Chapter 12

Beberapa minggu setelah Insiden Grameus dan ancaman Indonesia untuk keluar dari Dewan Rodenius, negara-negara yang mengaku sebagai sekutu Indonesia—termasuk Kekaisaran Suci Mirishial dan Louria—mulai mengirimkan tim mata-mata untuk mengamati keadaan internal negara tersebut. Tujuannya adalah memastikan posisi strategis Indonesia tetap terjaga, bahkan jika mereka akhirnya menarik diri dari perpolitikan regional.

Namun, apa yang mereka temukan di pedalaman Indonesia bukanlah kekuatan militer yang penuh semangat atau kesiapan untuk perang, melainkan gambaran memilukan dari sebuah bangsa yang seolah terjebak dalam bayang-bayang masa lalu dan realita pahit.

Tim yang dikirim oleh Mirishial adalah agen elit yang terlatih dengan teknologi pengintaian canggih. Mereka menyusup ke beberapa daerah terpencil di Sumatra, Kalimantan, dan Papua, yang dikenal sebagai wilayah yang jarang tersentuh pembangunan. Dalam perjalanan mereka, mata-mata itu mencatat pemandangan yang menghancurkan hati.

Di sebuah desa terpencil di pedalaman Papua, mereka menemukan tubuh-tubuh manusia yang sudah membusuk di pinggir jalan. Tidak ada yang tampaknya peduli untuk menguburkan mereka. Warga desa yang masih hidup hanya berjalan melewati jasad itu, seolah-olah mereka telah terbiasa dengan pemandangan ini.

Anak-anak berperut buncit dengan tulang yang menonjol tampak di mana-mana. Kulit mereka penuh luka akibat infeksi yang tidak dirawat. Sebagian dari mereka duduk diam di bawah pohon, tanpa tenaga untuk bermain atau bahkan menangis.

Persediaan makanan sangat minim, dan banyak keluarga hanya makan ubi liar atau tanaman hutan seadanya. Mirishial mencatat bahwa distribusi bantuan dari pusat tampaknya tidak pernah sampai ke wilayah ini.

Louria mengirim agen-agen rahasianya ke wilayah pedalaman Jawa dan Nusa Tenggara. Mereka mencari tanda-tanda kekuatan militer atau gerakan politik bawah tanah yang dapat menjadi ancaman bagi posisi mereka. Tetapi apa yang mereka temukan adalah tragedi kemanusiaan.

Di sepanjang jalan utama di pedalaman Jawa, mereka mencatat kerumunan orang-orang yang tampak kehilangan harapan. Banyak rumah yang hancur, bukan karena perang, tetapi karena terbengkalai dan tidak pernah diperbaiki.

Di dekat sebuah jembatan, agen Louria menemukan sekelompok mayat yang dibiarkan tergeletak. Sebagian besar adalah orang tua dan anak-anak. Tidak ada catatan atau tanda-tanda identitas mereka.

Seorang wanita tua yang mereka temui mengatakan dengan nada dingin. "Kami hidup seperti ini karena kami tidak penting. Kami adalah mereka yang dilupakan."

Tim dari negara lain, termasuk Quila dan Parpaldia, menemukan pola yang sama. Banyak desa terpencil yang tampak seperti dunia lain—tidak ada akses ke layanan kesehatan, pendidikan, atau bahkan keamanan dasar.

Beberapa agen bahkan mencatat bahwa tentara lokal yang mereka temui tampak tidak terorganisir, lelah, dan kurang semangat. Dalam percakapan yang disadap, salah seorang prajurit berkata:

"Apa yang kita bela? Orang-orang yang bahkan tidak punya makanan? Kalau ini yang disebut negara, aku lebih baik mati."

Bahkan mata-mata Mirishial, yang dilatih untuk bersikap netral dan fokus pada misi, tidak bisa menahan rasa simpati mereka. Salah satu agen menulis dalam laporan rahasianya:

"Kami mengira Indonesia adalah sekutu kuat yang mampu menantang kami di Dewan Rodenius. Namun, di sini kami melihat sisi lain: sebuah bangsa yang telah kehilangan jiwanya. Apakah mereka benar-benar siap untuk perang? Atau ini hanya amukan dari rasa frustrasi kolektif mereka?"

Setelah kembali ke markas masing-masing, para mata-mata menyusun laporan mendetail untuk pemerintah mereka. Dalam rapat tertutup, para pemimpin Mirishial menerima laporan itu dengan kebingungan yang mendalam.

"Kita mengira mereka adalah sekutu kuat, tetapi mereka bahkan tidak bisa merawat rakyat mereka sendiri. Apa yang sebenarnya terjadi pada Indonesia?" Kaisar Mirishial berpikir dengan keras.

"Mungkin mereka pantas terpuruk. Bangsa yang terpecah belah dan tidak bisa merawat dirinya sendiri bukanlah ancaman nyata." Presiden Benedictus berkata dengan sinis Dalam salah satu rapat dalam negeri Louria.

Namun, di balik sinisme itu, beberapa penasihat mulai mempertanyakan kebijakan mereka. Jika Indonesia benar-benar keluar dari Dewan Rodenius, dampaknya tidak hanya akan merugikan wilayah tersebut, tetapi juga akan membuka peluang bagi kekacauan lebih besar.

Apa yang ditemukan oleh para mata-mata dari sekutu-sekutu Indonesia adalah kenyataan yang pahit: sebuah bangsa yang kuat dalam sejarah dan tradisi militernya, tetapi hancur di dalam, terluka oleh trauma masa lalu dan dilemahkan oleh ketidakadilan modern.

Keadaan pedalaman yang memilukan ini menjadi pengingat keras bahwa kekuatan tidak hanya diukur oleh senjata atau ancaman, tetapi oleh kesejahteraan rakyatnya. Dan dalam hal ini, Indonesia tampak seperti harimau tua yang kehilangan taringnya—terluka, marah, tetapi juga sangat rapuh.

Di Aula megah Dewan Rodenius, delegasi-delegasi dari kekuatan besar di benua berkumpul. Suasana tegang menggantung di udara, topik utama diskusi hari itu adalah laporan menyedihkan tentang kondisi pedalaman Indonesia setelah Insiden Grameus.

Kaios, Ketua Dewan dan perwakilan dari Parpaldia, mengetuk palu kecil untuk membuka sesi. Wajahnya menunjukkan ketenangan khas seorang diplomat kawakan, tetapi ada nada tegas dalam suaranya. "Rekan-rekan Dewan, laporan yang kami terima tentang kondisi rakyat Indonesia di pedalaman sangat mengkhawatirkan. Anak-anak kelaparan, tubuh-tubuh tak bernyawa dibiarkan begitu saja, dan desa-desa terabaikan. Ini bukan masalah internal belaka, tetapi sesuatu yang mencerminkan komitmen sebuah negara terhadap rakyatnya."

Laksamana Lanael, delegasi Mirishial, berbicara berikutnya. Suaranya lembut, tetapi ada desakan dalam nada bicaranya. "Fahri, tidak ada yang meragukan ketahanan bangsa Indonesia. Namun, apa yang kami temukan di pedalaman negeri Anda sangat mengkhawatirkan. Kami tidak membawa ini ke Dewan untuk mempermalukan Indonesia, melainkan untuk mengingatkan bahwa rakyat Anda membutuhkan perhatian mendesak. Jika mereka dibiarkan seperti ini, apa gunanya Indonesia mempertahankan statusnya sebagai salah satu kekuatan utama?"

Sebelum Fahri dapat merespons, Lady Serenya dari Quila menimpali. Perempuan bangsawan itu berbicara dengan nada datar, tetapi ada ketajaman dalam kata-katanya.
"Bangsa yang besar adalah bangsa yang memelihara rakyatnya. Bagaimana kami bisa percaya pada kekuatan Anda jika rakyat Anda sendiri tidak percaya pada negara mereka? Fakta-fakta ini tidak bisa diabaikan, Fahri."

Marcus dari Louria, dengan gestur angkuh, memotong tanpa peduli protokol.
"Indonesia adalah sekutu kita, tetapi sekutu yang lemah adalah beban. Kami mendukung Mirishial dan Quila dalam tuntutan ini. Perbaiki kondisi rakyat Anda, atau posisi Anda di Dewan ini akan dipertanyakan."

Fahri, perwakilan Indonesia, selama ini duduk diam, mengamati dan mendengarkan. Namun, mendengar kata-kata Marcus, ia berdiri dengan tiba-tiba, mengepalkan tangan di atas meja. Suaranya gemetar, bukan karena takut, tetapi karena menahan emosi yang mendidih. "Jadi, ini sikap kalian? Menuntut kami berdasarkan laporan yang diambil secara ilegal? Mata-mata dari negara kalian—Mirishial, Louria, bahkan Quila—mengintai rakyat kami, lalu berani membawa ‘temuan’ ini untuk menghakimi kami di forum ini?"

Wajah Lanael berubah masam, tetapi sebelum ia sempat menjawab, Fahri melanjutkan dengan nada lebih keras.

"Kami adalah Indonesia! Kami telah bertahan dari kehancuran Dunia Lama kami, sesuatu yang tidak pernah kalian alami! Kalian berbicara tentang kelaparan dan kemiskinan seolah-olah kalian lebih tahu apa yang kami alami. Kalian tidak tahu apa-apa tentang perjuangan kami, dan sekarang kalian berani menuntut?"

Lady Elenora dari Qua-Toyne mencoba menenangkan situasi, suaranya lembut tetapi penuh kehati-hatian.
"Fahri, kami hanya ingin membantu. Situasi seperti ini dapat memperburuk stabilitas kawasan. Dewan ini memiliki tanggung jawab untuk saling mendukung."

Fahri menatap Elenora dengan dingin.

"Membantu? Ini bukan membantu, ini penghinaan! Jika kalian benar-benar ingin membantu, kalian akan mendatangi kami langsung, bukan memata-matai dan membawa ini ke forum terbuka untuk mempermalukan kami."

Ia menatap setiap delegasi di ruangan itu, mengangkat tangannya dengan gerakan dramatis.

"Kami tidak pernah mengirim mata-mata ke Mirishial, Louria, atau Parpaldia. Kami tidak pernah mengintip Quila atau Qua-Toyne. Kenapa? Karena kami menghormati kedaulatan kalian! Tetapi kalian tidak menunjukkan rasa hormat yang sama kepada kami! Jika ini adalah cara Dewan Rodenius memperlakukan salah satu anggotanya, maka mungkin kami tidak punya alasan untuk tetap berada di sini!"

Ruangan itu terdiam. Bahkan Marcus, yang biasanya lantang, terlihat terkejut dengan ancaman yang tiba-tiba itu. Lanael mencoba merespons dengan nada lebih damai. "Fahri, kami tidak ingin Indonesia keluar. Dewan ini akan kehilangan salah satu anggotanya yang paling penting. Tetapi kami hanya meminta agar Anda mempertimbangkan kondisi rakyat Anda dengan serius.”

Namun, Fahri menggeleng dengan dingin, memotong dengan suara tajam.

"Jika Dewan ini benar-benar menganggap kami penting, perlakukan kami dengan hormat. Jangan gunakan rakyat kami sebagai alasan untuk menginjak martabat bangsa kami!"

Kaios akhirnya mengetuk palu untuk menghentikan diskusi lebih lanjut. Wajahnya tampak tegang, tetapi ia berusaha mengendalikan suasana.
"Rekan-rekan Dewan, kami akan menunda keputusan ini untuk diskusi lebih lanjut. Indonesia telah memberikan sikap yang jelas. Mari kita gunakan waktu ini untuk merenungkan langkah-langkah ke depan."

Fahri tidak menunggu sesi ditutup sepenuhnya. Ia mengambil dokumen-dokumennya dengan gerakan tajam, lalu berjalan keluar dari ruangan tanpa menoleh, meninggalkan keheningan yang membekukan di belakangnya.

Di luar ruang rapat, Fahri menghela napas berat, tetapi amarahnya belum mereda. Indonesia telah membuat sikapnya jelas, tetapi ancaman untuk keluar dari Dewan kini menggantung seperti bayangan gelap di atas hubungan internasional Rodenius.

Langit Le Brias, Ibukota Kerajaan Altaras, tempat Dewan Rodenius berada, mendung ketika delegasi Indonesia memutuskan untuk meninggalkan kedutaan mereka. Di depan gedung kedutaan besar yang kini sunyi, Fahri berdiri bersama beberapa Marinir Indonesia yang bersenjata lengkap. Bendera Indonesia berkibar megah di antara deretan bendera negara-negara anggota Dewan. Namun, hari itu, bendera itu akan diturunkan.

Dengan langkah tegap, seorang Marinir mendekati tiang bendera, sementara Fahri memegang tali bendera dengan tangan yang gemetar, bukan karena ketakutan, tetapi karena campuran amarah dan kesedihan.

"Saudara-saudara." Suara Fahri serak, berbicara kepada Marinir yang berdiri dalam barisan sempurna di belakangnya. "Hari ini kita menunjukkan bahwa martabat bangsa tidak bisa dibeli, bahkan oleh aliansi yang mengaku sebagai sahabat."

Ia menarik tali perlahan. Bendera merah-putih mulai turun, melambai perlahan seperti mengucapkan selamat tinggal. Mata Fahri berkaca-kaca, tetapi ia tidak membiarkan air matanya jatuh. Ketika bendera mencapai dasar tiang, ia melipatnya dengan hati-hati dan menyerahkannya kepada seorang Marinir.

"Bawa ini pulang." Katanya dengan suara bergetar. "Kita tidak punya tempat lagi di sini."

Di dalam kedutaan, semua aktivitas telah dihentikan. Para staf bekerja dengan cepat untuk mengosongkan kantor, memindahkan dokumen-dokumen penting ke kendaraan diplomatik. Tidak ada upacara, tidak ada perpisahan. Gedung kedutaan Indonesia yang biasanya ramai kini terasa seperti bangunan kosong yang ditinggalkan.

Marinir terakhir menutup gerbang besar kedutaan. Fahri berdiri sebentar di depan gedung, menatap lambang Garuda Pancasila yang terukir di pintu masuk. Dengan langkah mantap, ia berjalan menuju kendaraan yang akan membawa mereka ke pelabuhan untuk kembali ke Indonesia.

Di tempat lain, Lady Elenora baru saja selesai berbicara dengan Perdana Menteri Kanata melalui komunikasi darurat. Wajahnya menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. Keputusan telah diambil.

"Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi." Kata Kanata. "Indonesia adalah salah satu sekutu pertama kita, membantu kita bangkit menjadi kita yang sekarang dan kita tidak akan membiarkan mereka berdiri sendiri dalam penghinaan seperti ini."

Lady Elenora mengangguk. "Saya akan menyampaikan keputusan ini kepada Dewan. Qua-Toyne tidak lagi memiliki tempat di Dewan Rodenius."

Keesokan harinya, Lady Elenora berdiri di tengah aula Dewan Rodenius, di depan delegasi-delegasi yang terkejut dengan kepergian Indonesia. Suaranya tenang, tetapi penuh dengan tekad.

"Kerajaan Qua-Toyne, setelah mempertimbangkan dengan saksama, memutuskan untuk menarik diri dari Dewan Rodenius, efektif hari ini."

Kaios tampak terkejut, tetapi sebelum ia bisa merespons, Elenora melanjutkan.
"Dewan ini telah kehilangan arah. Indonesia, sekutu kita yang telah berjuang melawan ancaman besar, diperlakukan dengan cara yang memalukan. Kami tidak bisa tinggal diam dan mengabaikan ini. Qua-Toyne berdiri bersama Indonesia."

Ia tidak menunggu tanggapan. Setelah memberikan pernyataan itu, Lady Elenora meninggalkan ruangan dengan kepala tegak, diikuti oleh beberapa delegasi Qua-Toyne.

Ketika berita tentang kepergian Indonesia dan Qua-Toyne menyebar, suasana di Le Brias menjadi penuh ketegangan. Para diplomat dan pejabat Dewan saling berbisik, mencoba memahami implikasi dari perpecahan besar ini.

Di pelabuhan, Fahri, staf Kedutaan, dan Marinir Indonesia menunggu kapal mereka. Lady Elenora tiba-tiba muncul, berjalan menuju Fahri dengan senyum tipis.

"Fahri." Katanya pelan. "Kita akan bertemu lagi, di tempat yang lebih baik."

Fahri mengangguk, matanya penuh penghormatan. "Terima kasih, Lady Elenora. Indonesia tidak akan melupakan ini."

Mereka berjabat tangan dengan erat, dua bangsa yang kini bersatu dalam solidaritas melawan tekanan Dewan Rodenius. Kapal mulai berlayar, membawa delegasi Indonesia kembali ke tanah air mereka, meninggalkan Le Brias yang kini menjadi simbol perpecahan besar.

Pada dini hari awal Desember, serangan mendadak melanda Kota Greth, salah satu kota perbatasan selatan Kerajaan Qua-Toyne. Penduduk kota yang sedang tertidur lelap terbangun oleh bunyi ledakan dan jeritan. Para prajurit Qua-Toyne yang bertugas kewalahan menghadapi serangan mendadak dari klan Dark Elf yang dikenal sebagai Varithir.

Mereka menyerang dengan ketepatan dan kecepatan, memanfaatkan keterampilan magis mereka untuk menghancurkan gudang-gudang logistik dan menjarah senjata. Banyak warga sipil yang terbunuh, dan sebagian besar kota hancur sebelum prajurit Qua-Toyne sempat memobilisasi pertahanan penuh.

Setelah beberapa jam kekacauan, pasukan Dark Elf menarik diri, menyisakan kehancuran di belakang mereka. Mereka kabur menyeberangi perbatasan ke Quila, di mana mereka diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah Quila yang selama ini diam-diam mendukung keberadaan mereka.

Keesokan harinya, di Ibu Kota Qua-Toyne, Belluma, Perdana Menteri Kanata memimpin pertemuan darurat dengan Dewan Pertahanan Kerajaan. Wajahnya tegang ketika laporan kerusakan dan korban jiwa disampaikan.

"Mereka menyerang rakyat kita, menghancurkan Kota kita, lalu kabur ke Quila yang memberi mereka perlindungan!" Seru salah satu penasihat militer.

Kanata menatap meja rapat dengan rahang mengeras. "Ini adalah pelanggaran berat terhadap kedaulatan kita. Quila sudah terlalu lama bermain-main dengan api."

Lady Elenora, yang baru saja kembali dari Le Brias, berdiri dengan tenang namun penuh amarah. "Kita harus menuntut pertanggungjawaban Quila. Jika mereka terus mendukung pemberontak ini, kita tidak punya pilihan selain menganggap mereka sebagai musuh."

“Perang?" Tanya salah satu Jenderal dengan nada skeptis.

Kanata mengangguk perlahan. "Jika diplomasi gagal, kita tidak punya pilihan lain."

Di Ibukota Quila, Lorenthia, Lady Serenya menerima utusan Qua-Toyne yang membawa surat peringatan keras dari Perdana Menteri Kanata. Wajahnya tetap tenang ketika membaca surat itu, tetapi senyum tipis muncul di bibirnya.

"Klan Varithir hanya mencari perlindungan dari kezaliman Qua-Toyne." Katanya kepada penasihatnya. "Mereka adalah korban, bukan pelaku."

Namun, di balik sikap simpatik ini, Serenya menyadari bahwa mendukung klan Dark Elf adalah bagian dari strategi Quila untuk melemahkan Qua-Toyne. Selama ini, Qua-Toyne telah menjadi pesaing utama Quila di wilayah selatan Rodenius, dan memberikan suaka kepada pemberontak adalah cara efektif untuk memecah perhatian mereka.

Beberapa hari kemudian, delegasi dari Qua-Toyne tiba di Lorenthia untuk mengajukan protes resmi. Dipimpin oleh Diplomat Yagou, mereka bertemu langsung dengan Lady Serenya di istana kerajaan.

"Kami menuntut agar Quila menyerahkan anggota klan Varithir kepada kami!" Yagou berbicara dengan nada tegas, tatapannya tajam.

Lady Serenya hanya tersenyum. "Kerajaan Quila tidak akan menyerahkan siapa pun yang mencari perlindungan di tanah kami. Mereka datang kepada kami sebagai pengungsi, dan kami akan memperlakukan mereka sebagaimana mestinya—dengan belas kasih."

"Mereka bukan pengungsi." Balas Yagou dengan nada tinggi. "Mereka adalah pembunuh, penghancur, dan pengkhianat! Melindungi mereka adalah sama saja dengan menyatakan perang kepada Qua-Toyne."

"Jika Qua-Toyne ingin mengancam perang, maka kalian harus siap menghadapi konsekuensinya." Serenya menjawab dengan santai, meskipun matanya penuh ancaman tersembunyi.

Ketika berita tentang kegagalan diplomasi tersebar, rakyat Qua-Toyne semakin marah. Banyak yang menuntut pemerintah untuk mengambil tindakan keras terhadap Quila, bahkan jika itu berarti perang terbuka.

Di sisi lain, Quila mulai memobilisasi pasukan di sepanjang perbatasan selatan, memperlihatkan bahwa mereka siap menghadapi kemungkinan serangan dari Qua-Toyne.

Di tengah ketegangan ini, keretakan politik di Rodenius semakin dalam, terutama setelah Indonesia mundur dari Dewan. Dunia menyaksikan dengan cemas, menyadari bahwa konflik besar di Rodenius mungkin tidak bisa dihindari.

Pada akhir Desember 1645, malam di perbatasan barat Quila yang sebelumnya tenang tiba-tiba dipecahkan oleh ledakan-ledakan dahsyat. Pasukan Qua-Toyne, yang telah berkumpul secara diam-diam selama beberapa minggu, melancarkan serangan kejutan terhadap benteng-benteng Quila di bekas wilayah Louria.

Dipimpin oleh Marinir Qua-Toyne yang terkenal dengan reputasi brutal mereka, serangan ini diarahkan untuk merebut kembali tanah yang mereka klaim sebagai bagian dari warisan kerajaan mereka. Marinir Qua-Toyne, yang dipimpin oleh Komandan Ralith Varyon, memimpin pasukannya dengan keganasan yang membuat musuh ketakutan.

"Ini adalah tanah yang dijanjikan kepada kita! Bawa kehancuran pada setiap sampah yang berani menginjaknya!" Seru Ralith kepada pasukannya sebelum serangan dimulai.

Benteng utama Quila di wilayah itu, Fort Hadareth, adalah salah satu pertahanan terkuat di sepanjang perbatasan. Namun, kekuatan dan keganasan pasukan Qua-Toyne tidak bisa diremehkan.

Marinir Qua-Toyne, yang didukung oleh artileri berat dan unit kavaleri mekanis mereka, memfokuskan serangan pada titik lemah pertahanan benteng. Pasukan mereka memanfaatkan senjata M16, Tank-tank medium dan ringan, serta berbagai macam jenis pesawat yang mampu menembus membuat pertahanan Quila kacau.

"Maju terus! Jangan beri mereka kesempatan untuk bernapas!" Ralith memerintahkan saat dia memimpin serbuan.

Prajurit Quila yang bertahan di benteng berjuang keras, tetapi jumlah mereka kalah jauh. Marinir Qua-Toyne terkenal tidak memberikan belas kasihan, bahkan kepada mereka yang menyerah. Banyak pasukan Quila yang memilih mati bertarung daripada menyerahkan diri.

Marinir Qua-Toyne menggunakan taktik yang mengejutkan musuh. Selain memanfaatkan senjata yang lebih superior dari Quila, mereka juga membawa reputasi haus darah mereka ke medan perang. Setiap musuh yang mereka tangkap diperlakukan dengan kejam, menciptakan teror di barisan Quila.

Seorang saksi mata, prajurit muda Quila yang selamat, menggambarkan keganasan ini:
"Mereka seperti binatang buas, menyerbu tanpa henti. Kami tidak hanya melawan manusia; kami melawan monster. Komandan kami gugur di detik pertama serangan, dan sisanya adalah kekacauan."

Setelah tiga hari bertempur tanpa henti, Fort Hadareth akhirnya jatuh ke tangan Qua-Toyne. Bendera kerajaan mereka berkibar di atas reruntuhan benteng. Serangan ini membuka jalan bagi pasukan utama Qua-Toyne untuk masuk lebih dalam ke wilayah Quila.

Ralith Varyon, yang berdiri di atas dinding benteng yang hancur, mengangkat pedangnya dan berteriak:
"Tanah ini kembali ke pemilik yang sah! Ini baru permulaan!"

Di Ibu Kota Quila, Lorenthia, berita tentang jatuhnya Fort Hadareth memicu kepanikan besar. Lady Serenya, yang sebelumnya yakin akan kekuatan pertahanan mereka, segera mengumpulkan Dewan Perang untuk merencanakan serangan balik.

"Qua-Toyne sudah melanggar batas. Kita tidak bisa hanya bertahan; kita harus menyerang balik!" Kata Raja Aldros dengan nada tegas.

Namun, kondisi internal Quila tidak sekuat yang dia harapkan. Serangan mendadak Qua-Toyne telah menyingkap kelemahan mereka, dan banyak pasukan Quila yang mulai kehilangan semangat juang.

Serangan ini tidak hanya menjadi isu regional tetapi juga menarik perhatian internasional. Kekaisaran Suci Mirishial, yang sebelumnya mendominasi diplomasi di Rodenius, mulai mempertimbangkan intervensi untuk menstabilkan situasi.

Sementara itu, Indonesia, yang baru saja menarik diri dari Dewan Rodenius, mengamati perkembangan ini dengan cemas. Presiden Anna memerintahkan agar semua laporan tentang perang di Rodenius terus dikirimkan kepadanya.

"Jika mereka mulai menggunakan senjata pemusnah massal lagi, kita tidak akan tinggal diam." Katanya dalam pertemuan darurat di Jakarta.

Perang di Rodenius baru saja dimulai, dan dunia bersiap menghadapi gelombang konflik yang lebih besar.

Di hamparan gurun tandus yang memisahkan Quila dan bekas wilayah Louria, pasukan invasi Qua-Toyne yang terus maju bertemu dengan pertahanan sengit dari tentara Quila. Dengan jumlah pasukan yang lebih besar dan tekad yang kuat, tentara Quila menggunakan taktik bumi hangus untuk mempersulit lawan mereka.

Setiap wilayah yang jatuh ke tangan Qua-Toyne menyisakan kehancuran. Ladang minyak yang menjadi sumber utama ekonomi Quila dibakar habis oleh tentara mereka sendiri untuk mencegah penggunaannya oleh pasukan Qua-Toyne.

Asap hitam tebal membubung tinggi di udara, menyelimuti medan perang. Bau bensin terbakar dan minyak yang mendidih menciptakan suasana mencekam. Komandan pasukan Barat Quila, Jenderal Hathar Drontis, dengan tegas memerintahkan:
"Jika kita harus kehilangan tanah ini, kita pastikan mereka tidak mendapatkan apa-apa. Bakar semuanya!"

Pasukan Qua-Toyne, yang dipimpin oleh Ralith Varyon, menghadapi kesulitan besar. Tanpa akses ke sumber daya lokal, logistik mereka menjadi kacau. Keganasan pertempuran, ditambah kondisi gurun yang tidak bersahabat, memperlambat laju serangan mereka.

Di sisi utara, pasukan Qua-Toyne mencoba memanfaatkan jalur pegunungan untuk menyerang Quila dari arah lain. Namun, pertahanan Quila di wilayah ini jauh lebih kuat. Pasukan Quila telah memanfaatkan ketinggian dan medan yang curam untuk memasang jebakan dan pertahanan yang sulit ditembus.

Artileri berat Quila ditempatkan di puncak-puncak gunung, menghujani pasukan Qua-Toyne yang mencoba mendaki. Serangan-serangan gerilya dari unit kecil Quila juga membuat jalur pasokan Qua-Toyne terputus.

"Setiap batu adalah benteng kami" Ujar Kolonel Zarion Vellis, pemimpin Pasukan Utara. "Mereka boleh membawa pasukan sebanyak mungkin, tapi mereka tidak akan melewati gunung ini tanpa membayar harga mahal."

Itu adalah statemen dari Kolonel Zarion saat diwawancarai oleh beberapa wartawan swasta dari Mirishial yang meliput langsung dari garis depan konflik baru.

Di laut, angkatan laut Qua-Toyne berhasil memblokade garis pantai Quila sepenuhnya. Kapal perang mereka, meskipun berteknologi lebih sederhana dibandingkan armada Mirishial, cukup untuk menghentikan perdagangan dan intervensi dari luar.

Pelabuhan utama Quila di Lorenthia kini sepi, dengan kapal dagang asing enggan mendekat karena risiko ditenggelamkan. Blokade ini memperparah krisis internal Quila, membuat mereka semakin terisolasi.

Namun, Quila tidak tinggal diam. Mereka mengerahkan kapal selam kecil yang menargetkan kapal-kapal Qua-Toyne. Meskipun serangan ini tidak berhasil memecahkan blokade, mereka cukup untuk menimbulkan kerugian signifikan bagi angkatan laut Qua-Toyne.

Pertempuran di gurun berlangsung selama berminggu-minggu tanpa tanda-tanda akan berakhir. Tentara Qua-Toyne mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Pasokan mereka menipis, dan moral pasukan terganggu oleh taktik bumi hangus Quila.

"Setiap langkah maju terasa seperti memasuki neraka." Ujar seorang prajurit Qua-Toyne yang selamat. "Tidak ada apa-apa kecuali kehancuran, dan musuh selalu menunggu di balik kehancuran itu."

Di sisi lain, pasukan Quila juga mulai merasa tertekan. Meskipun taktik bumi hangus mereka berhasil memperlambat laju Qua-Toyne, kekurangan sumber daya dan tekanan dari berbagai front membuat mereka kelelahan.

Mirishial dan negara-negara besar lainnya mulai memperhatikan konflik ini dengan lebih serius. Kekacauan di Rodenius dikhawatirkan dapat meluas ke wilayah lain, terutama dengan Qua-Toyne yang menguasai jalur laut strategis.

Indonesia, yang tetap mengamati dari kejauhan, mulai mempertimbangkan apakah mereka harus mengambil langkah untuk mencegah perang ini semakin tidak terkendali. Presiden Anna, yang masih diliputi kemarahan dan rasa frustrasi terhadap Dewan Rodenius, memerintahkan laporan harian tentang perkembangan konflik ini.

"Dunia tidak butuh lebih banyak kehancuran." A Presiden Anna dalam pertemuan kabinetnya. "Namun jika kita diam saja, kita membiarkan mereka menghancurkan diri mereka sendiri."

Setelah berbulan-bulan pertempuran sengit, perang antara Qua-Toyne dan Quila mencapai titik buntu. Kedua belah pihak telah kelelahan, kehilangan banyak pasukan, dan menghadapi tantangan logistik yang semakin besar. Pada akhir Desember 1645, kedua belah pihak mulai membangun fortifikasi yang kokoh di sepanjang garis depan, memperkuat posisi mereka untuk menghadapi potensi serangan.

Benteng dan parit membentang di gurun dan pegunungan, membentuk jaringan pertahanan yang sangat sulit ditembus. Tentara Qua-Toyne memanfaatkan teknologi modern mereka untuk membuat posisi yang lebih efektif, sementara Quila, dengan pengalaman bertempur yang terasah, menggunakan taktik dan sumber daya lokal untuk memperkuat garis mereka.

"Ini bukan lagi tentang menyerang atau bertahan." Ujar seorang prajurit Quila. "Sekarang ini tentang siapa yang bisa bertahan hidup lebih lama di neraka ini."

Meski pertempuran darat terhenti, langit di atas medan perang tetap penuh dengan aktivitas. Kedua belah pihak mengandalkan kekuatan udara untuk mengintai, menyerang logistik lawan, dan menggempur posisi musuh.

Pesawat tempur biplane dan monoplane menjadi tulang punggung angkatan udara Qua-Toyne dan Quila. Dengan desain sederhana namun efektif, mereka terlibat dalam dogfight yang ganas di atas gurun dan pegunungan. Pilot dari kedua negara memperlihatkan keberanian luar biasa, dengan beberapa di antaranya menjadi ace terkenal:

Kapten Reinald Korvas (Quila): Dengan 17 kemenangan udara, Kapten Korvas dikenal karena keberanian dan kemampuan manuvernya yang luar biasa.

Letnan Tyra Weshlin (Qua-Toyne): Letnan muda ini mencatatkan 14 kemenangan udara dalam waktu singkat, menjadi inspirasi bagi banyak pilot muda Qua-Toyne.

Pertarungan udara ini juga memperlihatkan evolusi taktik. Pilot-pilot mulai mengembangkan formasi baru, teknik menyerang dari arah matahari, dan komunikasi yang lebih baik di tengah pertempuran.

Namun, tidak semua kemenangan datang tanpa harga. Banyak pilot pemula kehilangan nyawa mereka dalam dogfight yang brutal. "Langit adalah milik para pemberani." Ujar seorang pilot Qua-Toyne yang selamat. "Tetapi ia tidak pernah memaafkan kesalahan."

Di parit-parit yang dingin dan berdebu, para prajurit dari kedua belah pihak bertahan dalam kondisi yang menyedihkan. Kekurangan makanan, air, dan peralatan medis menjadi masalah utama. Prajurit sering kali harus bertahan dengan perbekalan seadanya, sementara penyakit mulai menyebar di kamp-kamp mereka.

Di sisi Quila, taktik bumi hangus mereka sebelumnya juga menjadi bumerang. Mereka kesulitan mendapatkan suplai yang cukup karena banyak infrastruktur mereka sendiri yang hancur. Di sisi Qua-Toyne, tekanan logistik dari garis pasokan yang panjang membuat kebutuhan pasukan sering kali tertunda.

Pada akhir Maret 1646, meskipun perang berada dalam keadaan buntu, diplomasi mulai bergerak. Kedua belah pihak diam-diam mengirimkan delegasi kecil untuk menjajaki kemungkinan gencatan senjata sementara, meskipun rasa saling tidak percaya masih sangat tinggi.

Namun, di balik layar, ada pihak yang mengambil keuntungan dari konflik ini. Para pedagang senjata dari negara lain, termasuk Mirishial, mulai memasok peralatan ke Quila. Sementara itu, negara-negara di Dewan Rodenius mengamati situasi ini dengan penuh perhatian, khawatir konflik ini dapat meluas dan mengancam stabilitas regional.

"Perang ini tidak akan berakhir dengan pemenang." Kata salah satu diplomat Mirishial. "Hanya kehancuran yang menunggu mereka berdua."

Pertarungan yang membekukan ini menunjukkan bahwa perang modern bukan hanya tentang teknologi dan kekuatan, tetapi juga tentang ketahanan dan kemampuan untuk bertahan dalam kondisi yang paling sulit.

Setelah berbulan-bulan perang yang brutal, pasukan Qua-Toyne akhirnya mendekati ibu kota Quila, sebuah kota besar yang dikelilingi oleh pegunungan dan dataran tandus. Dengan kekuatan tempur yang lebih terorganisir, pasukan Qua-Toyne berhasil menembus pertahanan luar Quila, menduduki wilayah hingga hanya 15 kilometer dari pusat ibu kota.

Namun, laju serangan mereka mulai melambat. Pasukan Quila, yang telah terdesak, melancarkan serangan balasan yang sengit. Menggunakan sisa-sisa kekuatan mereka, termasuk para petempur dari klan Dark Elf yang semula hanya menjadi sekutu bayangan, Quila berusaha keras untuk mempertahankan ibu kota mereka.

"Jika kita tidak bisa menang, maka kita akan menyeret mereka ke neraka bersama kita." Ujar Jenderal Eldrith, komandan tertinggi Quila, dengan nada yang mencerminkan keputusasaan.

Pertempuran di garis depan berlangsung sengit. Tank-tank tua Quila seperti KAT-01 'Grom', yang menjadi tulang punggung Kavaleri Quila, masih digunakan dengan taktik licik untuk menghambat pergerakan pasukan Qua-Toyne. Sementara itu, pesawat-pesawat biplane dan monoplane dari kedua belah pihak bertempur di langit, melahirkan banyak pilot ace yang dikenang sebagai legenda di era ini.

Di tengah kekacauan ini, Indonesia memilih untuk tidak terlibat secara langsung, baik melalui intervensi militer maupun pemberian informasi strategis. Sebaliknya, Indonesia mengambil pendekatan yang lebih humanis.

"Kita tidak akan mengotori tangan kita dalam perang ini." Ujar Presiden Anna dalam sebuah rapat kabinet khusus. "Tapi kita punya tanggung jawab moral untuk membantu mereka yang menderita akibat konflik ini."

Indonesia mengirimkan bantuan dalam bentuk:

Obat-obatan modern untuk menangani korban perang di kedua belah pihak.

Pembangunan fasilitas pengungsi di wilayah netral, dengan melibatkan yayasan kesehatan di Indonesia yang ingin sekali membantu.

Bantuan ini diterima dengan beragam reaksi. Rakyat Quila melihatnya sebagai secercah harapan, meskipun bantuan tersebut tidak cukup untuk mengatasi penderitaan mereka secara menyeluruh. Di sisi lain, rakyat Qua-Toyne menganggap langkah Indonesia sebagai tanda dukungan moral, meskipun beberapa mengeluhkan sikap netral Indonesia sebagai bentuk kepengecutan.

Setelah mendekati ibu kota Quila, pasukan Qua-Toyne mendapati perlawanan yang jauh lebih sulit. Quila yang putus asa mulai menggunakan taktik gerilya dan bumi hangus di sekitar wilayah ibu kota.

Sementara pasukan darat Qua-Toyne berusaha mendobrak pertahanan terakhir, pasukan udara mereka mulai kehilangan momentum. Pesawat-pesawat Quila, meskipun tidak canggih dan perlahan berkurang jumlahnya, bertempur dengan semangat mati-matian, menghalangi serangan udara Qua-Toyne yang bisa menghancurkan ibu kota.

"Ada titik di mana kita harus bertanya, apakah kemenangan ini sepadan dengan harga yang kita bayar?" tanya Jenderal Taren, komandan pasukan Qua-Toyne.

Di Indonesia, laporan tentang perang ini membuat publik resah. Generasi yang hidup saat ini, yang hanya mengenal kisah perang melalui sejarah kelam Golden Dawn, memandang konflik di Rodenius dengan perasaan campur aduk.

"Apakah kita benar-benar akan membiarkan mereka menghancurkan diri mereka sendiri?" Tanya seorang warga dalam wawancara televisi. "Bukankah kita punya tanggung jawab untuk mencegah tragedi seperti ini terjadi lagi?"

Namun, pemerintah Indonesia tetap teguh pada sikapnya untuk tidak terlibat secara langsung, memilih untuk mengamati dengan cermat dan memastikan bantuan kemanusiaan terus mengalir.

Pada akhir April, perang mencapai kebuntuan. Pasukan Qua-Toyne tidak mampu menerobos pertahanan terakhir Quila, sementara Quila tidak memiliki kekuatan untuk melancarkan serangan balik besar.

Kedua belah pihak mulai menggali fortifikasi, menyiapkan diri untuk perang yang panjang. Namun, dengan suplai yang menipis dan korban jiwa yang terus meningkat, keduanya juga mulai merasakan tekanan untuk menemukan jalan keluar dari konflik ini.

Di tengah kekacauan ini, Indonesia terus berusaha memainkan perannya sebagai penjaga netralitas, meskipun tekanan untuk melakukan lebih banyak terus meningkat.

Pada awal Mei 1646, di tengah kebuntuan perang antara Qua-Toyne dan Quila, sebuah serangan mengejutkan datang dari arah Republik Louria. Pasukan Louria, yang selama ini dianggap tidak lagi relevan setelah kekalahan mereka di masa lalu, melancarkan serangan nekat ke arah Belluma, ibu kota Qua-Toyne.

Dipimpin oleh Jenderal Crassus, Louria memanfaatkan kelengahan Qua-Toyne yang fokus ke perang di selatan melawan Quila. Dengan ribuan prajurit yang bergerak cepat melalui jalur darat, Louria berusaha menciptakan kekacauan dan memaksa Qua-Toyne untuk mundur dari front Quila.

Namun, upaya ini cepat terdeteksi. Pasukan pertahanan dalam negeri Qua-Toyne, yang dipimpin oleh Jenderal Markus Alenor, dengan sigap memobilisasi kekuatan mereka. Di dataran pinggiran Kota Belluma, pasukan Louria, yang kelelahan setelah perjalanan panjang, dihancurkan dalam pertempuran brutal. Qua-Toyne, yang unggul dalam strategi dan teknologi, mengepung Louria dan memaksa mereka menyerah.

Setelah pertempuran, ribuan prajurit Louria ditangkap oleh pasukan Qua-Toyne. Tetapi, alih-alih diperlakukan sebagai tawanan perang biasa, mereka menjadi korban pembalasan yang tidak manusiawi.

Jenderal Markus Alenor memerintahkan hukuman yang mengejutkan dunia. Dari ribuan tawanan Louria:

-Separuh dari mereka dibantai secara brutal, tubuh mereka dicincang menjadi beberapa bagian di hadapan rekan-rekan mereka yang masih hidup, sebagai bentuk intimidasi.

-Para tawanan yang masih hidup dipaksa membawa potongan tubuh rekan-rekan mereka, yang diikat dengan tali kasar ke tubuh mereka sendiri. Kepala, lengan, dan kaki yang terpotong menggantung dari bahu dan punggung mereka, menambah rasa horor di antara para prajurit yang tersisa. Bau darah dan pembusukan menyelimuti perjalanan mereka.

Dengan tangan terikat, mereka dipaksa berjalan tanpa makanan atau air kembali ke Jin-Hark, ibu kota Louria, sebagai pesan memalukan kepada bangsa mereka.

Sepanjang perjalanan yang memakan waktu berminggu-minggu, para tawanan Louria menghadapi penderitaan yang tak terbayangkan. Banyak yang tewas karena dehidrasi, kelelahan, atau trauma. Mayat mereka dibiarkan membusuk di jalanan, menjadi pemandangan mengerikan bagi siapa pun yang melewati jalur tersebut.

Berita tentang pembantaian dan penghinaan terhadap tawanan Louria ini dengan cepat menyebar ke seluruh Rodenius dan dunia luar. Negara-negara lain terkejut dengan kebrutalan Qua-Toyne, yang selama ini dikenal sebagai bangsa yang lebih moderat dibandingkan kekuatan lain di Rodenius.

Di Dewan Rodenius, kecaman datang dari berbagai pihak. Elt, perwakilan Parpaldia, menyebut tindakan ini sebagai "Bukti bahwa perang telah mengubah Qua-Toyne menjadi monster tanpa hati nurani."

"Tindakan seperti ini hanya akan menciptakan lingkaran balas dendam tanpa akhir. Apakah ini peradaban yang ingin kita wariskan kepada generasi mendatang?" Elt berteriak dengan amarah yang menggebu-gebu.

Namun, Lady Elenora, perwakilan Qua-Toyne yang datang, membela keputusan ini dengan penuh kemarahan.  "Mereka datang ke tanah kami, menyerang rumah kami tanpa alasan. Kami hanya memberikan mereka pelajaran yang akan diingat generasi mereka selamanya. Jika kalian menyebut ini barbar, maka tanyakan pada Louria siapa yang pertama kali memulai kebiadaban ini!"

Di Neo-Jakarta, Presiden Anna dan para menterinya mengadakan rapat mendadak untuk membahas krisis ini. Meskipun Indonesia tidak secara resmi mengutuk tindakan Qua-Toyne, suasana rapat penuh dengan ketegangan dan kekecewaan.

Namun, Indonesia memilih tetap pada posisinya yang netral, hanya fokus pada bantuan kemanusiaan bagi para korban perang di Quila dan Louria. Meski demikian, ada perasaan frustrasi yang mendalam di kalangan pejabat Indonesia yang menyaksikan konflik ini terus memakan korban jiwa.

Di Jin-Hark, pemandangan tawanan Louria yang kembali dengan tubuh terikat pada potongan tubuh rekan mereka membawa rasa malu yang luar biasa bagi bangsa itu. Rakyat Louria, yang telah lama menderita akibat kekalahan dalam perang sebelumnya, kini dipenuhi rasa malu yang bercampur dengan dendam.

Namun, di balik layar, suara-suara yang mengkritik pemerintah mulai bermunculan. Banyak yang mempertanyakan keputusan Jenderal Crassus untuk melancarkan serangan nekat tersebut, yang hanya membawa lebih banyak penderitaan bagi bangsa mereka.

Peristiwa ini menandai babak baru dalam konflik di Rodenius. Kebencian antara Louria dan Qua-Toyne mencapai puncaknya, dengan kedua belah pihak tidak menunjukkan tanda-tanda ingin berdamai. Quila, yang menjadi saksi kebrutalan Qua-Toyne, semakin bersiap untuk bertahan mati-matian, sementara dunia menyaksikan dengan rasa ngeri bagaimana perang di Rodenius berubah menjadi pertunjukan kebencian tanpa batas.

Pada pertengahan Juni 1646, setelah kurang dari setahun perang yang menguras sumber daya, tenaga, dan nyawa di kedua belah pihak, Kerajaan Qua-Toyne memutuskan untuk mencari jalan damai dengan Kerajaan Quila. Perang yang telah melibatkan pembantaian brutal, penghancuran infrastruktur, dan jutaan rakyat yang kehilangan tempat tinggal mulai menekan pemerintah kedua negara untuk mempertimbangkan perdamaian.

Keputusan Qua-Toyne didorong oleh realitas pahit bahwa meskipun mereka unggul dalam medan perang, kekuatan ekonomi mereka mulai goyah, sementara Quila, meskipun terdesak, menunjukkan kemampuan bertahan yang luar biasa. Dengan dukungan rakyat yang kian menipis di kedua belah pihak, perundingan menjadi satu-satunya jalan keluar.

Perundingan perdamaian diselenggarakan di wilayah yang dikenal sebagai Tanah Tak Bertuan, sebuah dataran tandus yang terletak di tengah-tengah garis pertempuran. Wilayah ini sebelumnya adalah lahan pertanian subur, tetapi kini hanya menyisakan kehancuran akibat bombardir terus-menerus sejak perang dimulai.

Delegasi Qua-Toyne dipimpin oleh Lady Elenora, sementara Quila mengutus Lord Kreston sebagai kepala delegasinya. Untuk menunjukkan keseriusan mereka, kedua belah pihak sepakat datang tanpa pengawalan militer berat, hanya dengan perlindungan simbolis dari beberapa prajurit.

Pertemuan berlangsung di sebuah tenda besar yang didirikan di pusat Tanah Tak Bertuan. Tanah di sekitarnya berwarna hitam akibat ledakan artileri, dan bau belerang masih terasa di udara.

Tenda besar di tengah Tanah Tak Bertuan berdiri megah di antara puing-puing dan bekas ledakan yang menghiasi lanskap. Wilayah itu telah menjadi saksi bisu dari konflik yang melibatkan Qua-Toyne dan Quila selama berbulan-bulan. Tenda itu kini menjadi tempat pertemuan perdamaian—atau lebih tepatnya, perdebatan yang akan menentukan masa depan kedua bangsa.

Lady Elenora, delegasi utama Qua-Toyne, memasuki tenda dengan langkah penuh percaya diri. Ia mengenakan mantel militer tebal berwarna biru tua, yang tampak mencolok di antara debu dan kehancuran di luar. Di sisi lain meja perundingan, Lord Kreston dari Quila duduk dengan sikap kaku. Sorot matanya penuh dengan amarah yang ia coba sembunyikan di balik raut wajah yang tenang. Di antara mereka, diplomat-diplomat dari negara kecil di Benua Vestal dan dekat Benua Philades duduk sebagai saksi netral.

Elenora membuka pembicaraan dengan suara tenang, namun setiap kata yang diucapkannya menusuk seperti pedang. "Perang ini telah memakan terlalu banyak korban. Darah yang mengalir sudah cukup, dan Qua-Toyne tidak memiliki keinginan untuk terus memperpanjang penderitaan. Kami berada 15 kilometer dari ibu kota kalian, Lord Kreston. Posisi kami jelas unggul. Kami datang ke sini untuk menawarkan perdamaian, demi rakyat."

Lord Kreston mendengus pelan, lalu menatap Elenora dengan tajam. Ia mencondongkan tubuh ke depan, meletakkan kedua tangannya di atas meja. "Perdamaian, katamu? Bagaimana bisa kau bicara tentang perdamaian ketika kau memulai perang ini? Kalian melanggar perbatasan kami, menyerbu tanah kami, dan membakar desa-desa kami. Kalian menghancurkan Quila dengan dalih klaim yang tidak memiliki dasar."

Elenora tak terpengaruh oleh tuduhan itu. Ia membalas dengan nada dingin, suaranya tetap tegas. "Kami tidak memulai perang ini, Lord Kreston. Qua-Toyne hanya mengambil kembali apa yang menjadi hak kami. Tanah yang kalian sebut milik Quila sebenarnya adalah bagian dari wilayah yang dijanjikan pada kami oleh para Dewa dan leluhur, dan sekarang kami menuntut keadilan."

Kreston mengetukkan jarinya dengan keras di atas meja, membuat saksi-saksi di ruangan itu tersentak.
"Keadilan? Kau menyebut ini keadilan? Kalian menyerang desa-desa kami, membantai warga sipil, dan bahkan tentara kami yang tertangkap kalian perlakukan seperti binatang. Jangan berpura-pura menjadi korban di sini, Elenora!"

Elenora menatap balik tanpa ragu, ekspresinya membeku seperti patung marmer.
"Kau berbicara tentang pembantaian? Berapa banyak rakyat kami yang kelaparan akibat embargo yang kalian buat? Berapa banyak petani kami yang kehilangan ladangnya karena serangan sporadis kalian di perbatasan? Jangan berbicara tentang moral, Lord Kreston, jika Quila sendiri telah lama mengabaikannya."

Ketegangan di dalam ruangan semakin meningkat. Suara mereka yang saling beradu hampir menyelimuti setiap sudut tenda. Para diplomat netral mencoba menyela, namun diabaikan.

"Kalian mungkin memenangkan pertempuran, tapi kalian tidak akan pernah memenangkan hati rakyat kami!" Seru Kreston, suaranya menggema. "Quila akan bertahan, bahkan jika kami harus mengorbankan segalanya!"

Elenora berdiri, menatap Kreston dengan dingin.
"Kami telah menunjukkan belas kasihan dengan tidak menghancurkan Quila sepenuhnya. Jika ini yang kau pilih, maka jangan salahkan kami jika pasukan kami berdiri di gerbang Bellum sebelum akhir bulan ini."

Kreston berdiri juga, suaranya semakin keras.
"Dan kami akan melawan dengan setiap pria, wanita, dan anak yang kami miliki. Kau pikir perang ini akan membuat kami tunduk? Kau salah besar, Elenora!"

Diskusi terus berlanjut selama beberapa jam dengan intensitas yang tak berkurang sedikit pun. Akhirnya, setelah argumen yang tiada henti, para diplomat netral berhasil menenangkan kedua pihak. Perundingan akan dilanjutkan keesokan hari ketika kedua pihak telah mendinginkan kepala.

Begitu mereka keluar dari tenda, kedua delegasi kembali ke posisi mereka masing-masing dengan hati yang masih membara oleh kebencian.

Setelah dua hari perundingan yang intens, kedua belah pihak akhirnya sepakat untuk Status Quo Ante Bellum, mengembalikan wilayah dan batas negara seperti sebelum perang dimulai.

Ketika perjanjian perdamaian telah dicapai, ketegangan di antara kedua bangsa tetap menggantung di udara. Ketika pertemuan berakhir, Elenora meninggalkan tenda dengan tatapan dingin. Sebelum keluar, ia berbalik dan berkata kepada Kreston dengan nada yang sarat ancaman.
"Quila beruntung kami memilih diplomasi daripada kehancuran total. Ingatlah itu."

Kreston, yang masih berdiri dengan sikap keras kepala, membalas dengan sinis.
"Dan Qua-Toyne beruntung kami tidak hancur sepenuhnya. Kita lihat siapa yang tertawa terakhir."

Beberapa poin utama dalam kesepakatan ini meliputi:

Penghentian Permusuhan: Kedua belah pihak setuju untuk segera menarik pasukan mereka dari wilayah-wilayah yang telah diduduki selama perang.

Rekonstruksi Tanah Tak Bertuan: Wilayah yang hancur akibat perang akan dinyatakan sebagai zona netral untuk sementara waktu, dan kedua negara akan bekerja sama untuk merehabilitasi lahan tersebut.

Jaminan Keamanan: Kedua belah pihak berjanji untuk tidak melancarkan serangan baru dan akan memulai proses diplomasi untuk mengatasi sengketa masa depan.

Di Qua-Toyne, rakyat menyambut baik kesepakatan ini meskipun beberapa pihak militer merasa kecewa karena mereka tidak berhasil mencapai kemenangan penuh. Para petani yang wilayahnya hancur berharap pemerintah segera memulihkan kondisi ekonomi dan infrastruktur.

Di Quila, meskipun mereka merasa kalah dalam perang, banyak rakyat yang bersyukur perang akhirnya berhenti. Lord Kreston mendapat pujian atas keberaniannya dalam membawa negara keluar dari konflik meski dalam kondisi terdesak.

Namun, kedua bangsa juga menyadari bahwa luka yang ditinggalkan perang ini akan sulit sembuh. Kebencian yang telah tertanam di antara kedua bangsa masih membara, dan banyak yang meragukan apakah perdamaian ini dapat bertahan lama.

Indonesia, yang sejak awal memutuskan untuk tidak terlibat langsung dalam konflik, menyambut kesepakatan ini dengan rasa lega. Presiden Anna dalam pernyataan resminya mengatakan:

"Kami berharap perdamaian ini menjadi awal baru bagi Qua-Toyne dan Quila untuk membangun masa depan yang lebih baik. Indonesia akan terus mendukung dengan bantuan kemanusiaan dan ekonomi bagi kedua negara."

Namun, di belakang layar, para pemimpin Indonesia tetap mengamati dengan waspada, sadar bahwa perdamaian di Rodenius selalu rapuh.

Perang yang berakhir dengan status quo ini meninggalkan jejak kehancuran yang mendalam di Rodenius. Meski senjata kini terdiam, tanah yang pernah menjadi medan perang akan terus berbicara tentang kegilaan manusia yang melupakan kemanusiaannya sendiri. Di antara reruntuhan, rakyat Qua-Toyne dan Quila perlahan mulai membangun kembali kehidupan mereka, sementara bayangan perang masih membayangi cakrawala.

Di Runepolis, ibu kota Kekaisaran Suci Mirishial, pertemuan darurat diadakan di salah satu aula megah istana kekaisaran. Para bangsawan dan jenderal yang mewakili faksi militer Kekaisaran duduk dengan wajah masam, memandangi laporan hasil perang antara Quila dan Qua-Toyne. Kaisar Milishial yang bijaksana, namun tegas, hanya mengangguk tipis saat Laksamana Lanael selesai mempresentasikan laporan diplomatiknya.

"Perjanjian ini... lemah." Kata salah satu bangsawan senior, Count Ferrelis, seraya meletakkan tangannya dengan keras di atas meja. "Quila yang telah menegakkan Pax Quilanica selama beberapa tahun kini tunduk kepada musuh yang nyaris menghancurkan mereka. Kita tidak bisa menerima kelemahan semacam ini dari pemasok minyak utama kita di Benua Rodenius."

Kaisar Milishial menatap Count Ferrelis dengan mata dingin. "Namun, kita juga tidak bisa mengorbankan stabilitas Rodenius dengan campur tangan secara terbuka. Quila harus bertanggung jawab atas kelemahan mereka sendiri."

Lanael mengangguk setuju. "Kekaisaran dapat meningkatkan kehadiran militer di Rodenius, namun kita harus melakukannya dengan cara yang tidak terlalu mencolok. Kita butuh alasan yang jelas jika ingin memperluas pengaruh kita tanpa memancing intervensi dari bangsa lain, terutama Indonesia."

Di sisi lain, Kerajaan di Benua Vestal yang berada di bawah dominasi Pax Quilanica mulai menunjukkan tanda-tanda ketidakpuasan. Raja Tybalt dari Kerajaan Florensia, salah satu kerajaan besar di bagian utara Vestal, secara terbuka menyatakan bahwa ketidakmampuan Quila mempertahankan diri dari Qua-Toyne adalah bukti kelemahan sistem dominasi yang mereka sebut "Pax Quilanica"

Rakyat Florensia menyambut pidato tersebut dengan demonstrasi besar-besaran di ibu kota mereka, menuntut kemerdekaan penuh dari pengaruh Quila. Di selatan Vestal, wilayah pegunungan Kerajaan Tarlon mulai melihat bangkitnya gerakan separatis yang dipimpin oleh bangsawan muda ambisius, Duchess Ilianne, yang beraliansi dengan beberapa klan barbar lokal.

Sementara itu, Kekaisaran Parpaldia menghadapi tantangan internal yang semakin memanas. Kota industri Duro, yang menjadi pusat manufaktur kekaisaran, dilanda pemberontakan besar. Para pekerja yang dipimpin oleh seorang orator karismatik bernama Greyn Malforth mulai membakar pabrik-pabrik besar sebagai protes atas perlakuan yang mereka sebut "Perbudakan Industri."

"Yang mulia, Duro adalah nadi kekuatan kita di selatan. Jika pemberontakan ini meluas, seluruh sistem produksi militer kita akan lumpuh." Ujar Elt dengan nada cemas dalam sebuah pertemuan istana.

Kaios, Ketua Dewan Rodenius, yang juga hadir sebagai utusan Parpaldia, menambahkan dengan suara dingin. "Jika kalian tidak bisa mengendalikan rakyat kalian sendiri, maka nama Kekaisaran Parpaldia akan menjadi bahan tertawaan di seluruh benua. Tunjukkan kekuatan kalian, atau seluruh Dewan akan melihat kelemahan kalian."

Setelah perjanjian damai ditandatangani, Quila dengan enggan menyerahkan semua Dark Elf yang telah mereka lindungi selama konflik. Dengan tangan terikat dan wajah penuh kebencian, para Dark Elf dikawal melintasi Tanah Tak Bertuan menuju Qua-Toyne. Di sepanjang perjalanan, mereka diteriaki oleh penduduk desa yang pernah menjadi korban penyerangan mereka.

Di Qua-Toyne, nasib mereka lebih mengerikan daripada sekadar eksekusi. Pemerintah Qua-Toyne memutuskan untuk menjadikan mereka contoh bagi siapa saja yang berani mengkhianati bangsa mereka. Para Dark Elf dipaksa menjalani hukuman mati perlahan—pekerjaan berat tanpa makanan cukup, dicambuk setiap kali mereka memperlambat langkah, dan sebagian bahkan digunakan untuk eksperimen medis rahasia militer Qua-Toyne.

Lady Elenora, yang menyaksikan pawai hukuman ini dari balkon istananya, tidak menunjukkan emosi sedikit pun. Namun, dalam hati, ia merasa puas.
"Anjing-anjing pengkhianat itu akhirnya mendapatkan apa yang pantas mereka terima. Qua-Toyne akan selalu menang atas pengkhianatan."

Perang mungkin telah berakhir, tetapi dendam dan luka yang ditinggalkan di Rodenius akan bertahan lebih lama daripada gencatan senjata itu sendiri.



TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip