan pertandingan. Tidak ada hierarki di lapangan itu—hanya semangat persahabatan dan kegembiraan sederhana.

Bahkan, seorang perwira Mirishial bernama Elion Vaeril, yang biasanya sangat formal, tertawa lepas saat ia terpeleset dan jatuh di lapangan karena mencoba menendang bola. “Permainan ini luar biasa! Siapa sangka manusia dari Indonesia bisa menciptakan sesuatu yang begitu menyenangkan?"

Para diplomat Louria yang awalnya skeptis terhadap Indonesia pun mulai melunak setelah mereka diajak bermain. Salah satu di antaranya, Arthus Benedeictus, bahkan berkomentar:
"Jika kita bisa bermain bersama seperti ini, mungkin kita bisa menemukan cara untuk hidup berdampingan dengan lebih baik. Sayang, politik tidak seindah permainan ini."

Permainan sepak bola yang diperkenalkan oleh pelaut Indonesia dengan cepat menjadi populer di Esthirant. Tidak hanya menciptakan jembatan budaya baru, tetapi juga menjadi simbol harapan di tengah ketegangan diplomasi.

Mirishial, yang biasanya bangga dengan teknologi dan keunggulan budayanya, terkesan dengan kesederhanaan namun daya tarik permainan ini. Dalam waktu singkat, Kekaisaran Suci Mirishial bahkan mengirim permintaan formal kepada pemerintah Indonesia untuk menyediakan pelatih sepak bola dan peralatan untuk komunitas mereka.

Sementara itu, di Louria, sepak bola menjadi simbol baru kebangkitan sosial. Permainan ini menyatukan masyarakat yang masih terpecah setelah perang dan membantu mempererat hubungan antara Louria dengan Indonesia.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip