Chapter 5

Kota perbatasan Gim, Kerajaan Qua-Toyne.

3 September 1639.

Kapten Moizi mencium bau yang tidak sedap di udara, dia adalah seorang Beastkin Kucing, insting naluri bertahan hidup dari predator nya sangatlah tinggi, makanya dia mencium bau yang sangat tidak sedap di udara, seperti masalah akan datang.

Moizi melihat kebawah dan ratusan prajurit Qua-Toyne tengah mempersiapkan parit-parit pertahanan, tempat-tempat senapan mesin M2 Browning di letakkan di dalam bunker yang dibangun dibelakang parit. Ada juga beberapa relawan yang memasang ratusan ranjau darat, baik Konvensional atau magis di wilayah di tetapkan Pimpinan tertinggi sebagai Tanah tak Bertuan.

Moizi mendengar gemuruh dari kejauhan dan melihat beberapa Truk berwarna kuning dengan logo Angkatan Darat Qua-Toyne, mereka membawa bala bantuan dari Ejey.

Beberapa bulan terakhir ini sudah sangat... Luar biasa, bagi Qua-Toyne dan Quila. Mereka mendapatkan sekutu yang hebat dan juga baik seperti Indonesia, Moizi sendiri pernah sekali ke Indonesia untuk menjadi relawan membantu pembangunan ulang kota Neo-Jakarta. Namun dia dipanggil kembali karena ancaman Invasi Louria semakin hari makin kuat.

Ribuan prajurit yang dilatih oleh TNI kini tengah bersiap berangkat dari Benteng Ejey, salah satu bangunan besar dan perkasa yang pernah menghalau serangan Iblis ribuan tahun lalu. Moizi sendiri juga dilatih ulang di Korps Perwira dan dia merasa sangat terkesan akan segala hal yang diajarkan, mulai dari disiplin, cara baris-berbaris dan bertahan hidup di alam liar.

"Kapten Moizi! Empat peleton prajurit telah tiba dari Ejey, kini Truk-truk nya sedang mengisi ulang bahan bakar, sebelum akhirnya menjemput lebih banyak prajurit!" Lapor anak buahnya.

"Hmm... Baiklah." Moizi lantas berjalan ke tempat radio, sesuatu yang lebih superior dari Manacom dan sulit untuk diretas oleh Louria, kalaupun mereka sadar Qua-Toyne tidak menggunakan Manacom lagi, mereka tidak akan bisa.

"Operator, apakah ada kabar tentang bala bantuan menggunakan Maglev? Mereka berjanji!" Moizi merengut.

"Maglev MagTrans Unit-02 tengah dalam perbaikan, mereka bilang bantuan akan datang dalam 3 hari." Balas si Operator radio dengan tenang.

"Aku tidak tahu kalau kita bisa bertahan selama itu atau tidak... Hubungi Ejey, kita akan membutuhkan lebih banyak prajurit dan amunisi." Perintah Moizi.

"Siap, pak!"

Moizi beranjak pergi dari sana dan berdiri kembali di tembok, melihat situasi yang saat ini cukup tenang. Semua penduduk Kota Gim telah dievakuasi, beserta anak istrinya, kini dia tidak perlu segan-segan lagi dalam bertempur.

Lalu dari balik hutan, muncul dua pengendara Kuda yang nampaknya terluka. Mereka membawa bendera Qua-Toyne, itu adalah pengintai yang dikirim oleh Moizi dua hari lalu! Tunggu, jumlah mereka seharusnya ada lebih dari itu!

"Louria... Louria tiba!" Teriak pengintai tersebut sebelum kepalanya terkena anak panah dan membuatnya jatuh dari Kuda, pengintai satu lagi juga bernasib sama.

Moizi melebarkan matanya dengan horor, sadar kalau ternyata strateginya terbaca dengan sangat mudah oleh Louria, mereka semua yang dikirim Moizi adalah yang terbaik dalam pelatihan Indonesia, ini membuktikan pengalaman tetap menang, walaupun lawannya punya pelatihan lebih kompleks.

"Pasukan Mortar! Siapkan 81 dan juga 105! Louria di hutan arah jam 12! High-Explosive!" Teriak Moizi.

Satu persatu Mortar yang ada di Gim ditembakkan dan membombardir hutan-hutan yang berada di arah perbatasan Qua-Toyne dengan Louria. Moizi menahan untuk memaki dirinya sendiri, dia seharusnya menyetujui saran anak buahnya untuk memotong pohon-pohon di sana, namun dia tetap kukuh untuk tidak melakukannya.

Moizi melihat semua prajurit Qua-Toyne yang berada di parit di luar Kota Gim bersiap dengan semua persenjataan mereka, para Ksatria menjadi perwira yang baik dan mengkoordinir pasukan serta mempertahankan moral.

"Pak, apa perlu kita panggil serangan udara?" Tanya ajudannya Moizi yang baru tiba, dia adalah Demi-Human Kelinci yang berkelamin Wanita. Namanya adalah Poppy.

"Tahan untuk sekarang Poppy, elemen utama dari pasukan Louria belum terlihat, ini masih Pasukan Vanguard mereka... Apakah rute evakuasi prajurit di parit telah siap semuanya?" Tanya Moizi ke ajudannya itu.

"Hampir semuanya telah siap, beberapa sedikit kesusahan, namun dijadwalkan akan siap saat akan digunakan." Balas Poppy dengan sigap.

"Bagus... Kirim beberapa peleton untuk mengamankan garis belakang kita, aku tahu pasti orang-orang Louria sialan ini akan mencoba memotong jalur logistik kita." Perintah Moizi.

"Siap, Pak!"

Pertempuran kecil terjadi di beberapa titik pertahanan di parit pertahanan Kota Gim, ratusan pasukan berkuda milik Louria keluar dari pepohonan, namun dapat ditembaki dengan mudah oleh senapan mesin punya Qua-Toyne di bunker pertahanan.

Pasukan berkuda itu menembakkan anak panah berapi atau beracun kearah pasukan Qua-Toyne yang sedang bertahan di parit mereka, namun mereka kesulitan mendengar karena kaget melihat serangan senapan mesin Qua-Toyne dan juga kuda-kuda mereka ketakutan mendengar ledakan keras serta suara tembakan senapan mesin.

Kilatan kecil melesat dari kejauhan, mengarah ke barisan terdepan. Dalam sekejap, jerit kesakitan terdengar ketika para prajurit yang berada di depan terhempas dari kuda, tubuh mereka tertembus oleh benda-benda tak terlihat yang menghantam mereka dengan kecepatan luar biasa. Beberapa prajurit mengerang dalam keheranan yang bercampur ketakutan, sementara darah menetes dari luka-luka mereka. Mereka tak pernah melihat apapun yang seperti ini sebelumnya—serangan tak terlihat yang datang secepat kilat dan menghancurkan barisan mereka tanpa mereka sadari.

"Kakiku! Aghhh! Kakiku!"

"Oh Dewa!-"

"Agghhhh sakit! Sakit!"

"Mereka bukan manusia…! mereka bersekutu dengan iblis!"

"Jika kita tidak mundur sekarang, kita semua akan mati di sini!"

"Aku tidak mau mati tanpa tahu apa yang menghancurkan kita. Ini gila… apa ini hukuman dari dewa-dewa....?"

"Apa gunanya perisai dan tombak jika mereka bisa menghancurkan kita dari jauh?!"

"Aku tak peduli lagi… aku tak ingin mati di sini! Aku mundur!"

"Ayo cepat! Sebelum mereka menghancurkan kita semua… kita tidak akan pulang jika tetap di sini!"

"Mereka… mereka menghancurkan segalanya tanpa sentuhan. Ini… neraka!"

Pasukan Berkuda yang dikirim ke Louria yang berjumlah lebih dari 700 prajurit, hampir semuanya mati di lapangan pembantaian. Mereka sangat tidak siap akan apapun yang diberikan prajurit Qua-Toyne ke mereka. Hujan ledakan dari langit... Hujan cahaya merah (tracer) yang menembus tubuh mereka... Ini benar-benar menghancurkan konsep peperangan yang mereka ketahui.

"Hentikan tembakan! Biarkan mereka mundur! Hemat peluru kalian!" Perintah Moizi dengan keras.

Satu persatu senapan mesin dan prajurit Qua-Toyne yang menembak berhenti, begitu juga dengan mortar serta artileri di Kota Gim. Semuanya hening... Hening ini begitu memekakkan, prajurit-prajurit Qua-Toyne melihat apa yang baru saja mereka lakukan beberapa menit lalu.

Mereka baru saja menghancurkan Pasukan Berkuda Louria yang sangat terkenal akan kebengisan dan kehebatannya dalam Perang Penaklukan Louria beberapa tahun lalu... Dan disinilah, pasukan berkuda hebat itu tergeletak tidak bernyawa dengan tubuh hancur, berlubang atau bahkan mungkin tidak eksis lagi untuk dikubur.

"Dewa-dewi... Apa yang baru saja kita lakukan?"

"... Sekarang aku paham kenapa mereka tidak ingin kita mengarahkan larasnya ke kepala atau orang lain..."

"Aku ingin muntah..."

"S-Sama.."

"Tapi kita menang, kan?"

"Aku... Uhmm... Mungkin?"

Moral prajurit Qua-Toyne nampaknya sedikit turun, karena melihat efek sebenarnya dari "Perang Modern" yang dibawah oleh Indonesia dari Dunia asal mereka.

"... Jika senjata-senjata ini mereka anggap usang dan lama, bagaimana dengan senjata-senjata terbaru mereka?" Moizi nampak ngeri.

"Ini... Begini kah kekuatan Dewa?" Poppy yang baru kembali nampak pucat melihat ladang pembantaian.

"Mungkin... Ada kabar dari Ejey?" Tanya Moizi balik.

"Iya, Pak, Brigade Mekanis Pertama milik TNI Angkatan Darat tengah bersiap untuk berangkat kemari bersama Tiga Legiun lainnya, kita hanya harus terus bertahan hingga akhirnya kita bisa melakukan serangan balik, itu kata Jenderal  Nou dan Hanki." Jawab Poppy.

"Mereka bekerja cukup cepat." Ucap Moizi merasa terkesan.

Brigade Mekanis Pertama milik Angkatan Darat Indonesia telah cukup lama tinggal di Qua-Toyne, hampir empat bulan kurang lebih. Mereka bermarkas di dekat Benteng Ejey, karena itu salah satu tempat yang lumayan dekat ke Kota Gim dan juga punya infrastruktur yang memadai untuk kendaraan-kendaraan TNI yang luar biasa hebat.

"Bagaimana situasi Peperangan Laut?" Tanya Moizi penasaran.

"Seharusnya sedang berlangsung, tapi saya kurang tau." Poppy membalas dengan ragu.

"Tidak apa-apa, kamu telah mencoba. Perintahkan prajurit untuk beristirahat sejenak, namun terus waspada." Kata Moizi melihat kearah kejauhan.

"Siap, pak!"

Laut Rodenius.

3 September 1639.

Jam Sembilan Malam.

Kapten Arda, komandan dari KRI Gajah Mada nampak memperhatikan layar dihadapannya dengan serius. Disekitarnya terdapat beberapa anak buahnya yang menjadi Perwiranya.

Kapten Arda dan semua Kru yang ada di KRI Gajah Mada bukanlah anggota resmi Angkatan Laut, setidaknya sampai beberapa bulan yang lalu. Kapten Arda merupakan Perwira Angkatan Darat yang dipromosikan menjadi Perwira Angkatan Laut setelah Indonesia dipindahkan ke Dunia Lain ini.

Dikarenakan veteran Angkatan Laut kebanyakan sudah wafat karena usia dan hanya sedikit yang tersisa, maka prajurit-prajurit dari Matra lain lah diambil. Alasan dari Pak Alfian untuk melakukan ini karena butuh waktu sangat lama untuk melatih pelaut-pelaut baru dan mencari kandidat saat ini cukup sulit, jadinya mereka memilih untuk menggunakan anggota-anggota dari Angkatan Darat dan Udara untuk menjadi Angkatan Laut yang baru.

Jujur dalam beberapa minggu pertama, rasanya sangatlah aneh bagi Kapten Arda dan seluruh Kru dari KRI Gajah Mada. Namun setelah dua bulan, mereka mulai terbiasa dan menikmati kehidupan sebagai pelaut.

Mereka juga awalnya ditawarkan untuk dikembalikan ke unit lama di Angkatan Darat, namun setelah banyak perkiraan... Kapten Arda dan secara mengejutkan semua Kru KRI Gajah Mada memutuskan untuk tetap tinggal dan mengabdi sepenuhnya untuk Angkatan Laut.

"Kapten, nampaknya Angkatan Laut Louria telah bergerak." Ucap XO-nya Arda dengan tenang, namun terdapat tanda kegugupan.

"Ya, bagaimana dengan pertempuran di Gim?" Arda bertanya.

"Berlangsung dengan cukup baik, Pasukan Qua-Toyne hanya mengalami empat orang korban jiwa dan beberapa puluh warga sipil." Jawab XO-nya dengan nada muram.

"Warga yang tidak sempat di evakuasi?" Tanya Arda.

"Tidak, pak, mereka adalah warga yang keras kepala untuk tetap tinggal... Tidak ada yang bisa Qua-Toyne lakukan selain meninggalkan mereka." Balas XO-nya.

"Mau bagaimana lagi... Huh? Jadi bagaimana kabar Kutai?" Tanya Arda.

KRI Kutai, kapal bendera atau Kapal utama Armada Laut Indonesia, sempat harus pulang ke Indonesia sebentar minggu lalu untuk melakukan perbaikan akibat kecelakaan yang menewaskan dua kru dek, dua pilot dan melukai banyak lainnya.

"Mereka mungkin tidak dapat secara langsung mengikuti pertempuran di samping kita, namun skuadron udara di Kutai telah di relokasi ke JAFB Maihark. Jadi kita masih punya dukungan udara." Jawab XO-nya mengingat insiden tragis itu.

"Aduh... Semoga mereka tenang di alam sana." Arda beserta yang lainnya meringis mengingat insiden itu.

"Pak! KRI Sayuti Melik mendekat ke posisi kita!" Teriak Operator Komunikasi.

"Apa yang mereka katakan?" Tanya Arda penasaran.

"Mereka bilang tidak akan ada bantuan dari Angkatan Laut Indonesia... Hanya kita berdua, pak, Gajah Mada dan Sayuti Melik." Jawab si Operator dengan wajah pucat.

"Tuhan! Dua kapal melawan ratusan kapal?! Apa mereka gila?!" Arda berkata sambil memukul meja Komando dihadapannya.

Mereka semua diam, mereka juga sangat syok mendengar kalau mereka hanya akan ada dua kapal melawan lebih dari 400. Salah satu dari mereka, perwira muda berusia 19 tahun, berkata dengan nada bergetar. "Pak, apa kita akan mati?"

Arda menatap perwira itu sejenak, Arda tiba-tiba teringat Operasi Pembersihan di Kalimantan bener tahun lalu. Dia lalu dengan tegas berkata. "Tidak! Aku akan pastikan tidak ada satupun dari kalian yang akan mati."

Walaupun berkata dengan tegas dan membara, tetap saja anak buahnya gugup dan gemetar. Arda menghela nafas. "Rekan-rekan, jujur aku juga takut... Sangat takut malahan. Namun... Jikalau kita tidak berbuat, maka siapa lagi? Siapa yang akan melindungi keluarga kita tercinta?"

Arda lanjut berkata tanpa membiarkan mereka berbicara. "Tidak ada! Kitalah benteng terakhir keluarga dan negara kita! Benar... Selama ini negara kita tidak ada bedanya dengan Indonesia sebelum Golden Dawn... Tapi! Apa kalian akan membiarkan bangsa bar-bar ini mengamuk dan menghabisi semua keluarga kalian?! Apa kalian pengecut?!"

"... Tidak! Pak! Aku bukan pengecut!" Perwira muda tadi, berteriak dengan semangat.

Satu persatu semua perwira di CIC menyahut, mereka siap menjadi Benteng terakhir untuk Indonesia. Arda tersenyum puas dan melihat ke Operator Komunikasi.

"Katakan pada Sayuti Melik, kita akan memimpin!"

"Siap, pak!"

..
....
......

Kapal-kapal layar yang megah berlayar dengan anggun melintasi samudra luas. Tiang-tiang tinggi mereka dihempas angin, mempercepat laju mereka menuju tujuan, Pelabuhan Maihark. Jumlah kapal dalam armada ini begitu banyak, mencapai empat ratus empat puluh, hingga lautan seolah tenggelam dalam kumpulan layar putih yang mengepak bagai sayap burung raksasa. Gelombang yang bergulung-gulung hanya menjadi alas bagi iring-iringan kekuatan yang tiada tanding, seakan siap melahap segala yang menghalangi. Jarak dan angin menjadi sekutu, membawa mereka mendekat pada ambisi yang lama terpendam.

Bertahun-tahun lamanya persiapan telah ditempa, dan kini, hasilnya terwujud dalam bentuk armada yang perkasa ini. Tidak ada kekuatan di Benua Rodenius yang sebanding, atau setidaknya demikianlah yang terpikirkan oleh wakil laksamana Sharkun, pemimpin dari pasukan Angkatan Laut Kerajaan Louria. Bahkan, dalam khayalannya, mungkin armada besar ini sanggup menundukkan Kekaisaran Papardia, negara besar yang pernah menjadi sekutu sekaligus saingan mereka. Namun, suara kecil dalam hatinya memperingatkan bahwa Kekaisaran Papardia memiliki kekuatan yang jauh lebih hebat, persenjataan rahasia yang mereka sebut “Dreadnought”, senjata yang dapat menghancurkan seluruh kapal dalam sekejap.

Sharkun menghela napas panjang, menenangkan api ambisinya. Namun, ketegangan di dadanya tidaklah surut. Di cakrawala timur, laut yang akan ditaklukkan mulai muncul dalam pandangan. Dia memperhatikan hamparan biru yang tenang di hadapannya, seolah menantangnya. Lalu, samar-samar, Sharkun melihat sesuatu yang aneh, sebuah benda asing yang bergerak cepat, berkilauan di bawah sinar matahari.

"..... Hmm? Ada sesuatu yang terbang ke arah kita."

Di kejauhan, sebuah benda anorganik berbentuk serangga besar berderak mendekat. Tubuh putihnya dihiasi dengan logo asing yang mencolok. Benda asing itu melayang-layang di langit, jauh di atas jangkauan panah, bergerak seperti makhluk hidup namun dengan cara yang tidak wajar. Sharkun merasakan ketakutan yang ganjil menyelinap ke dalam hatinya.

"Apakah itu wyvern? ...... Bukan, bukan. Benda apa itu?!"

Belum sempat prajuritnya bereaksi lebih lanjut, terdengar suara keras, nyaring, dan menggetarkan, melontarkan perintah dalam bahasa yang ia pahami, meski dengan aksen yang asing.

"Ini adalah Angkatan Laut Republik Indonesia. Peringatan untuk Kerajaan Louria. Lokasi di depan adalah perairan teritorial Qua-Toynese. Tolong segera putar balik kapal kalian dan kembali ke perairan negara kalian. Aku ulangi ──"

Sharkun terdiam. “Indonesia…” Ia pernah mendengar para politisi di istana mengumpat soal negara itu, mencemooh mereka sebagai bangsa asing yang tidak beradab. Namun, melihat benda terbang itu dengan kemampuan berbicaranya yang luar biasa, ia merasa meragukan anggapan itu. Beberapa prajurit mulai menarik busur, berusaha menembak, tetapi anak panah mereka jatuh sia-sia di lautan, bahkan tak mencapai benda itu sedikit pun. Dengan suara gemuruh yang sama, benda itu kembali menyampaikan peringatan, lalu memutar haluan dan menjauh ke cakrawala timur, meninggalkan Sharkun dan armadanya dalam kebingungan dan ketakutan.

Tak lama berselang, di kejauhan, Sharkun melihat apa yang ia kira sebuah pulau kecil. Namun, matanya terbelalak saat "pulau" itu bergerak mendekat dengan kecepatan yang tak masuk akal.

"Apakah ada sebuah pulau di tempat ini…? Tidak mungkin… pulau itu bergerak… tidak mungkin, itu adalah kapal?"

Kapal itu, yang kini semakin jelas terlihat sebagai sosok baja raksasa, melaju dan memotong jalur armada layar mereka dengan ketepatan yang mengagumkan. Jaraknya sekitar tiga ratus meter dari kapal-kapal Louria, namun tampak tak tergoyahkan, seperti benteng yang mengapung di lautan.

"Benda apa itu…? Kapal yang sangat besar."

Namun, Sharkun tidak gentar. Ia memiliki 440 kapal di pihaknya. Betapapun asingnya lawan ini, mustahil baginya untuk kalah dengan kekuatan sebesar itu. Dengan keyakinan yang perlahan merayapi jiwanya, Sharkun memerintahkan kapal-kapalnya untuk mempersiapkan serangan.

Namun, sebelum ia sempat bertindak, suara keras dari kapal baja itu kembali terdengar, menggema di udara dan menimbulkan perasaan gentar pada setiap prajurit Louria yang mendengarnya.

”Ubah haluanmu dan segera kembali! Jika tidak, kami akan menembaki kapal kalian!”

Sharkun terdiam sejenak, mencoba mencerna maksud dari "tembakan." Tapi ia segera menyingkirkan keraguannya. Ia menginstruksikan armada kanannya untuk menyerang kapal itu, dan kapal-kapal layar mulai berbelok, mendekati kapal asing tersebut. Ketika mereka sudah cukup dekat, sang kapten memerintahkan pemanah untuk melepaskan panah api.

"Siapkan panah api! Jangan gunakan ballista dulu! Saat jarak ke kapal musuh 200 meter, lepaskan mereka!"

Para prajurit segera menyulut ujung anak panah mereka. Panas api membakar udara saat busur-busur ditarik, siap menghujani kapal musuh dengan nyala yang mematikan.

"Lepaskan!"

Ratusan panah api melesat ke udara, membentuk busur merah menyala di langit senja, meluncur menuju kapal besi itu. Namun, saat panah-panah itu menghantam permukaan kapal asing, suara denting dan gemuruh metalik bergema, seolah-olah mereka hanya menyentuh kulit baja yang keras. Cat pada lambung luar kapal sedikit terkelupas, tetapi kapal itu tetap utuh, tidak terpengaruh sama sekali oleh serangan mereka. Dengan anggun yang dingin, kapal itu berbalik, menjaga jarak sejauh tiga kilometer, memisahkan diri dari armada Louria.

Di atas dek, para prajurit Louria terperangah. Mereka mengira kapal asing itu mundur karena takut, dan mulai meneriakkan ejekan mereka. Namun, di lubuk hatinya, Sharkun menyadari bahwa ejekan itu adalah cerminan dari rasa takut yang semakin kuat. Kapal ini, dengan kecepatan dan ketahanan yang tidak masuk akal, adalah ancaman yang tak bisa dijelaskan.

"Panah api itu tidak menancap sama sekali… lambung kapal itu sepertinya terbuat dari logam..."

Sharkun merenung dalam kegelisahan. Ia memiliki empat ratus empat puluh kapal di sisinya, namun untuk pertama kalinya, ia mulai mempertanyakan apakah jumlah sebesar itu cukup menghadapi musuh yang membawa kekuatan di luar nalar.

Lalu tiba-tiba salah satu kapal di dekat Sharkun meledaj dengan luar biasa, lalu yang di sekitarnya juga ikut meledak. Sharkun melebarkan matanya dengan syok, dia baru saja menyaksikan beberapa kapalnya meledak tanpa alasan yang jelas, namun Sharkun secara samar-samar mendengar suara melengking dari langit.

"Apa yang terjadi?! Dewa-dewi?!" Sharkun bertanya dengan syok.

KRI Gajah Mada dan KRI Sayuti Melik yang berada di jarak 3 kilometer dari Armada Louria terus menerus menghujani kapal-kapal dari Angkatan Laut Louria dengan ganas. Saat Sharkun lihat baik-baik, dia sadar kalau yang jatuh dari langit itu semacam cahaya yang menghantam kapal-kapal nya.

Beberapa menit berlangsung dan jumlah kapal Louria hanya tersisa 230, masih banyak namun setengah dari yang mereka awalnya miliki. Sharkun berkeringat dingin mendengar teriakan minta tolong dari berbagai arah, pecahan-pecahan kapal-kapal yang berat mulai tenggelam dan banyak pelaut yang terombang-ambing di permukaan laut.

Dia secara mengejutkan selamat begitu pula dengan kapal utamanya. Namun dia sadar kerusakan yang diderita Armadanya itu sangat luar biasa, apakah masih memungkinkan untuk mereka lanjut? Lalu dia ingat, Sharkun melihat ke petugas Manacom.

"Cepat! Hubungi Markas utama dan minta bantuan Wyvern!"

"Baik!"

..
....
.......

Kerajaan Louria, Markas Besar Ordo Ksatria Pengawal Ibu Kota

Di ruang komando yang ramai, para petinggi militer berkumpul dalam kegelisahan saat menerima pesan darurat melalui manacom.

"Pesan dari Angkatan Laut Penaklukan Timur Kerajaan Louria," kata operator manacom, suaranya bergetar.

"Kami saat ini sedang bertemu dengan sebuah kapal, diyakini Kapal utama musuh. Kapal-kapal musuh berukuran besar dan dilengkapi senjata sihir yang luar biasa kuat. Dua ratus kapal perang kami telah dihancurkan hanya dalam beberapa menit. Kami memohon dukungan udara segera... Akhir pesan."

Sejenak, ruangan itu senyap. Patagene, kepala komando, merenung sejenak sebelum sebuah senyuman dingin menghiasi bibirnya. "Baiklah, jika itu memang kekuatan utama musuh, kirim seluruh 250 wyvern. Kita akan mengakhiri perlawanan mereka di sini dan sekarang."

"Namun, Tuan, 150 wyvern telah kita tempatkan di pasukan garis depan, dan kita memerlukan 100 wyvern untuk menjaga ibu kota. Jika kita mengirim semuanya, tidak akan ada yang tersisa untuk pertahanan utama."

Patagene menatap tegas bawahannya. "Dengar. Setiap wyvern. Ini adalah pertempuran yang menentukan, dan kita akan mencurahkan segala kekuatan kita. Kau pikir musuh ini bisa menembus pertahanan ibu kota?"

Operator manacom, berusaha menyembunyikan kegelisahannya, menelan ludah. "Saya mengerti, Tuan."

Ketika kabar bahwa seluruh pasukan wyvern akan dikerahkan tersiar, semangat para Korps Dragoon langsung meluap. Sorak-sorai penuh antusias memenuhi markas mereka. Mereka telah menantikan saat ini – sebuah pertarungan besar yang akan tercatat dalam sejarah.

Ratusan wyvern gagah perkasa mulai terbang, mengepakkan sayap yang membelah langit. Kapten Aglameus memimpin formasi, sorot matanya yakin. "Ini adalah pertempuran yang akan mengukuhkan kehebatan Kerajaan Louria!" pikirnya.

Laporan-laporan intelijen mereka menyatakan bahwa musuh hanya memiliki sekitar 50 kapal di armada mereka, atau paling banyak 100. Bahkan jika musuh kali ini lebih tangguh, Aglameus tahu kekuatan armadanya tak tertandingi. Dengan 250 wyvern bersatu, mereka merasa tak terkalahkan.

Langit di Atas Lautan Maihark

Namun, di tengah semangat yang menyala-nyala itu, sebuah kejadian tak terduga membuat mereka terperanjat. Tanpa peringatan, titik-titik hitam muncul di langit, jauh di depan mereka. Sesuatu yang asing mendekat dengan kecepatan luar biasa.

"Apa itu?!" seru salah satu Dragoon, menajamkan penglihatannya.

Tiba-tiba, ledakan bercahaya menyala seperti kilat di langit, tepat di tengah formasi wyvern. Sebuah semburan suara dan api meledak, memecah kesunyian. Puluhan wyvern jatuh seketika, sayap dan tubuh mereka berkeping-keping, jatuh ke laut di bawah.

"──ANAK PANAH?! Tapi... ini bukan panah biasa!" seru seorang Dragoon, suara paniknya tercampur kebingungan.

Serangan berikutnya datang dalam hitungan detik. Gelombang demi gelombang “panah cahaya” menghantam formasi mereka tanpa ampun. Reruntuhan wyvern dan para dragoon terlempar ke segala arah, meluncur jatuh seperti bintang jatuh, tubuh-tubuh mereka yang telah hangus menyatu dengan lautan yang suram.

"Apa yang terjadi?!" suara Aglameus bergema di antara jeritan panik rekan-rekannya. "Tidak mungkin ada yang bisa menyerang seakurat ini!"

Dragoon yang berhasil melihat lebih dekat hanya menemukan kilatan cahaya yang meliuk-liuk di langit, seolah memiliki pikiran sendiri. Mereka mencoba menghindar, namun setiap upaya mengelak tak ada gunanya. Kilatan-kilatan itu terus mengejar, tak henti-hentinya, hingga para ksatria dan wyvern jatuh satu demi satu.

Di Dek KRI Sayuti Melik dan KRI Gajah Mada.

Di kejauhan, dua kapal perang Indonesia, KRI Sayuti Melik dan KRI Gajah Mada, terus mengeluarkan serangan tanpa henti, setiap tembakan plasma mengarah dengan tepat ke formasi wyvern yang tersisa. Teknologi dari abad ke-22 mengatur presisi dan daya hancur yang tak mampu dijangkau oleh imajinasi para prajurit Louria.

Di atas geladak Sayuti Melik, komandan kapal mengamati hasil serangan mereka melalui layar taktis, memantau tanda-tanda musuh yang mulai berkurang drastis. "Target selanjutnya, hitung mundur... tembak."

Gelombang panas dari meriam plasma mereka melesat di udara, meledak di udara dan merobek formasi wyvern. Api dan kepingan sayap wyvern jatuh seperti hujan ke lautan.

Di atas sisa formasi wyvern yang mulai tercerai-berai, Aglameus berteriak frustasi. "TIDAK MUNGKIN! Ini bukan kekuatan yang berasal dari dunia ini!"

Suaranya tenggelam dalam jeritan teman-temannya yang tersisa. Setiap manacom penuh dengan suara ketakutan. "Aku tak bisa mengelak! Cahayanya datang──AAAAAHHH!!"

Satu demi satu, wyvern terakhir jatuh ke laut, menyisakan Aglameus dan beberapa ksatria yang kebingungan, gemetar dalam keheningan yang menakutkan. Tidak ada lagi yang tersisa untuk mengerti, hanya nyala api yang masih berkobar di langit – tanda kehancuran total.

Dan di balik semua itu, dua kapal perang Indonesia melayang gagah di laut, tak tersentuh dan dingin, siap melanjutkan operasi mereka. Teknologi abad ke-22 telah menunjukkan perbedaan kekuatannya yang tidak terjembatani, meninggalkan Kerajaan Louria dalam keputusasaan.

Di dalam CIC KRI Gajah Mada.

"Jancuk! Jadi itu Wyvern yang pilot-pilot oceh selama ini?!" Kapten Arda nampak terperangah.

"Tapi... Mereka cukup mengecewakan." Kata XO-nya Arda.

"... Iya juga sih, kukira mereka sepada dengan Hype nya. Apa kita tahu darimana asal tempat meluncur Wyvern itu?" Tanya Arda.

"Kami melihat jarak terbangnya dari Daratan dan arahnya... Menurut Drone yang diterbangkan Angkatan Udara... Ada disini. Mau memberi hadiah balasan?" Tanya XO-nya sambil menyeringai kecil.

"Oh tolong berikan pertunjukan terbaik." Arda tertawa kecil.

Lima penutup VLS KRI Gajah Mada terbuka dan meluncur lah dari sana lima VHM-17 Kala Cakra, Misil Hipersonik yang bisa diluncurkan dari Kapal Perang milik Indonesia. Kelima Misil Hipersonik ini terus terbang melewati armada Louria yang babak belur.

"Oh dan Ngomong-ngomong, bukannya kita punya dukungan udara kan ya? Minta mereka untuk bersih-bersih dong, sepertinya meriam-meriam Plasma kita sudah mencapai batasnya." Kata Arda melihat meriam di haluan KRI Gajah Mada yang mulai meleleh.

"Damn, barang rongsokan..." Gerutu Arda.

Kelima Misil Hipersonik itu terbang selama beberapa menit sebelum akhirnya menghantam Markas Besar Ordo Ksatria di Ibukota Louria itu sendiri, Jin-Hark. Menewaskan banyak sekali staf-staf senior Militer Louria dan menyebabkan kekacauan besar.

Wakil Laksamana Sharkun nampak putus asa, begitu juga dengan semua anak buahnya. Ksatria Wyvern perkasa dari Louria yang sangat banyak baru saja dihabisi oleh dua kapal perang asing yang memiliki kekuatan yang tidak tertandingi. Sharkun berlutut dsn menahan isi perutnya untuk tidak keluar.

"Wakil Laksamana, lihat di sana!" Sharkun melihat apa yang dikatakan anak buahnya.

Terdapat sekitar dua puluh benda terbang yang makin mendekat ke Armada nya yang babak belur, Sharkun heran sebelum akhirnya ekspresinya menjadi horor dan syok ketika semua benda terbang itu mengeluarkan cahaya yang sama dan menghancurkan kapal-kapal nya.

Sharkun ingin berteriak agar mereka berhenti, namun nampaknya itu mustahil karena jarak yang sangat jauh dan tidak mungkin terdengar juga dengan ledakan yang terjadi di sekelilingnya.

Satu demi satu kapal kebanggaan dari Angkatan Laut Louria tenggelam ke dasar laut yang tidak berbelas kasih. Sungguh, ini kekuatan yang melampaui segalanya di dunia, mungkin melebihi Parpaldia yang sangat perkasa!

Beberapa menit penuh kehancuran berhenti, secepat hal itu terjadi. Dua puluh benda terbang itu masih terbang mengelilingi sisa-sisa dari Armada megah Louria yang hanya sekitar 40 kapal setelah pembantaian yang dilakukan oleh pesawat-pesawat Indonesia yang haus akan darah.

Sharkun sendiri, Lagi-lagi syok melihat dirinya dan kapalnya tidak terkena serangan sama sekali, seolah-olah mereka bermain-main dengannya. Sharkun mengepalkan tangannya, melihat sekeliling dengan tatapan kosong. Ini bukanlah pertarungan hebat yang selama ini dia impikan untuk terjadi... Tidak ada kejayaan sama sekali... Apakah ini kekuatan Indonesia yang selama ini dicemooh politisi?

Dua Kapal besi milik Indonesia yang sangat besar itu perlahan-lahan mendekat, dari sana Sharkun beserta anak buahnya yang lain melihat beberapa orang yang nampaknya Pelaut Indonesia mengibarkan bendera putih dengan salib berwarna merah, apa itu tanda perdamaian? Tanya Sharkun dalam hati.

"Pak... Apa yang ingin mereka katakan dengan bendera itu?" Tanya tangan kanan Sharkun dengan ragu dan takut.

"Aku tidak tahu... Tetap waspada." Sharkun tidak ingin anak buahnya mati lebih banyak lagi, cukup sudah ribuan pelaut dibawah pimpinannya meninggal sia-sia melawan dua monster ini, dia tidak akan membiarkan survivor dari pembantaian sebelumnya untuk mati.

"Perhatian, Pelaut Louria! Menyerah sekarang dan biarkan Qua-Toyne menangkap kalian, atau tidak tenggelam bersama rekan-rekan kalian!" Suara itulah yang terdengar dari kapal paling depan.

"Mereka meminta kita menyerah?"

"Apa yang harus kita lakukan?"

"Aku tidak mau mati!"

Sharkun mengobservasi baik-baik kedua kapal itu, sungguh luar biasa mengejutkan kalau Armada 440 kapal perang mereka kalah melawan dua kapal besi ini... Apakah mereka... Kekaisaran Magis Kuno?!

Sharkun menggelengkan kepalanya, jikalau mereka memang Kekaisaran Magis Kuno, mereka tidak akan menawarkan hal ini. Dia lalu melihat ke anak buahnya. "Perintahkan untuk semua kapal tersisa untuk membuang senjata dan menurunkan bendera.... Kita menyerah."

"Menyerah... Pak?" Anak buahnya nampak ketakutan.

"Tenang, aku akan menjamin keselamatan kalian semua dengan nyawa ku." Sharkun berkata dengan tegar.

"Laksamana!" Anak buahnya nampak terharu akan tindakan yang sungguh menggugah hati dari pemimpin mereka.

Sisa-sisa kapal dari Louria pun mulai menurunkan bendera yang mereka pasang dan berhenti bergerak, mereka lalu mencoba berbagai cara untuk memberitahu kalau mereka menyerah. Dua puluh benda terbang monster milik Indonesia itu nampak mengerti maksud mereka dan terbang menjauh.

Dua kapal monster Indonesia juga perlahan-lahan mendekat, Sharkun melebarkan matanya. Mereka jauh lebih besar saat dekat seperti ini dan dibelakang dua Kapal besar itu terdapat puluhan kapal-kapal gabungan Qua-Toyne dan Quila yang sepertinya menunggu sedari tadi.

"Sungguh monster..."

TBC

Extra :
...
......

Langit Nusantara yang biru tetap cerah, namun hati rakyatnya diliputi kabut keraguan saat berita tentang Indonesia kembali berperang menyebar ke pelosok negeri. Seperti tamparan yang tiba-tiba, suara radio yang menggema di pasar-pasar, warung kopi, dan balai desa mengumumkan kabar yang tak pernah mereka bayangkan lagi setelah ratusan tahun sejak Golden Dawn.

"Kepada seluruh rakyat Indonesia, dengan rasa hormat dan berat hati kami umumkan: Tentara Nasional Indonesia telah dikerahkan untuk menghadapi Kerajaan Louria demi melindungi Qua-Toyne dan Quila dari agresi. Ini adalah tugas kemanusiaan untuk membela dunia baru ini."

Di tengah hiruk-pikuk Neo-Jakarta, pasar Tanah Abang yang biasanya riuh mendadak sunyi saat pengeras suara mengulang siaran tersebut. Seorang pedagang tekstil mendengarkan sambil menghela napas berat. "Lagi-lagi perang? Bukankah kita sudah cukup belajar dari masa lalu?" gumamnya dengan nada pahit. 

Seorang pengemudi ojek yang mendengarkan berita melalui radio di ponselnya menggeleng pelan. "Buat apa? Qua-Toyne, Quila… Huh..." ucapnya dengan getir. 

Di sebuah kafe, seorang mahasiswa jurusan sejarah mengingatkan teman-temannya. “Dulu, setelah Golden Dawn, kita hancur berkeping-keping. Butuh ratusan tahun untuk bangkit dari trauma itu. Dan sekarang, kita kembali masuk ke jurang yang sama?” 

Namun, tak semua suara di kota bernada skeptis. Seorang ibu muda yang baru mendengar berita itu dari televisi menatap layar dengan perasaan campur aduk. “Kalau tidak kita yang membantu mereka, siapa lagi? Kita tahu seperti apa rasanya dijajah. Kita tahu seperti apa rasanya dikhianati oleh dunia,” katanya kepada suaminya, yang hanya menghela napas panjang. “Tapi harganya apa? Generasi kita lagi yang harus membayar?” jawab sang suami dingin. 

Meski begitu, kekhawatiran terbesar di kota-kota besar adalah ancaman ekonomi. Seorang pengusaha kecil berkata, “Jika perang ini menguras sumber daya kita, bagaimana dengan rakyat? Bagaimana dengan kami yang hanya mencari sesuap nasi? Apa kita harus mengorbankan semuanya demi perang yang bahkan bukan untuk tanah kita?” 

Sementara itu, di desa-desa yang tenang, berita ini diterima dengan ekspresi kosong. Di balai desa, para petani mendengarkan radio tua yang telah menjadi saksi masa-masa sulit di masa lalu. Seorang lelaki tua, yang punya kakek moyang yang bertempur di Golden Dawn, hanya menggeleng pelan sambil menatap tanah. “Dulu, aku kakek ku dan teman-temannya mempunyai tatapan seperti orang mati.... Lalu untuk apa? Dunia tetap saja meninggalkan kita,” ujarnya lirih. 

Seorang petani muda yang duduk tak jauh mengangguk. “Kita sudah cukup menderita. Kalau mereka ingin berperang, biarkan mereka. Kita tidak perlu ikut campur.” 

Namun, pendapat itu tak selalu diterima tanpa perdebatan. Seorang pemuda yang baru pulang dari kota berdiri di tengah kerumunan, mencoba membela keputusan pemerintah. “Kalau bukan kita yang berdiri melawan kejahatan, siapa lagi? Qua-Toyne dan Quila mungkin bukan saudara kita, tapi kita tahu apa artinya dijajah, mereka juga bahkan membantu kita dalam soal pangan! Apa kita mau diam saja melihat mereka hancur?” 

Jawaban seorang ibu tua membungkamnya. “Kamu belum tahu bagaimana rasanya kehilangan karena perang. Kamu belum tahu bagaimana rasanya melihat rumahmu terbakar dan tak ada yang peduli. Kalau mereka mau hancur, biarkan saja. Kita sudah cukup menderita.” 

Di dapur sebuah rumah panggung, seorang ibu rumah tangga berhenti mengaduk gulai sambil mendengarkan siaran ulang di radio. Anak-anaknya bertanya polos, “Bu, apakah perang itu buruk?” Sang ibu mengangguk sambil menahan air mata. “Perang selalu buruk, Nak. Tidak ada yang menang. Bahkan yang menang pun kehilangan sesuatu.” 

Reaksi rakyat Indonesia pada umumnya bukanlah teriakan marah, melainkan kesunyian yang penuh makna. Mereka mengingat luka lama yang belum sepenuhnya sembuh, trauma perang yang merenggut milyaran jiwa dan membuat mereka berjuang bertahun-tahun hanya untuk berdiri tegak kembali. 

Di sebuah warung kopi, seorang pria paruh baya dengan tatapan kosong menatap kopinya yang mendingin. “Dulu kita berperang untuk kebebasan kita. Sekarang, apa kita berperang hanya untuk membuktikan bahwa kita masih kuat?” 

Meski skeptis, rakyat Indonesia tetap mendengarkan berita dengan cemas. Mereka tahu bahwa perang adalah sesuatu yang tak bisa dihentikan oleh opini mereka semata. Namun, mereka juga tahu, dalam hati, bahwa ini bukan jalan yang mereka pilih. 

Di sebuah kampung kecil di Sulawesi, seorang nenek tua menatap anak cucunya bermain di halaman rumah. Dengan suara pelan, ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku sudah melihat cukup banyak kengerian dalam hidupku. Aku hanya berharap mereka tidak harus melihat apa yang aku lihat.” 

Indonesia mungkin kembali berperang, tapi rakyatnya tidak sepenuhnya bersatu dalam semangat seperti dulu. Mereka hanya berharap, ketika semua ini selesai, dunia akan lebih baik, dan mereka tidak harus kehilangan lebih banyak dari yang sudah hilang. Karena pada akhirnya, tak ada perang yang benar-benar dimenangkan.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip