Chapter 11

Dua tahun berlalu sejak Perjanjian Esthirant 1643 ditandatangani. Meski ketegangan awal masih terasa, kawasan Rodenius perlahan berubah, membawa dinamika baru yang melibatkan diplomasi, pembangunan, konflik internal, hingga munculnya budaya baru yang mengejutkan dunia.

Setelah ketegangan di Laut Louria, Kerajaan Qua-Toyne dan Kerajaan Quila mulai merencanakan strategi untuk memperkuat posisi mereka. Modernisasi militer yang didukung oleh Indonesia dilanjutkan secara intensif. Namun, perhatian utama beralih pada pembangunan infrastruktur ekonomi dan diplomasi.

Qua-Toyne, yang selama ini bergantung pada pertanian, mengalihkan sebagian anggarannya untuk membangun kota-kota pelabuhan modern di pesisir baratnya. QRS Albina, kapal perang kebanggaan mereka, sering berlabuh di sana sebagai simbol kekuatan dan stabilitas. Dengan perdagangan yang mulai mengalir lebih lancar, ekonomi Qua-Toyne meningkat pesat, meskipun tetap menghadapi ancaman inflasi akibat percepatan pembangunan.

Quila, di sisi lain, mengambil langkah diplomasi agresif. Dengan menurunkan ketegangan dengan Louria, mereka memanfaatkan situasi untuk memperluas pengaruhnya di jalur perdagangan Laut Rodenius. Quila juga memperkenalkan konsep "Pax Quilanica," sebuah gagasan bahwa Quila adalah pelindung perdagangan damai di kawasan tersebut. Kawasan yang dimaksud adalah Benua Vestal dengan beberapa koloni Quila sudah ada di sana dan beberapa Kerajaan yang sedang berkembang.

Namun, pembangunan mereka tidak lepas dari kesulitan. Petani-petani di pedalaman mulai mengeluh tentang kebijakan modernisasi yang mengurangi perhatian terhadap pertanian tradisional, dan beberapa desa bahkan mengalami kelaparan ringan akibat kegagalan panen. Meskipun demikian, Quila berhasil mempertahankan stabilitasnya dengan program bantuan pangan dari Qua-Toyne.

Republik Louria, yang hampir runtuh di awal dekade, kini perlahan bangkit dari abu. Investasi besar-besaran dari Kekaisaran Suci Mirishial mulai membuahkan hasil. Kota Jin-Hark, yang dulunya hancur akibat perang, kini berdiri sebagai pusat perdagangan yang berkilau. Jalan-jalan utama di Louria diperbaiki, listrik mulai menjangkau desa-desa kecil, dan pelabuhan Jin-Hark direnovasi menjadi salah satu yang terbesar di Rodenius.

Namun, perkembangan pesat ini tidak tanpa konflik. Para buruh yang bekerja di proyek besar Louria sering kali mengeluh tentang jam kerja yang panjang dan upah yang tidak sebanding. Kelompok pemberontak kecil juga muncul di daerah pedesaan, menolak modernisasi yang mereka anggap sebagai pengkhianatan terhadap tradisi. Pemerintah Louria, dengan dukungan Mirishial, berhasil memadamkan pemberontakan ini, tetapi luka sosial yang ditinggalkan tetap membekas.

Louria juga memperkuat militernya dengan pelatihan intensif dan peralatan baru yang dibeli dari Mirishial. Meski begitu, hubungan mereka dengan Quila dan Qua-Toyne tetap tegang, meskipun tidak ada konfrontasi besar yang terjadi.

Indonesia, setelah berhasil menyatukan kembali negara di bawah Presiden Anna, memasuki fase pembangunan besar-besaran. Dari Andaman hingga Solomon, pembangunan jalan, pelabuhan, dan fasilitas publik terus dilakukan. Namun, presiden Anna menyadari bahwa pembangunan fisik tidak cukup. Ia mulai menggalakkan program rekonsiliasi nasional, yang bertujuan menyatukan kembali rakyat Indonesia setelah perang saudara yang memecah belah.

Teknologi canggih dari abad ke-22 diterapkan kembali secara perlahan. Pembangkit listrik tenaga matahari besar-besaran dibangun di gurun Nusa Tenggara, sementara proyek kota pintar mulai dikerjakan di beberapa wilayah. Meski teknologi sudah tersedia, implementasi lambat karena resistensi dari masyarakat yang masih trauma dengan perang.

Indonesia juga memulai langkah baru di dunia diplomasi. Armada laut yang dipimpin oleh KRI Kutai terus aktif mengamankan jalur perdagangan di Laut Rodenius. Namun, kehadiran Indonesia tidak hanya dilihat sebagai kekuatan militer-para pelautnya juga membawa budaya, termasuk sepak bola, yang dengan cepat menyebar ke seluruh kawasan.

Kekaisaran Suci Mirishial tetap menjadi pemain terbesar di dunia ini. Meskipun hanya mengirim Laksamana Lanael ke Esthirant dua tahun lalu, Mirishial terus memantau perkembangan di Rodenius dengan cermat. Mereka juga mulai membangun pangkalan angkatan laut kecil di salah satu pulau dekat Laut Rodenius, meskipun ini menuai protes dari beberapa negara, terutama Qua-Toyne dan Quila.

Namun, Mirishial juga menghadapi tantangan internal. Faksi konservatif dalam pemerintahan mulai mempertanyakan investasi besar-besaran mereka di Louria. Banyak yang merasa bahwa kekayaan Kekaisaran seharusnya digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyatnya sendiri.

Di sisi lain, Mirishial mulai membuka hubungan budaya dengan Indonesia. Mereka tertarik dengan teknologi, seni, dan terutama olahraga Indonesia. Bahkan, beberapa universitas Mirishial mulai mengajarkan bahasa Indonesia sebagai bahasa asing kedua setelah bahasa Quilan.

Puncak dari interaksi budaya yang muncul adalah Rodenius Champion League (RCL), sebuah kompetisi sepak bola antar klub dari berbagai negara di Rodenius. Kompetisi ini pertama kali diadakan pada tahun 1645, dengan klub-klub dari Indonesia, Qua-Toyne, Quila, Louria, dan bahkan Mirishial berpartisipasi.

Pertandingan pertama diadakan di stadion baru di Le Brias, Altaras, yang dirancang khusus untuk RCL. Meskipun awalnya dianggap sebagai hiburan, RCL dengan cepat menjadi simbol baru persatuan Rodenius. Klub-klub seperti Jin-Hark United (Louria), Albina Warriors (Qua-Toyne), dan Persija Jakarta (Indonesia) menjadi ikon yang menginspirasi masyarakat.

Final RCL tahun 1645 mempertemukan Persija Jakarta (Indonesia) melawan Altarian Knights (Altaras). Pertandingan itu bukan hanya soal sepak bola; itu adalah panggung di mana negara-negara yang pernah saling bertikai kini bersatu dalam semangat persaingan sehat. Champions League pertama itu dimenangkan Altaras setelah

Dua tahun yang penuh dinamika ini menjadi fondasi bagi Rodenius yang baru. Meskipun ketegangan masih ada, berbagai negara mulai memahami bahwa kerja sama adalah jalan menuju masa depan yang lebih cerah. Dari perjanjian diplomatik hingga olahraga, kawasan ini perlahan-lahan berubah menjadi tempat di mana konflik lama mulai terlupakan, digantikan oleh mimpi baru yang berkilauan.

Pada awal tahun 1645, Indonesia akhirnya membuka pintu bagi negara-negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan mereka. Keputusan ini disambut dengan antusiasme besar oleh negara-negara lain di Dunia Baru, termasuk Kekaisaran Suci Mirishial, Kerajaan Qua-Toyne, Kekaisaran Parpaldia, Kerajaan Quila, Republik Louria, dan bahkan negara-negara kecil seperti Altaras. Indonesia, dengan teknologinya yang jauh melampaui era ini, telah menjadi misteri yang memikat bagi banyak pihak, dan kesempatan untuk melihat keajaiban Indonesia secara langsung adalah sesuatu yang tidak ingin dilewatkan.

Turis-turis asing dari berbagai penjuru Dunia Baru mulai berdatangan ke Indonesia melalui jalur udara yang dilayani oleh bandara futuristik di kota-kota besar seperti Neo-Jakarta, Surabaya, dan Jayapura Sentral. Saat mendarat, mereka disambut oleh pemandu wisata berbahasa multibahasa yang ramah, serta brosur penuh warna yang menampilkan rekomendasi tempat wisata utama.

Salah satu tujuan yang paling banyak disarankan adalah Museum Indonesia, yang berada di Neo-Jakarta, mantan Ibukota Indonesia. Museum ini menjadi jantung dari upaya Indonesia untuk memperkenalkan sejarah dan budaya mereka kepada dunia, menampilkan perjalanan panjang negara ini dari masa lalu yang penuh perjuangan hingga masa kini yang penuh harapan.

Museum Indonesia bukan sekadar bangunan, tetapi sebuah karya seni yang monumental. Dindingnya terbuat dari kaca tembus pandang yang memancarkan cahaya warna-warni saat matahari terbenam, melambangkan harapan yang terus hidup meskipun melalui kegelapan. Di dalamnya, turis-turis asing terhanyut dalam perjalanan sejarah yang dirancang secara kronologis dan interaktif.

Ruang Kemerdekaan (1935)
Ruang pertama membawa pengunjung ke masa perjuangan Indonesia melawan kolonialisme. Diorama interaktif menggambarkan pertempuran sengit melawan Belanda, disertai pidato Soekarno dan Mohammad Hatta yang membangkitkan semangat kemerdekaan. Dengan bantuan Kekaisaran Jepang dan Amerika Serikat, Indonesia berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tahun 1935.

Para turis dari Quila dan Louria terkesan dengan keteguhan Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya. Mereka bahkan membandingkan perjuangan ini dengan usaha mereka sendiri untuk melawan penjajahan internal dan eksternal.

Ruang berikutnya membawa pengunjung ke era konflik global yang dikenal sebagai Perang Dunia Ketiga, di mana Indonesia, Jepang, Amerika Serikat, dan sekutunya berperang melawan Federasi Eropa Baru (FEB) yang dipimpin oleh Nazi Jerman, Inggris, dan Prancis.

Diorama digital memukau pengunjung dengan adegan pertempuran futuristik, dari pertempuran laut di Samudra Hindia hingga peperangan udara di atas Pegunungan Himalaya. Turis-turis Mirishial terutama kagum dengan teknologi canggih yang digunakan oleh Indonesia selama perang ini, yang menurut mereka hampir setara dengan teknologi yang mereka miliki, atau bahkan lebih.

Salah satu bagian paling mencekam dari museum ini adalah Ruang Golden Dawn, yang memaparkan perang nuklir yang menghancurkan dunia lama Indonesia. Hologram menggambarkan ledakan nuklir yang menyapu kota-kota besar di seluruh dunia, diiringi narasi menyayat hati tentang penderitaan milyaran manusia yang kehilangan rumah, keluarga, dan masa depan.

Para pengunjung diajak untuk memahami betapa sulitnya kehidupan di dunia lama setelah perang nuklir. Audio interaktif menceritakan kisah-kisah para penyintas yang harus hidup di tengah radiasi, kelaparan, dan kehancuran total.

Perpindahan ke Dunia Baru
Bagian terakhir dari museum menceritakan bagaimana Indonesia akhirnya menemukan Dunia Baru setelah ratusan tahun penderitaan. Diorama futuristik menggambarkan momen ketika Indonesia, dengan segala sumber dayanya yang tersisa, dipindahkan dari dunia lama dan memulai lembaran baru di tempat yang tidak dikenal.

Para turis dari Mirishial dan Parpaldia merasa tersentuh oleh kisah ini. Bagi mereka, perjuangan panjang Indonesia untuk bertahan hidup adalah sebuah pelajaran tentang ketangguhan manusia.

Selain museum, Indonesia juga memperkenalkan aspek budaya mereka kepada turis asing. Pertunjukan wayang kulit dan tari tradisional menjadi daya tarik utama di kota-kota besar, sementara hidangan khas Nusantara seperti rendang, sate, dan nasi goreng menjadi primadona di restoran-restoran mewah.

Pembukaan Indonesia ke dunia luar tidak hanya membawa turis, tetapi juga membawa dunia untuk belajar tentang nilai-nilai perjuangan, rekonsiliasi, dan harapan. Dari museum megah yang mengisahkan sejarah pahit hingga stadion yang dipenuhi sorak-sorai penonton sepak bola, Indonesia menjadi simbol dari kekuatan yang tumbuh dari kehancuran.

Meski perjalanan mereka masih panjang, Indonesia berhasil menunjukkan bahwa bahkan setelah kehilangan segalanya, sebuah bangsa bisa bangkit kembali, lebih kuat dari sebelumnya. Dunia Baru kini tidak hanya menjadi tempat untuk bertahan hidup tetapi juga tempat di mana mimpi-mimpi baru dapat diwujudkan.

Kerajaan Quila, yang dikenal sebagai salah satu kekuatan regional terkemuka di Benua Rodenius, telah memperluas pengaruhnya ke barat, yaitu ke Benua Vestal, melalui kekuatan ekonomi, diplomasi, dan militer. Di bawah panji Pax Quilanica, Quila telah menetapkan tatanan baru di wilayah ini, menciptakan jaringan koloni yang terstruktur dan mengawasi perkembangan kerajaan-kerajaan kecil yang sedang bangkit.

Koloni Quila:
Koloni Quila di Benua Vestal mencakup beberapa wilayah pesisir strategis dan pulau-pulau kecil di lepas pantai barat Vestal. Wilayah ini dimanfaatkan untuk mengontrol jalur perdagangan dan memonopoli komoditas seperti rempah-rempah, logam langka, dan hasil bumi eksotis.

-Port Andara: Sebuah pelabuhan utama Quila yang kini menjadi pusat aktivitas perdagangan dan militer. Port Andara juga menjadi tempat pengembangan galangan kapal besar yang digunakan untuk membangun armada baru Quila.

-Koloni Vespera: Wilayah pertanian yang menghasilkan surplus pangan untuk Quila dan dijadikan basis logistik utama di barat.

-Pulau Cerdana: Sebuah pulau strategis yang difungsikan sebagai benteng angkatan laut Quila, lengkap dengan artileri berat dan radar sihir modern.

Kerajaan-Kerajaan Kecil
Di pedalaman Vestal, terdapat kerajaan-kerajaan kecil yang berkembang berkat hubungan dagang dengan Quila. Meskipun secara resmi mereka tidak menjadi koloni, kerajaan-kerajaan ini berada di bawah pengaruh kuat Quila, yang sering menyediakan perlindungan militer dan bantuan teknologi.

Kerajaan Valtare: Sebuah kerajaan agraris yang tumbuh pesat setelah menerima bantuan irigasi modern dari Quila.

Kerajaan Zolavara: Sebuah kerajaan militer kecil yang menerima pelatihan pasukan dari Quila, namun tetap mempertahankan otonomi politiknya.

Quila memainkan peran sebagai mediator dan penjamin stabilitas di antara kerajaan-kerajaan ini, memastikan tidak ada kekuatan lokal yang cukup kuat untuk menantang Pax Quilanica.

Di sudut timur laut Kekaisaran Parpaldia, berdiri sebuah struktur monumental yang dikenal sebagai Tembok Dunia, sebuah benteng raksasa yang selama ratusan tahun menjadi perisai terakhir antara peradaban manusia dan kekacauan dunia luar. Tembok ini, yang melintang dari pegunungan Zophar di barat hingga laut Basilia di timur, tidak hanya menjadi simbol keteguhan Kerajaan Topa, tetapi juga saksi bisu dari perjuangan tanpa akhir melawan gelombang iblis dan monster yang terus mengancam.

Namun, keajaiban dan daya tahan tembok itu kini kian memudar. Kerajaan Topa, yang dulunya dipandang sebagai benteng pelindung Benua Philades, berada di ambang kehancuran. Persenjataan mereka-senapan lever-action yang karatan, Gatling gun kuno yang lebih sering macet daripada berfungsi, serta meriam abad ke-19 yang mulai retak-tidak lagi cukup untuk menandingi kekuatan iblis yang terus berevolusi.

Selama bertahun-tahun, Kerajaan Topa bertahan dalam isolasi. Keterbatasan sumber daya dan kebangkrutan ekonomi memaksa mereka mengandalkan kemurahan hati Kekaisaran Parpaldia untuk menyediakan senjata, meskipun seringkali apa yang dikirim adalah peralatan usang yang bahkan telah ditinggalkan oleh tentara Parpaldia. Rakyat Topa hidup dalam ketakutan, karena serangan kecil namun mematikan dari iblis semakin sering menembus garis pertahanan. Desa-desa di sekitar tembok sering dilalap api, penduduknya diculik atau dibantai tanpa ampun.

Pada tahun 1644, situasi semakin memburuk. Beberapa bagian Tembok Dunia mulai runtuh karena usia dan kurangnya perawatan. Pasukan pertahanan Topa, yang sebagian besar terdiri dari petani dan nelayan yang dipaksa menjadi tentara, tidak memiliki pelatihan atau senjata yang memadai.

Kerajaan Topa, di bawah kepemimpinan Raja Rados XVI, menyadari bahwa mereka tidak bisa bertahan sendirian lebih lama lagi. Pada awal tahun 1645, sebuah delegasi kecil dikirim dengan kapal tua menuju Le Brias, Ibukota Altaras, untuk menyampaikan permohonan langsung kepada Dewan Rodenius yang baru dibentuk. Delegasi ini dipimpin oleh Duke Valmaran, seorang bangsawan tua yang terkenal dengan kesetiaannya pada rakyatnya dan retorika penuh harapan.

Saat delegasi tiba di Le Brias, mereka langsung menarik perhatian. Para diplomat dari Quila, Qua-Toyne, Louria, bahkan Indonesia, terkejut melihat kondisi delegasi tersebut: pakaian mereka penuh tambalan, wajah mereka tirus akibat kekurangan makanan, dan langkah mereka tertatih-tatih setelah perjalanan panjang. Meski begitu, Valmaran berdiri tegap, matanya memancarkan tekad.

Dalam sidang Dewan Rodenius yang diadakan khusus untuk mendengar permohonan mereka, Valmaran berbicara dengan penuh semangat:

"Dunia kita berada di ambang kehancuran, bukan karena perang antar manusia, tetapi karena ancaman yang lebih besar, lebih kuno, dan lebih mengerikan. Kerajaan Topa telah menjadi penjaga dunia ini selama berabad-abad. Tembok Dunia bukan hanya milik kami, tetapi milik semua umat manusia. Kami tidak meminta belas kasihan; kami meminta aliansi. Berikan kami senjata, pelatihan, atau apa saja yang kalian bisa, dan kami akan memastikan ancaman ini tidak akan pernah mencapai pintu gerbang kalian."

Pidato Valmaran menggugah hati beberapa delegasi, terutama Indonesia dan Kerajaan Quila, yang memahami pentingnya mempertahankan Tembok Dunia. Namun, tidak semua negara bersimpati.

Quila merasa skeptis. Meskipun mereka setuju bahwa iblis adalah ancaman besar, mereka mempertanyakan efektivitas Kerajaan Topa dalam menggunakan bantuan. Salah satu diplomat Quila, Count Meravius, bahkan berkata:

"Bantuan kita hanya akan membuang sumber daya yang berharga ke jurang yang tak berdasar. Jika Topa tidak mampu menjaga Tembok Dunia, mungkin sudah saatnya dunia mencari solusi lain."

Parpaldia, di bawah pimpinan diplomat Lady Esthira, menawarkan bantuan terbatas berupa senjata tua mereka yang tersisa. Namun, mereka menolak terlibat lebih jauh karena khawatir mengalihkan perhatian dari stabilitas internal mereka sendiri.

Qua-Toyne bersimpati, tetapi mengingat konflik mereka dengan Quila dan modernisasi militer yang masih berjalan, mereka enggan mengalokasikan sumber daya besar.

Indonesia, yang diwakili oleh Menteri Luar Negeri, Ir. Rendra, mengambil sikap berbeda. Dalam pertemuan itu, Aswandi menyampaikan dengan tegas:

"Ancaman iblis adalah ancaman bagi seluruh umat manusia, dan tanggung jawab ini tidak dapat dipikul sendirian oleh Topa. Indonesia bersedia menyediakan bantuan teknologi, pelatihan militer, dan infrastruktur untuk memastikan Tembok Dunia tetap berdiri. Tapi ini harus menjadi tanggung jawab bersama. Jika Topa jatuh, maka siapa yang akan menjadi berikutnya?"

Setelah beberapa hari negosiasi, Dewan Rodenius akhirnya mencapai konsensus:

Kerajaan Topa akan menerima bantuan terbatas dari Dewan Rodenius:

Indonesia akan mengirimkan 100 penasihat militer dan sejumlah senapan otomatis M16 serta amunisi modern untuk melengkapi pasukan Topa.

Kerajaan Quila akan menyediakan material konstruksi untuk memperbaiki bagian Tembok Dunia yang rusak.

Parpaldia akan memberikan logistik dan suplai makanan bagi tentara Topa.

Qua-Toyne akan mengirimkan pasukan arsitek dan insinyur untuk membantu membangun kembali menara pengawas.

Latihan militer gabungan akan dilakukan di bawah pengawasan penasihat Indonesia, untuk melatih pasukan Topa dengan senjata baru.

Setelah bantuan mulai tiba, suasana di Kerajaan Topa perlahan berubah. Prajurit yang sebelumnya hanya bersenjatakan senapan tua kini mulai belajar menggunakan senapan otomatis modern. Arsitek dari Qua-Toyne dan insinyur Indonesia bekerja sama memperbaiki tembok, memperkuatnya dengan teknologi beton canggih.

Namun, ancaman dari iblis tidak pernah benar-benar berhenti. Pada pertengahan tahun 1645, sebuah serangan besar berhasil dipukul mundur, berkat kombinasi senjata modern dan koordinasi baru yang diajarkan oleh penasihat militer Indonesia. Para prajurit Topa mulai merasa percaya diri, meskipun mereka tahu bahwa perjuangan ini masih jauh dari selesai.

Ketika keputusan Dewan Rodenius diumumkan, Kekaisaran Suci Mirishial merasa kurang puas dengan tanggapan setengah hati dari anggota Dewan lainnya terhadap permintaan bantuan Kerajaan Topa. Mirishial, sebagai negara superpower dunia, memandang ancaman iblis sebagai isu yang tidak boleh diabaikan, terutama karena stabilitas kawasan Philades juga berdampak pada keamanan global. Melihat kesempatan untuk memperluas pengaruhnya di wilayah Rodenius sekaligus menunjukkan kekuatan militernya, Mirishial memutuskan untuk bertindak di luar kerangka Dewan.

Pada akhir tahun 1645, Laksamana Lanael, komandan Armada Sol Invictus yang berlabuh di Le Brias, mendapat perintah langsung dari Dewan Tertinggi Mirishial untuk memobilisasi armadanya menuju Kerajaan Topa. Armada ini mencakup Supercarrier magis Sol Invictus, yang dilengkapi dengan sayap udara magis terbaik, serta beberapa kapal penjelajah dan kapal penghancur. Selain itu, Mirishial juga mengirim 500 Marinir yang bersenjata senapan serbu magis RMA-12-senjata canggih yang menggunakan kombinasi teknologi magis dan mekanik untuk menghasilkan daya tembak yang luar biasa.

Tujuan resmi Mirishial adalah membantu memperkuat Tembok Dunia, tetapi langkah ini juga menjadi ajang unjuk kekuatan mereka di depan negara-negara lain di Dewan Rodenius.

Keputusan sepihak Mirishial untuk mengirimkan armadanya langsung ke Topa memicu reaksi keras dari anggota Dewan lainnya:

Parpaldia mengeluarkan protes resmi, dengan menyatakan bahwa tindakan Mirishial meremehkan peran Dewan sebagai pengambil keputusan kolektif. Dalam sidang darurat di Le Brias, Lady Esthira, diplomat Parpaldia, menyatakan:

"Apa gunanya Dewan Rodenius jika salah satu anggotanya bertindak sesuka hati tanpa koordinasi? Ini adalah penghinaan terhadap prinsip-prinsip kerja sama kita."

Kerajaan Quila menuduh Mirishial menggunakan situasi di Topa untuk memperluas pengaruhnya di kawasan Philades. Count Meravius, diplomat Quila, dengan sinis menyindir:

"Apakah Mirishial benar-benar peduli pada nasib Topa, atau ini hanyalah cara lain untuk menancapkan bendera mereka di tanah orang lain?"

Qua-Toyne, meskipun mendukung langkah untuk membantu Topa, merasa bahwa pengiriman armada sebesar itu adalah provokasi yang tidak perlu. Mereka juga khawatir bahwa langkah ini akan memperburuk ketegangan antarnegara di kawasan.

Namun, Indonesia mengambil pendekatan berbeda. Presiden Anna dan para penasihatnya menyadari bahwa Mirishial memiliki kepentingan strategis dalam membantu Topa, tetapi juga melihat ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan solidaritas nyata dan kerja sama antara kekuatan besar dan kecil. Dalam konferensi pers yang diadakan di Surabaya, Menteri Luar Negeri Ir. Rendra menyatakan:

"Indonesia memahami urgensi untuk memperkuat pertahanan Kerajaan Topa dan mendukung semua upaya yang bertujuan untuk melindungi umat manusia dari ancaman iblis. Oleh karena itu, Indonesia akan bergabung dengan Mirishial dalam misi ini, bukan untuk bersaing, tetapi untuk menunjukkan bahwa kerja sama adalah jalan terbaik."

Indonesia segera mengirimkan KRI Teluk Baruk, sebuah Landing Helicopter Dock (LHD) modern yang dilengkapi dengan V-34 Bangau varian penyerang dan pasukan Marinir TNI-AL berjumlah 300 orang, termasuk unit khusus bersenjata senapan SL-99 dan drone taktis untuk pengintaian. Kapal ini juga membawa suplai medis, makanan, dan peralatan konstruksi yang akan digunakan untuk memperkuat Tembok Dunia.

Keputusan Indonesia untuk ikut serta tidak hanya menenangkan beberapa negara anggota Dewan tetapi juga meningkatkan kredibilitasnya sebagai mediator global yang bertindak berdasarkan prinsip dan bukan hanya keuntungan politik.

Kedatangan armada Mirishial di pelabuhan Kerajaan Topa adalah pemandangan yang mengesankan. Sol Invictus, dengan ukurannya yang luar biasa dan sayap udara magis yang berpatroli di langit, membuat para prajurit Topa terpana. Bersamaan dengan itu, kehadiran KRI Teluk Baruk membawa sentuhan berbeda, menunjukkan teknologi militer yang lebih terfokus pada efisiensi modern dan keberlanjutan daripada keajaiban magis.

Rakyat Topa, yang selama ini merasa terlupakan oleh dunia, menyambut bantuan ini dengan penuh rasa syukur. Raja Rados XIV, dalam pidatonya, menyatakan:

"Hari ini, kita tidak hanya melihat bantuan dari kekuatan besar, tetapi juga harapan bahwa perjuangan panjang kita tidak akan sia-sia. Dengan dukungan dari Mirishial, Indonesia, dan Dewan Rodenius, Tembok Dunia akan kembali menjadi perisai umat manusia."

Kerja sama antara pasukan Mirishial, Indonesia, dan Topa di lapangan berjalan cukup mulus meskipun ada beberapa gesekan budaya dan perbedaan taktik.

Pasukan Mirishial, dengan senjata magis mereka, unggul dalam pertempuran jarak jauh dan memiliki kemampuan untuk menghancurkan kelompok iblis dalam jumlah besar.

Marinir Indonesia membawa pendekatan yang lebih modern, mengajarkan pasukan Topa tentang strategi bertahan yang lebih baik dan perlengkapan yang lebih berkualitas, namun bukan sesuatu yang spesial.

Prajurit Topa, meskipun awalnya tertinggal jauh, dengan cepat belajar dari kedua pihak dan mulai mengintegrasikan taktik baru ke dalam operasi mereka.

Meskipun misi ini membantu memperkuat Tembok Dunia secara signifikan, langkah Mirishial dan Indonesia terus memicu perdebatan. Beberapa anggota Dewan masih merasa bahwa bantuan ini memberikan terlalu banyak kekuatan kepada Mirishial di kawasan Philades. Namun, hasil yang nyata di medan perang membuat kritik ini sulit untuk dipertahankan.

10 Agustus 1645. Langit di atas Tembok Dunia memancarkan kelabu suram, seolah alam turut merasakan beban perang yang akan datang. Angin dingin dari pegunungan Grameus membawa aroma tanah basah dan kabut tipis, melingkupi perkemahan besar pasukan gabungan Mirishial, Indonesia, dan Topa. Suasana di sana tegang, penuh dengan bayangan gelap tentang apa yang akan mereka hadapi di luar tembok.

Di perkemahan itu, kemewahan teknologi kekaisaran Mirishial tampak mencolok dibandingkan peralatan Topa yang usang. Di tengah-tengahnya, teknologi militer Indonesia berdiri di antara dua dunia, tidak sesederhana Topa, tetapi juga tidak serumit Mirishial. Kapten Arya, dengan seragam taktisnya yang terbuat dari bahan bahan berkualitas, berdiri di depan baraknya, memperhatikan prajuritnya berlatih. Setiap gerakan mereka rapi, disiplin, tetapi ada sesuatu yang tertanam dalam mata mereka-rasa lelah yang tidak hanya berasal dari fisik, tetapi dari jiwa yang telah terbakar perang.

Sementara itu, Jenderal Gerdor memeriksa barisan prajurit Topa. Mereka mengenakan seragam sederhana yang tampak seperti peninggalan perang lama, senapan lever-action mereka bersandar pada bahu, siap tetapi kaku. Mereka adalah prajurit yang bertarung bukan karena kekuatan atau kehormatan, tetapi karena keputusasaan. Mereka tahu apa yang ada di balik tembok itu-kegelapan yang telah lama mereka tahan dengan segala yang mereka miliki.

Dan di tengah semua ini adalah Laksamana Lanael, seorang sosok yang tampak seperti diukir dari marmer; dingin, tegas, dan tak tergoyahkan. Dia baru saja tiba dari Sol Invictus, yang berlabuh megah di Pelabuhan Topa. Sebagai pemimpin operasi ini, Lanael membawa aura otoritas yang membuat orang lain tunduk tanpa banyak pertanyaan. Dalam setiap gerakannya, ada keanggunan yang tak terdefinisikan, membuat Kapten Arya bertanya-tanya apakah rumor tentang hubungan Lanael dengan keluarga kerajaan benar adanya.

Di dalam bangunan komando yang berdiri di dekat Tembok Dunia, meja besar dipenuhi peta dan diagram. Tiga pemimpin berdiri di sekelilingnya: Kapten Arya, Jenderal Gerdor, dan Laksamana Lanael. Suasana ruang itu kaku, hanya diiringi suara jarum jam yang berdetak pelan.

"Apakah bijak untuk melakukan serangan balik saat ini, Tuan dan Nyonya?" Tanya Jenderal Gerdor, suaranya penuh kehati-hatian. Matanya menatap peta, seolah mencari jawaban yang tidak ada.

Lanael mengangkat kepalanya, menatap Gerdor dengan pandangan tajam yang seperti belati. "Berhati-hati terlalu berlebih juga tidak baik, Jenderal. Jika kita menunggu, mereka akan memperkuat diri. Kita harus menyerang sekarang, menghancurkan setiap pijakan mereka sebelum mereka dapat beradaptasi."

Kapten Arya, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya angkat bicara. "Saya setuju dengan Laksamana Lanael. Menjadi pasif hanya akan membawa kerugian lebih besar. Kami dapat bergerak cepat, melumpuhkan mereka sebelum mereka menyadari apa yang terjadi."

Gerdor menyilangkan tangannya, berpikir keras. Itu masuk akal, tetapi hatinya masih dirundung kekhawatiran. "Anda berdua berbicara dengan keyakinan, tetapi musuh ini... mereka bukan manusia. Strategi biasa tidak selalu bekerja melawan sesuatu yang lahir dari kegelapan."

Lanael mendekat ke meja, tangannya menunjuk pada titik di peta. "Justru karena mereka bukan manusia, kita harus lebih agresif. Ketakutan hanya memberi mereka waktu untuk tumbuh lebih kuat."

Setelah beberapa saat hening, Lanael akhirnya berbicara lagi. "Baiklah, penyerbuan dimulai pada pukul 0500 dini hari. Marinir Anda siap bergerak cepat, Kapten Arya?"

Arya mengangguk. "Kami bisa melakukan pertempuran kilat. Kami tidak akan menjadi beban."

Lanael tersenyum kecil, tetapi dingin. "Bagus. Kalau begitu, pertemuan ini selesai. Pastikan semua unit siap. Dan semoga besok berjalan lancar."

Lanael melangkah keluar dari bangunan komando, auranya yang tegas meninggalkan bekas di ruangan itu. Kapten Arya dan Jenderal Gerdor memperhatikan kepergiannya dalam diam, seolah dia adalah badai yang baru saja berlalu.

"Dia menakutkan." Komentar Gerdor akhirnya, memecah keheningan.

"Ya... sangat." Jawab Arya dengan tawa canggung, meskipun jauh di dalam hatinya, dia tidak tertawa.

Malam itu, perkemahan besar dihantui oleh bayang-bayang ketegangan. Suara obor yang berkobar di sepanjang tembok hanya mempertegas kesunyian yang menelan malam. Kapten Arya berjalan di antara barisan Marinir nya, memperhatikan mereka dengan seksama.

Seorang Marinir muda menghentikannya. "Kapten, apakah kita benar-benar bisa menang?"

Arya menatapnya sejenak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Akhirnya, ia berkata pelan. "Kita tidak bertempur untuk menang. Kita bertempur untuk memastikan dunia ini tetap hidup."

Di kejauhan, Lanael berdiri di dek Sol Invictus, memandang ke arah cakrawala gelap. Bagi wanita tua itu, perang ini bukan hanya tentang membunuh Nosgorath. Itu adalah pertempuran untuk membuktikan kekuatan kekaisarannya.

Dan jauh di dalam pikirannya, Kapten Arya bertanya-tanya: "Apakah mereka hanya menggunakan kita untuk agenda mereka? Berapa banyak nyawa lagi yang akan dikorbankan demi ambisi kekuatan besar ini?"

Langit semakin gelap, menyelimuti perkemahan dalam bayang-bayang yang hanya dapat dipatahkan oleh cahaya obor dan kilatan senjata yang disiapkan. Esok hari, mereka akan melangkah ke dunia yang tidak pernah mereka pahami sepenuhnya.

11 Agustus, hari yang akan tercatat sebagai awal dari ofensif terbesar dalam sejarah Grameus selama ratusan tahun. Pagi itu, kabut tebal melingkupi dataran di luar Tembok Dunia, menyembunyikan pemandangan ganas yang akan segera terjadi.

Pasukan ekspedisi gabungan akhirnya bergerak. Tank Vajra dan IFV Tipe-12 milik Marinir Indonesia memimpin di garis depan, membawa reputasi sebagai tombak paling mematikan dalam pasukan Indonesia. Di sayap kiri, pasukan Topa yang dilengkapi seadanya mencoba mengikuti arus, sementara di sayap kanan, Marinir Mirishial dengan MBT M40 Lumari mereka bergerak dengan penuh kehati-hatian. Di langit, jet-jet FM-4 Viper milik Mirishial melesat, siap menghujani pasukan Iblis dengan roket udara-ke-darat.

Namun, pemandangan paling mencolok adalah bagaimana Marinir Indonesia bertempur. SL-99, senapan serbu laser andalan mereka, berdesis dengan kecepatan tembak yang mematikan, menghancurkan gelombang demi gelombang Iblis. Para Marinir, yang telah bertempur di Louria beberapa tahun sebelumnya, menunjukkan mengapa mereka disebut sebagai pasukan terbaik Indonesia. Mereka tidak bertempur seperti ratusan orang, tetapi seperti ribuan prajurit-seperti badai yang tak bisa dihentikan.

Meriam Vajra terus meledak, menghancurkan formasi musuh dengan presisi brutal. Mereka bergerak dengan keganasan harimau yang sedang berburu, tidak peduli pada bahaya yang mengintai. Di langit, jet-jet Mirishial melaksanakan Danger Close dengan ketelitian yang awalnya diragukan. Namun, ketika bom mulai jatuh hanya beberapa meter dari pasukan Indonesia, dan mereka malah seolah-olah menari di tengah kehancuran itu, pilot-pilot Mirishial tidak hanya kagum-mereka merasa tertantang.

"Ini... gila." Komentar seorang pilot Mirishial melalui radio saat melihat Marinir Indonesia bergerak bebas di tengah hujan bom dan roket.

"Teruskan saja, mereka menikmatinya!" jawab suara Kapten Arya, tanpa rasa takut atau gentar.

Melihat keberanian, atau lebih tepatnya kegilaan, pasukan Indonesia, Marinir Mirishial yang awalnya hanya memperhatikan dengan takjub mulai ikut-ikutan. M40 Lumari mereka mulai berlari kencang, menembus posisi musuh dengan semangat baru. Para prajurit mereka, yang awalnya kaku dengan doktrin ketat, kini bertempur seolah-olah sedang berlomba dengan Marinir Indonesia.

Di tengah semua ini, pasukan Topa tampak seperti anak kecil yang terseret dalam permainan yang tidak mereka pahami. Tanpa kendaraan tempur modern, mereka hanya bisa berlari, berusaha mengikuti ritme yang ditetapkan oleh Marinir Indonesia dan Mirishial.

"Ini gila!" Teriak seorang perwira Topa kepada Jenderal Gerdor, yang hanya bisa menggertakkan giginya sambil memandang malu ke arah pasukan dari dua negara besar itu.

"Mereka... hanya 800 orang." Gumam Gerdor, suaranya hampir tak terdengar di tengah gemuruh perang. "Bagaimana mereka bisa melakukan ini?"

Pada 15 Agustus, langkah Marinir Indonesia yang tak terbendung tiba-tiba berhenti. Marinir Mirishial, yang sudah terlalu asyik mengikuti kegilaan mereka, juga ikut berhenti.

"Kita sudah melewati batas ofensif, Kapten Arya!" teriak salah satu Marinir melalui radio. "Kita sudah 20 kilometer lebih jauh dari rencana!"

Arya, yang sedang duduk di atas Vajra dengan senyuman kecil, akhirnya mengangguk. "Ya, saya tahu. Itu salah satu alasan kita berhenti."

"Dan alasan lainnya, Kapten?"

Kapten Arya menarik napas panjang sebelum menjawab. "Dua hari lagi adalah 17 Agustus. Hari lahir Republik kita. Kita berhenti di sini. Kita rayakan. Setelah itu, kita lanjutkan menghancurkan mereka."

Keputusan Arya membuat pasukan Mirishial bingung. Mereka tidak mengerti mengapa pasukan Indonesia tiba-tiba berhenti.

Pasukan Mirishial, yang telah menghentikan langkah mereka mengikuti gerakan Marinir Indonesia, awalnya tidak memahami alasan di balik keputusan tersebut. Di perkemahan mereka, bisikan dan spekulasi mulai beredar di antara para Marinir Mirishial.

"Kenapa mereka berhenti? Kita sudah memimpin ofensif yang sempurna!" Gumam seorang Marinir Mirishial, menyeka peluh di dahinya.

"Mungkin mereka kelelahan?" Jawab rekannya, sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding Tank M40 Lumari. "Tapi... rasanya aneh. Mereka tidak tampak lelah saat menyerbu tadi pagi."

Di sisi lain, Komandan Allard, perwira lapangan yang dikirim Laksamana Lanael untuk memimpin langsung pasukan Mirishial, mengerutkan alisnya dalam. Ia berdiri di tengah tenda komando darurat, memandangi peta ofensif yang telah dilampaui oleh pasukan gabungan mereka. Bendera kecil yang melambangkan posisi pasukan Indonesia kini sudah jauh melampaui garis merah yang menandai batas aman rencana.

"Indonesia berhenti tanpa pemberitahuan?" Tanyanya pada salah satu stafnya, suaranya penuh tanda tanya.

"Ya, Tuan. Mereka mendirikan perkemahan darurat sekitar 20 kilometer di depan posisi kita sekarang." Jawab seorang sersan.

Allard menatap tajam ke arah peta, tangannya menyentuh dagu dengan ragu. "Mereka pasti punya alasan. Kapten Arya bukan tipe komandan yang sembrono. Namun, kita harus mendapatkan penjelasan segera."

Komandan Allard akhirnya menemui Kapten Arya di perkemahan Indonesia. Malam sudah larut, tetapi api unggun dan lampu kendaraan menerangi tenda darurat tempat pertemuan itu berlangsung. Arya, dengan seragam tempur penuh debu dan noda darah, duduk di kursi lipat sambil memandangi segelas kopi dingin yang ada di tangannya.

"Allard." Sapanya dengan tenang ketika melihat perwira Mirishial itu masuk.

"Kapten Arya." Allard membalas dengan anggukan. "Saya datang untuk meminta alasan penghentian mendadak pasukan Anda."

Arya menatapnya, ekspresinya lelah namun serius. "Kami berhenti karena kami sudah melewati garis rencana awal. Dan..." Ia berhenti sejenak, mengalihkan pandangannya ke arah bendera merah putih kecil yang berkibar di dekat tenda. "Karena dua hari lagi adalah hari lahir bangsa kami."

Allard mengerutkan dahi, mencoba mencerna maksud Arya. "Hari lahir bangsa? Apakah ini semacam ritual keagamaan atau tradisi militer?"

"Bukan ritual." Arya menjawab, suaranya terdengar berat. "Ini adalah hari kami mengingat kemerdekaan kami, perjuangan kami melawan penjajahan. Dan untuk itu, kami ingin berhenti sejenak-menghormati para leluhur kami yang memperjuangkan kebebasan yang kini kami nikmati."

Allard terdiam, matanya meneliti wajah Arya yang penuh keteguhan. "Kapten, saya menghormati tradisi dan patriotisme Anda, tetapi kita berada di tengah perang. Berhenti sekarang bisa memberikan celah pada musuh untuk kembali menguat."

Arya tersenyum tipis. "Saya tahu, dan itu risiko yang kami pahami. Namun, Marinir saya telah bertarung dengan segenap jiwa mereka sejak hari pertama. Mereka butuh momen ini, Komandan. Tidak lebih dari itu. Setelahnya, kami akan kembali bertarung, dengan semangat yang lebih besar."

Allard pun meninggalkan tenda Kapten Arya dengan perasaan campur aduk. Sebagai perwira Mirishial yang terbiasa dengan disiplin dan fokus tanpa kompromi, keputusan Indonesia tampak aneh dan tidak strategis. Namun, ia tidak bisa mengabaikan rasa hormat yang tumbuh dalam dirinya terhadap pasukan Indonesia.

Ketika kembali ke perkemahan Mirishial, ia melaporkan percakapan itu melalui komunikasi magis kepada Laksamana Lanael di Sol Invictus.

"Bibi Lanael." Katanya, menggunakan nada informal yang hanya digunakan oleh orang-orang terdekatnya. "Pasukan Indonesia menghentikan ofensif mereka untuk merayakan hari lahir bangsa mereka."

Ada jeda di ujung komunikasi sebelum suara Lanael terdengar, penuh dengan kewibawaan. "Mereka berhenti di tengah perang untuk mengenang masa lalu? Hmm... mereka bangsa yang sangat emosional."

"Namun, mereka juga bangsa yang sangat tangguh." Allard menambahkan. "Marinir mereka bertarung seolah-olah mereka tidak mengenal rasa takut, bahkan di tengah hujan bom dari jet kita."

"Begitulah manusia." Lanael menjawab, suaranya sedikit melunak. "Mereka berjuang bukan hanya untuk kemenangan, tetapi juga untuk makna yang lebih besar. Sampaikan pada mereka, kita akan menyesuaikan posisi pasukan kita dan melindungi garis depan sementara mereka berhenti. Namun, pastikan mereka kembali bergerak pada 18 Agustus."

"Dimengerti." Jawab Allard, meskipun dalam hatinya, ia masih merenungkan semangat yang baru saja ia saksikan.

Di tengah tenda-tenda perkemahan, prajurit Mirishial yang mendengar alasan penghentian itu memiliki reaksi yang beragam.

"Mereka berhenti hanya untuk merayakan sesuatu?" Gumam seorang prajurit.

"Bukan sekadar sesuatu." Koreksi rekannya yang lebih senior. "Itu adalah alasan mereka bertarung. Jika kita kehilangan alasan, maka kita tidak lebih dari mesin."

Keputusan Indonesia untuk berhenti sejenak menciptakan keheningan yang ganjil di antara pasukan. Bagi Marinir Mirishial, itu menjadi momen refleksi-bukan hanya tentang perang yang sedang berlangsung, tetapi juga tentang makna dari apa yang mereka perjuangkan.

Di sisi lain, prajurit Indonesia menggunakan waktu itu untuk merenung, mengenang tanah air mereka yang jauh, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi neraka yang lebih besar. Kapten Arya, yang duduk di bawah bendera merah putih, hanya bisa berharap bahwa jeda ini tidak hanya memberikan kekuatan baru, tetapi juga mengingatkan semua orang bahwa mereka bertarung untuk sesuatu yang lebih dari sekadar kemenangan.

Malam 17 Agustus 1645 di perkemahan Indonesia terasa berbeda. Di tengah hawa dingin dan sisa-sisa ketegangan perang, para Marinir Indonesia duduk di sekitar api unggun, mengitari bendera merah putih yang berkibar pelan di tengah angin malam. Lagu-lagu perjuangan terdengar pelan dari sebuah speaker kecil yang mereka bawa, suaranya nyaring namun penuh kerinduan akan rumah yang jauh di seberang lautan ini.

Di tengah suasana itu, sekelompok prajurit muda dari Mirishial berjalan pelan mendekati kamp Indonesia. Mereka masih mengenakan seragam tempur mereka, berdebu dan penuh noda dari medan perang, tetapi senyum gugup terlihat di wajah mereka. Di tangan salah satu dari mereka, terdapat sebuah kue kecil dengan lilin menyala di atasnya-kue sederhana yang mereka buat dengan bahan-bahan seadanya dari ransum mereka.

Seorang Marinir Indonesia, Sersan Dani, yang sedang berjaga di pintu masuk kamp, langsung berdiri ketika melihat rombongan itu.

"Ada keperluan apa kalian di sini?" Tanyanya, suaranya datar namun sopan.

Seorang prajurit Mirishial yang tampak menjadi pemimpin kelompok kecil itu, bernama Letnan Muda Alendris, tersenyum canggung sambil mengangkat tangannya, menunjukkan kue di tangannya.

"Kami... mendengar bahwa ini hari yang penting bagi kalian." Katanya dengan aksen Utara yang sedikit kaku. "Hari lahir bangsa kalian. Kami ingin memberikan sesuatu... meski sederhana."

Sersan Dani terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Tunggu di sini. Saya akan panggil Kapten Arya."

Kapten Arya keluar dari tenda komandonya beberapa menit kemudian, ditemani beberapa Marinir senior. Ketika melihat kue kecil itu, dia terdiam sejenak, lalu menatap wajah-wajah muda prajurit Mirishial di hadapannya.

"Kalian jauh-jauh datang hanya untuk ini?" Tanya Arya, suaranya terdengar kaku, tetapi ada kilatan emosi di matanya, seperti ombak yang berkecamuk.

"Ini tidak seberapa." Jawab Letnan Muda Alendris dengan gugup. "Kami ingin menunjukkan rasa hormat kami. Kami tidak sepenuhnya mengerti arti dari hari ini bagi kalian, tetapi... setelah melihat bagaimana kalian bertempur, bagaimana kalian memegang erat keyakinan kalian... kami merasa ini adalah hal kecil yang bisa kami lakukan."

Arya tertawa kecil, suara itu penuh dengan kelelahan dan kehangatan yang bercampur. "Kalian memang bangsa yang aneh, Mirishial. Tapi... terima kasih. Ini berarti banyak bagi kami."

Ia melambaikan tangan, mempersilakan mereka masuk ke tengah perkemahan. Para Marinir Indonesia yang awalnya penasaran segera bergabung, membuat lingkaran di sekitar api unggun.

"Jadi ini ulang tahun negara kalian?" Tanya seorang prajurit Mirishial, salah satu yang termuda.

"Ya." Jawab Sersan Dani, mengangguk bangga. "Hari di mana bangsa kami merdeka, melawan penjajahan, dan berdiri di atas kaki sendiri."

"Kenapa kalian merayakannya di sini? Jauh dari rumah?" Tanya yang lain.

Salah satu Marinir Indonesia, Yudha, menjawab dengan mata menerawang ke arah bintang-bintang. "Karena di mana pun kami berada, di dunia mana pun, tanah air kami ada di hati kami. Kami bertempur bukan hanya untuk hidup, tetapi untuk semua yang kami tinggalkan di belakang-keluarga, teman, dan sejarah kami."

Jawaban itu membuat prajurit Mirishial terdiam. Mereka tidak terbiasa dengan jenis patriotisme yang begitu dalam dan penuh emosi ini. Bagi mereka, perang adalah tugas, bukan panggilan hati.

Setelah beberapa obrolan santai, lilin di atas kue itu akhirnya ditiup oleh Kapten Arya, disertai sorakan kecil dari Marinir Indonesia dan Mirishial yang hadir. Mereka kemudian membagi kue itu menjadi potongan-potongan kecil, cukup untuk semua yang ada di sana.

"Ini kue ulang tahun paling sederhana yang pernah kami miliki." Ujar Arya sambil tertawa kecil. "Tapi rasanya... luar biasa."

"Karena ini bukan soal kuenya." Tambah Sersan Dani sambil mengangkat potongannya. "Ini soal kita semua yang bertahan bersama."

Marinir Mirishial mulai tersenyum dan tertawa bersama dengan rekan-rekan Indonesia mereka. Dalam momen kecil itu, perbedaan budaya, bangsa, bahkan dunia terasa tidak berarti.

Ketika malam semakin larut dan para Marinir mulai kembali ke tugas masing-masing, Letnan Muda Alendris sempat menarik Kapten Arya ke samping.

"Kapten." Katanya pelan. "Setelah malam ini, saya pikir saya mulai mengerti kenapa kalian bertempur dengan begitu penuh semangat."

Arya menatapnya, matanya menunjukkan kehangatan dan rasa terima kasih. "Apa yang kalian lakukan malam ini, Alendris... itu hal yang besar bagi kami. Terima kasih."

"Nenek saya selalu berkata, buatlah hal yang baik, dunia ini kejam, tapi sebisa mungkin cobalah untuk membuatnya sedikit lebih tidak kejam." Kata Alendris tersenyum tipis.

"Dia terdengar bijaksana, sekali lagi terimakasih, Letnan."

Ketika Alendris kembali ke kamp Mirishial bersama rombongannya, ia merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Di bawah langit malam yang penuh bintang, ia mulai memahami bahwa perang ini bukan hanya tentang kemenangan atau strategi. Ini tentang hati, keyakinan, dan alasan yang membuat seseorang terus maju, bahkan di tengah kegelapan yang tampak tak berujung.

Pagi 18 Agustus 1645, tanah yang menjadi saksi peperangan mulai dirajam kembali oleh suara dentuman meriam dan jeritan yang membelah udara. Marinir Indonesia, setelah merayakan hari kemerdekaan mereka dalam hangatnya solidaritas, kini kembali pada kenyataan pahit perang. Pasukan Iblis, dengan parit pertahanan mereka yang menjalar seperti luka menganga, telah bersiap menyambut badai manusia dan mesin.

Tank-tank Vajra dan IFV Tipe-12 membuka jalan, menggeram seperti raksasa purba. Namun, di jarak dekat, teknologi tak lagi menjadi raja. Marinir Indonesia beralih ke insting mereka-sekop, pedang, bahkan gagang senapan laser mereka menjadi alat untuk bertahan hidup. Perkelahian itu tidak terlihat seperti pertempuran modern; ini adalah kembalinya manusia ke kebrutalan paling dasar, di mana tangan dan tekad menjadi senjata sejati.

Darah para iblis mencemari tanah, menciptakan aliran hitam kemerahan yang menodai bumi. Udara dipenuhi bau logam dan sulfur, mengingatkan setiap prajurit bahwa mereka bertempur melawan sesuatu yang jauh dari manusiawi.

Marinir Mirishial, yang awalnya ragu terjun dalam pertempuran jarak dekat ini, akhirnya bergabung. Namun, keterampilan mereka dalam seni membunuh tidak sebanding dengan keberanian gila rekan-rekan Indonesia mereka. Ketika Indonesia hanya kehilangan 8 prajurit, Mirishial harus merelakan 20 nyawa-pengingat pahit bahwa meskipun mereka kuat, pengalaman adalah guru yang tak tergantikan.

Pada sore 20 Agustus, pasukan Iblis yang tersisa mundur, menyeret diri mereka yang terluka dan hancur menuju Benteng Zorgorath. Struktur megah itu, tempat Raja Iblis Nosgorath memerintah, berdiri seperti raksasa bisu di tengah padang kehancuran.

Namun, saat Marinir Indonesia mulai menyiapkan strategi untuk serangan terakhir, sesuatu yang ganjil terjadi. Komandan Allard, wakil dari Mirishial, memerintahkan semua pasukan untuk mundur ke parit pertahanan mereka.

"Komandan, apa maksudnya ini?" Kapten Arya bertanya dengan wajah penuh kebingungan.

Allard hanya tersenyum, senyuman yang penuh dengan kebengisan yang sulit dipahami. "Tidak perlu mengotori tangan kita lebih jauh, Kapten. Waktunya menikmati kembang api."

Arya tak punya pilihan selain memerintahkan pasukannya untuk bertahan, meski rasa gelisah mulai merayap di dadanya.

Malam itu sunyi, hanya desiran angin dan gema jauh dari parit yang terisi oleh prajurit kelelahan. Kapten Arya, tidak mampu melawan rasa ingin tahunya, berjalan menuju pos Komandan Allard. Tapi langkahnya terhenti oleh suara raungan mesin jet di atas kepala.

Dua FM-4 Viper Mirishial melesat melintasi langit malam, diikuti detik-detik penuh ketegangan. Kemudian, dua ledakan maha dahsyat menghancurkan keheningan malam.

Ledakan pertama tidak seperti apa pun yang pernah dilihat Arya. Sebuah kubah hitam raksasa muncul, menelan Benteng Zorgorath dengan cepat, menyelimuti seluruh area dengan aura kegelapan yang tak terlukiskan. Seketika, kubah itu mengerut, menghisap segalanya kembali ke titik pusat sebelum meledak lagi dalam gelombang kejut yang memekakkan telinga.

Kapten Arya terlempar ke tanah, tubuhnya menghantam keras bumi. Di sekitarnya, Marinir Indonesia berjatuhan seperti daun di musim gugur, terlempar oleh gelombang ledakan yang tak mengenal ampun.

Ketika Arya bangkit, kakinya gemetar. Matanya tertuju pada pemandangan mengerikan di depan. Benteng Zorgorath lenyap, hanya menyisakan kawah yang dalam dan bekas hitam di tanah. Udara diisi dengan bau ozon, belerang, dan sesuatu yang lain-bau kehancuran yang meresap hingga ke jiwa.

Arya berdiri terpaku, tubuhnya bergetar. Pikiran tentang perang nuklir melintas di benaknya, bersama bayangan mengerikan dari kisah-kisah lama yang diceritakan oleh para orang tua. Ini bukan sekadar senjata; ini adalah peringatan tentang betapa mudahnya manusia dan segala yang hidup bisa dihapus dari keberadaan.

Di parit pertahanan, beberapa Marinir Indonesia mulai menangis. Mereka bukan hanya takut, tetapi juga merasa kehilangan sesuatu-sepotong kemanusiaan yang tak lagi bisa mereka pegang. Sedangkan Marinir Mirishial bersorak dengan senang, merasa bangga melihat senjata pamungkas Kekaisaran mereka bekerja dengan baik.

Kapten Arya, meskipun masih terguncang, bergegas ke pos Komandan Allard, memaksa dirinya menghadapi perwira yang baru saja melancarkan kehancuran itu.

"Komandan Allard! Apa yang baru saja terjadi?!" Arya membentak, suaranya bergetar antara marah dan putus asa.

Allard, yang sedang menikmati segelas anggur, menoleh dengan senyum dingin. "Itu, Kapten, adalah bentuk keadilan. Kita tidak akan membiarkan makhluk hina seperti mereka hidup lebih lama dari yang diperlukan."

Arya meremas tinjunya, matanya penuh dengan kemarahan. "Keadilan? Itu... pembantaian! Kau bahkan tidak memberi kesempatan bagi kani untuk bertarung seperti manusia!"

"Terkadang." Jawab Allard dengan nada datar. "Perang bukan tentang kehormatan, Kapten. Itu tentang memastikan kita menang, apapun biayanya."

Arya tidak menjawab. Tubuhnya terasa berat, seolah-olah semua tenaga telah direnggut oleh kengerian yang baru saja ia saksikan. Dengan langkah gontai, ia kembali ke pasukannya, memeluk keputusasaan yang perlahan membayang di hati setiap Marinir Indonesia malam itu.

Di bawah langit malam yang penuh bintang, mereka bertanya-tanya: apa yang telah mereka pertahankan? Dan apa yang telah mereka hilangkan?

Aula besar Dewan Rodenius dipenuhi ketegangan yang tidak terkatakan. Para perwakilan dari Kekaisaran Parpaldia, Kerajaan Qua-Toyne, Kerajaan Quila, dan Republik Louria telah berkumpul untuk mendiskusikan kemenangan pasukan gabungan atas pasukan iblis dan penggunaan senjata pemusnah massal oleh Kekaisaran Suci Mirishial.

Menteri Luar Negeri Kekaisaran Parpaldia, Lady Elt, berdiri dengan wajah merah padam. "Penggunaan senjata semacam itu tidak hanya melampaui batas moral, tetapi juga membuka pintu bagi kehancuran yang lebih besar! Apa yang dilakukan Mirishial adalah pelanggaran terhadap prinsip dasar peperangan. Kalian menghancurkan musuh, ya, tetapi kalian juga menghancurkan dunia tempat kita semua tinggal!"

Dia mengetukkan tangannya ke meja. "Apakah ini yang kita inginkan? Dunia di mana satu kekaisaran memiliki monopoli atas senjata pemusnah massal dan tidak segan-segan menggunakannya? Kemenangan ini tidak membuat dunia lebih aman, tetapi lebih berbahaya!"

Lady Elenora dari Kerajaan Qua-Toyne berbicara dengan nada hati-hati. "Kami menghormati kontribusi Mirishial dalam kemenangan ini. Namun, kami tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa senjata pemusnah massal membawa konsekuensi besar, tidak hanya pada musuh tetapi juga pada lingkungan dan masyarakat. Penggunaan senjata seperti itu bisa menjadi preseden yang berbahaya."

Ia memandang perwakilan Mirishial. "Kami hanya meminta jaminan bahwa senjata ini tidak akan digunakan sembarangan di masa depan. Dunia harus tahu bahwa kekuatan sebesar ini hanya digunakan sebagai jalan terakhir, bukan sebagai alat dominasi."

Lady Serenya dari Kerajaan Quila, yang biasanya memilih untuk diam, kali ini angkat bicara dengan tegas. "Kerajaan Quila sepenuhnya mendukung penggunaan senjata tersebut dalam konteks ini. Kita menghadapi musuh yang tidak mengenal belas kasih, yang kekuatannya jauh melampaui apa yang bisa kita tangani dengan cara konvensional."

Ia melanjutkan dengan nada serius. "Apakah kita akan mengorbankan ribuan nyawa prajurit kita dalam perang panjang hanya demi menjaga prinsip moral yang tidak praktis? Mirishial mengambil langkah yang diperlukan untuk memastikan kemenangan tanpa kehilangan besar di pihak kita. Jika kita tidak menerima kenyataan bahwa peperangan membutuhkan keputusan sulit, maka kita tidak layak berada di sini."

Marcus dari Republik Louria berbicara dengan nada sinis namun penuh keyakinan. "Saya setuju dengan Lady Serenya. Mirishial melakukan apa yang harus dilakukan. Dalam perang, satu-satunya tujuan adalah menang. Tidak peduli apakah itu dengan pedang atau dengan api yang menghapus musuh dari muka bumi. Jika kita terus-menerus terjebak pada debat moral, kita hanya akan memberikan musuh kesempatan untuk menyerang kembali."

Ia menyeringai, menatap delegasi Parpaldia dengan tatapan tajam. "Yang menentang penggunaan senjata ini mungkin adalah mereka yang iri karena tidak memiliki senjata serupa. Mari kita jujur: kemenangan ini tidak hanya mengakhiri perang, tetapi juga mengirim pesan yang jelas bahwa dunia akan aman hanya jika Mirishial tetap kuat."

Komandan Diplomatik Elthenor dari Mirishial berdiri, wajahnya tenang meski mendapat sorotan tajam dari berbagai pihak. "Kami mendengar kekhawatiran kalian, tetapi mari kita lihat situasi ini secara objektif. Raja Iblis Nosgorath dan pasukannya adalah ancaman eksistensial yang tidak bisa dihadapi dengan senjata konvensional. Senjata pemusnah massal adalah solusi terbaik untuk memastikan kemenangan cepat dan mengurangi korban di pihak kita."

Ia menatap Menteri Elt dengan dingin. "Lady Elt berbicara seolah-olah kami telah melanggar prinsip moral dunia. Namun, apakah Parpaldia pernah menghadapinya langsung di garis depan? Apakah kalian tahu kengerian melihat iblis-iblis itu melahap prajurit kalian hidup-hidup? Kami mengambil keputusan yang diperlukan untuk melindungi umat manusia. Jika itu membuat kalian tidak nyaman, mungkin kalian harus bertanya pada diri sendiri: siapa yang sebenarnya bertindak untuk kebaikan dunia ini?"

Diskusi di Dewan Rodenius berakhir dengan perpecahan. Kekaisaran Parpaldia dan Kerajaan Qua-Toyne tetap menunjukkan keragu-raguan dan kritik, meskipun Qua-Toyne melunak terhadap alasan Mirishial. Di sisi lain, Kerajaan Quila dan Republik Louria mendukung penuh tindakan tersebut, bahkan mengusulkan bahwa penggunaan senjata seperti ini harus menjadi bagian dari strategi global menghadapi ancaman besar di masa depan.

Ketua Dewan Rodenius, Kaios dari Kekaisaran Parpaldia, berdiri dengan ekspresi serius. Wajahnya yang penuh kerutan menunjukkan beratnya keputusan yang ia bawa. Aula besar itu sunyi ketika dia mulai berbicara.

"Setelah mendengar semua argumen, saya menyadari bahwa kita menghadapi dilema yang tidak sederhana. Di satu sisi, penggunaan senjata pemusnah massal oleh Kekaisaran Suci Mirishial telah membawa kemenangan yang menentukan dan mencegah jatuhnya lebih banyak nyawa prajurit kita. Namun, di sisi lain, senjata ini menanamkan ketakutan, baik terhadap musuh maupun kepada kita yang berteman dengan Mirishial."

Kaios menarik napas panjang, lalu melanjutkan. "Kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa keputusan Mirishial telah menyelamatkan ribuan nyawa. Tetapi kita juga tidak bisa melupakan risiko jangka panjang dari senjata ini. Hari ini, senjata itu digunakan melawan iblis. Namun besok, siapa yang bisa menjamin itu tidak akan digunakan pada kita? Dunia berubah, dan perubahan itu tidak selalu membawa kebaikan."

Dia memandang para delegasi dengan tatapan tegas. "Oleh karena itu, saya mengusulkan: pertama, Dewan Rodenius harus membentuk komisi pengawasan untuk memastikan penggunaan senjata pemusnah massal ini hanya dilakukan dalam situasi yang benar-benar darurat, dengan persetujuan mayoritas anggota Dewan. Kedua, Mirishial harus memberikan transparansi lebih dalam pengembangan senjata mereka agar kita dapat memastikan mereka tetap bertanggung jawab. Dan terakhir, setiap negara anggota Dewan harus meningkatkan pertahanan mereka, karena dunia yang kita tinggali kini penuh dengan ketidakpastian."

Perwakilan Indonesia, Fahrizal, yang mengenakan seragam lengkap dengan lambang Garuda di dadanya, berdiri dengan sorot mata yang penuh emosi. Ia mencoba menjaga nada suaranya tetap tenang, namun ada getaran halus yang mengkhianati rasa marah dan kecewanya.

"Dengan segala hormat, Ketua Kaios, dan anggota Dewan yang terhormat." Suara Fahri terdengar dalam dan berat. "Kalian bicara seolah-olah ini hanya masalah senjata, kekuasaan, atau transparansi. Tapi kalian lupa bahwa senjata ini bukan hanya menghancurkan musuh; itu juga menghancurkan hati nurani kita. Apa artinya kemenangan jika harga yang harus kita bayar adalah kemanusiaan kita sendiri?"

Dia menghela napas, suaranya mulai pecah oleh emosi. "Tadi malam, saya mendengar prajurit-prajurit muda kami, menangis di parit karena apa yang mereka lihat. Ledakan itu bukan hanya menghancurkan benteng musuh. Itu menghancurkan apa yang tersisa dari harapan dan kepercayaan mereka terhadap dunia yang lebih baik. Apakah ini dunia yang ingin kalian wariskan? Dunia di mana kekuatan menjadi satu-satunya hukum?"

Fahri melanjutkan dengan nada lebih tajam, matanya beralih ke delegasi Quila dan Louria. "Dan kalian yang mendukung tindakan ini dengan begitu enteng—apakah kalian pernah melihat wajah prajurit muda yang hancur karena trauma? Apakah kalian pernah berdiri di tengah medan perang, mencium bau daging terbakar, dan menyadari bahwa kalian adalah bagian dari itu? Kalian bicara tentang praktikalitas dan kemenangan, tapi kalian tidak peduli dengan apa yang sebenarnya terjadi pada orang-orang yang harus menjalani konsekuensi dari keputusan kalian."

Dia menatap Kaios dengan tajam. "Ketua Kaios, usulan Anda mungkin tampak masuk akal di atas kertas, tetapi itu hanyalah cara lain untuk menormalkan keberadaan senjata pemusnah massal ini. Indonesia tidak akan mendukung apa pun yang membuat senjata ini terlihat seperti solusi yang dapat diterima. Kami telah melihat apa yang terjadi ketika manusia terlalu percaya pada senjatanya. Itu berakhir dengan kehancuran, bukan kemenangan."

Setelah Fahri duduk, aula Dewan tetap hening. Kata-kata penuh amarah dan kekecewaannya menggantung di udara, membuat beberapa delegasi terlihat gelisah. Lady Serenya dari Quila menghindari tatapan Fahri, sementara Marcus dari Louria hanya mengangkat alis, tampak tidak terganggu.

Kaios, meskipun terguncang oleh pidato itu, mencoba mempertahankan ketenangannya. "Pak Fahri, argumen Anda dipahami, dan kami menghormati sudut pandang Indonesia. Namun, keputusan ini harus mencerminkan kebutuhan kolektif, bukan hanya satu negara."

Fahri tidak menjawab. Matanya terpaku pada meja, ekspresinya menahan rasa sakit yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Bagi Indonesia, kemenangan ini terasa seperti kekalahan lain, bukan dari musuh, tetapi dari kemanusiaan mereka sendiri.

Fahri berdiri sekali lagi, kali ini dengan raut wajah yang lebih gelap, sorot matanya tajam menyapu seluruh aula Dewan. Suaranya yang sebelumnya penuh emosi kini menjadi dingin, tajam seperti bilah pisau.

"Jika Dewan ini memilih untuk mendukung normalisasi penggunaan senjata pemusnah massal, maka saya perlu mengingatkan Anda semua: Indonesia tidak akan menjadi bagian dari organisasi yang melupakan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang menjadi dasar pembentukannya."

Seisi aula langsung gaduh. Beberapa delegasi, terutama dari Quila dan Louria, saling berbisik. Kaios, Ketua Dewan, mencoba menenangkan suasana, tetapi Fahri melanjutkan dengan nada yang lebih tegas.

"Indonesia tidak akan berdiam diri saat dunia kembali ke jalur kehancuran. Jika keputusan ini disahkan tanpa batasan yang jelas dan konkret, maka kami akan mempertimbangkan untuk menarik diri dari Dewan Rodenius. Kami tidak akan membiarkan nama kami dicoreng oleh tindakan yang kami anggap sebagai pelanggaran terhadap hati nurani umat manusia."

Para delegasi terdiam. Ancaman itu terasa nyata. Indonesia adalah salah satu kekuatan besar di dunia ini, dan kepergian mereka dari Dewan akan mengurangi legitimasi organisasi secara signifikan.

Kaios mencoba menenangkan situasi. "Fahri, saya memahami keberatan Anda. Ancaman Anda adalah sesuatu yang berat. Namun, kita di sini untuk mencari solusi bersama."

Fahri tidak membalas. Dia hanya menatap Ketua Dewan dengan dingin sebelum kembali duduk, meninggalkan suasana tegang yang tidak terpecahkan.

Di Istana Merdeka, Neo-Jakarta, Presiden Anna Lynne memimpin rapat darurat kabinet yang dipenuhi ketegangan. Para menteri, panglima militer, dan penasihat senior hadir di ruang besar yang dihiasi simbol Garuda.

Anna duduk dengan tenang, wajahnya dingin dan penuh konsentrasi. Di hadapannya, Menteri Pertahanan Arif memberikan laporan. "Situasi di Dewan Rodenius memanas. Mayor Fahri telah menyampaikan ancaman untuk keluar, sesuai arahan kita. Namun, ini meninggalkan pertanyaan besar: bagaimana kita akan bertindak jika Dewan tetap mendukung senjata pemusnah massal Mirishial?"

Jenderal Supriyadi, Kepala Staf Angkatan Bersenjata, angkat bicara. "Ibu Presiden, Mirishial telah menunjukkan bahwa mereka tidak ragu menggunakan kekuatan ekstrem untuk mencapai tujuan mereka. Jika kita hanya mengandalkan diplomasi tanpa kesiapan militer, kita mungkin kehilangan posisi tawar kita."

Anna mengangguk pelan. "Apa saran Anda, Jenderal?"

Supriyadi ragu sejenak sebelum berbicara. "Indonesia memiliki beberapa senjata pemusnah massal yang telah disegel sejak Golden Dawn. Kita tahu keberadaan mereka, meski rakyat tidak. Jika Mirishial terus melangkah seperti ini, kita harus mempertimbangkan untuk mengaktifkan kembali arsenal tersebut sebagai pencegahan strategis."

Ruangan seketika dipenuhi bisik-bisik. Menteri Luar Negeri Rendra menatap Jenderal Supriyadi Dengan ekspresi tak percaya. "Anda menyadari apa yang Anda usulkan? Mengaktifkan senjata seperti itu hanya akan membuat kita sama seperti mereka!"

"Benar." Jawab Supriyadi dengan nada tegas. "Tetapi ini bukan soal menjadi seperti mereka. Ini soal bertahan hidup. Mirishial dan sekutunya akan terus memperkuat diri. Jika kita tidak menunjukkan bahwa kita mampu membalas, Indonesia akan dianggap lemah."

Menteri Pertahanan Agung menambahkan. "Dengan segala hormat, Ibu Presiden, saya setuju dengan Jenderal Supriyadi. Jika senjata ini digunakan sebagai ancaman strategis, bukan serangan langsung, itu akan memberi kita posisi negosiasi yang lebih kuat. Saya tidak menyarankan kita menggunakannya tanpa alasan, tetapi memiliki opsi itu penting."

Anna memejamkan mata sejenak, mengambil napas panjang. Dia tahu bahwa keputusan ini akan membentuk masa depan Indonesia, baik di panggung global maupun di mata rakyatnya sendiri.

"Saya mengerti argumen Anda," katanya akhirnya. "Namun, mengaktifkan kembali senjata ini bukan hanya keputusan strategis. Ini adalah keputusan moral yang membawa dampak besar. Jika kita membuka pintu itu, kita mungkin tidak akan pernah bisa menutupnya lagi."

Anna memandang ke arah Menteri Pertahanan dan Kepala Staf. "Saya ingin laporan lengkap tentang status senjata-senjata tersebut, termasuk risiko dan dampaknya. Kita tidak akan membuat keputusan terburu-buru, tetapi saya ingin semua opsi di atas meja."

Dia menatap seluruh ruangan dengan tatapan tajam. "Ingat, kita tidak hanya mewakili Indonesia. Kita adalah harapan bagi dunia yang masih percaya bahwa kekuatan bukan satu-satunya jawaban. Namun, kita juga tidak bisa menjadi korban dari idealisme kita sendiri. Rapat selesai. Lakukan apa yang perlu dilakukan."

Setelah rapat usai, Anna duduk sendirian di ruang kerjanya. Di depannya, tumpukan laporan tentang senjata pemusnah massal yang pernah dimiliki Indonesia. Matanya tertuju pada peta dunia, di mana Indonesia berdiri di tengah persimpangan moral dan strategis.

Dalam pikirannya, gema ledakan yang menghancurkan Zorgorath terus membayangi. Pertanyaannya kini adalah: apakah Indonesia harus melangkah ke kegelapan yang sama untuk melindungi masa depannya, atau tetap bertahan di jalan yang benar, meski mungkin berakhir sendirian?

Berita tentang penggunaan dua bom nuklir oleh Kekaisaran Suci Mirishial di Benua Grameus mengguncang Indonesia. Meski generasi saat ini tidak pernah mengalami langsung horor Perang Nuklir yang terjadi beberapa ratus tahun lalu dalam peristiwa Golden Dawn, mereka tumbuh besar dengan kisah-kisah mengerikan dari leluhur mereka dan rekaman sejarah yang diputar ulang di setiap sekolah, museum, dan acara peringatan nasional.

Setiap orang Indonesia, dari anak kecil hingga orang dewasa, tahu persis apa arti kehancuran itu—sebuah luka kolektif yang diwariskan melalui cerita, nyanyian, dan bahkan doa. Namun, hingga hari ini, mereka hanya mengenal horor itu dari jarak aman. Berita dari Grameus kini membangunkan trauma yang mereka warisi dari nenek moyang mereka, membuat ketakutan itu terasa sangat nyata.

Di sebuah rumah sederhana di Yogyakarta, keluarga kecil tengah menonton berita. Video ledakan itu—kubah hitam yang membesar sebelum mengecil menjadi kehancuran total—mengisi layar televisi. Suara reporter melaporkan dampak bom itu dengan nada sedih dan berat.

Seorang anak kecil, Fira, bertanya polos kepada Ibunya. "Bu, apakah ini seperti yang pernah kakek-nenek ceritakan? Apakah semua itu akan terjadi lagi?"

Ibunya, Rina, hanya bisa terdiam. Matanya mulai basah, mengingat cerita neneknya tentang bagaimana dunia kehilangan milyaran nyawa, bagaimana tanah menjadi tandus, dan bagaimana langit dulu dipenuhi asap gelap selama bertahun-tahun setelah Golden Dawn.

"Semoga tidak, Nak." Jawab Rina akhirnya, meski suaranya tidak terdengar yakin.

Generasi sekarang tumbuh besar dengan rekaman-rekaman dokumenter tentang Perang Nuklir, tayangan ulang dari ledakan-ledakan besar, dan cerita nenek moyang mereka tentang kehancuran. Di sekolah, setiap anak diajarkan tentang Golden Dawn sebagai peringatan untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Gambar-gambar kota yang hancur, bayangan manusia yang terbakar di dinding, dan ribuan kuburan massal menjadi bagian dari kurikulum nasional.

Namun, meski mereka tahu kengerian itu, pengalaman mereka bersifat akademis. Sebuah fakta sejarah yang jauh, seperti mimpi buruk yang tidak pernah benar-benar nyata. Ketika berita dari Grameus datang, mimpi buruk itu terasa hidup kembali.

berkumpul di alun-alun kota untuk menggelar doa bersama. Lilin-lilin dinyalakan, dan sebuah layar besar menampilkan rekaman visual Golden Dawn, yang kini dipadukan dengan rekaman ledakan di Grameus. Suasana hening dan penuh duka.

Seorang pemuda yang menjadi pemimpin, Dani, berbicara kepada kerumunan. "Kita diajarkan bahwa nuklir adalah akhir. Bahwa manusia tidak boleh lagi menyentuh senjata seperti itu. Sekarang, mereka melakukannya lagi. Apa yang kita pelajari sia-sia? Apakah kemanusiaan di dunia ini tidak pernah belajar?"

Di desa-desa, orang tua menceritakan kembali kisah-kisah tentang nenek moyang mereka yang selamat dari kehancuran Golden Dawn. Meskipun cerita itu sering disampaikan dengan harapan agar generasi muda menghindari konflik seperti itu, cerita-cerita itu kini menjadi peringatan akan kerapuhan dunia.

"Ada seorang perempuan tua di desa kami dulu." Kata Pak Sardi kepada cucunya di Magelang, MEREKABTELP"Dia pernah bilang bahwa tanah ini dulu mati. Tidak ada yang bisa tumbuh di sini selama bertahun-tahun. Hanya abu dan batu. Aku pikir itu hanya cerita, tapi sekarang… aku takut itu bisa terjadi lagi.”

Di media sosial, tagar seperti #TolakNuklir dan #JanganUlangiGoldenDawn menjadi tren. Banyak orang mengekspresikan rasa kecewa dan marah mereka kepada dunia internasional, terutama kepada Mirishial, yang dianggap mengulangi dosa terbesar umat manusia di dunia lama.

Namun, tidak sedikit pula yang marah kepada pemimpin mereka sendiri. Komentar-komentar seperti, "Kenapa kita hanya diam?" atau "Kita harus mengambil sikap tegas!" membanjiri laman resmi pemerintah Indonesia.

Di salah satu stasiun televisi nasional, seorang pembawa berita membacakan laporan dengan nada emosional. Setelah menjelaskan kronologi serangan di Grameus, dia berhenti sejenak, menatap kamera, dan berkata dengan mata berkaca-kaca:

"Kita semua tahu kisah Golden Dawn. Kita diajarkan untuk tidak mengulanginya. Tapi hari ini, kita melihat bahwa janji itu dilanggar. Apakah ini masa depan yang kita inginkan? Atau ini hanya awal dari akhir?"

Rakyat Indonesia tidak hanya berduka, mereka merasa kehilangan arah. Generasi yang tumbuh dengan janji bahwa mereka telah belajar dari Golden Dawn kini harus menghadapi kenyataan bahwa janji itu tidak cukup.

Di gereja, pura, masjid, dan vihara, doa-doa dipanjatkan untuk dunia yang lebih damai. Di rumah-rumah, keluarga berbicara dengan ketakutan yang mereka pikir sudah lama hilang.

"Apakah ini hanya awal dari kehancuran lain?" Pertanyaan itu ada di benak semua orang, menyatukan bangsa dalam duka, harapan, dan ketakutan yang mendalam.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip