Chapter 7
Istana Jin-Hark, Ibukota Kerajaan Louria
5 September 1639.
0700.
Langit pagi di atas istana Jin-Hark kelabu, seolah turut memendam muram yang menyelimuti kerajaan Louria. Di dalam ruang takhta, Raja Hark berdiri dengan tangan gemetar, memegang gulungan laporan yang baru saja disampaikan oleh seorang utusan dari Front Qua-Toyne. Matanya memerah, bukan hanya karena kurang tidur, tetapi juga karena amarah yang membara seperti api di jantungnya.
"K-Kau berkata... lebih dari 350 ribu prajurit kita terbunuh dan tertangkap oleh Qua-Toyne dan sekutu baru mereka?!" suaranya menggema, penuh ketidakpercayaan yang menusuk. "Kau pikir aku akan percaya omong kosong ini? Penjaga! Gantung dia!"
"T-Tunggu! Yang Mulia, ampunilah saya!" Utusan itu bersimpuh, wajahnya basah oleh air mata dan keringat. Namun, kata-katanya hanya terpantul dingin di dinding-dinding marmer ruang takhta. Perintah Raja Hark adalah hukum; pria malang itu ditarik keluar oleh penjaga, suaranya yang meratap memudar di kejauhan.
Beberapa jam kemudian, tubuhnya tergantung di alun-alun kota bersama prajurit-prajurit Louria lainnya yang berani kembali setelah kekalahan. Angin yang berembus membawa bau kematian, menyelip di antara para penduduk yang berjalan dengan kepala tertunduk, takut menunjukkan ekspresi selain ketakutan.
Di dalam istana, amarah Raja Hark terus berkobar. "Sialan! Tidak adakah satu pun perwira di kerajaan ini yang memiliki kemampuan?!" teriaknya, suara beratnya seperti deru guruh di tengah badai.
"Y-Yang Mulia..." Patagene, salah satu penasihat kerajaan, maju dengan tubuh gemetar. "Kami telah menyiapkan pasukan baru sebanyak 30.000 orang. Mereka berasal dari desa-desa terpencil."
Raja Hark menatapnya dengan sorot mata tajam, seperti elang yang menatap mangsanya. "Apa?! Hanya 30.000?! Aku meminta 50.000, dasar tolol! Turunkan usia wajib militer hingga tiga belas tahun!"
Ruangan itu tiba-tiba sunyi, seperti dunia sejenak menahan napas. Semua yang hadir di sana menatap Raja Hark dengan tatapan campuran antara ketakutan dan ngeri. Bahkan para penjaga di dekat pintu tampak menunduk, berharap Raja Hark tidak menyadari keberadaan mereka.
"T-Tuan... Itu tidak mungkin..." Patagene mencoba berbicara, suaranya kecil, hampir seperti bisikan.
Raja Hark melangkah maju, bayangannya menutupi Patagene. "Apa maksudmu, Patagene? Pilih kata-katamu dengan hati-hati, atau kau akan menemui nasib yang sama seperti si utusan."
Penasihat tua itu mengangguk cepat, menyeka peluh di dahinya. "Y-Yang Mulia... Maksud saya adalah... Saya akan segera menyampaikan perintah ini ke seluruh penjuru negeri!" Kata-kata itu keluar seperti lonceng kematian bagi Patagene sendiri. Namun, ia tahu, melawan Raja Hark hanyalah jalan pintas menuju tiang gantung.
"Lakukan, kalau begitu!" Raja Hark mengaum, suaranya seperti derak pintu neraka yang terbuka.
Di sudut ruang takhta, seorang pelayan wanita yang baru dipekerjakan menahan napas, meremas rok kasarnya hingga kusut. Di matanya, Raja Hark tidak lagi terlihat seperti seorang raja, tetapi seperti makhluk buas yang akan melahap siapa pun yang ada di sekitarnya.
Di luar istana, burung-burung gagak beterbangan di atas alun-alun kota, hinggap di tiang-tiang gantungan. Mereka seakan tahu, pesta mereka hari ini belum usai. Kota Jin-Hark tenggelam dalam bayang-bayang ketakutan, sementara Raja Hark mengubah kekalahan menjadi dendam yang mengerikan.
..
....
Dalam lima hari yang penuh gejolak setelah deklarasi perang diumumkan, ibukota Kerajaan Louria berubah menjadi lautan manusia. Ribuan prajurit muda, penuh semangat tapi minim pengalaman, berduyun-duyun memenuhi panggilan raja mereka yang terobsesi pada penaklukan Rodenius. Namun, yang paling mencolok adalah para veteran tua—beberapa bahkan telah melewati usia lima puluh tahun—berjalan tertatih-tatih, mengabaikan tulang-tulang rapuh mereka, dan mengenakan baju zirah yang telah ternoda oleh sejarah peperangan. Mereka tidak datang untuk kemuliaan, melainkan untuk membayar utang pada kerajaan yang telah memberi mereka tempat di dunia ini.
Ketika angka prajurit yang berkumpul mencapai 100.000, gemuruh langkah kaki mereka memekakkan tanah Louria. Namun, kesombongan kerajaan itu segera diuji. Di Quila, 50.000 prajurit yang dikirim untuk invasi menghadapi realitas brutal dari medan perang. Prajurit-prajurit Quila, yang dilengkapi kuda-kuda cepat dan sepeda motor buatan pabrik-pabrik lokal hasil kolaborasi dengan Indonesia, menjadi musuh yang jauh lebih tangguh dari yang diperkirakan Louria.
Hari pertama invasi adalah pembantaian.
Seribu prajurit Louria gugur dalam satu malam, darah mereka mengalir seperti sungai yang mengubah pasir Quila menjadi lumpur merah. Ratusan lainnya terluka, tubuh mereka dihujani peluru dan belati yang muncul dari kegelapan seperti hantu. Bahkan mereka yang tidak tersentuh oleh pedang musuh mulai menderita—bukan oleh luka, tetapi oleh sesuatu yang lebih mengerikan: penyakit misterius yang tidak diketahui asalnya.
Penyakit itu datang seperti bayangan gelap, merasuki tubuh para prajurit dengan kekejaman tanpa wajah. Awalnya, mereka merasa lemah, seolah-olah darah mereka direnggut oleh makhluk tak kasat mata. Demam tinggi menyerang, seperti api gurun yang menyelimuti tubuh mereka. Panas itu begitu menyiksa hingga beberapa prajurit merobek baju zirah mereka, mencoba mencari kesejukan di tengah teriknya matahari yang tak bersahabat. Namun, setelah demam datanglah mimpi buruk sejati: keringat yang tak terkendali, muntah darah, dan tubuh yang melengkung dalam rasa sakit seakan diremukkan oleh cengkeraman setan.
Prajurit yang bertahan dari gelombang pertama penyakit hanya diberikan jeda singkat. Tiga atau empat hari kemudian, siklus mengerikan itu kembali, seperti lingkaran iblis yang tidak pernah berhenti. Dokter-dokter militer Louria hanya bisa menatap dengan ngeri, tak berdaya melawan kutukan yang tampaknya lebih besar dari pemahaman manusia.
Sementara itu, prajurit Quila melanjutkan serangan mereka dengan kecerdikan yang menakutkan. Mereka menutup sumur-sumur dan menghancurkan sumber air, memaksa prajurit Louria untuk mencari oasis yang tersembunyi di padang pasir. Namun, bahkan oasis itu telah diracun dengan racun yang nyaris tak terlihat. Hanya diperlukan satu tegukan untuk membuat seorang prajurit Louria jatuh tersungkur, tubuhnya kejang-kejang sebelum akhirnya diam dalam keabadian.
Desersi mulai menjalar di antara pasukan Louria. Beberapa prajurit, yang lebih takut pada penyakit daripada pedang musuh, mencoba melarikan diri kembali ke perbatasan. Namun, gurun itu adalah penjara tanpa dinding, dan prajurit Quila, dengan kuda dan motor mereka, memburu para pelarian seperti pemburu mengejar rusa yang terluka.
Pada hari kelima, raja Louria yang penuh ambisi itu menerima kabar buruk dari utusan terakhirnya: pasukan Quila tidak hanya bertahan, mereka telah berubah menjadi mimpi buruk hidup. Bendera-bendera Louria yang dulu berkibar penuh kebanggaan kini terkubur di bawah pasir, bersama dengan mayat ribuan prajuritnya yang tidak akan pernah pulang. Raja itu hanya bisa menatap jauh ke horizon, bertanya-tanya apakah dewa-dewa telah berpaling darinya.
Pada tanggal 9 September, langit di atas Quila dihiasi dengan gemuruh pesawat tempur yang terbang dari Pangkalan Udara Ejey. Hari itu menandai dimulainya ofensif skala masif yang dirancang dengan presisi luar biasa oleh pasukan Quila, didukung penuh oleh kekuatan udara Indonesia. Bagaikan badai yang datang tanpa peringatan, mereka menyapu bersih kota-kota perbatasan yang telah kosong—wilayah yang dengan sengaja ditinggalkan dan dilucuti sumber dayanya seminggu sebelum pasukan Louria berani menapakkan kaki di tanah Quila. Ini bukan hanya strategi, ini perang psikologis.
Pasukan Louria, yang telah mengalami kelelahan akibat perjalanan panjang melintasi gurun, diserang wabah misterius dan kekurangan logistik, dibuat terpana oleh skala serangan ini. Mereka harus bertarung dalam posisi yang sangat tidak menguntungkan. Dua hari sebelum serangan balasan ini dilancarkan, jalur logistik dan komunikasi Louria telah dihancurkan oleh gelombang serangan udara dari pesawat-pesawat F-55 Indonesia, jet tempur generasi keenam yang dirancang untuk dominasi udara. Tidak cukup dengan itu, Indonesia membawa keluar senjata-senjata legenda yang selama ini tersembunyi di dalam bunker bawah tanah, salah satunya adalah pengebom strategis yang memancarkan ketakutan bagi siapa saja yang melihatnya: B-70 "Liberty."
B-70 Liberty, dengan desain futuristik yang mengingatkan pada pendahulunya, B-1 Lancer, adalah simbol kekuatan udara AAP. Diperkenalkan pada tahun 2070, pesawat ini dirancang sebagai mesin penghancur mental musuh, sekaligus membawa daya hancur yang jauh melampaui B-52 yang legendaris. Dengan kapasitas payload yang luar biasa, Liberty pernah menjadi mimpi buruk bagi pasukan Eropa dan Koalisi Timur Tengah. Namun kini, hanya dua unit yang tersisa dalam inventaris Indonesia. Penggunaan pesawat ini menuai kontroversi di kalangan TNI, yang menganggap pengerahan monster udara ini sebagai pemborosan sumber daya. Namun Presiden Indonesia, dengan ketenangannya yang khas, berhasil meredakan ketegangan, mengatakan bahwa dua pengebom ini akan mengakhiri perang lebih cepat daripada ribuan prajurit di medan tempur.
Di medan perang, efeknya segera terasa. Setelah beberapa hari pengepungan di kota Nahlatan, pasukan Louria mulai kehilangan semangat. Mereka tidak hanya kekurangan makanan dan amunisi, tetapi juga dihantui oleh bayangan B-70 yang melintas di atas mereka, menjatuhkan bom presisi yang menghancurkan setiap titik pertahanan mereka. Ketika pasukan Quila akhirnya melancarkan gelombang serangan terakhir mereka, mereka membawa serta prajurit mekanis—unit tempur yang memadukan manusia dan kendaraan bermotor, bergerak dengan kecepatan dan kekuatan yang menggetarkan.
Pertempuran di jalan-jalan Nahlatan berlangsung lebih dari delapan jam. Darah mengalir di selokan, asap hitam membubung dari bangunan yang terbakar, dan jeritan menggema di antara reruntuhan. Namun, pada akhirnya, pertahanan Louria runtuh. Dari puluhan ribu prajurit yang awalnya dikirim untuk menguasai Quila, hanya 5.000 yang tersisa untuk ditangkap. Mereka yang menyerah tidak mendapat belas kasihan—semua jajaran komando mereka dieksekusi dan dikubur di luar kota, sebagai peringatan bisu bahwa Quila tidak akan tunduk.
Namun, perang tidak hanya meninggalkan kehancuran. Sesaat setelah pertempuran berakhir, peleton TNI dari Fort Ascalon tiba di Nahlatan, membawa serta tim ilmuwan Indonesia. Ketika debu pertempuran mulai mereda, para ilmuwan itu menemukan sesuatu yang luar biasa: Nahlatan adalah tempat penghasil buah kurma. Pohon-pohon kurma yang tumbuh subur di oasis sekitar kota tersebut menjadi pemandangan tak terduga di tengah gurun yang gersang. Buah manis yang dahulu hanya dikenal di Semenanjung Arab ini kini ditemukan di Quila, seperti keajaiban yang muncul dari reruntuhan perang.
Berita ini segera menyebar ke Indonesia, mengguncang publik yang tak menyangka bahwa di tengah konflik, ada anugerah tersembunyi yang begitu berharga. Nama kota Nahlatan, yang ternyata berarti "Pohon Kurma," kini memiliki arti baru. Awalnya dianggap hanya kebetulan, namun riset lebih lanjut diizinkan oleh pemerintah Quila dan Indonesia, membuka lembaran baru dalam sejarah kolaborasi mereka. Di bawah langit yang kini tenang, Quila dan Indonesia melihat secercah harapan: bahwa dari abu peperangan, kehidupan baru selalu bisa tumbuh. Kurma di Nahlatan menjadi simbol kemenangan bukan hanya atas Louria, tetapi juga atas kehancuran itu sendiri.
15 September, 1639. Operasi Kingslayer dilaksanakan.
Langit di atas Kerajaan Louria berpendar dalam kabut perang. Tanahnya yang subur, pernah menjadi simbol kejayaan, kini bergetar di bawah deru mesin perang Brigade Mekanis Pertama Indonesia, "Gundala," yang memimpin Operasi Kingslayer. Nama operasi ini bukan sekadar simbol, tetapi deklarasi: merebut Jin-Hark, ibu kota Louria, dan mengakhiri era kekuasaan tirani.
Di belakang "Gundala," Brigade Mekanis Bermotor ke-2 Quila bertindak sebagai pengintai dan pengendali informasi, memastikan setiap kabar dari medan perang tak sampai ke telinga musuh. Sementara itu, Divisi Infanteri ke-10 Qua-Toyne bersiap untuk menduduki desa dan kota yang berhasil direbut, memastikan pasukan Louria yang menyerah tak lagi mampu bangkit melawan. Strategi ini dirancang dengan presisi tinggi, tetapi tak ada perang yang berjalan sesuai rencana.
Ketika roda baja Indonesia menghancurkan tanah Louria, perlawanan gerilya musuh mulai terasa. Pasukan Louria, meski terpukul mundur, berubah menjadi bayangan di malam hari, menyerang dengan taktik yang kejam dan tanpa ampun.
Di setiap jalan yang dilalui pasukan Koalisi, jebakan tersembunyi menanti. Militer Louria, meski kalah dalam jumlah dan teknologi, memanfaatkan medan yang mereka kenal dengan baik. Mereka menyerang dari reruntuhan desa, menghilang ke dalam hutan, dan kembali menyerang saat malam tiba. Tidak hanya itu, rakyat sipil yang tampak tunduk ternyata memiliki agenda tersembunyi. Banyak dari mereka yang diam-diam menusuk pasukan Koalisi dari belakang, menciptakan suasana ketidakpercayaan yang mengganggu jalannya invasi.
Kerajaan Louria bahkan membakar gudang makanan mereka sendiri, membuat kelaparan menjadi senjata yang menghancurkan bagi semua pihak. Desa-desa yang dilewati pasukan Koalisi berubah menjadi kuburan hidup, dengan warga yang kelaparan dan menderita. Kekacauan ini menyebar ke wilayah timur Louria, menciptakan badai masalah yang semakin mempersulit jalannya operasi.
Di tengah kekacauan ini, tragedi tak terhindarkan. Di kota Edelgard, kelaparan mencapai puncaknya. Satu-satunya gudang makanan yang tersisa dijaga ketat oleh prajurit Qua-Toyne. Namun, provokasi cerdik dari agen intelijen Louria memicu api pemberontakan. Puluhan, lalu ratusan warga berkumpul, menyerbu gudang dengan harapan mendapatkan makanan.
Penjaga Qua-Toyne, yang kalah jumlah dan panik, merasa tidak punya pilihan selain membuka tembakan. Dalam sekejap, darah membanjiri jalanan kota. Tiga puluh nyawa melayang. Di antara korban, ibu-ibu hamil dan anak-anak kecil yang hanya ingin bertahan hidup. Edelgard menjadi simbol kehancuran yang tak diinginkan, api yang menyebarkan kebencian.
Kabar insiden ini menyebar dengan cepat, melintasi desa dan kota Louria, membakar sentimen anti-Koalisi. Dalam sehari, seluruh negeri bersatu dalam kemarahan. Perlawanan rakyat yang awalnya sporadis kini menjadi gelombang besar. Koalisi, yang datang untuk membebaskan, kini dicap sebagai penjajah yang kejam.
Dalam upaya meredakan situasi, prajurit Qua-Toyne yang terlibat dibawa ke pengadilan militer. Mahkamah Militer Indonesia didatangkan untuk memastikan keadilan ditegakkan. Namun, hukuman yang dijatuhkan tak mampu mengembalikan nyawa yang hilang, apalagi menghapus kebencian yang telah tertanam.
Di balik tembok ibu kota Jin-Hark, Raja Louria menggunakan insiden ini sebagai bahan propaganda. Ia menyulut semangat rakyatnya dengan kisah para martir di Edelgard, menggambarkan Koalisi sebagai iblis yang haus darah. Setiap kata yang ia ucapkan menjadi api, membakar hati rakyat Louria untuk melawan.
Sementara itu, di kota-kota pesisir yang dikuasai Qua-Toyne, suasana semakin tegang. Para pekerja paksa—rakyat Louria yang dipaksa bekerja untuk mengangkut suplai perang—bergerak dengan langkah berat. Mata mereka kosong, tubuh mereka ringkih, tetapi di balik keputusasaan itu, ada bisikan perlawanan.
Di pelabuhan, kapal-kapal perang Qua-Toyne berdiri seperti raksasa yang menunggu untuk melahap dunia. Namun, kehadiran kapal-kapal ini tak mampu menenangkan hati prajurit yang berjaga. Setiap sudut kota terasa seperti jebakan, setiap tatapan rakyat penuh kebencian. Pasukan Qua-Toyne menyadari bahwa mereka tidak hanya menghadapi musuh di medan perang, tetapi juga di setiap gang, rumah, dan mata rakyat Louria.
Operasi Kingslayer yang dirancang untuk menjadi simbol kekuatan dan persatuan Koalisi kini berubah menjadi medan penuh intrik, tragedi, dan penderitaan. Setiap langkah maju membawa konsekuensi berat, setiap kemenangan terasa seperti kekalahan.
Namun, pasukan Indonesia, Quila, dan Qua-Toyne terus maju. Mereka tahu bahwa meski perang ini penuh luka, mundur bukanlah pilihan. Di setiap dentuman meriam dan langkah prajurit, ada harapan untuk mengakhiri kekuasaan tirani Louria. Tetapi di balik semua itu, bayang-bayang dendam dan derita terus menghantui, menjadi pengingat bahwa perang bukan hanya soal kemenangan, tetapi juga soal harga yang harus dibayar oleh semua pihak.
Sejarah akan mencatat Operasi Kingslayer bukan hanya sebagai pertempuran untuk merebut Jin-Hark, tetapi juga sebagai babak kelam yang menguji batas-batas kemanusiaan.
Langit di atas kota pelabuhan yang dikuasai oleh tentara Qua-Toyne tampak suram, tertutup awan kelabu yang seakan mencerminkan nasib penduduk Louria yang tinggal di sana. Pasar kecil di sudut kota dipenuhi dengan suasana muram. Penjaga bersenjata dari Qua-Toyne berdiri di setiap sudut, matanya tajam mengawasi kerumunan yang tak seberapa.
Seorang ibu rumah tangga, wajahnya tirus dengan mata yang tampak lelah, berdiri di depan lapak seorang pedagang kecil. Di tangannya hanya ada beberapa koin tembaga yang nyaris kehilangan kilaunya. Dia memandangi gandum yang dijual dengan harga tak masuk akal.
"Apa ini saja yang tersisa?" gumam Ibu itu pelan, nyaris seperti berbisik, takut didengar penjaga. "Segenggam kecil begini untuk harga setinggi itu? Bagaimana aku bisa memberi makan anak-anakku?"
Pedagang itu, seorang lelaki paruh baya dengan wajah yang penuh peluh, menghela napas panjang. "Apa kau pikir aku mau harga segini?" balasnya lirih, pandangannya sesekali melirik penjaga yang berdiri tak jauh. "Mereka mengambil sebagian besar stokku untuk makanan tentara. Yang tersisa hanya ini."
Ibu itu mendekat, suaranya makin pelan. "Kau dengar tentang Edelgard? Orang-orang kelaparan menyerbu gudang makanan, dan mereka dibantai... Kau pikir kita akan selamat seperti ini?"
Pedagang itu menunduk, menatap lusuh pada dagangannya yang kian menipis. "Aku tidak tahu," katanya. "Hari ini mereka mengambil makanan kita. Besok mungkin nyawa kita. Tapi apa yang bisa kita lakukan? Melawan? Itu bunuh diri."
Di dekat pelabuhan, suasana tidak jauh berbeda. Para pekerja paksa Louria tampak kelelahan, mengangkat peti-peti kayu yang beratnya nyaris tak tertanggungkan. Seorang lelaki dengan wajah kotor dan napas tersengal menggerutu pada rekannya.
"Ini tidak ada bedanya dengan Louria," katanya sambil mendorong peti ke atas kapal perang Qua-Toyne. "Kita hanya berganti penjajah. Tetap saja kita yang bekerja sampai mati."
Rekannya, seorang pria kurus dengan wajah tirus, berhenti sejenak untuk menyeka keringat. "Setidaknya mereka tidak memukul kita seperti pengawas Louria dulu," jawabnya pelan, nyaris tanpa emosi.
Tidak jauh dari mereka, seorang budak yang baru saja dibebaskan duduk terengah-engah, tubuhnya masih tampak kurus kering. Dia mendengar percakapan mereka dan menyela dengan suara parau, "Kalian tidak tahu apa yang kalian bicarakan. Aku dulu milik seorang bangsawan Louria. Jika aku lambat sedikit saja, cambuk mereka mendarat di punggungku. Sekarang aku bebas... meski kebebasan ini terasa pahit."
Lelaki pertama menatapnya dengan marah. "Bebas?" katanya sinis. "Lihat dirimu! Kau masih bekerja seperti anjing, hanya saja mereka menyebutmu *pekerja*. Apa yang berubah? Kita semua hanya alat."
Budak itu menunduk, menghela napas panjang. "Mungkin benar... Tapi aku lebih memilih alat yang tidak mencambukku," jawabnya dengan suara berat. "Kalian tidak akan mengerti penderitaan kami."
Di sebuah lorong sempit di antara rumah-rumah kayu, dua ibu rumah tangga berbicara dengan suara pelan, sesekali melirik penjaga yang mondar-mandir di kejauhan.
"Kau tahu apa yang terjadi di pelabuhan? Mereka memaksa lelaki kita bekerja siang malam," kata salah satu dari mereka, seorang perempuan dengan wajah pucat yang menggendong seorang anak kecil. "Aku takut mereka akan mengambil anak-anakku, seperti yang Louria lakukan."
Rekannya, seorang perempuan lebih tua dengan mata sembab, menggelengkan kepala. "Aku lebih takut pada kelaparan," katanya sambil menyeka air mata. "Kemarin aku harus menjual cincin pernikahanku untuk sepotong roti. Jika ini terus berlanjut, mungkin kita harus menyerah saja..."
"Jangan bicara seperti itu!" perempuan pertama memegang bahunya erat-erat. "Jika kita menyerah, mereka akan menginjak-injak kita lebih lagi. Aku tidak percaya siapa pun, baik Louria maupun Qua-Toyne. Kita harus bertahan untuk anak-anak kita."
Di sebuah rumah kayu sederhana di pinggiran kota, seorang anak muda sedang mengasah pisau kecil dengan gerakan penuh kemarahan. Di sudut ruangan, seorang lelaki tua, kakeknya, duduk di kursi reyot, menatap cucunya dengan tatapan penuh kekhawatiran.
"Mereka mengambil segalanya dari kita, Kek," kata anak muda itu dengan suara geram. "Aku tidak akan duduk diam seperti ini."
Kakek itu menghela napas panjang, suaranya lemah namun penuh kebijaksanaan. "Dan apa yang akan kau lakukan, Nak? Pergi menyerang mereka dengan pisau kecil itu? Kau hanya akan berakhir seperti serangga di bawah sepatu mereka."
Anak muda itu berhenti mengasah pisaunya dan menatap kakeknya dengan mata yang penuh kebencian. "Kita tidak bisa terus begini, Kek. Louria sudah menghancurkan kita, dan sekarang Qua-Toyne mengambil sisa-sisanya. Sampai kapan kita harus menderita?"
Kakek itu menatapnya dengan sedih, lalu menutup matanya sejenak. "Perang ini bukan untuk kita menangkan, Nak. Kadang, bertahan adalah satu-satunya perlawanan yang kita punya. Jangan biarkan kebencian membuatmu kehilangan nyawamu."
Anak muda itu menggenggam pisaunya erat. "Jika aku mati, setidaknya aku mati melawan," katanya dengan suara tegas. "Lebih baik daripada hidup sebagai budak mereka."
Kakek itu terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya berdoa pelan, suaranya hampir tak terdengar. "Semoga Tuhan memberimu kekuatan, Nak, untuk memilih jalan yang benar."
Kurang lebih, begitulah pemandangan di hampir seluruh pemukiman di Timur Louria. Semuanya merasa tertindas oleh Koalisi yang dirasa tidak ada bedanya dengan Louria, sama-sama bengis. Apalagi, Kadang-kadang terlihat prajurit Koalisi yang bermain-main dengan Budak yang kelelahan atau pekerja paksa yang kurus kering.
Pada akhirnya, walau Indonesia berusaha keras untuk membaws perubahan moral pada Benua Rodenius... Tidak ada bedanya antara Qua-Toyne, Quila dan Louria. Sama-sama bangsa biadap yang satunya punya nasib sial dihajar terlebih dahulu oleh Indonesia dan dua sekutu baru mereka.
Pada tanggal 22 September, Pasukan Brigade mekanis Pertama yang dipimpin oleh Kolonel Milla sampai di pinggiran Jin-Hark, Ibukota dari Louria. Mobile HQ yang sangat besar dan memiliki bentuk mirip Crawler yang dioperasikan NASA, JAXA dan LAPAN, menjadi Pangkalan Garis depan dalam pengepungan kota Jin-Hark.
Awal penyerangan dibuka oleh dua puluh F-55 Jalak dan satu B-70 Liberty melakukan pengeboman tanpa diskriminasi ke Jin-Hark. Namun yang mereka prioritaskan adalah kapal-kapal Perang Louria yang masih tersisa dan bangunan yang ditandai oleh Intelijen Qua-Toyne sebagai Barak dan Gudang senjata.
Namun mereka tidak bisa menyerang tempat produksi persenjataan Louria, kenapa kamu bertanya? Karena Louria adalah Kerajaan Abad Pertengahan, semua senjata mereka masih dibuat oleh Blacksmith rumahan yang terletak di pusat warga sipil, hal ini membuat Indonesia membatalkan pengeboman di wilayah warga sipil dan fokus ke infrastruktur Militer dan yang dikira akan menjadi hal merepotkan bagi prajurit Indonesia.
Jin-Hark, Pusat Kota.
22 September.
08:43 Waktu Lokal.
Langit kota Jin-Hark dipenuhi asap hitam yang bergulung dari gedung-gedung yang terbakar. Jalan-jalan yang dahulu penuh dengan keramaian kini berubah menjadi medan pertempuran berdarah. Deru mesin Tank Vajra dan IFV buatan Indonesia menggema, memecah sunyi di antara teriakan perintah dan dentingan senjata.
Prajurit Brigade Mekanis Pertama "Gundala" bergerak cepat melalui lorong-lorong kota, mengenakan seragam tempur eksoskeleton yang meningkatkan kekuatan fisik mereka. Dengan senapan serbu laser di tangan, mereka melibas setiap pasukan Louria yang menghadang, mengabaikan pedang, busur, dan bahkan sihir yang digunakan musuh.
"Sektor dua bersih! Bergerak ke sektor tiga!" Teriak Sersan Dimas melalui sistem komunikasi. Dia melompat keluar dari balik penutup sebuah tembok, memimpin regunya menuju posisi berikutnya.
Dari kejauhan, sebuah ledakan besar terdengar. Tank Vajra baru saja menembakkan meriam nya ke sebuah benteng Louria. Pecahan tembok beterbangan, disusul oleh teriakan kesakitan musuh.
Salah satu prajurit, Kopral Ardi, menunduk di balik reruntuhan bersama dua rekannya. Wajahnya berkeringat meski helm tempurnya dilengkapi dengan pendingin. "Gila, mereka pakai sihir lagi." gumamnya sambil menembakkan senjata ke arah seorang penyihir Louria yang melayang di udara, tangannya memancarkan bola api besar.
Bola api itu melesat ke arah mereka, tetapi sebuah tembakan tepat dari senapan laser Kapten Rahmat meledakkan sihir itu di udara. "Tetap fokus, Ardi! Mereka hanya manusia dengan trik usang. Kita punya teknologi!" Teriaknya.
Di seberang jalan, pasukan Louria bersenjata pedang dan tameng menyerbu dalam formasi ketat. Mereka meneriakkan nyanyian perang kuno, percaya bahwa dewa mereka akan memberi kemenangan.
"Perisai energi. Aktif!" Teriak Dimas. Lapisan energi biru menyelimuti pasukan Indonesia, menahan serangan panah yang berjatuhan seperti hujan.
"Target di depanku, tembakkan dalam hitungan tiga! Satu... Dua... Tiga!" Perintah itu diikuti oleh hujan tembakan laser yang menembus tameng logam musuh seperti mentega. Pasukan Louria terhenti, sebagian besar rubuh, sisanya melarikan diri ke dalam gang-gang sempit.
Namun, musuh tidak menyerah begitu saja. Terdengar ledakan kecil dari samping, diikuti teriakan dari salah satu regu. Sebuah tim Louria berhasil memasang jebakan dengan sihir ledakan.
"Korban di sisi kiri! Perlindungan medis segera!" teriak Rahmat.
IFV di belakang mereka mulai bergerak maju, meriam otomatisnya melibas para penyihir Louria yang mencoba memperkuat pertahanan mereka.
Di tengah kekacauan itu, suara tenang namun tegas terdengar melalui radio. "Unit 2-2, koordinat musuh di lantai dua gedung utama. Eksekusi tembakan presisi."
Tank Vajra yang menjulang dengan desain futuristik mengarahkan meriamnya. Dengan suara menderu, tembakan meriam itu menghantam gedung yang menjadi pusat pertahanan Louria. Gedung itu runtuh, mengirimkan debu dan pecahan batu ke seluruh jalan.
Sersan Dimas berlari melintasi jalan, menembaki pasukan musuh yang tersisa. Dia berteriak kepada regunya. "Bersihkan gedung sebelah kiri! Kita butuh posisi lebih tinggi untuk melihat pergerakan mereka!"
Ardi, yang sekarang terlihat lebih tenang, menyeringai kecil sambil berujar. "Sial, mereka masih pakai busur dan pedang, dan kita disuruh hati-hati? Ini seperti main gim lawas."
Rekan di sebelahnya, Prajurit Rani, menjawab sambil menembakkan senjata ke musuh. "Iya, tapi kalau kena sihir petir mereka, bakal lebih dari sekadar ‘game over’, Di. Fokus!"
Mereka berhasil mencapai gedung yang dimaksud dan naik ke lantai atas. Dari sana, Dimas melihat pusat kota Jin-Hark, termasuk istana megah yang menjadi target utama mereka. Pasukan Louria berkumpul di sekitar istana, menyiapkan pertahanan terakhir.
"Kapten, kita hampir sampai di target. Tapi mereka mengerahkan lebih banyak penyihir di depan istana. Sepertinya mereka mencoba sesuatu yang besar." Lapor Dimas melalui radio.
Kapten Rahmat menjawab dengan tenang. "Biarkan mereka mencoba. Pasukan Gundala tidak takut sihir. Fokus pada misi. Kita akan hancurkan tembok terakhir mereka. 2-1, bersiap tembakan terkoordinasi."
Langit di atas Jin-Hark kini bergemuruh. Pasukan Louria yang tersisa meneriakkan mantra mereka dengan panik, sementara Brigade Gundala terus merangsek maju dengan presisi. Peperangan urban ini bukan sekadar pertarungan teknologi melawan tradisi; ini adalah pengingat bahwa perubahan zaman selalu membawa kehancuran bagi yang tak mampu beradaptasi.
Brigade Mekanis Pertama "Gundala" telah menancapkan jejaknya di jantung Louria. Jalan-jalan yang dulunya penuh kehidupan kini hanya menyisakan kehancuran dan bayangan kemenangan yang hampir diraih. Asap hitam dari bangunan yang runtuh masih mengepul, bercampur dengan bau darah dan mesiu yang menyengat.
Tank Vajra bergerak perlahan di jalan utama menuju Istana Hark, meratakan segala rintangan yang menghalangi. Di belakangnya, IFV mengawal pasukan infanteri Indonesia yang bergerak dalam formasi tempur, senapan laser mereka siap menumpas setiap ancaman terakhir.
Kolonel Milla melirik arlojinya sambil berbicara ke radio. "Sektor empat dan lima sudah aman. Tim medis sedang menangani korban kita. Tim eksplosif memastikan tidak ada jebakan di depan."
Kapten Rahmat, berdiri di atas IFV dengan binokular di tangannya, memandang Istana Hark yang menjulang megah di ujung pandangannya. Temboknya yang kokoh, dihiasi patung-patung dewa yang disembah Kerajaan Louria, kini terlihat rapuh di bawah ancaman teknologi modern. Namun, Kapten tahu, musuh yang putus asa adalah yang paling berbahaya.
"Semua unit, pastikan perimeter aman. Jangan ada celah. Ini mungkin pertahanan terakhir mereka." Ujar Rahmat melalui radio.
Sebuah suara di sisi lain radio menjawab. "Perimeter selatan aman, Pak. Tapi kita mendeteksi pergerakan di dalam istana. Sepertinya ada upaya untuk melarikan diri."
Rahmat menoleh ke arah Dimas dan Ardi yang berdiri di dekatnya. "Kita harus pastikan tidak ada yang lolos. Dimas, ambil dua regu dan periksa perimeter barat. Ardi, kau jaga sisi utara bersama Rani. Aku tidak ingin mendengar ada laporan celah lagi."
"Siap, Kapten!" jawab mereka serempak sebelum bergerak cepat.
---
Di sisi barat istana, Dimas dan regunya menemukan sekelompok pasukan Louria yang mencoba menyelinap keluar melalui terowongan kecil di bawah tanah. Mereka membawa perlengkapan dan gulungan perkamen yang tampaknya penting.
"Angkat tangan! Jangan bergerak!" Teriak Dimas sambil mengarahkan senapannya.
Pasukan Louria, yang bersenjatakan pedang dan busur, membeku di tempatnya. Salah satu dari mereka, seorang pria tua dengan jubah sihir, berlutut dan memohon, "Tolong... kami hanya membawa catatan sejarah. Ini bukan perang kami. Biarkan kami pergi!"
Dimas mendekat dengan hati-hati, senjatanya masih terarah. "Sejarah tidak akan menyelamatkanmu. Serahkan semua barang itu. Kami tidak akan menembak, tapi jangan coba-coba macam-macam."
Pasukan Louria menyerahkan perkamen mereka dengan ragu, dan regu Dimas segera mengamankan mereka.
---
Di sisi utara, Ardi dan Rani menghadapi perlawanan kecil dari sisa-sisa pasukan Louria. Mereka bersembunyi di dalam sebuah bangunan rusak, menggunakan panah dan sihir untuk menyerang dari kejauhan.
"Sial, ini seperti bermain petak umpet." Gumam Ardi sambil menunduk menghindari panah yang melesat ke arahnya.
Rani menembakkan senapannya, menghancurkan dinding tempat musuh bersembunyi. "Mereka hanya menunda waktu. Cepat habisi mereka sebelum bala bantuan datang."
Dengan tembakan presisi, mereka berhasil melumpuhkan musuh tanpa terlalu banyak kesulitan.
---
15:47 Waktu Lokal.
Pasukan "Gundala" akhirnya berhasil mengepung Istana Hark sepenuhnya. Tank Vajra dan IFV mengunci setiap jalan keluar, sementara infanteri mekanis membangun posisi bertahan di sekitar perimeter. Drones udara melayang di atas istana, mengawasi setiap pergerakan dari dalam.
Kolonel Milla berdiri di tengah-tengah pasukannya, mengamati istana dengan tatapan dingin. "Istana Hark resmi terkunci. Tidak ada yang masuk, tidak ada yang keluar." Ujarnya melalui radio.
Di dalam istana, para bangsawan Louria tampak panik. Mereka berlarian di antara lorong-lorong megah, berusaha mencari jalan keluar yang aman. Namun, semua jalan telah tertutup oleh pasukan Indonesia.
"Kolonel, apa kita langsung serbu?" Tanya Dimas yang kini berdiri di sebelahnya.
Kolonel Milla menggeleng. "Tidak. Biarkan mereka merasa tercekik. Mereka akan kehabisan waktu dan sumber daya. Kita buat mereka menyerah tanpa perlu menumpahkan darah lagi."
Sebuah keheningan aneh melingkupi medan perang. Di tengah kekacauan dan kehancuran Jin-Hark, pasukan "Gundala" berdiri tegak, mengawasi istana yang kini menjadi penjara bagi penghuninya sendiri.
Kolonel Milla mengambil nafas dalam-dalam. "Ini bukan akhir. Tapi kita sudah mendekatinya."
Jin-Hark, 23 September Waktu Lokal.
Operasi "Harbinger"
Langit malam di atas Jin-Hark gelap gulita, hanya diterangi oleh kilatan sesekali dari petir di kejauhan. Sebuah VTOL V-34 Bangau meluncur rendah di atas kota, hampir tanpa suara berkat teknologi pengurang kebisingan yang canggih. Di dalam kabin, suasana tegang memenuhi udara.
Komandan operasi, Mayor Arjuna, menatap timnya dengan tatapan tajam. Kopassus Grup 1, dikenal sebagai "Tim Petir", terdiri dari enam orang terbaik Indonesia. Setiap anggota memeriksa senjata mereka: senapan serbu laser pendek tipe KR-10L yang hanya dikhususkan untuk Paskhas, pistol otomatis, granat flashbang, dan pisau tempur.
"Dengar baik-baik." Arjuna memulai briefing terakhir. "Kita masuk dengan cepat, bersih, dan efisien. Target utama adalah Raja Hark Louria. Kita tangkap dia hidup-hidup untuk mengakhiri perang ini. Tidak ada pembantaian, tidak ada korban sipil."
Serka Aditya, operator senapan berat tim, menyeringai sambil memasang Visor Augmented Reality di helmnya. "Apakah kita akan mengintimidasi sedikit, Pak? Raja ini sudah membuat ribuan orang mati."
Arjuna menatapnya tajam. "Tugas kita menangkap, bukan menghukum. Biarkan pengadilan yang berbicara. Fokus pada misi."
Semua anggota mengangguk. Suara desis mesin Bangau semakin mereda saat pesawat mencapai titik drop di atas atap istana.
03:22 Waktu Lokal.
Bangau melayang rendah di atas istana. Tali-tali cepat dijatuhkan, dan satu per satu anggota Tim Petir turun dengan cekatan. Mereka mendarat di atap istana tanpa suara, menyatu dengan bayang-bayang malam.
Arjuna mengaktifkan radio internalnya. "Delta-1 ke pusat komando. Kami sudah di lokasi. Memulai infiltrasi."
"Copy, Delta-1. Waspada pada kemungkinan sihir pertahanan. Jalankan sesuai protokol dan simulasi."
Arjuna memberi isyarat dengan tangan, dan tim bergerak dalam formasi. Serka Rizal, spesialis pembongkaran, mendekati pintu masuk ke dalam istana. Dengan alat pemotong laser, ia membuka kunci logam kuno tanpa suara.
03:28 Waktu Lokal.
Di dalam istana, keheningan terasa mencekam. Lorong-lorong besar dengan karpet merah darah dan pilar-pilar marmer dihiasi patung dewa perang Louria. Tim Petir bergerak cepat namun hati-hati, setiap langkah direncanakan dengan sempurna.
Tiba-tiba, Aditya mengangkat tangannya, memberi sinyal berhenti. Melalui Visor Thermal, ia melihat dua penjaga Louria berjaga di tikungan, mengenakan baju zirah lengkap dan bersenjatakan tombak bercahaya magis.
"Dua musuh di depan. Formasi stealth." Bisik Arjuna melalui radio.
Rizal dan Praka Eko, operator tempur jarak dekat, bergerak tanpa suara. Dengan cekatan, mereka memanfaatkan bayangan untuk mendekati para penjaga. Dalam hitungan detik, keduanya melumpuhkan musuh dengan pisau tempur—tepat di leher untuk menghindari suara.
"Lanjut." Bisik Arjuna, dan tim bergerak maju.
---
03:40 Waktu Lokal.
Setelah melewati beberapa lorong dan menghindari jebakan sihir yang telah dipasang, Tim Petir mencapai aula utama yang mengarah ke kamar Raja Hark. Namun, sebuah tantangan baru menanti. Empat penyihir elit Louria berdiri di depan pintu besar yang terbuat dari kayu gelap yang berukir rumit.
Arjuna memberi isyarat berhenti. "Penyihir. Kita tidak bisa melawan frontal. Rencana B."
Praka Devi, spesialis teknologi dan pengacau elektronik, segera mengeluarkan perangkat pengganggu frekuensi energi. "Saya bisa mengacaukan sihir mereka selama 10 detik. Gunakan waktu itu untuk melumpuhkan mereka."
Arjuna mengangguk. "Eksekusi. Flashbang setelah gangguan."
Devi mengaktifkan alatnya, menghasilkan denyut elektromagnetik yang tidak terlihat tetapi efektif terhadap sihir. Para penyihir terlihat kebingungan ketika cahaya di tangan mereka redup. Dalam hitungan detik, Rizal melemparkan dua flashbang, menyilaukan musuh.
"Masuk sekarang!" seru Arjuna.
Tim Petir menyerbu, menembakkan senapan laser mereka dengan presisi mematikan. Para penyihir tidak sempat memberikan perlawanan berarti; mereka semua dilumpuhkan dalam waktu singkat.
---
03:50 Waktu Lokal.
Pintu besar menuju kamar Raja Hark akhirnya terbuka. Di dalam, Raja Hark berdiri di tengah ruangan megah, mengenakan jubah emas dengan pedang panjang bercahaya di tangannya. Wajahnya penuh amarah, tetapi matanya menyiratkan ketakutan.
"Siapa kalian?! Apa kalian pikir kalian bisa menangkap seorang raja?!" Teriaknya.
Arjuna maju perlahan, senapan masih terarah. "Raja Hark, menyerahlah. Tidak ada jalan keluar. Istana ini sudah dikepung. Rakyatmu telah menderita cukup lama."
Raja Hark mengangkat pedangnya, bersiap melawan. "Aku tidak akan menyerah pada barbar dari sebrang lautan!"
Aditya mendesah. "Pak, dia mau main keras."
Arjuna menatap tajam ke arah Hark. "Hajar dia. Tapi jangan bunuh."
Dalam hitungan detik, tim bergerak serentak. Flashbang dilempar untuk membutakan Hark, dan Eko meluncur ke depan, melucuti pedangnya dengan tendangan cepat. Hark mencoba melawan, tetapi keahliannya tidak sebanding dengan pelatihan Kopassus.
Dalam waktu kurang dari satu menit, Hark sudah diikat dan dilucuti.
"Delta-1 ke pusat komando." Lapor Arjuna melalui radio. "Target sudah diamankan. Siap untuk evakuasi."
"Copy that, Delta-1. Bangau dalam perjalanan."
Raja Hark yang terikat di lantai menatap mereka dengan tatapan benci. "Kalian tidak akan pernah memahami kehormatan kami! Aku akan tetap menjadi simbol bagi rakyatku!"
Arjuna membungkuk, menatap langsung ke mata sang raja. "Kehormatan tidak berarti apa-apa jika rakyatmu mati sia-sia. Peperanganmu berakhir di sini."
Dengan itu, Tim Petir membawa Raja Hark keluar dari istana, menuju titik evakuasi di atap. Perang mungkin belum sepenuhnya selesai, tetapi malam itu, sejarah telah berubah.
Pagi hari, 23 September, 05:30 Waktu Lokal
Saluran Independen Indonesia (SII).
Langit di Kota Edelgard yang berkabut tak mampu mengurangi rasa penasaran warga yang berkumpul di alun-alun utama. Layar holografik besar memancarkan sinar biru terang, menampilkan wajah serius seorang penyiar SII. Di antara kerumunan, ada orang tua yang memakai mantel tebal, pekerja dengan tangan kasar akibat pekerjaan paksa, dan anak-anak yang berdiri di balik orang tua mereka, mencoba memahami suasana serius di sekitar mereka.
"Ini adalah berita terbaru dari garis depan." Suara tegas penyiar memecah keheningan. "Raja Hark Louria telah ditangkap oleh pasukan khusus Indonesia dalam sebuah operasi militer di Istana Jin-Hark. Operasi ini berhasil tanpa korban sipil dan menandai langkah penting dalam upaya mengakhiri konflik yang berkepanjangan antara Koalisi dan Kerajaan Louria."
Kerumunan terdiam, menatap layar dengan ekspresi beragam. Seorang pria tua di dekat patung tengah alun-alun menggumamkan sesuatu, suaranya hampir tak terdengar.
"Raja telah tertangkap." Ujarnya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
"Jadi apa artinya bagi kita?" Tanya seorang wanita muda dengan suara penuh harap. "Apakah perang ini akhirnya selesai?"
Namun, tidak semua merasakan harapan. Seorang pemuda berpakaian lusuh yang baru saja kehilangan keluarganya akibat pengepungan menggerutu. "Apa artinya? Kita tetap dijajah. Mereka hanya mengganti penguasa."
Di tengah percakapan warga, layar holografik menampilkan Kapten Yusril Ramadhan, juru bicara Komando Operasi Indonesia. Ia berdiri di depan latar belakang dengan logo Koalisi dan bendera Indonesia, ekspresinya tegas.
"Pada pukul 03:50 dini hari waktu lokal, tim Kopassus kami berhasil melaksanakan Operasi Harbinger. Raja Hark Louria kini berada dalam tahanan kami dan akan diadili oleh pengadilan internasional atas kejahatan perangnya. Langkah ini kami ambil untuk membuka jalan menuju perdamaian yang lebih stabil di wilayah ini."
Beberapa warga tampak mengangguk, tetapi ada juga yang terlihat skeptis.
"Perdamaian?" Tanya seorang pedagang tua yang dagangannya hancur akibat pertempuran. "Mungkin bagi mereka. Tapi bagi kita? Kita hanya alat."
Seorang anak muda berbaju milisi Louria membalas dengan suara lantang. "Raja kita adalah simbol kekuatan! Tanpa dia, Louria tidak akan pernah sama. Ini adalah penghinaan terbesar!"
Komentarnya memicu ketegangan kecil, tetapi seorang wanita dengan bayi di gendongannya segera menyela dengan suara tenang, "Diamlah. Kita semua hanya ingin hidup dengan tenang, tanpa perang, tanpa raja, tanpa penderitaan."
---
Di Barat Louria, Kastil Fensar
Berita tentang penangkapan Raja Hark tiba di ruang pertemuan darurat. Para bangsawan dan jenderal yang tersisa tampak cemas, sebagian besar tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.
"Raja kita telah ditangkap!" Seru seorang bangsawan muda dengan nada penuh kepanikan. "Apa yang akan kita lakukan tanpa dia?"
Seorang jenderal tua yang duduk di kursinya dengan penuh wibawa berbicara pelan, namun penuh tekanan. "Kita bertahan. Ini bukan tentang Raja Hark lagi. Ini tentang Louria. Kita tidak akan menyerah pada Koalisi."
Seorang penyihir wanita yang dikenal sebagai salah satu penasihat terdekat Raja Hark menatap dingin ke arah jenderal itu. "Raja telah memberi kita instruksi terakhir. Kita tidak punya pilihan selain melawan. Tapi kita semua tahu, ini adalah akhir."
Jenderal itu menggebrak meja, suaranya bergetar. "Akhir? Tidak! Kita masih punya benteng, pasukan, dan tekad. Selama kita masih hidup, Louria akan terus berjuang."
Namun, di sudut ruangan, seorang prajurit muda yang mendengar pembicaraan itu hanya menundukkan kepala. Dalam hatinya, ia tahu bahwa tanpa Raja Hark, perlawanan mereka hanya akan menjadi perpanjangan penderitaan rakyat.
Kerajaan Quila.
Istana Utama Quila, Ruang Singgasana
Matahari pagi menyinari ruang singgasana istana Quila, tetapi suasana ruangan terasa lebih suram daripada perayaan. Raja Aldros duduk di singgasana dengan ekspresi yang sulit dibaca. Di hadapannya, para penasihat, jenderal, dan pejabat sipil menunggu kata-kata dari pemimpin mereka.
"Raja Hark telah ditangkap." Kata Aldros, suaranya berat. "Namun, ini bukan akhir dari perang."
Seorang penasihat tua mengangguk setuju. "Loyalis Louria di barat akan mencoba mengangkat pemimpin baru. Penangkapan ini adalah awal dari konflik baru, bukan akhirnya."
Aldros melirik keluar jendela ke arah kota yang suasananya terlihat muram. "Kita telah kehilangan terlalu banyak. Bahkan jika perang ini selesai, apa yang tersisa bagi kita? Berapa banyak lagi yang harus kita korbankan?"
Seorang jenderal mencoba menyemangati. "Yang Mulia, penangkapan Raja Hark adalah kemenangan besar. Tanpa dia, pasukan Louria akan kehilangan arah."
Namun, Aldros hanya menggeleng. "Kemenangan apa jika rakyat kita masih lapar? Jika desa-desa kita masih dipenuhi pengungsi? Kita hanya mengganti satu bentuk kekacauan dengan yang lain."
---
Kerajaan Qua-Toyne.
Kastil Qua-Toyne, Ruang Dewan Militer.
Perdana Menteri Kanata berdiri di tengah ruangan, matanya menatap peta besar di meja. Dia menghela napas panjang sebelum berbicara.
"Raja Hark telah ditangkap." Katanya. "Namun, pertanyaannya sekarang adalah: apa yang akan terjadi pada kita?"
Para jenderal saling bertukar pandang. "Pak, ini adalah langkah besar menuju perdamaian." Ujar salah satu dari mereka.
"Perdamaian?" Kanata mencibir. "Lihat sekitar kalian. Desa-desa kita hancur. Ladang-ladang kita tidak bisa menghasilkan panen yang optimal seperti biasanya karena perang ini. Dan sekarang, rakyat Louria yang kelaparan akan mencari bantuan dari kita. Bagaimana kita bisa bertahan?"
Seorang penasihat sipil mencoba meredakan ketegangan. "Kita bisa mengandalkan bantuan dari Indonesia dan Quila untuk sementara."
Kanata membalas dengan nada getir. "Indonesia? Mereka sendiri berada dalam kekacauan. Mereka mungkin punya teknologi, tapi mereka adalah bangsa yang mencoba berdiri dari kehancuran. Apa yang bisa mereka berikan pada kita selain senjata dan janji kosong?"
Ruangan itu terdiam, sementara di luar, rakyat Qua-Toyne masih mencoba memahami apa arti penangkapan Raja Hark bagi masa depan mereka.
---
Republik Indonesia.
Istana Merdeka, Neo-Jakarta.
Langit mendung menyelimuti Istana Merdeka. Di dalam ruang rapat utama, Presiden Indonesia duduk di kepala meja panjang, diapit oleh para menteri dan panglima militer. Wajah-wajah mereka mencerminkan kelelahan, bukan kegembiraan.
"Raja Hark telah ditangkap." Kata Presiden, memecah keheningan. "Tapi ini bukan kemenangan."
Menteri Pertahanan mengangguk. "Pak Presiden benar. Infrastruktur kita masih dalam tahap pembangunan ulang. Teknologi yang kita miliki adalah warisan dunia lama, dan kita kehabisan sumber daya untuk mempertahankan ini."
Panglima TNI berbicara dengan nada tegas. "Penangkapan ini hanyalah langkah kecil. Pasukan kita masih berada di wilayah Louria, dan logistik kita mulai tertekan. Pasokan makanan dan bahan bakar sudah menipis."
Presiden memandang ke arah jendela, menatap kota Neo-Jakarta yang perlahan kembali berdiri setelah kekacauan global yang hampir memusnahkan umat manusia. "Kita memiliki tanggung jawab moral untuk menyelesaikan perang ini, tapi pada titik ini, saya bertanya-tanya... apakah itu sepadan?"
Menteri Sosial angkat bicara, suaranya penuh kekhawatiran. "Pak Presiden, rakyat kita sendiri masih hidup dalam kondisi serba kekurangan. Banyak daerah terpencil yang belum pulih dari perang besar sebelumnya. Kita tidak bisa terus mengorbankan segalanya untuk perang di tanah asing."
"Tapi jika kita berhenti sekarang, dunia akan melihat kita sebagai pengecut." Sela Menteri Luar Negeri. "Reputasi kita sebagai bangsa yang membawa perdamaian akan hancur."
Presiden menghela napas panjang. "Reputasi? Apa arti reputasi jika rakyat kita sendiri menderita? Jika anak-anak kita tidak punya masa depan? Kita berada di persimpangan jalan, dan keputusan apa pun yang kita ambil, kita akan kehilangan sesuatu yang berharga."
---
Di Ruang Redaksi SII (Saluran Independen Indonesia).
Di ruang redaksi SII, suasana tidak jauh berbeda. Para editor sibuk menyusun berita tentang penangkapan Raja Hark, tetapi ada nada skeptis dalam diskusi mereka.
"Kita harus menekankan bahwa ini adalah kemenangan bersama, bukan hanya Indonesia." Kata seorang editor senior.
"Tapi, apakah ini benar-benar kemenangan?" Tanya seorang reporter muda. "Kita kehilangan begitu banyak untuk sampai ke sini. Berapa banyak prajurit kita yang tidak pernah kembali? Berapa banyak sumber daya yang kita habiskan?""
Editor senior menghela napas. "Saya tidak tahu. Tapi kita harus memberi rakyat sesuatu untuk mereka percaya. Jika tidak, apa yang akan mereka pikirkan tentang semua pengorbanan ini?"
Sementara siaran berita mulai ditayangkan, warga Indonesia menontonnya dengan perasaan campur aduk. Ada kebanggaan, tetapi juga rasa hampa yang sulit dijelaskan. Mereka tahu bahwa bangsa mereka telah melakukan sesuatu yang besar, tetapi harga yang harus dibayar membuat kemenangan ini terasa pahit.
"Penangkapan Raja Hark adalah langkah penting." Ujar penyiar di layar, suaranya penuh keyakinan yang hampir terdengar dipaksakan. "Namun, tantangan untuk membawa perdamaian sejati ke dunia ini masih panjang."
..
.....
........
Istana Kekaisaran Parpaldia, Esthirant.
Di aula utama istana Kekaisaran Parpaldia, langit-langitnya menjulang tinggi, dihiasi lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya ke segala arah. Kaisar Ludius duduk di atas singgasana emasnya, mengenakan jubah ungu kebesaran dengan mahkota kecil bertatahkan berlian. Wajahnya yang biasanya penuh wibawa kini dihiasi garis-garis ketegangan.
Di hadapannya berdiri Arde, pemimpin militer Parpaldia yang dihormati. Pria itu mengenakan seragam militer biru tua dengan epaulet emas, jasnya rapi, tetapi matanya mencerminkan kecemasan. Di sebelah Arde, berdiri Remille, tunangan Kaisar. Wanita itu mengenakan gaun merah marun elegan, rambutnya yang abu-abu disanggul rapi. Meski wajahnya tenang, kilatan di matanya menunjukkan otaknya tengah bekerja keras.
Ludius berbicara dengan nada dingin. "Jadi, Louria telah kalah. Dan Raja Hark... ditangkap."
Arde mengangguk pelan, menundukkan kepala. "Ya, Yang Mulia. Mata-mata kita di Rodenius mengonfirmasi bahwa pasukan Koalisi, yang dipimpin oleh bangsa bernama... Indonesia, telah mengepung Istana Jin-Hark dan menangkap Raja Hark dalam sebuah operasi khusus."
Ludius menyandarkan tubuhnya, lalu menghela napas panjang. "Louria adalah bidak kita di Rodenius. Kita telah menginvestasikan begitu banyak sumber daya untuk mempersenjatai mereka, membangun infrastruktur militernya, bahkan menyediakan dukungan keuangan. Dan sekarang, mereka runtuh begitu saja?"
Arde menjawab dengan hati-hati. "Louria tidak siap menghadapi teknologi seperti itu, Yang Mulia. Indonesia... mereka jauh melampaui apa pun yang ada di Rodenius, bahkan mungkin kita sendiri. Pasukan mereka menggunakan senjata yang tidak dikenal, dan kendaraan perang mereka tampaknya lebih canggih daripada tank-tank kita."
Remille melangkah maju, suaranya lembut namun penuh otoritas. "Jika benar, ini adalah ancaman besar. Tetapi, kita harus tetap rasional, Yang Mulia. Informasi kita sangat terbatas. Mata-mata kita belum bisa sepenuhnya memahami siapa Indonesia ini, dari mana mereka datang, atau apa tujuan mereka di Rodenius."
Ludius menatapnya dengan tajam. "Apa pendapatmu, Remille?"
Remille tersenyum kecil, senyuman yang lebih mencerminkan kewaspadaan daripada kegembiraan. "Saya percaya kita harus segera menyelidiki lebih dalam. Jika mereka benar-benar sekuat itu, maka mereka bisa menjadi ancaman langsung bagi kepentingan kita di wilayah ini. Namun, kita juga tidak boleh menunjukkan tangan kita terlalu cepat. Biarkan mereka sibuk dengan urusan di Louria dan Rodenius. Kita perlu waktu untuk memahami mereka."
Ludius mengetukkan jari-jarinya ke sandaran singgasana, berpikir sejenak sebelum berbicara. "Bagaimana jika mereka memiliki ambisi yang lebih besar? Jika mereka mulai mengincar Parpaldia?"
Arde menjawab dengan tegas. "Yang Mulia, dengan seluruh rasa hormat, pasukan kita adalah yang terkuat di wilayah ini. Bahkan jika mereka canggih, mereka tidak bisa melawan seluruh kekuatan Kekaisaran Parpaldia."
Remille memotong dengan tenang. "Jangan terlalu percaya diri, Arde. Kita pernah melihat apa yang terjadi pada negara-negara yang meremehkan ancaman baru. Teknologi mereka melampaui Louria, dan bahkan mungkin kita. Kita tidak tahu berapa banyak kapal perang yang mereka miliki, bagaimana strategi mereka, atau apa tujuan akhir mereka. Kita hanya tahu bahwa mereka tiba-tiba muncul dan langsung menguasai medan perang."
Ludius mengangguk pelan. "Lanjutkan pengamatan terhadap mereka. Perkuat pertahanan kita di perbatasan dan pastikan setiap mata-mata kita fokus pada satu hal: Indonesia. Saya ingin laporan lengkap dalam waktu secepatnya. Jika mereka memang ancaman, kita akan menyingkirkan mereka sebelum mereka bisa merusak kepentingan kita."
Arde memberi hormat. "Kami akan memastikan itu, Yang Mulia."
Setelah Arde pergi, hanya Ludius dan Remille yang tersisa di aula besar itu.
"Kau tampaknya memiliki banyak hal di pikiranmu." Ujar Ludius, memandang Remille.
Remille menghela napas, berjalan mendekati singgasana. "Louria gagal karena mereka arogan, Yang Mulia. Kita tidak boleh mengulang kesalahan mereka. Jika Indonesia benar-benar memiliki teknologi yang bahkan melebihi kita, maka ini bukan hanya soal kekuatan militer. Ini adalah ancaman bagi posisi Parpaldia sebagai kekuatan dominan di wilayah ini."
"Dan jika mereka tidak bermusuhan?" Tanya Ludius, nada suaranya penuh ironi.
"Maka kita harus memastikan mereka tetap begitu." Jawab Remille sambil tersenyum. "Namun, Yang Mulia, ini adalah permainan panjang. Kita tidak tahu apa yang ada di balik layar. Untuk saat ini, mari kita gunakan waktu untuk mempersiapkan segala kemungkinan."
Ludius merenung sejenak, kemudian berdiri dari singgasananya. "Kau benar. Parpaldia telah bertahan selama berabad-abad dengan kecerdikan dan kekuatan. Kita tidak akan runtuh hanya karena satu ancaman baru. Kirim pesan ke para diplomat kita di Rodenius. Pastikan mereka terus mengamati Indonesia. Dan Remille..."
"Ya, Yang Mulia?"
Ludius menatapnya dengan tajam. "Kita tidak hanya harus mengamati mereka. Kita harus mencari cara untuk memanfaatkan mereka. Jika mereka lebih kuat, maka mereka bisa menjadi alat kita, bukan ancaman."
Remille tersenyum, penuh dengan kecerdikan yang membuatnya menjadi salah satu penasihat terbaik Ludius. "Saya mengerti, Yang Mulia. Permainan ini baru saja dimulai."
TBC.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip