Chapter 14
Dengan Anna Lynne yang kini menguasai sepenuhnya posisi sebagai Presiden Republik Indonesia, pembangunan negara mengalami perubahan drastis. Dia memanfaatkan kecerdasannya yang luar biasa dan pendekatan tanpa belas kasihan untuk menciptakan efisiensi yang sebelumnya dianggap mustahil. Reformasi yang ia perkenalkan diterapkan dengan kecepatan kilat, menghilangkan birokrasi yang lamban dan memaksimalkan hasil. Namun, di balik kemajuan pesat ini, ada bayangan gelap yang mulai menggerogoti tatanan dunia.
Dalam keheningan kantornya, Anna Lynne mulai menyusun rencana rahasia. Menggunakan jaringan lamanya dari organisasi 'Sindikat' yang telah lama menghilang dari radar dunia lama, ia mengirim pesan-pesan rahasia yang hanya dapat diuraikan oleh mantan anggotanya. Dengan sigap, mereka berkumpul kembali, sebuah armada bayangan yang setia pada Anna Lynne, siap melaksanakan apa pun yang ia perintahkan.
Di pedalaman Kerajaan Qua-Toyne, tim Sindikat menyusup dengan mudah. Dengan identitas palsu sebagai pedagang, petani, bahkan pendeta, mereka menyusup ke masyarakat. Awalnya mereka hanya mengumpulkan informasi-peta-peta jalur pasokan, letak garnisun militer, hingga daftar pejabat yang dapat disuap. Namun, ketika semua data terkumpul, operasi destruktif mereka dimulai.
Gudang-gudang pangan dibakar di malam hari, menciptakan kelaparan yang meluas di desa-desa kecil. Sumber air diracuni menggunakan senyawa kimia yang nyaris tidak terdeteksi, membuat ratusan orang jatuh sakit tanpa tahu penyebabnya. Desa-desa yang mencurigai keberadaan mata-mata mulai saling menuding, memicu konflik internal. Sindikat juga menyebarkan propaganda di bawah tanah, memecah belah masyarakat dengan isu-isu palsu tentang pengkhianatan antar pemimpin lokal.
Di kota-kota besar, anggota Sindikat menggunakan teknologi canggih untuk meretas sistem komunikasi pemerintah Qua-Toyne. Mereka menciptakan kekacauan informasi, menyebarkan berita palsu tentang invasi dari Quila dan menggiring opini publik agar tidak percaya pada pemerintah mereka sendiri.
Sementara itu, operasi serupa diluncurkan di Quila. Tim Sindikat memanfaatkan rasa frustasi dan ketidakpuasan masyarakat terhadap perang yang berkepanjangan. Mereka merekrut para pemberontak lokal, melatih mereka dengan strategi gerilya, dan memasok mereka dengan senjata modern.
Ledakan-ledakan kecil terjadi di jantung kota-kota Quila, menargetkan simbol-simbol pemerintah. Pasar-pasar yang ramai berubah menjadi medan kekacauan dengan serangkaian bom rakitan yang diledakkan secara berurutan. Rasa aman yang selama ini dimiliki rakyat Quila hilang dalam sekejap, digantikan oleh paranoia dan ketakutan yang tak berujung.
Di tingkat elit, Sindikat mulai memainkan politik mereka. Dengan manipulasi dan penyuapan, mereka memecah loyalitas para bangsawan Quila, membuat mereka saling mencurigai. Pengkhianatan merajalela di istana, dengan setiap pejabat takut bahwa orang di sebelahnya adalah agen musuh.
Sambil mengawasi operasi ini dari kejauhan, Anna Lynne menikmati kekacauan yang ia ciptakan. Dari balik mejanya, ia membaca laporan-laporan harian dari Sindikat sambil tersenyum puas. Ia tahu, semakin lama konflik ini berlarut-larut, semakin kuat cengkeramannya atas dunia baru ini.
Namun, tidak semua orang di pemerintahan Indonesia buta akan rencana gelap Anna Lynne. Beberapa pejabat mulai curiga, bertanya-tanya mengapa presiden mereka yang selama ini dikenal tegas namun bijak tiba-tiba mengambil langkah-langkah yang tidak dapat dijelaskan. Tapi siapa yang berani melawan seorang pemimpin dengan wibawa sedingin baja dan pasukan bayangan yang tidak terlihat?
Sementara itu, Qua-Toyne dan Quila perlahan-lahan terkikis dari dalam. Kedua kerajaan itu bahkan tidak sadar bahwa kehancuran mereka sedang dimainkan oleh tangan dingin seorang wanita yang sudah lama meninggalkan moralitas di belakangnya. Dunia baru ini, seperti dunia lama, sekali lagi menjadi papan catur bagi Anna Lynne-dan tidak ada satu pun bidak yang aman dari genggamannya.
Tahun 1647 menjadi momen yang mencatat awal dari kehancuran yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah dunia baru ini. Dengan dalih mengembalikan stabilitas kawasan, operasi Sindikat yang dikerahkan oleh Anna Lynne mulai mengincar tokoh-tokoh penting yang menjadi simbol ketahanan dua kerajaan besar, Quila dan Qua-Toyne. Rencana ini bukan hanya untuk melumpuhkan kepemimpinan mereka, tetapi untuk menanamkan rasa takut yang mendalam pada setiap rakyat dan penguasa di dunia ini.
Raja Aldros, seorang pemimpin yang dikenal tegas namun penuh kasih terhadap rakyatnya, tidak pernah menyangka bahwa maut sedang mengintai dari balik tirai istananya. Dalam sebuah acara kenegaraan di Ibukota Quila, Sindikat menyusup melalui seorang kepala pelayan istana yang telah mereka "gantikan." Ketika malam tiba, agen-agen Sindikat bergerak cepat.
Dengan keheningan mematikan, mereka masuk ke kamar tidur sang Raja, melumpuhkan penjaga pribadi tanpa suara. Raja Aldros yang terbangun oleh keributan samar, hanya sempat melihat kilatan mata dingin pembunuhnya sebelum semuanya berubah menjadi kegelapan. Dalam waktu singkat, tubuhnya diperlakukan dengan brutal-dibelah dari pinggang, darah menggenang di lantai keramik istana, menandai akhir tragis seorang pemimpin.
Tubuh yang telah terpisah itu digantung di Alun-Alun Utama Quila, bagian atas tubuhnya menjuntai dari tiang yang tinggi, sementara bagian bawahnya diletakkan di bawahnya sebagai simbol penghinaan. Pesan Sindikat tertulis di atas kain yang tergantung: "Lihatlah kehancuran yang kalian pilih. Kalian adalah bidak di papan catur kami."
Di Qua-Toyne, Perdana Menteri Kanata, yang dikenal sebagai tokoh moderat dan simbol persatuan, menjadi target berikutnya. Dengan cara serupa, Sindikat menyusup ke kediamannya. Operasi ini bahkan lebih sadis. Ketika Perdana Menteri sedang memimpin rapat rahasia untuk membahas strategi bertahan dari tekanan internal dan eksternal, anggota Sindikat yang menyamar sebagai pengawal pribadinya bertindak.
Darah tumpah di ruang pertemuan saat Kanata dilumpuhkan. Dia tidak langsung dibunuh-sebagai simbol kehancuran Qua-Toyne, tubuhnya dipotong hidup-hidup. Jeritannya menggema di ruangan, menjadi saksi bisu keganasan operasi ini. Sisa tubuhnya digantung di gerbang istana, dengan pesan serupa yang terukir pada plat logam di bawahnya: "Pengkhianat mati tanpa kehormatan."
Pembunuhan ini segera memicu reaksi internasional. Di Quila, rakyat yang awalnya mulai bangkit dari krisis langsung terjerumus kembali ke dalam ketakutan dan ketidakstabilan. Para bangsawan yang tersisa saling mencurigai, dan perebutan kekuasaan memecah kerajaan menjadi faksi-faksi kecil. Qua-Toyne pun mengalami nasib serupa; tanpa Perdana Menteri Kanata, pemerintahan terpecah antara kelompok konservatif dan reformis, memperburuk situasi internal.
Di luar Quila dan Qua-Toyne, dunia mulai menyadari bahwa ini bukan hanya soal perang dua kerajaan. Kekaisaran Suci Mirishial dan Kekaisaran Parpaldia mengutuk keras pembunuhan ini, tetapi mereka juga waspada. Rumor mulai menyebar bahwa operasi ini bukanlah hasil kerja kelompok pemberontak lokal, melainkan tangan yang lebih terorganisir dan lebih kejam.
Indonesia, di bawah kendali Anna Lynne, tetap diam, menyaksikan dunia ini bergolak. Di balik dinding Istana Negara, Anna Lynne tersenyum dingin, menyadari bahwa rencananya berjalan sempurna. "Tahun 1647 hanyalah permulaan." Gumamnya, menatap peta dunia yang penuh catatan strategi. "Dunia ini akan kubentuk sesuai kehendakku. Dan mereka akan mengerti apa arti kehancuran sejati."
Dampak dari pembunuhan ini bukan hanya bersifat politis tetapi juga psikologis. Rakyat dua kerajaan hidup dalam ketakutan yang mendalam. Anak-anak dilarang keluar rumah, sementara para tentara mulai meragukan kesetiaan teman seperjuangan mereka.
Di tingkat internasional, kejadian ini mendorong kerajaan dan kekaisaran lain untuk meningkatkan keamanan internal mereka. Kekaisaran Gra Valkas, yang baru saja menjalin hubungan dengan Indonesia, mulai mempertanyakan niat sejati negara ini. Kekaisaran Suci Mirishial, dengan pengaruh diplomatiknya, mulai mencoba menyusun aliansi untuk menghadapi ancaman tersembunyi yang mereka rasakan sedang tumbuh di luar jangkauan mereka.
Namun, di balik semuanya, hanya satu nama yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Anna Lynne, sosok bayangan yang menyusun rencana dari balik tirai. Tahun 1647 adalah awal dari mimpi buruk yang akan terus bergulir, membawa dunia ini ke dalam pusaran kehancuran yang tak terhindarkan.
Pada tanggal 20 Januari 1647, kegelapan semakin menyelimuti Kekaisaran Parpaldia. Di bawah bayangan malam yang tenang, Sindikat melancarkan salah satu operasi paling kejam mereka, dengan target yang sangat jelas: menghancurkan stabilitas Kekaisaran dari dalam dengan cara yang paling menyakitkan. Mereka tidak hanya menargetkan Kaisar Ludius tetapi juga istrinya, Ratu Remille, yang tengah mengandung penerus takhta kekaisaran.
Saat malam itu tiba, suasana Istana Kekaisaran Parpaldia terlihat seperti biasanya. Namun, di balik megahnya tembok istana, para pembunuh dari Sindikat telah menyusup melalui jaringan bawah tanah kota yang sebelumnya dianggap terlupakan. Dengan kecanggihan teknologi dan koordinasi mereka, para anggota Sindikat berhasil masuk ke bagian dalam istana, mendekati kediaman pribadi Kaisar.
Ketika Kaisar Ludius dan Permaisuri Remille tengah menikmati malam yang tenang di kamar mereka, serangan itu terjadi. Sebuah ledakan memekakkan telinga menghancurkan jendela kamar, memicu alarm di seluruh istana. Pasukan pengawal kekaisaran segera merespons, tetapi musuh sudah terlalu dekat. Dalam kekacauan yang terjadi, Permaisuri Remille yang sedang berusaha melarikan diri bersama Kaisar, terpukul oleh serpihan ledakan. Dia jatuh di koridor, menahan rasa sakit luar biasa, darah mengalir deras.
Walaupun serangan berhasil dipukul mundur oleh pasukan elit kekaisaran yang akhirnya tiba, bencana sudah terjadi. Permaisuri Remille keguguran di tengah kekacauan, kehilangan sang Putra Mahkota bahkan sebelum ia sempat lahir. Kaisar Ludius, yang menyaksikan istrinya terbaring tak berdaya, berubah menjadi sosok yang dipenuhi kemarahan dan keputusasaan.
Insiden ini menjadi pukulan yang sangat berat bagi Kaisar Ludius. Dalam beberapa hari setelah kejadian, seluruh kekaisaran dilanda suasana duka. Rakyat Parpaldia yang sebelumnya sudah hidup dalam ketakutan kini tenggelam dalam amarah terhadap ancaman teror yang terus membayangi mereka.
Kaisar Ludius, yang sudah terkenal dengan sifatnya yang keras, kini berubah menjadi sosok yang sepenuhnya dikendalikan oleh paranoia. Dalam pidatonya di depan rakyatnya, ia bersumpah bahwa kekaisaran tidak akan pernah lagi menjadi korban dari terorisme. "Mereka akan membayar ini dengan darah.. Kita tidak bernegosiasi dengan teroris!" Katanya dengan suara yang bergema penuh kebencian. "Tidak ada tempat bagi pengkhianat dan teroris di dunia ini. Kita akan membasmi mereka sampai ke akar-akarnya!"
Namun, Kaisar Ludius tahu bahwa ancaman Sindikat tidak hanya menjadi masalah Parpaldia. Mereka telah menjadi momok global, ancaman yang dapat menghancurkan peradaban apa pun yang mereka sentuh. Karena itu, ia mengundang para pemimpin dunia untuk membahas langkah-langkah bersama dalam menghadapi ancaman ini.
Di ruang besar yang megah di Istana Parpaldia, para pemimpin dari kekuatan besar dunia berkumpul untuk pertama kalinya dalam sejarah. Kekaisaran Suci Mirishial, Kerajaan Mu, Kerajaan Emor, dan Kekaisaran Leifor, semuanya mengirim delegasi tingkat tinggi untuk menghadiri pertemuan ini.
Kekaisaran Suci Mirishial, dengan teknologi canggih dan statusnya sebagai kekuatan utama dunia, menunjukkan dukungan penuh untuk perang melawan terorisme. Namun, mereka juga mendesak pendekatan yang lebih strategis, mengingat kemampuan Sindikat yang cerdik dan tidak terduga.
Kerajaan Mu, meskipun memiliki teknologi modern, menawarkan bantuan terbatas tetapi berharga, terutama dalam bentuk dukungan logistik dan intelijen.
Kerajaan Emor, yang didominasi oleh ras naga dan dragonewt, menegaskan kekuatan militernya. Raja Emor bahkan menawarkan pasukan elit Naga Angin untuk melacak dan menghancurkan markas Sindikat.
Kekaisaran Leifor, yang dikenal dengan kekuatan lautnya, mengusulkan patroli global untuk menghambat pergerakan Sindikat melalui jalur laut.
Setelah diskusi panjang yang diwarnai ketegangan dan ketidakpercayaan, para pemimpin sepakat untuk membentuk Global Alliance (GLA). Deklarasi perang global terhadap terorisme diumumkan dengan tegas, disiarkan ke seluruh dunia sebagai tanda solidaritas melawan ancaman ini.
Di Istana Negara Indonesia, Anna Lynne menyaksikan siaran deklarasi itu dengan senyum sinis. "Perang global melawan terorisme, ya?" Gumamnya sambil memutar gelas anggurnya. "Lalu siapa yang akan melawan mereka ketika terorisme adalah alat yang paling efisien untuk mengubah dunia?"
Bagi Anna Lynne, langkah-langkah ini hanyalah awal dari permainan yang lebih besar. GLA mungkin terlihat tangguh di atas kertas, tetapi dia tahu bagaimana menciptakan kekacauan di antara mereka. Sambil menatap peta dunia yang penuh catatan strategi, ia merencanakan langkah berikutnya dengan pikiran dingin dan kalkulatif.
Tahun 1647 akan dikenang sebagai awal dari Perang Global melawan Terorisme, tetapi juga sebagai tahun di mana kegelapan sejati mulai menguasai dunia, melahirkan mimpi buruk yang lebih besar dari yang bisa dibayangkan siapa pun.
Pada sebuah konferensi tingkat tinggi yang digelar di Kota Suci Mirishial, pemimpin-pemimpin dari berbagai negara dunia hadir untuk membahas pembentukan Global Alliance (GLA) yang diusulkan oleh Kekaisaran Parpaldia. Gedung konferensi itu penuh dengan suasana diplomasi yang tegang, namun optimisme terbangun oleh pidato pembukaan Kaisar Ludius, yang dengan suara penuh determinasi menyerukan persatuan dunia melawan ancaman terorisme.
Di antara para pemimpin, Presiden Anna Maria Weiss dari Indonesia tampak duduk dengan anggun di meja utamanya. Wajahnya yang tenang dan penuh wibawa mencerminkan dukungan terhadap inisiatif ini. Ia menyampaikan pidatonya dengan tenang, penuh kecerdasan diplomatik.
"Sebagai negara yang pernah terluka oleh terorisme di masa lalu, Indonesia memahami pentingnya persatuan melawan ancaman ini. Kami dengan senang hati bergabung dalam organisasi ini untuk memastikan dunia yang lebih aman dan stabil bagi semua bangsa."
Suaranya merdu namun tegas, berhasil menarik simpati banyak negara yang sebelumnya skeptis terhadap keterlibatan Indonesia. Bahkan Kaisar Ludius sendiri terlihat mengangguk puas, menganggap bahwa Indonesia akan menjadi sekutu kuat dalam perjuangan ini.
Namun di balik layar, dalam pikirannya yang gelap dan penuh perhitungan, Anna Lynne—kepribadian tersembunyi di dalam diri sang presiden—tersenyum sinis.
"Mereka semua bagaikan bidak catur yang siap aku mainkan. Dunia ini sudah rusak, penuh dengan rasa saling curiga, keserakahan, dan kesombongan. Tidak perlu banyak usaha untuk membuat mereka saling membunuh. Dan aku... aku akan memastikan kehancuran mereka terjadi dari dalam."
Ketika diskusi berlanjut mengenai struktur organisasi dan alokasi sumber daya, Anna mulai menyebarkan ide-ide "Inovatif."
"Agar GLA dapat bekerja secara efisien." Ujarnya dengan tenang. "Kita harus memiliki divisi-divisi yang fokus pada wilayah tertentu. Setiap negara dengan kekuatan besar—seperti Parpaldia, Mirishial, dan Mu—dapat mengambil peran sebagai koordinator regional."
Usulan ini, meski terlihat seperti ide cemerlang di permukaan, justru mulai menanamkan benih-benih persaingan antar kekuatan besar. Kekaisaran Suci Mirishial merasa terancam jika Parpaldia diberikan terlalu banyak kontrol di Philades. Mu, di sisi lain, khawatir Parpaldia akan mencoba memanfaatkan organisasi ini untuk memperluas pengaruh kekaisarannya.
Di sela-sela konferensi, Anna mulai mengadakan pembicaraan tertutup dengan masing-masing negara. Kepada Kekaisaran Mu, ia berbicara soal kekhawatiran mereka terhadap dominasi Parpaldia.
"Kalian tentu tahu bahwa Parpaldia tidak pernah melakukan sesuatu tanpa tujuan tersembunyi. Apakah kalian yakin mereka tidak akan menggunakan organisasi ini untuk memaksakan kekuasaan mereka di wilayah Anda?"
Kepada Kekaisaran Parpaldia, ia menyanjung ambisi Kaisar Ludius.
"Kekaisaran Anda jelas memiliki visi yang kuat untuk dunia ini. Tapi, hati-hati dengan Mirishial. Mereka mungkin terlihat seperti sekutu, tapi percayalah, mereka tak akan ragu untuk mengambil kendali penuh saat Anda lengah."
Sementara itu, kepada Kerajaan Qua-Toyne dan Quila, Anna menyebut tentang ketidakadilan pembagian sumber daya dan kemungkinan eksploitasi oleh kekuatan besar.
Selama berminggu-minggu, retakan mulai terbentuk dalam fondasi GLA. Rapat-rapat menjadi lebih tegang, dengan tuduhan-tuduhan terselubung dan pertikaian diplomatik kecil yang semakin sering terjadi. Mirishial mencurigai niat Parpaldia, Parpaldia merasa dikhianati oleh Mu, dan negara-negara kecil mulai merasa bahwa organisasi ini hanya menjadi alat bagi negara-negara besar untuk memperkuat dominasi mereka.
Anna Lynne, yang memantau perkembangan ini dengan gembira, merenung dalam gelapnya malam, seorang diri di ruang kerjanya.
"Mereka pikir mereka sedang membangun dunia yang lebih aman. Mereka tidak sadar bahwa mereka hanya menyiapkan panggung untuk perang global baru. Dan ketika mereka semua hancur... aku akan berdiri di atas reruntuhan ini, sebagai penguasa bayangan dunia."
Suara tawanya yang dingin menggema di ruangan itu, tak terdengar oleh siapa pun, namun cukup untuk membekukan udara sekitarnya. Dunia baru yang penuh dengan kekacauan perlahan terbentuk, dirancang dengan jari-jarinya yang tak terlihat.
Pada pertengahan Oktober 1647, Benua Tengah, simbol stabilitas dunia dengan Kerajaan Emor dan Kekaisaran Suci Mirishial sebagai kekuatannya, menjadi sasaran serangkaian serangan mengerikan dari Sindikat.
Di Kota Highwinds, salah satu kota dagang penting di perbatasan Kerajaan Emor, ledakan besar mengguncang pasar utama. Bom fosfor putih menghujani area tersebut, menyebabkan api yang tidak dapat dipadamkan melahap ribuan orang. Tubuh-tubuh mereka tidak hanya terbakar tetapi meleleh hingga tulang. Pemandangan mengerikan itu menyisakan lapisan abu manusia yang menyelimuti jalanan. "Sindikat ingin dunia tahu, bahwa tidak ada satu pun tempat yang aman dari kami." Kata pesan yang dipancarkan dari piranti elektronik yang mereka tinggalkan.
Tidak berhenti di situ, di kota-kota besar Mirishial seperti Valtherion dan Jaraheim, para agen Sindikat melakukan infiltrasi yang telaten. Mereka mencemari sistem air kota dengan senyawa neurotoksin yang membuat korbannya lumpuh total sebelum mengalami kegagalan organ secara perlahan. Dalam waktu seminggu, angka kematian mencapai puluhan ribu, memaksa pemerintah Mirishial untuk memutuskan aliran air di banyak wilayah.
"Ini bukan sekadar serangan." Ucap Kaisar Milishial dengan nada getir. "Ini adalah teror yang bertujuan menghancurkan jiwa bangsa kami... Seperti Ravernal... Ini pasti ulah pengikut mereka! Sialan!"
Sementara dunia terpaku pada pembantaian di Benua Tengah, Indonesia diam-diam memainkan permainannya sendiri di Quila. Dengan negara itu terpecah akibat perang sipil yang disebabkan oleh kematian Raja Aldros, Presiden Anna Lynne mengarahkan operasi proxy dengan efisiensi mengerikan.
Di bawah selubung bantuan kemanusiaan, Senjata Kimia Z-51—eksperimen gelap hasil kolaborasi rahasia Indonesia—dikirimkan melalui jalur belakang kepada milisi tertentu di Quila. Z-51 adalah senyawa mematikan yang bila terkena kulit, memulai proses pengelupasan jaringan dalam hitungan detik, melelehkan kulit, daging, dan tulang korbannya hingga hanya menyisakan kerangka yang menghitam.
Di Lorenthia, milisi bersenjata yang didukung diam-diam oleh Indonesia melepaskan Z-51 ke daerah-daerah pendukung Faksi Royalis. Dalam waktu semalam, ribuan orang berubah menjadi tumpukan daging cair yang mengalir di jalanan kota, menimbulkan bau busuk yang begitu tajam hingga tentara sendiri mengenakan masker gas bahkan di area yang jauh dari lokasi kejadian.
Sebagian korban tidak mati seketika. Tentara Quila yang berhasil selamat menggambarkan mimpi buruk itu. "Kami mendengar teriakan mereka sepanjang malam." Ucap salah satu prajurit yang berhasil melarikan diri. "Mereka menggeliat, kulit mereka mencair, tulang mereka terlihat... dan mereka memohon untuk dibunuh."
Namun, kegelapan tidak berhenti di Quila. Racun perang proxy ini menjalar ke Kerajaan Qua-Toyne, yang sudah rapuh akibat kehilangan Perdana Menteri Kanata yang terbunuh secara brutal oleh Sindikat. Tanpa sosok pemimpin yang kuat, Qua-Toyne terpecah dalam fraksi-fraksi yang saling menyalahkan dan mencurigai. Di sisi lain, konflik di Quila mulai meluas ke perbatasan Qua-Toyne, membawa senjata Z-51 ke tanah mereka.
Z-51 kini digunakan di Belluma, ibu kota Qua-Toyne, dalam serangan besar-besaran oleh pasukan Quila yang mengincar balas dendam atas peran Qua-Toyne dalam memperpanjang perang sipil mereka. Jalanan Belluma dipenuhi tubuh-tubuh meleleh, beberapa masih hidup namun perlahan kehilangan daging dari tulang mereka, jeritan mereka menggema ke segala arah. Tidak ada yang selamat, baik tentara, pejabat, maupun anak-anak.
Ketika sisa-sisa pemerintah Qua-Toyne mencoba bertahan, mereka menghadapi dilema yang tak terpecahkan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui dari mana senjata kimia itu berasal, dan tudingan mulai dilemparkan ke segala arah, termasuk kepada sekutu-sekutu mereka di luar negeri. Qua-Toyne perlahan kehilangan kepercayaan dari rakyat dan militernya sendiri, menempatkan kerajaan ini di tepi kehancuran total.
Di Jakarta, Anna Lynne, dengan tatapan dingin dan penuh kalkulasi, membaca laporan-laporan konflik dari Quila dan Qua-Toyne. Dia tahu persis dampak Z-51 terhadap struktur masyarakat dan psikologi musuh. Dalam pikirannya, mereka hanyalah pion dalam skema besarnya.
Sambil menyeruput teh hangat, dia tersenyum tipis. "Mereka menyebut ini tragedi, tapi aku menyebutnya penyucian." Gumamnya dengan suara lembut. "Setiap kekaisaran besar dibangun di atas puing-puing peradaban sebelumnya. Mengapa tidak mempercepat proses itu?"
Tidak ada satu pun pejabat Indonesia, bahkan para jenderal yang setia, yang tahu kebenaran ini. Pengiriman Z-51 dirancang dengan begitu rapi, disamarkan melalui jaringan perdagangan gelap yang tidak pernah meninggalkan jejak kembali ke Indonesia. Bahkan laporan resmi pemerintah menyatakan bahwa Indonesia mengutuk keras penggunaan senjata kimia di Quila dan Qua-Toyne, sebuah ironi pahit yang dimainkan dengan sempurna oleh sang presiden.
Sementara Quila dan Qua-Toyne runtuh dalam darah dan racun, dunia mulai bertanya-tanya siapa yang benar-benar berada di balik kekejaman ini. Sindikat menjadi kambing hitam utama, sementara dugaan-dugaan liar mulai bermunculan tentang keterlibatan negara-negara besar lainnya. Tapi pada akhirnya, tidak ada satu pun yang mengetahui bahwa senyuman seorang wanita di Istana Negara-lah yang menjadi biang keladinya.
Tanggal 19 Oktober 1647 menjadi hari yang penuh ketegangan di aula megah istana Kekaisaran Parpaldia. Kaisar Ludius, dengan tatapan penuh kemarahan bercampur keletihan, berdiri di hadapan para penasihat dan jenderalnya. Kekaisaran telah menyaksikan kehancuran di Kerajaan Quila dan Qua-Toyne yang semakin meluas akibat senjata kimia mengerikan, Z-51. Dengan suara tegas, dia mendeklarasikan keputusan penting.
"Quila dan Qua-Toyne bukan lagi negara yang layak berdiri. Mereka telah menjadi ancaman bagi seluruh dunia. Dengan ini, aku mendeklarasikan blokade laut di sekitar kedua negara untuk memastikan tidak ada senjata mengerikan itu yang keluar dari perbatasan mereka. Armada Parpaldia akan berjaga di setiap jalur pelayaran."
Deklarasi itu langsung disambut anggukan setuju dari para pejabat tinggi, meskipun sebagian besar menyimpan ketakutan yang tak terucap. Mereka tahu keputusan ini akan memancing amarah banyak pihak, terutama dari para pedagang besar dan negara-negara yang memiliki hubungan dagang dengan Quila dan Qua-Toyne. Namun, bagi Kaisar Ludius, keselamatan Kekaisaran Parpaldia dan dunia jauh lebih penting.
Dengan cepat, armada angkatan laut Parpaldia bergerak. Kapal-kapal perang baja mereka ditempatkan di jalur strategis di sekitar Quila dan Qua-Toyne. Setiap kapal asing yang mencoba melintasi blokade akan diperiksa dengan ketat. Tidak ada pengecualian.
Namun, hanya sehari setelah deklarasi itu, tragedi kembali menghantam Kekaisaran Parpaldia dengan cara yang paling tak terduga. Jenderal Arde, salah satu orang terdekat Kaisar Ludius sekaligus Komandan seluruh Militer Kekaisaran, menjadi korban senjata Z-51—tidak di medan perang, tetapi di dalam ruang kerjanya sendiri.
Arde dikenal sebagai figur yang selalu memimpin dengan tangan dingin, membawa stabilitas di tengah kekacauan perang. Namun, di malam tanggal 20 Oktober, ajalnya datang dengan cara yang tidak manusiawi.
Saat itu, Jenderal Arde baru saja menerima kiriman eksklusif dari Kekaisaran Suci Mirishial, sebuah minuman kaleng premium yang dikemas dalam kotak kayu berlapis kain sutra. Sebagai hadiah diplomatik, kiriman itu tampak tidak mencurigakan. Namun, saat ia membuka salah satu kaleng dan meminumnya, hal yang tidak wajar mulai terjadi.
Kulitnya mulai memerah dan melepuh, daging di wajahnya mulai meluruh dalam hitungan detik. Arde jatuh ke lantai, menjerit dengan suara yang nyaris tidak manusiawi, sementara tubuhnya berusaha melawan efek racun Z-51. Para pengawal yang datang untuk menyelamatkan hanya bisa menyaksikan kengerian itu. Mereka mundur dengan wajah penuh ketakutan, tidak mampu mendekati tubuh Arde yang kini menjadi genangan daging dan darah.
"Tuan Jenderal! Apa yang terjadi?! Tolong, segera panggil tabib!" Teriak salah satu ajudan, namun semuanya sudah terlambat.
Dalam waktu kurang dari dua menit, Jenderal Arde tidak lagi dikenali sebagai manusia. Tubuhnya hancur, tulang-tulangnya menghitam, dan ruangan itu dipenuhi bau busuk menyengat. Tidak ada yang berani menyentuh jenazahnya, takut efek racun Z-51 akan menular.
Kabar kematian Arde sampai kepada Kaisar Ludius dalam waktu singkat. Dia terpaku di singgasananya, tak percaya bahwa salah satu orang terdekatnya telah direnggut dengan cara sekejam itu. Tubuh Ludius berguncang, bukan karena ketakutan, tetapi karena ledakan emosi yang hampir tak terkendali.
"Bahkan di dalam istanaku sendiri, mereka mencoba merusak hidupku!" Teriaknya, menghantam meja dengan tangan gemetar. "Arde adalah Paman bagiku, seorang pelindung Kekaisaran. Dan sekarang dia telah tiada. Siapa yang berani melakukan ini?!"
Air mata mengalir dari sudut matanya, meskipun ia berusaha keras untuk menyembunyikannya. Ini adalah kedua kalinya dalam beberapa bulan terakhir ia harus kehilangan seseorang yang penting dalam hidupnya. Pertama Putranya yang belum lahir, dan sekarang Arde—semuanya diambil dari tangannya oleh musuh yang tidak terlihat.
Di dalam ruangan yang gelap dan sunyi, Kaisar Ludius berbicara kepada dirinya sendiri.
"Mereka pikir aku akan menyerah... Mereka pikir aku akan tunduk pada ketakutan. Tidak! Aku akan membalas dendam atas kematian Arde, atas semua yang telah mereka lakukan. Aku akan membakar mereka, hingga dunia tahu siapa yang berkuasa di atas segalanya!"
Paranoia yang telah menggerogoti pikirannya kini berubah menjadi obsesi penuh kebencian. Dalam upayanya untuk melindungi Kekaisaran, Ludius tidak menyadari bahwa ia perlahan kehilangan dirinya sendiri.
Pada tanggal 25 Oktober 1647, aula besar Dewan Global Alliance dipenuhi oleh delegasi dari seluruh dunia. Perdebatan yang telah lama dinantikan akhirnya tiba, sebuah perselisihan antara Kekaisaran Parpaldia dan Kekaisaran Suci Mirishial yang mengancam meruntuhkan stabilitas dunia. Di tengah gemuruh suara bisikan dan ketegangan yang kental, dua tokoh utama, Menteri Elt dari Parpaldia dan Laksamana Lanael dari Mirishial, berdiri di ujung-ujung podium yang saling berhadapan.
Di sisi Parpaldia, wajah Menteri Elt memerah, mencerminkan amarah dan kepedihan bangsa yang kehilangan salah satu pahlawan utamanya, Jenderal Arde. Di seberang, Laksamana Lanael memancarkan ketenangan, meskipun tatapannya dingin dan tegas. Aula itu terasa seperti medan perang; setiap tatapan, setiap kata yang akan diucapkan memiliki berat seperti peluru.
Elt membuka perdebatan dengan suara yang bergemuruh.
"Semua bukti yang kami temukan menunjukkan bahwa racun yang merenggut nyawa Jenderal Arde berasal dari Kekaisaran Suci Mirishial. Sebuah minuman, produk kalian, dengan racun yang begitu mematikan sehingga menghancurkan tubuhnya hanya dalam beberapa menit! Ini bukan hanya tragedi bagi Parpaldia, tetapi penghinaan besar bagi bangsa kami!"
Ia menghentak podium dengan keras, membuat beberapa delegasi tersentak.
"Kami tidak akan tinggal diam! Kami menuntut kompensasi sebesar 1,5 miliar Gulden dan pengakuan atas kejahatan yang kalian lakukan!"
Suaranya bergema di seluruh aula, namun tidak ada satu pun respons langsung dari pihak Mirishial. Semua mata beralih ke Laksamana Lanael, yang masih duduk dengan tenang. Saat keheningan mulai terasa mencekam, Lanael akhirnya berdiri. Langkahnya pelan namun penuh kepercayaan diri, dan saat ia berbicara, suaranya tajam seperti pisau.
"Menteri Elt, izinkan saya mengingatkan Anda bahwa menuduh tanpa bukti adalah tindakan yang tidak hanya sembrono, tetapi juga berbahaya. Produk Scelra memang berasal dari Mirishial, tetapi itu adalah minuman umum yang telah dijual di banyak negara. Apakah Parpaldia, dengan semua klaim kehebatannya, tidak mempertimbangkan kemungkinan bahwa pihak ketiga yang licik mungkin memanfaatkan produk kami untuk menabur kekacauan?"
Beberapa delegasi mulai bergumam, menyetujui argumen Lanael. Namun Elt hanya mendengus dengan jijik.
"Jangan mencoba mengalihkan perhatian kami, Lanael. Fakta tetaplah fakta. Racun itu ditemukan dalam produk kalian. Jika kalian tidak bersalah, mengapa tidak ada penyelidikan dari pihak kalian untuk membuktikan hal itu? Atau mungkin, kalian takut bahwa kebenaran akan membongkar dosa kalian sendiri?"
Lanael tersenyum tipis, tetapi tatapannya semakin tajam.
"Kami tidak takut pada kebenaran, Menteri Elt. Kami takut pada kebodohan dan ketergesaan yang memicu konflik besar tanpa dasar. Jika Mirishial ingin menghancurkan Parpaldia, kami tidak membutuhkan racun dalam sebuah kaleng. Kami memiliki kekuatan yang jauh lebih besar untuk itu, tetapi kami memilih jalan damai, karena itu adalah tugas kami sebagai bangsa yang memimpin dunia."
Atmosfer di ruangan itu semakin tegang. Beberapa delegasi mencoba menenangkan suasana dengan membisikkan argumen, tetapi Menteri Elt maju lagi, kini dengan amarah yang tidak lagi ditutupi.
"Damai? Jangan bercanda, Lanael! Damai macam apa yang kalian tunjukkan ketika seorang jenderal kami tewas, kulitnya hancur, tubuhnya menggeliat di lantai seperti hewan yang sekarat?! Jika kalian memilih jalan damai, buktikanlah dengan bertanggung jawab atas tindakan kalian!"
Kata-kata itu memotong seperti pedang, tetapi Lanael tidak terguncang. Ia melangkah lebih dekat ke podium utama, kini suaranya menjadi lebih rendah, tetapi setiap kata menancap dalam.
"Kami tidak membutuhkan ceramah tentang tanggung jawab dari bangsa yang masih bersenang-senang menyiksa rakyatnya sendiri di tiang salib. Jika Anda benar-benar mencari keadilan, Menteri Elt, biarkan penyelidikan independen dilakukan. Tapi ingat ini: jika hasilnya membuktikan bahwa kami tidak bersalah, apakah Parpaldia akan siap untuk meminta maaf kepada Mirishial di depan seluruh dunia? Ataukah Anda akan bersembunyi di balik kebohongan seperti yang selalu kalian lakukan?"
Ruangan menjadi sunyi. Para delegasi saling bertukar pandang, menyadari bahwa perdebatan ini bukan lagi tentang siapa yang benar atau salah, tetapi tentang kehormatan dan dominasi dua kekuatan besar.
Namun Elt tidak menyerah. Ia maju lagi, kali ini mengarahkan telunjuknya langsung ke Lanael.
"Kami akan setuju pada penyelidikan independen, tetapi dengar ini baik-baik, Lanael. Jika hasilnya membuktikan kalian bersalah, Parpaldia tidak akan ragu untuk menuntut balas. Dan saat itu terjadi, tidak ada kekuatan di dunia ini, bahkan teknologi kuno Mirishial, yang akan menyelamatkan kalian dari murka kami."
Lanael hanya mengangkat alis, kemudian menjawab dengan nada dingin.
"Dan jika hasilnya membuktikan kami tidak bersalah, Menteri Elt, pastikan bahwa Anda memiliki cukup kehormatan untuk mengakui kesalahan Anda. Jika tidak, dunia ini akan menyaksikan siapa yang benar-benar menjadi ancaman bagi perdamaian."
Perdebatan berakhir dengan suasana yang lebih dingin daripada sebelumnya. Meskipun tim investigasi independen dibentuk untuk menyelidiki kejadian ini, semua orang di ruangan itu tahu bahwa api konflik sudah dinyalakan. Di sudut-sudut gelap dunia, para agen Sindikat menyaksikan dengan puas, mengetahui bahwa rencana mereka berjalan dengan sempurna: dua kekuatan besar saling mencurigai, saling mengancam, dan bersiap untuk saling menghancurkan.
Di balik layar, Presiden Anna Lynne tersenyum lebar, memandangi laporan terbaru dari tim intelijennya. "Mereka benar-benar mudah dipermainkan." Gumamnya pelan, sebelum melanjutkan rencana untuk memperkeruh situasi lebih jauh.
Konferensi besar di Runepolis berlangsung dengan khidmat, suasana yang dipenuhi oleh pembicaraan serius dan wajah-wajah penuh kekhawatiran dari para pemimpin dunia. Kali ini, topiknya lebih genting: bagaimana menanggapi teror yang semakin menjadi-jadi dari kelompok Sindikat.
Presiden Anna, yang hadir secara fisik untuk pertama kalinya sejak insiden diplomatik terakhir, tampil dengan aura yang sulit diabaikan. Mengenakan pakaian formal berwarna hitam elegan dengan aksen merah di kerahnya, ia melangkah dengan anggun ke podium utama, menarik perhatian seluruh ruangan. Setiap gerak-geriknya dipenuhi kepercayaan diri yang menginspirasi, dan saat ia mulai berbicara, suaranya memecah keheningan dengan penuh tenaga.
“Dunia kita tengah berada di ambang kehancuran akibat terorisme. Kita kehilangan lebih banyak nyawa setiap harinya, lebih banyak kehancuran setiap detiknya. Apakah kita akan terus berdiam diri? Apakah kita akan membiarkan anak-anak kita tumbuh dalam bayang-bayang ketakutan dan kehancuran?"
Suaranya menggelegar, namun penuh nada emosional yang menusuk hati.
"Indonesia, meski tengah berjuang membangun kembali kekuatan kami, tetap berdiri tegak untuk mendukung perdamaian dunia. Kita harus bersatu, bahu-membahu, melupakan perselisihan kecil, dan mengutamakan keamanan umat manusia. Saya tahu, saya tahu Indonesia mungkin tampak kecil dibandingkan kekuatan besar lainnya. Tetapi kami percaya bahwa masa depan dunia ini bergantung pada persatuan—pada tekad kita untuk melawan teror tanpa kompromi!"
Tepuk tangan membahana memenuhi aula konferensi. Para pemimpin dunia, dari Laksamana Lanael hingga Kaisar Ludius, terpaksa menganggukkan kepala mereka dalam rasa hormat yang jarang diberikan kepada negara yang sempat diejek di Dewan Rodenius. Wajah mereka mencerminkan kebanggaan terhadap pidato yang memancarkan harapan.
Namun, di balik tatapan tenang dan sikap penuh semangat itu, tersembunyi kegelapan yang tidak disadari oleh siapa pun.
Setelah konferensi selesai, Anna meninggalkan aula dengan kepala tegak. Langkahnya mantap, penuh wibawa. Wartawan berbondong-bondong mencoba mendekatinya, melontarkan pertanyaan yang bertubi-tubi, tetapi Anna hanya memberikan senyum diplomatik dan melanjutkan jalannya menuju kamar pribadinya di kompleks diplomatik.
Begitu tiba di kamar, pintu ditutup rapat, dan penjagaan diperketat. Tak ada yang tahu apa yang terjadi di balik pintu itu.
Anna berjalan ke kamar mandi. Tangannya gemetar sedikit saat ia membuka keran wastafel, membasuh wajahnya dengan air dingin. Ia menatap pantulan dirinya di cermin. Sesaat, ia terlihat seperti dirinya sendiri—Presiden Anna Maria Weiss, pemimpin tegas dan penuh harapan bagi rakyat Indonesia.
Namun, perlahan, senyumnya berubah.
Cermin itu tidak hanya memantulkan wajah Anna. Seolah ada sesuatu yang lain di sana—sesuatu yang gelap, sesuatu yang selama ini tersembunyi. Senyuman di wajah Anna menjadi lebih lebar, lebih menyerupai seringai.
Dia tertawa. Awalnya pelan, seperti gumaman tertahan, tetapi kemudian suara itu berubah menjadi tawa liar yang menggema di kamar mandi. Tubuhnya terguncang, matanya membelalak penuh kegilaan.
"HAHAHAHAHA! Mereka percaya! Mereka benar-benar percaya! Perdamaian, persatuan, kedamaian dunia… semua omong kosong itu! Dan mereka makan semuanya!"
Anna—atau lebih tepatnya, Anna Lynne—menatap bayangannya di cermin, melihat monster yang selama ini ia sembunyikan. Tangan rampingnya mencengkeram tepi wastafel, kukunya hampir merusak permukaan porselen itu. Matanya, yang biasanya penuh ketenangan seorang pemimpin dunia, kini memancarkan kegilaan murni.
"Perdamaian? Astaga, aku hampir tertawa di depan mereka tadi! Mereka tidak tahu apa-apa! Semua ini... semua perang, semua kehancuran, adalah panggungku! Mereka pikir aku pemimpin yang penuh harapan? Tidak, aku adalah penyebab kehancuran mereka!"
Ia membungkuk, tubuhnya terengah-engah karena tawa yang terus meluncur keluar tanpa henti. Air dari keran terus mengalir, membasahi wastafel hingga meluap.
"Dunia ini… dunia yang bodoh ini, semuanya hanya bidak dalam permainanku. Aku tidak perlu peduli pada negara-negara kecil itu—Quila, Qua-Toyne, Parpaldia. Mereka semua hanya panggung untuk kekacauan yang lebih besar. Dan mereka pikir aku pahlawan?"
Ia memutar tubuhnya, bersandar pada wastafel, dan memejamkan mata sejenak. Dalam hening itu, suara Anna Lynne terdengar lebih tenang, tetapi lebih dingin.
"Mereka pikir aku membangun perdamaian. Sebenarnya, aku membangun kekacauan. Perlahan, halus, dan tidak ada satu pun dari mereka yang sadar."
Ia mendekati cermin lagi, menatap pantulan dirinya sendiri dengan penuh penghinaan.
"Presiden Anna Weiss. Pemimpin besar dari Indonesia. Pfft. Betapa membosankan nama itu. Tidak, aku adalah Anna Lynne. Sang arsitek kekacauan. Sang pembawa kehancuran. Mereka akan tahu siapa aku, tetapi pada saat itu, sudah terlambat bagi mereka."
Tawa itu kembali muncul, tetapi kali ini lebih pelan, lebih mengintimidasi, seperti desisan ular yang mengancam mangsanya. Anna Lynne merapikan rambutnya, menarik napas dalam-dalam, dan menyembunyikan seringai gilanya di balik senyum diplomatik yang biasa ia tampilkan.
Ketika ia keluar dari kamar mandi, para ajudan sudah menunggu di luar. Mereka tidak tahu apa yang baru saja terjadi. Yang mereka lihat hanyalah Presiden mereka, wanita yang kuat dan penuh wibawa, keluar dengan senyum tenang.
"Semua sudah siap untuk jadwal esok, Bu Presiden." Ujar salah satu ajudannya.
Anna mengangguk. "Bagus. Kita punya banyak hal untuk dilakukan. Dunia menunggu bimbingan kita."
Namun, dalam hatinya, Anna Lynne tertawa lagi, senyap tetapi mematikan.
Tidak ada yang tahu bahwa pemimpin mereka, simbol harapan di tengah kekacauan global, adalah orang yang sama yang sedang merancang kehancuran dunia.
TBC.
Bad news, sebentar lagi cerita Summoning Broken Garuda ini akan tamat dalam waktu yang sangat dekat.
Good news, akan ada cerita baru yang masih bersangkutan dengan Negara atau Militer. Gak bisa aku publish full karena masih dalam tahap penulisan, namun aku bisa kasih judulnya buat kalian untuk menebak.
"Laksana Raja di Laut."
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip