Chapter 2
Konferensi Pemerintah, Kerajaan Qua-Toyne.
Perdana Menteri Kanata duduk di ujung meja panjang, matanya tampak gelisah ketika menatap para perwakilan yang hadir. Tiga hari yang lalu, ia menerima laporan dari Menteri Militer mengenai sebuah benda terbang asing yang melintas di langit Maihark, ibukota negara. Benda itu terbang pada ketinggian dan kecepatan yang belum pernah disaksikan sebelumnya—bahkan naga terbang tercepat tak mampu menyamai kecepatannya. Benda tersebut menampilkan lambang merah berbentuk lingkaran pada badannya, namun tak ada negara yang dikenal memiliki logo tersebut.
Dengan suara berat, Kanata memulai konferensi, "Saudara-saudara, apa pendapat kalian mengenai laporan ini? Bagaimana kita bisa menginterpretasikan peristiwa aneh ini?"
Kepala Analisis Informasi mengangkat tangannya, lalu maju untuk berbicara. "Menurut pengamatan kelompok analisis kami, benda tersebut memiliki kemiripan dengan pesawat terbang dari negara besar Wilayah Beradab Kedua, Mu. Namun, pesawat terbaru milik Mu hanya mampu mencapai kecepatan maksimum 350 km/jam, sementara benda ini melaju jauh lebih cepat, melebihi 600 km/jam... Hanya saja..."
Ia terdiam sesaat, wajahnya tampak berpikir keras.
Kanata menyipitkan matanya. "Hanya? Apa yang Anda maksud dengan ‘hanya’?"
Kepala Analisis menelan ludah sebelum melanjutkan, "Ada laporan yang menyebutkan bahwa di ujung barat jauh Negeri Beradab, di luar wilayah kekuasaan Mu, sebuah kekuatan misterius bernama Kekaisaran Delapan telah muncul. Negara itu secara agresif menaklukkan wilayah-wilayah sekitarnya menggunakan teknologi yang tak pernah dikenal sebelumnya. Berdasarkan informasi terbaru dari intelijen, Kekaisaran Delapan bahkan baru saja menyatakan perang terhadap Aliansi Negara Wilayah Beradab Kedua."
Di ruangan itu terdengar tawa kecil yang menandakan skeptisisme. Gagasan tentang sebuah kekaisaran baru yang menantang Wilayah Beradab Kedua, rumah dari negara-negara yang dikenal paling kuat setelah Lima Kekuatan Utama, terdengar konyol. Bahkan untuk tindakan gegabah, itu adalah batas yang tak masuk akal.
Namun, seorang menteri lain dengan cepat menyanggah, "Walau Kekaisaran Delapan terdengar mengesankan, mereka berada jauh di sebelah barat Mu. Jarak mereka ke negeri kita lebih dari 20.000 kilometer. Tak peduli seberapa kuat kekuatan militer mereka, sulit untuk membayangkan bahwa benda asing ini berasal dari sana."
Ruangan itu menjadi hening, sementara pikiran semua orang bergelayut dalam ketidakpastian. Ada rasa cemas, namun juga keinginan untuk segera menemukan jawaban tentang siapa, atau apa, yang telah melintasi wilayah mereka. Meskipun pertanyaan-pertanyaan ini masih belum terjawab, semua yang hadir merasakan bahwa dunia mereka mungkin akan berubah selamanya.
Di dalam ruang konferensi yang suasana nya semakin tegang. Para menteri saling bertukar pandangan cemas, hingga suasana nyaris buntu karena kebuntuan. Mereka tengah membahas isu-isu keamanan yang belum jelas ketika seorang staf muda dari bagian diplomatik tiba-tiba menerobos masuk dengan napas terengah-engah, menarik perhatian semua orang.
Menteri Luar Negeri bangkit, tampak terkejut, “Apa yang terjadi?! Laporan segera!”
Staf muda itu menegakkan tubuhnya dan mulai melaporkan dengan cepat. "Pagi ini, ditemukan sebuah kapal berukuran besar, panjangnya mencapai 400 meter, di laut utara negara kita. Angkatan laut telah melakukan kontak dan menemukan bahwa kapal tersebut membawa diplomat dari negara yang menamakan diri mereka Indonesia."
Perdana Menteri Kanata mengangkat alisnya, "Indonesia? Negara mana itu?"
"Negara tersebut mengklaim... mereka telah dipindahkan ke dunia ini secara tiba-tiba. Mereka terpisah sepenuhnya dari dunia asal mereka dan kini berusaha mencari tahu keadaan di sini." Jawab staf muda, mencoba menahan keterkejutannya sendiri. "Mereka meminta maaf atas pelanggaran wilayah udara kita, dan menawarkan konferensi diplomatik untuk menjalin hubungan baik."
Menteri Rinsui, yang sejak tadi memasang ekspresi tak percaya, mendengus. "Seluruh negara berpindah dunia? Itu tidak masuk akal. Bahkan dalam legenda terdengar mustahil!"
Namun, Kepala Analisis Informasi menyela dengan pandangan yang lebih serius.
"Meskipun sulit dipercaya, mereka membawa diplomat dan menawarkan permintaan maaf. Sikap seperti ini tidak tampak dari pihak yang hendak bermusuhan. Setidaknya, mereka menunjukkan niat yang baik."
Perdana Menteri Kanata berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan. "Baiklah. Jika mereka memang menawarkan konferensi diplomatik, kita akan menerimanya. Siapkan undangan resmi untuk diplomat mereka di kediaman resmi saya. Kita akan mendengarkan apa yang ingin mereka sampaikan."
Para menteri saling memandang, meski ragu-ragu, mereka menerima keputusan itu. Keadaan penuh ketidakpastian, tetapi untuk saat ini, mereka tak punya pilihan lain
....
......
Di bawah sinar matahari pagi, warga Kota Maihark sedang menjalani hari mereka dengan damai, hingga suara gemuruh menggetarkan laut di kejauhan. Para nelayan yang berada di dermaga menoleh dengan bingung, dan satu per satu warga mulai berlarian ke pelabuhan kecil untuk melihat apa yang sedang terjadi. Prajurit garnisun Maihark yang berjaga di pos mereka turut merasakan getaran tersebut, dan dengan cepat mereka mengarahkan pandangan ke arah suara itu berasal.
Sesaat kemudian, sosok raksasa mulai tampak dari balik kabut tipis yang menggantung di cakrawala. Sebuah kapal besi besar muncul, diikuti oleh dua kapal besi kecil yang tak kalah mengesankan. Warga dan para prajurit mulai terperangah, tatapan mereka terpaku pada sosok kapal raksasa yang belum pernah mereka lihat sebelumnya—KRI Kutai, kapal yang begitu besar hingga tidak mungkin untuk masuk ke pelabuhan kecil Maihark. Ia terpaksa berhenti di luar pelabuhan, namun meskipun begitu, kehadirannya tetap mendominasi pandangan mereka.
Seorang prajurit garnisun tampak menelan ludah dengan gugup. "Dewa… kapal sebesar itu… bagaimana mereka bisa membuatnya mengapung?" gumamnya dengan wajah pucat.
Sementara itu, seorang pendeta yang tengah berdoa di kuil terdekat mendengar kegaduhan yang semakin ramai. Ia melangkah keluar, lalu ikut terpana ketika melihat kapal-kapal itu. Ia bergegas memimpin warga sekitar untuk berdoa, menganggap kehadiran kapal raksasa itu sebagai pertanda dari para Dewa atau mungkin makhluk dari dunia lain.
"Ya Dewa… apa yang kita lihat ini… apakah ini bala tentara ilahi atau ancaman yang dikirim untuk menguji kita?" ucap pendeta tersebut, suaranya hampir bergetar ketika memimpin doa.
Di dermaga, para nelayan mulai bersandar pada perahu mereka, ketakutan dan kagum bercampur aduk. Beberapa orang bahkan berlutut dan membisikkan doa, tidak berani menatap langsung pada KRI Kutai yang tampak seperti istana besi terapung. Bahkan kapal-kapal Perang milik Angkatan Laut Kerajaan yang mereka banggakan kalah besar dengan monster ini.
Para prajurit garnisun di sekitar pelabuhan berdiri dalam formasi tak menentu, sebagian dari mereka tidak bisa menahan rasa cemas saat memandangi lambung kapal raksasa itu. Komandan garnisun, yang biasanya tegas, justru terdiam saat ia menyadari bahwa semua persenjataan yang mereka miliki tidak akan berarti apa-apa jika kapal raksasa itu memiliki niat buruk.
"Lapor ke Perdana Menteri Kanata." Perintahnya pada salah satu anak buahnya yang sedang menggenggam erat tombak. "Katakan… bahwa Tamu luar negeri tiba.."
Namun, dalam hati, bahkan sang komandan merasa gentar. KRI Kutai tampak begitu perkasa, sesuatu yang jauh melampaui pemahaman mereka tentang kekuatan angkatan laut. Ia hanya berharap, seperti yang dikatakan diplomat asing mereka, kapal ini datang dengan damai.
Ketika dia mengirim prajurit tadi untuk mengabari Perdana Menteri Kanata yang kediamannya ada di Selatan Maihark, 20 Kilometer kurang lebih dari Pelabuhan... Sesuatu menakjubkan terjadi. Dari Kapal raksasa itu, terbang sesuatu yang makin dekat menuju Pelabuhan Maihark.
Kapten Ine, Komandan Garnisun Ksatria di Maihark menyadari kalau benda terbang itu mirip dengan yang meneror Kota Maihark beberapa hari yang lalu.
(V-34 Bangau)
"Itu adalah Makhluk yang beberapa hari lalu..." Gumam Kapten Ine sambil menyilangkan kedua tangannya.
"Kapten! Mereka mendekati kita!" Teriak salah satu Anak buahnya sambil menunjuk.
Kapten Ine melihat ke apa yang ditunjuk anak buahnya, benar saja benda terbang itu terus mendekat dan mendarat di lapangan yang cukup luas di sana, Kapten Ine memberi isyarat kepada anak buahnya untuk membentuk lingkaran di sekitar benda yang baru saja mendarat itu, memastikan tidak ada warga yang mencoba mendekat.
Kapten Ine berjalan mendekati benda itu dan melihat beberapa orang keluar belakang benda tersebut dengan pakaian yang sangat aneh dan memiliki corak keputihan. Yang paling menarik perhatian Ine adalah senjata yang mereka bawa, atau apapun benda yang mereka bawa di tangan mereka.
(Senapan Laser standar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. SL-99, pertama kali digunakan secara luas pada tahun 2099 saat akhir Perang Perbatasan.)
Kapten Ine berdehem, yang membuat keempat orang dengan baju tempur tersebut menatapnya, membuat Ine sedikit gugup. "Selamat datang di Maihark, Kota Pelabuhan terbesar di Kerajaan Qua. Saya adalah Kapten Ine, pemimpin Garnisun pertahanan disini."
Salah satu dari mereka membuka helm yang dipakai. Dia berambut hitam acak-acakan dengan brewok tipis, dia memberikan senyuma ramah ke Ine. "Selamat Pagi Kapten Ine, maaf mengusik pagi kalian, saya adalah Hudson yang mewakili Republik Indonesia."
"Diplomat Hudson, anda sudah ditunggu oleh Perdana Menteri Kanata di Kediamannya, kami akan mengawal anda sekalian hingga ke sana." Jawab Kapten Ine dengan profesional.
"Terimakasih, Kapten, kami membawa mode transportasi sendiri, apakah tidak apa-apa?" Tanya Hudson sambil melihat sebuah kendaraan dengan panjang 8 meter dibongkar dari V-34 Bangau yang mendarat.
Kendaraan itu adalah APC Anoa Evo yang telah mengalami evolusi dari leluhurnya, sekarang Anoa Evo ini menjadi tulang punggung Divisi Mekanis TNI AD yang telah digunakan dari tahun 2080 hingga sekarang. Harganya murah, mudah diproduksi dan dapat dimodifikasi ke berbagai varian, menyesuaikan pertempuran yang akan dihadapi.
"Itu... Kereta kuda kalian? Dimana kuda nya? Apa mau meminjam punya kami?" Ine nampak bingung, sebelum akhirnya menawarkan kuda ke Hudson.
Hudson nampak bingung sedikit, sebelum akhirnya tertawa renyah. "Tidak perlu Kapten, Anoa Evo bisa bergerak sendiri dengan bantuan mesin."
Kapten Ine langsung merasa sedikit malu. "Ah... Maaf, saya tidak tahu."
"Tidak apa-apa, Kapten... Bisa kita mulai perjalanan?" Hudson tersenyum.
"Tentu, Diplomat." Kapten Ine beserta beberapa Ksatria lantas menaiki kuda-kuda mereka, sedangkan Hudson dan pengawalnya masuk ke Anoa Evo yang sudah siap berangkat.
Perjalanan menuju ke Kediaman resmi Perdana Menteri Kanata tidak terlalu memakan banyak waktu karena tidak ada hambatan sama sekali, hanya saja saat akan keluar dari Maihark banyak sekali warga-warga Qua-Toyne yang ingin melihat mereka dengan tatapan kagum.
Hudson menghela nafas panjang sambil memakai helm nya kembali. Salah satu pengawalnya, mantan anggota NordRimm juga, bertanya ke Hudson. "Pak, bagaimana rasa udara di luar?"
"Sangat menyegarkan, kulit ku tidak pernah merasakan udara semacam ini." Kata Hudson dengan perasaan senang.
"Ck, tau begitu, aku juga ikutan buka helm." Celetuk yang lainnya.
"Kita dalam misi resmi dari Indonesia, kita harus jaga sikap dan Image Indonesia, bung." Kata teman di samping nya.
"Benar, apalagi kita tidak bisa lagi pulang ke Harmonia karena kita tidak lagi di Bumi... Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa kita panggil rumah, setelah beberapa tahun tinggal disini." Kata Hudson dengan tegas, namun dibalik itu ada nada penuh pengertian.
Walaupun Konfederasi Harmonia adalah salah satu Komunitas negara yang tertinggal dalam hal teknologi, banyak anak buahnya berasal dari sana dan rindu rumah mereka. Konfederasi Harmonia memilih untuk tidak menggunakan Teknologi dan menganut paham Konservatisme, beranggapan kalau Teknologi lah yang mengakibatkan kiamat beberapa ratus tahun lalu.
Dengan lebih mengandalkan Alam dan kekuatan dari manusia sendiri, banyak Courier hebat dan legendaris lahir dari Konfederasi Harmonia, membentuk Perserikatan NordRimm yang bertugas menjadi pengantar pesan, paket dan Navigator bagi pedagang.
Hudson mengingat masa-masa sulit itu... Makan saja kadang-kadang dia kesulitan tiap harinya, tapi ketika dia mendapati dirinya dan anggota NordRimm cabang Indonesia lainnya muncul di Dunia lain, mereka merasakan harapan seperti warga Indonesia lainnya. Selain harapan untuk masa depan yang lebih baik, Hudson secara personal ingin melihat dunia ini lebih dekat, memahami budaya mereka dan juga sejarah mereka.
Saat dia dan pengawalnya terus berhayal, tiba-tiba dia dipanggil si Supir. "Pak, Kediaman Perdana Menteri sudah terlihat."
"Terimakasih Supir, baiklah semuanya, pasang wajah kerja lagi." Kata Hudson yang melepas helm nya, karena rasanya agak kurang sopan berbicara dengan kepala negara asing dengan menggunakan Helm.
Anoa Evo itu berhenti di dalam pekarangan Kediaman Perdana Menteri Kanata. Hudson dan dua pengawalnya lantas turun dan disambut oleh sosok manusia jangkung dengan rambut pirang, namun yang membuat Hudson dan pengawalnya sedikit syok nan heran adalah, telinganya lancip seperti bilah pisau.
"Selamat datang, Tamu Terhormat dari Republik Indonesia... Kami, Kerajaan Qua-Toyne menyambut dengan hangat kalian semua." Perdana Menteri Kanata berkata dengan senyuman.
Hudson berdehem dan mengulurkan tangannya. "Saya adalah Hudson, Perwakilan dari Republik Indonesia, saya sungguh senang disambut seperti ini... Tapi, apa saya boleh sedikit bertanya?"
"Apa itu, Tamu terhormat?" Tanya Kanata sedikit kebingungan, dia menjabat tangan Hudson dengan ragu, isyarat tangan ini biasanya hanaya digunakan di Wilayah Beradab.
"Telinga itu, apa anda Mutan?" Hudson bertanya dengan blak-blakan.
Jujur saja, telinga lancip seperti pisau itu mirip seperti Mutan Elf yang berkeliaran di Eropa Timur, memangsa manusia dan hewan yang di sana, berburu layaknya serigala. Tubuh jangkung, sekitar 180cm dan berbadan pucat seperti mayat, apalagi mata putihnya seperti tidak ada jiwa. Hudson ingat pernah kehilangan banyak rekannya saat Operasi pembebasan Eropa Timur yang memakan banyak korban 10 tahun yang lalu.
"Eh... Mu... Tan? Apa itu?" Kanata nampak bingung dan heran.
"Ah uh... Jadi anda bukan Mutan, ya? Maaf kalau tidak sopan." Hudson dengan panik mencoba memperbaiki kesalahannya, Alfian akan membunuhnya kalau tahu insiden kecil ini!
"Saya bahkan tidak tahu maknanya... Saya adalah Bangsa Elf... Apa tidak ada Elf di... Um... Tempat asal kalian?" Kanata bertanya dengan penasaran namun gugup.
"Ada sih... Cuman itu cerita untuk lain waktu Perdana Menteri Kanata... Bisa kita berbicara di dalam?" Hudson cepat-cepat menutup topik tidak mengenakkan itu.
"Tentu... Mari masuk, saya sudah menyiapkan hidangan besar untuk anda Tamu Terhormat sekalian." Kata Kanata dengan bangga dan penuh harap, berharap dapat membuat orang-orang dari negara asing yang nampaknya kuat ini terkesan dengan makanan Qua-Toyne.
Mendengar kata jamuan, mata Hudson hampir keluar dari bola matanya, begitu juga pengawalnya yang lain dan yang di dalam Anoa Evo. "Jamuan... Tentu, Pak Kanata, kami dengan senang hati menerima tawaran anda."
Kanata menyadari nada senang dan semangat di suara Hudson, dia di dalam hatinya bersorak, sukses untuk mengambil hati Tamunya, namun tantangan sebenarnya baru saja dimulai.
Kanata dan Hudson pun memasuki Kediamannya, selama perjalanan ke tempat perjamuan, mereka berbincang akan hal-hal kecil. Seperti....
"Negara anda sungguh makmur dan indah, Tuan Kanata." Puji Hudson yang sangat terkessn melihat keindahan Qua-Toyne selama perjalanan ke Kediamannya Kanata.
"Hahaha anda terlalu berlebihan, pasti Indonesia jauh lebih indah dari Negara biasa seperti kami." Kanata tertawa ringan.
Hudson lantas terdiam dan berpikir, hal ini tentu menarik perhatian Kanata. "Apa... Saya salah?"
"Tidak, Tuan Kanata... Indonesia dahulu memang mendapatkan julukan “Surga Dunia” Karena keindahan dan majunya Teknologi di sana. Namun sekarang kami hanyalah bayangan... Tidak, debu dari Kejayaan masa lalu." Jawab Hudson dengan sedikit muram, dia punya sisi lembut pada hal-hal Indah dan budaya.
".... Terjadi perang?" Kanata memberanikan diri untuk menanyakan hal yang mungkin sensitif.
"Lebih dari Perang, kejadian itu benar-benar mimpi buruk yang menjadi kenyataan, walau sudah terjadi ratusan tahun lalu... Lukanya tetap ada hingga sebelum kami dipindahkan kemari." Jawab Hudson dengan jujur.
Kanata membayangkan, konflik macam apa yang dapat membuat Negara yang mampu menciptakan kapal-kapal monster itu hancur berantakan? Pasti skalanya sudah benar-benar besar sekali, pikir Kanata sambil merinding.
"B-Begitu ya... Ah kita sudah sampai." Kanata berkata dan beberapa Pelayan membuka pintu, menunjukkan ruangan perjamuan yang banyak sekali makanan-makanan khas Qua-Toyne menunggu, selain itu juga ada Menteri Luar Negeri Kerajaan Qua-Toyne, Rinsui.
Dia nampak duduk dengan tenang sambil minum teh, fokusnya teralihkan saat melihat delegasi Indonesia masuk. Dia melihat dengan tertarik zirah yang dipakai para pengawal Diplomat mereka, namun tidak terlalu paham karena dia bukan orang Militer, dia hanya tertarik akan estetika nya.
Rinsui berdiri dan memberi hormat kepada Kanata yang hanya melambaikan tangannya. Hudson memandangi semua makanan dengan tatapan layaknya serigala yang siap memangsa.
"Tuan Hudson, ini adalah Tuan Rinsui, Menteri Luar Negeri Kerajaan kami." Ucap Kanata memperkenalkan rekannya.
Hudson menggelengkan kepalanya sedikit sebelum akhirnya mengulurkan tangannya ke Rinsui yang memandang dengan ragu tangan Hudson yang tertutup sarung tangan. Kanata memberi isyarat menggunakan kepalanya, membuat Rinsui menjabat tangan Hudson dengan erat, namun sedikit terkejut merasakan betapa kuatnya cengkraman dari Hudson.
"Senang bertemu dengan anda, Tuan Hudson." Ucap Rinsui.
"Begitu juga dengan saya, Tuan Rinsui, semoga negara kita bisa bersahabat."
"Hahaha tentu saja."
Mereka bertiga lalu duduk dan berbincang singkat, namun Hudson lebih fokus menyantap semua makanan dihadapannya dengan setitik air mata keluar dari ujung matanya.... Sudah berapa lama dia tidak memakan makanan enak, segar dan penuh akan rasa seperti ini? Tidak pernah!
Hudson mengendalikan dirinya dan melihat Kanata yang menyantap daging. "Tuan Kanata, saya ada permintaan."
"Oh? Apa itu?" Tanya Kanata dengan penasaran.
"Bisakah beberapa makanan disini diberikan ke Pengawal ku di luar sana?" Hudson meminta dengan baik.
"Hmmm itu bisa diatur." Kanata memerintah beberapa pelayan untuk melakukan permintaan Hudson.
Rinsui langsung bertanya. "Tuan Hudson, maaf jikalau saya bertanya... Kenapa sepertinya kalian sangat tergila-gila akan makanan dan bahkan ingin membagikan makanan ini dengan pengawal anda?"
Hudson berhenti sejenak lalu menatap Rinsui dalam-dalam, yang membuat Rinsui merinding. Di mata Hudson, Rinsui melihat orang yang telah melihat banyak hal di dunia.
"Tuan Rinsui... Aku jujur saja, Di Dunia lama kami, terjadi sebuah peristiwa mengerikan yang membuat makanan sangat langka dan sulit didapatkan, jadi kami memandang makanan semacam ini sebagai suatu berkah ilahi." Ucap Hudson dengan berapi-api.
"B-Begitu... Jadi anda sekalian benar-benar dari Dunia lain, ya?" Rinsui masih meragukan klaim mereka, Kanata juga demikian.
Hudson, seorang mantan prajurit yang menyaksikan langsung dunia lamanya yang perlahan-lahan membusuk, menceritakan kengerian yang ia alami selama hidupnya dengan suara yang serak dan tatapan kosong yang terlihat jauh ke masa lalu.
“Dunia kami... dulu pernah hidup. Pernah indah, meskipun penuh perpecahan. Namun, ketika perang nuklir pecah, semuanya berubah. Kota-kota besar menjadi abu dalam hitungan menit. Tempat-tempat yang dulu kita sebut rumah terpanggang dalam kilatan cahaya menyilaukan. Ledakan yang tidak hanya menghancurkan bangunan, tetapi menghapus seluruh sejarah dan kenangan yang ada di sana.”
Hudson melanjutkan, suaranya gemetar ketika mengenang hari-hari kelam yang mereka lalui, "Orang-orang yang selamat dari ledakan itu tak benar-benar selamat. Mereka dibakar dari dalam, tubuh mereka rusak oleh radiasi yang tak terlihat, tetapi membunuh perlahan. Anak-anak lahir dengan cacat mengerikan, sementara mereka yang masih kuat terpaksa bertarung—untuk sisa-sisa air bersih, untuk makanan yang tak lagi bisa tumbuh di tanah yang tercemar racun. Setiap orang menjadi musuh bagi yang lain.”
Ia menggambarkan zona-zona yang disebut sebagai ‘Abad Kegelapan’, area-area yang penuh dengan kontaminasi, tempat di mana orang yang masuk hampir pasti tidak akan kembali. “Tidak ada yang bisa hidup di sana. Mereka yang mencoba, berakhir lebih buruk daripada yang mati.” Hudson menghela napas, mengenang rekan-rekannya yang hilang, tersesat dalam reruntuhan dunia.
Namun, bagi Hudson, hal yang paling menyakitkan bukanlah kehancuran fisik, tetapi hancurnya jiwa manusia. “Kita semua terpecah belah. Tidak ada lagi keluarga, tida adalah persatuan. Manusia tidak lagi mempercayai satu sama lain, dan mereka yang memimpin, mereka yang seharusnya melindungi… mereka meninggalkan kita, memandang kita hanya sebagai angka di atas kertas."
Dengan nada penuh kepahitan, Hudson menyimpulkan. "Kami adalah generasi yang menanggung dosa-dosa pendahulu kami. Kami adalah saksi dari kebencian dan ketamakan yang menghancurkan segala sesuatu yang kami tahu, yang kami cintai. Dan ketika akhirnya kami diasingkan ke dunia ini, aku bertanya-tanya—mungkin inilah penghakiman bagi kami semua."
Hudson melanjutkan. "Namun Negara Indonesia adalah negara yang tidak mau menyerah begitu saja dihadapan Takdir, mereka membangun perlahan-lahan dan aku, bersama banyak anggota NordRimm lainnya membantu Indonesia, baik dalam hal komunikasi antar kota atau hal lainnya."
Rinsui dan Kanata meresapi penjelasan penuh melankoli dari Hudson, mereka tidak bisa membayangkan hidup dengan kondisi seperti itu. Makan harus dibatasi atau bahkan tidak makan... Kanata melebarkan matanya sedikit, bagaimana dengan anak-anak? Penerus suatu bangsa? Mereka membutuhkan banyak makanan untuk bisa bertahan hidup dan berkembang, membayangkan apa yang harus dihadapi anak-anak itu membuat hati Kanata rasanya dirobek.
Keheningan terjadi selama beberapa menit, Rinsui dan Kanata memikirkan perkataan Hudson sebelumnya, sedangkan Hudson sendiri lanjut makan sambil bergumam. "Gaboleh Mubadzir."
Kanata akhirnya tersentak dan lanjut makan. Rinsui kembali bertanya. "Baiklah, anggap kami benar-benar percaya akan.... Asal usul kalian, apa yang kalian inginkan dari kami? Kami adalah negara yang terbelakang dan 'Bar-bar', sedangkan kalian mempunyai Kapal Perang yang menyerupai Istana mengambang."
Hudson merasa heran mendengar hal itu. Kenapa Rinsui merendahkan negaranya sedemikian rupa? Bahkan sampai memanggil diri mereka Bangsa Bar-bar?
"Tuan Rinsui, saya tidak tahu menahu mengenai Geopolitik dunia ini, tapi bagi saya yang telah menjelajahi 'Dataran Bar-bar' di dunia lama saya, anda lebih beradab dan makmur. Tidak mungkin negara bar-bar memiliki keindahan dan kemakmuran seperti ini." Jawab Hudson dengan tegas.
Bangsa bar-bar di Eropa Timur dan Balkan benar-benar mengerikan.
Kanata dan Rinsui yang mendengar itu sangat senang, walaupun mereka belum tau kebenaran dari Negara Republik indonesia ini, mereka yakin, pasti Indonesia sangatlah kuat. Dan dipuji oleh negara kuat? Itu membuat mereka senang.
"Dan untuk apa yang kami inginkan dari kalian? Kami menginginkan makanan, sebanyak-banyaknya... Uhh jika menurut Pemerintahan kami." Hudson membuka sebuah benda berukuran kotak di tangannya dan menyentuhnya.
Hudson lalu lanjut berkata. "Ah, kurang lebih 40 Juta Ton Gandum dan 50 Juta Ton Beras."
Mendengar nominal yang sangat fantastis itu, Kanata dan Rinsui langsung syok berat, tidak pernah dalam pemikiran mereka akan ada negara membeli pasokan makanan sebanyak itu! Seberapa lapar mereka sebenarnya?!
Kanata berkata dengan gugup. "50 Juta ton?! M-Maksud ku, Negara kami ini memang diberkati oleh Dewi hingga menjadi sangat Subur, namun untuk jumlah itu? Kami tidak tahu apa dapat memberikannya dalam sekali panen."
"Benar kata Tuan Kanata, yang terbaik dapat kami lakukan adalah 20 Juta Ton untuk sekarang, juga... Negara kami tidak punya sarana transportasi untuk mengirimkan jumlah sebesar ini ke negara Anda. Ada banyak lahan pertanian luas di tengah Negara, tapi kami kekurangan tenaga kerja dan anggaran untuk mengangkut hasil panen ke pelabuhan. Bahkan jika sudah sampai di pelabuhan, kami juga kekurangan tenaga kerja untuk memuat bahan pangan tersebut. Di atas semua itu, kami juga kekurangan kapal. Infrastruktur Maihark juga tidak memungkinkan untuk Ekspor sebesar ini." Rinsui menjelaskan.
Hudson mendengar mereka baik-baik sambil menganggukkan kepalanya dengan penuh paham. "Hmm.... Nampaknya saya harus menghubungi pemerintahan saya mengenai hal itu... Tuan Kanata, bisa saya tahu alasan kenapa anda tidak bisa mengekspor sebanyak itu untuk saat ini?"
"Hufftt... Sebenarnya negara kami ini dalam kondisi genting, Kerajaan Louria, sebuah negara yang berdiri atas dasar Supremasi Manusia di arah barat, tengah melakukan manuver yang sangat berbahaya. Mungkin dalam dekat akan ada peperangan." Kata Kanata dengan suram.
Hudson merengut dan mengepalkan tangannya, Perang lagi? Kenapa manusia nampaknya tidak bisa eksis tanpa Peperangan?
"Begitu... Akan saya sampaikan hal ini ke Presiden Alfian, semoga beliau dapat merespon dengan cepat." Kata Hudson.
"Terimakasih atas kepahaman anda Tuan Hudson. Apa anda akan pulang untuk mengirim pesan ke Negara anda?" Tanya Kanata.
"Tidak perlu, saya sudah mengirim pesan ke Presiden Alfian, seharusnya kita dapat respon dalam beberapa jam." Kata Hudson menunjukkan benda kotak yang dipegangnya sedari tadi.
"Luar biasa... Komunikasi jarak jauh." Rinsui bergumam dengan nada tidak percaya.
"Anda dan pengawal anda bisa beristirahat disini, Tuan Hudson." Kata Kanata sambil tersenyum.
Hudson membalas senyuman itu. "Terimakasih Tuan Kanata, semoga Tuhan memberkati negara kalian."
..
....
Taman Istana Negara, Neo-Jakarta, Distrik Pulau Jawa.
Alfian nampak sedang berjalan dengan Andika sambil menikmati udara segar pada sore hari, dengan Elena berjalan mengikuti dari belakang dengan diam.
"Apa kabar anak-anak mu, Dika?" Tanya Alfian.
"Mereka baik-baik saja, Pak, mereka sangat senang dan terus saja mengajakku ke Pantai." Andika tertawa kecil.
Alfian tersenyum mendengar hal itu. Mungkin pemindahan satu negara ini membawa aspek positif untuk negaranya, saat dia akan membalas, Tiba-tiba Elena menginterupsi.
"Pak Presiden dan Pak Menteri, saya baru saja mendapatkan pesan dari Tuan Hudson yang dikirim ke Negara asing asal dunia ini." Kata Elena.
"Oh? Sudah dapat pesan? Apa katanya?" Tanya Alfian penasaran.
"Mereka dapat menyanggupi permintaan kita mengenai suplai makanan, namun terkendala mengenai Infrastruktur dan Sarana transportasi." Jawab Elena.
"Hmhm... Mereka artinya benar-benar berasal dari Abad Pertengahan, eh? Baiklah... Ada lagi?" Tanya Alfian sambil mengelus dagunya.
"Mereka juga uhh... Terancam mengalami Peperangan." Elena berkata dengan gugup.
".... Owalah Kont-"
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip