Chapter 9

10 November 1639.

Perjanjian Jin-Hark tidak hanya mengakhiri perang, tetapi juga menjadi awal dari babak baru yang penuh gejolak di benua Rodenius. Republik Louria yang baru terbentuk kini berada di bawah bayang-bayang Koalisi. Pemilu kilat yang diadakan untuk mengisi kekosongan kekuasaan menghasilkan Sir Benedictus sebagai Presiden pertama republik itu. Mantan veteran militer Louria ini dikenal dengan pandangan yang terbuka dan moderat, kualitas yang membuatnya diterima oleh pihak Koalisi meskipun dicurigai oleh banyak pihak di dalam negeri. 

Setelah pelantikannya, Presiden Benedictus segera memulai serangkaian kebijakan ambisius untuk membangun kembali negaranya. Ia memfokuskan upaya pada membuka investasi asing dan memperbaiki citra internasional Louria yang rusak. Namun, ia menghadapi tantangan yang luar biasa berat. Wilayah Louria yang tersisa tidak lagi memiliki akses ke sumber daya alam strategis, yang sebagian besar kini berada di bawah kontrol Qua-Toyne dan Quila. 

(Peta baru Benua Rodenius pasca-perang.)

Sementara itu, Angkatan Bersenjata Louria, yang sebelumnya menjadi kebanggaan nasional, kini telah berubah menjadi simbol kehinaan. Seragam biru tua yang dikenakan oleh tentara republik mereka—lengkap dengan rompi dan perisai anti huru-hara buatan perusahaan pertahanan Qua-Toyne—menjadi ejekan di mata para veteran perang. Pedang dan baton polisi menggantikan senjata canggih yang pernah mereka miliki. Bagi banyak veteran, ini adalah penghinaan terbesar yang pernah mereka alami, tetapi mereka tidak punya pilihan selain menundukkan kepala. 

Angkatan Laut Louria pun menghadapi nasib serupa. Sebagian kapal perang mereka dikembalikan, tetapi dengan peran yang didegradasi menjadi penjaga pantai. Alih-alih melindungi kedaulatan laut, mereka hanya berpatroli untuk memastikan para nelayan Qua-Toyne tidak terlalu jauh masuk ke ZEE Louria. Ironisnya, nelayan-nelayan Qua-Toyne terus mengeksploitasi laut Louria, memicu protes yang tak pernah didengar oleh dunia luar. 

Qua-Toyne, yang sebelumnya hanya dianggap negara agraris kecil, kini menjelma menjadi kekuatan dominan di Rodenius. Wilayah baru yang mereka peroleh dari Louria tidak hanya memperkuat pertahanan mereka, tetapi juga membuka peluang ekonomi yang luar biasa. Industri pertahanan mereka berkembang pesat, dengan perusahaan-perusahaan swasta mulai memproduksi dan menjual peralatan militer. Republik Louria menjadi pasar pertama mereka, meskipun dengan pembatasan ketat yang diberlakukan oleh pemerintah Qua-Toyne untuk memastikan Louria tidak bisa bangkit sebagai ancaman. 

Di dalam negeri, euforia kemenangan perang masih terasa, tetapi ini disertai dengan kebangkitan semangat nasionalisme ekstrem. Beberapa kelompok militan mulai menyerukan agar Qua-Toyne terus memperluas pengaruhnya, tidak hanya di Rodenius tetapi juga ke benua lain. Pemerintah Qua-Toyne, meskipun secara resmi menolak ide ini, diam-diam mempertimbangkan langkah-langkah untuk memperkuat hegemoni mereka di wilayah sekitarnya. 

Quila, di sisi lain, berfokus pada memperkuat posisi strategis mereka di kawasan. Mereka masih memburu sisa-sisa loyalis Louria, termasuk Letnan Jenderal Adem, yang keberadaannya masih misterius. Quila juga mulai memperluas armada angkatan lautnya, tidak hanya untuk keamanan tetapi juga untuk memperluas jangkauan pengaruh mereka. 

Quila mengambil pendekatan lebih agresif dibandingkan Qua-Toyne. Mereka mengirim diplomat ke negara-negara kecil di luar Rodenius, menawarkan aliansi dengan imbalan bantuan militer dan ekonomi. Dengan kekalahan Louria sebagai bukti kekuatan mereka, Quila berharap bisa membangun koalisi internasional yang solid untuk melawan potensi ancaman dari negara-negara besar seperti Kekaisaran Parpaldia. 

Berita kekalahan Louria juga mengguncang Kekaisaran Parpaldia. Kaisar Ludius, yang sebelumnya memandang Rodenius sebagai wilayah pinggiran yang tidak layak diperhatikan, mulai menyadari potensi ancaman dari negara-negara kecil ini, terutama setelah mereka mendapat dukungan dari kekuatan misterius seperti Indonesia. Parpaldia mulai memobilisasi sumber daya untuk memperkuat perbatasannya dan merencanakan ekspansi ke wilayah lain untuk mempertahankan dominasinya. 

Kerusuhan dalam negeri semakin meningkat. Kaum royalis yang tidak puas dengan sistem baru terus melakukan perlawanan, meskipun skala mereka kecil. Di sisi lain, rakyat biasa mulai kehilangan kepercayaan pada pemerintah baru yang dianggap hanya boneka Koalisi. Ekonomi Louria terpuruk, dengan utang reparasi yang membebani dan minimnya investasi asing. 

Presiden Benedictus tahu bahwa tantangan ini hampir mustahil diatasi, tetapi ia tetap melanjutkan upayanya dengan harapan tipis bahwa suatu hari Louria bisa keluar dari bayang-bayang Koalisi. Namun, pertanyaan besar tetap menggantung di udara: Bisakah Louria bertahan sebagai republik, atau akankah negara itu hancur sepenuhnya di bawah beban kekalahan dan penghinaan?

Satu tahun berlalu sejak Perjanjian Jin-Hark, dan perubahan besar melanda benua Rodenius. Sentuhan teknologi dan modernisasi yang dibawa Indonesia tidak hanya meninggalkan jejak tetapi juga membentuk ulang kekuatan geopolitik di kawasan itu. Tiga negara utama—Qua-Toyne, Quila, dan Louria—memanfaatkan peluang dengan cara mereka sendiri, tetapi Qua-Toyne menjadi bintang yang paling bersinar di antara mereka. 

Qua-Toyne, dulunya negara agraris yang tenang, kini telah menjadi pusat inovasi dan kekuatan militer di Rodenius. Dalam waktu satu tahun, mereka mampu mencapai swasembada teknologi tanpa perlu campur tangan lebih jauh dari Indonesia. 

Pembangunan sekolah-sekolah berbasis teknologi yang disokong oleh ilmuwan dan insinyur Indonesia telah melahirkan gelombang jenius lokal. Mereka tidak hanya menguasai teknologi Indonesia yang diberikan secara terbatas, tetapi juga berhasil melakukan reverse-engineering dan menciptakan teknologi baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Salah satu bukti nyata kemajuan ini adalah galangan kapal mereka yang kini mampu memproduksi kapal baja canggih. Kapal perang unggulan mereka, QRS Albina, menjadi simbol dari kekuatan baru Qua-Toyne. Sebagai kapal pertama dari kelas Dreadnought modern, Albina tidak hanya mengandalkan desain klasik HMS Dreadnought, tetapi juga dilengkapi: 
- Radar PESA hasil pembelian rongsokan dari Indonesia yang dimodifikasi. 
- Sistem penembakan modern yang mampu mengunci target dengan presisi tinggi. 
- Lapisan baja multi-lapis yang dirancang untuk menahan torpedo generasi terbaru. 
- Senjata anti-udara otomatis yang mampu menghancurkan unit udara musuh sebelum mereka mendekat. 

Tidak berhenti di situ, mereka juga membangun kapal penghancur kelas J yang terinspirasi dari desain kapal perang Britania Raya. Dengan cetak biru yang diperoleh dari arsip Angkatan Laut Republik Indonesia, Qua-Toyne mulai memproduksi kapal-kapal perang secara massal. Perusahaan galangan kapal mereka, yang baru saja berkembang pesat, bahkan telah menandatangani kontrak dengan Kerajaan Sios dan Altaras untuk memproduksi kapal serupa. 

Pada 1645, Angkatan Laut Qua-Toyne diproyeksikan memiliki: 
- 8 Battleship dan Dreadnought.
- 24 Kapal Penghancur.
- 12 Kapal Pendaratan Tank. 
- 20 Kapal Pendaratan Prajurit.
- 30 Minesweeper.

Dengan kekuatan laut ini, Sekretaris Angkatan Laut Qua-Toyne menyatakan bahwa mereka akan menjadi kekuatan dominan yang tidak tertandingi di lautan Rodenius. 

Di sisi lain, Quila memanfaatkan kemenangan mereka dengan cara berbeda. Mereka memperkuat dominasi darat dan udara di wilayah yang mereka kuasai. Meski tidak seagresif Qua-Toyne dalam pengembangan teknologi laut, Quila mulai membangun pangkalan udara strategis di wilayah yang diambil dari Louria. 

Bahkan, Quila mendirikan akademi militer yang fokus pada pengembangan senjata berbasis pesawat. Dengan bantuan data dari Indonesia, mereka berhasil menciptakan pesawat hebat yang membuat Wyvern menjadi ketinggalan zaman.

Quila juga menguasai banyak jalur perdagangan utama di Rodenius, memaksa negara-negara kecil seperti Sios dan Altaras membayar pajak lebih tinggi untuk melintasi wilayah mereka. 

Sementara Qua-Toyne dan Quila menikmati keuntungan dari modernisasi, Louria masih terjebak dalam kehancuran. Meskipun Presiden Benedictus terus berusaha keras menarik investasi asing, reputasi buruk Louria dan beban reparasi perang membuat pemulihan ekonomi mereka berjalan lambat. 

Kerusuhan dalam negeri tidak kunjung reda. Kelompok-kelompok loyalis monarki terus mengganggu pemerintahan baru, sementara rakyat kecil mulai kehilangan kepercayaan pada Presiden Benedictus, yang dianggap tidak mampu memenuhi janji-janjinya. 

Indonesia, meskipun tidak lagi secara langsung mencampuri urusan Rodenius, tetap menjadi pemain utama di balik layar. Kontrak makanan gratis antara Qua-Toyne dan Indonesia berakhir pada Juli 1640, menandai pergeseran hubungan dari kerja sama kemanusiaan menjadi hubungan perdagangan penuh. Gulden Qua-Toyne menjadi salah satu mata uang terkuat di Rodenius, dengan nilai tukar 1 Gulden setara dengan 8 Rupiah. 

Namun, di Indonesia sendiri, Presiden Alfian menghadapi tekanan politik yang semakin besar. Banyak yang menentang bantuan teknologi gratis yang diberikan kepada negara-negara Rodenius, menganggapnya sebagai "Pengkhianatan Terhadap Potensi Nasional." Kritik ini menjadi bahan bakar bagi oposisi politik yang berencana menggulingkan pemerintahannya dalam pemilu mendatang. 

Di kejauhan, Kekaisaran Parpaldia mulai merasakan tekanan dari kebangkitan Qua-Toyne dan Quila. Kaisar Ludius memerintahkan pembentukan pasukan ekspedisi untuk mengawasi wilayah perbatasan, sambil mengarahkan diplomatnya untuk mencari aliansi dengan negara-negara yang merasa terancam oleh ekspansi Rodenius. 

Namun, para elit Parpaldia tahu bahwa jika mereka tidak bergerak cepat, kekuatan baru ini dapat mengancam dominasi mereka di benua lain. 

Rodenius, yang dulunya dianggap sebagai kawasan pinggiran, kini menjadi pusat kekuatan baru yang siap mengguncang dunia. Dengan Qua-Toyne sebagai kekuatan maritim yang dominan, Quila sebagai penguasa udara, dan Louria sebagai republik yang tertatih-tatih, keseimbangan kekuasaan di Rodenius mulai beralih ke arah yang lebih liar dan tak terduga. 

Pertanyaannya adalah: Seberapa jauh Qua-Toyne dan Quila akan melangkah sebelum akhirnya bentrok dengan kekuatan besar seperti Parpaldia?

Setahun setelah Perjanjian Jin-Hark, Quila mulai mengambil langkah serius untuk memperkuat Angkatan Udaranya. Sebagai negara yang dikenal dengan semangat kompetitifnya, Quila tidak ingin tertinggal dari kemajuan pesat yang dicapai oleh tetangga dan sekutu mereka, Qua-Toyne. Namun, langkah ini justru memicu rivalitas yang semakin memanas antara dua kekuatan Rodenius tersebut. 

Berbekal teknologi dasar dari Indonesia dan cetak biru yang ditemukan dalam arsip-arsip militer tua, Quila memutuskan untuk membangun industri penerbangannya sendiri. Dalam waktu singkat, mereka berhasil memproduksi pesawat tempur biplane pertama mereka, MIK-01 "Sparrowhawk", yang dirancang untuk menguasai udara dengan kelincahan dan daya tembak yang cukup memadai. 

MIK-01 "Sparrowhawk":
- Tipe: Pesawat tempur Biplane. 
- Kecepatan maksimum: 180 km/jam. 
- Persenjataan: 2 senapan mesin kaliber .303. 
- Material: Kayu dan kain dengan kerangka baja ringan. 
- Operasi: Ditujukan untuk misi pengintaian dan pertahanan udara. 

Namun, Quila tidak berhenti di situ. Para insinyur mereka, dengan dukungan sebagian kecil teknologi reverse-engineering dari Indonesia, mulai mengembangkan prototipe monoplane pertama mereka, MIK-02 "Falcon". Pesawat ini dirancang dengan kerangka logam penuh, sistem bahan bakar yang lebih canggih, dan kemampuan membawa bom ringan untuk misi serangan darat. 

MIK-02 "Falcon" (Prototipe): 
- Tipe: Pesawat tempur Monoplane. 
- Kecepatan maksimum: 300 km/jam. 
- Persenjataan: 4 senapan mesin kaliber .50, kapasitas membawa bom hingga 250 kg. 
- Fitur: Sistem kontrol aerodinamis berbasis desain Indonesia. 

Rencana pembangunan 50 unit Sparrowhawk dan 10 prototipe Falcon untuk uji lapangan menunjukkan ambisi besar Quila. Mereka juga mulai mendirikan akademi penerbangan di wilayah selatan, mengundang pilot-pilot muda berbakat untuk bergabung dengan Angkatan Udara baru mereka. 

Di sisi lain, Qua-Toyne, yang telah fokus pada kekuatan lautnya, mulai merasa terancam oleh kemajuan pesat Quila di bidang penerbangan. Qua-Toyne, yang awalnya hanya mengembangkan balon udara untuk pengintaian, kini mulai merancang kapal terbang besar (seaplane) yang dapat digunakan untuk patroli maritim jarak jauh dan serangan udara terbatas. 

PBY "Pelican" (Prototipe Seaplane):
- Tipe: Kapal terbang berbasis amfibi. 
- Kecepatan maksimum: 220 km/jam. 
- Persenjataan: 3 senapan mesin, kapasitas membawa torpedo atau bom ringan. 
- Fitur: Dapat mendarat di laut, ideal untuk operasi di wilayah perairan Rodenius. 

Qua-Toyne tidak hanya melihat Quila sebagai sekutu tetapi juga ancaman potensial. Pembangunan pesawat tempur Quila dianggap sebagai upaya untuk mendominasi wilayah udara Rodenius, yang mengancam rencana supremasi laut Qua-Toyne. 

Hubungan Qua-Toyne dan Quila mulai berubah dari sekutu yang erat menjadi rival yang kompetitif. Beberapa insiden kecil, seperti pesawat biplane Quila yang melanggar wilayah udara Qua-Toyne selama uji coba, memicu ketegangan diplomatik. Qua-Toyne juga menuduh Quila sengaja mencuri beberapa teknologi radar dan komunikasi yang mereka beli dari Indonesia. 

Di sisi lain, Quila merasa diremehkan oleh Qua-Toyne yang mendominasi perdagangan dan diplomasi di Rodenius. Sekretaris Pertahanan Quila menyatakan dalam pidato publik: 
"Kami tidak akan tunduk pada siapa pun. Quila adalah bangsa yang mandiri, dan kami akan berdiri setara dengan, atau bahkan di atas, Qua-Toyne." 

Indonesia menyaksikan rivalitas ini dengan sikap hati-hati. Presiden Alfian tetap berusaha menjaga hubungan baik dengan kedua negara, meskipun beberapa politisi Indonesia menganggap bahwa rivalitas ini bisa dimanfaatkan untuk menjaga keseimbangan kekuatan di Rodenius. 

Untuk menghindari konflik terbuka, Indonesia mulai membatasi penjualan teknologi militer canggih kepada kedua pihak. Sebagai gantinya, mereka hanya menjual teknologi yang sudah ketinggalan zaman, memastikan bahwa kedua negara tidak mendapatkan keunggulan signifikan. 

Namun, rivalitas ini juga memberikan peluang bagi perusahaan swasta Indonesia untuk menjual senjata, kendaraan, dan teknologi lainnya ke kedua belah pihak, yang meningkatkan keuntungan ekonomi bagi Indonesia. 

Rivalitas Qua-Toyne dan Quila memberikan warna baru dalam dinamika Rodenius. Dengan Quila memperkuat Angkatan Udara mereka dan Qua-Toyne tetap fokus pada kekuatan laut, Rodenius perlahan-lahan berubah menjadi kawasan yang penuh persaingan teknologi dan militer. 

Januari 1641, Setelah menyaksikan dominasi Qua-Toyne di laut dan meningkatnya ancaman dari negara-negara tetangga seperti Kekaisaran Parpaldia, Quila memutuskan untuk memodernisasi seluruh aspek militernya. Namun, alih-alih bergantung pada bantuan teknologi dari Indonesia, Quila memilih jalur mandiri dengan mengembangkan strategi militer yang terinspirasi dari filosofi dan desain Uni Soviet: kuat, murah, dan efektif dalam jumlah besar. 

Quila memprioritaskan pembangunan Angkatan Darat sebagai fokus utama modernisasi. Dengan memanfaatkan pengetahuan para cendekiawan militer, Quila merancang doktrin peperangan darat yang mengutamakan taktik "Gelombang Manusia" didukung kendaraan lapis baja ringan dan artileri. 

Tank Medium KAT-01 "Grom" 
- Desainnya terinspirasi dari T-26 Soviet. 
- Kecepatan mencapai 31 km/jam di medan terbuka. 
- Dipersenjatai meriam kaliber 45 mm dan senapan mesin koaksial 7,62 mm. 
- Armor baja homogen mampu menahan proyektil senjata ringan. 
- Dirancang untuk diproduksi massal, dengan target produksi 300 unit per tahun. 

Tank ini menjadi tulang punggung strategi Quila, dirancang untuk bergerak cepat, menyerang garis depan musuh, dan merebut posisi strategis.

Artileri Medan: KAH-152 "Duta" 
- Mengambil inspirasi dari howitzer Soviet D-1 152 mm. 
- Memiliki jangkauan tembak hingga 17 km. 
- Efektif dalam menembakkan peluru konvensional atau asap untuk membingungkan musuh. 

Artileri memainkan peran utama dalam doktrin Quila, memberikan serangan jarak jauh untuk melemahkan formasi musuh sebelum serangan utama dimulai. 

Angkatan Udara Quila 
Setelah berhasil mengembangkan biplane Sparrowhawk dan prototipe monoplane Falcon, memperluas produksi pesawat tempur untuk mendukung operasi udara dan darat. 

Pesawat Tempur MIK-03 "Thunderstrike" 
- Terinspirasi dari Ilyushin Il-2 Soviet. 
- Memiliki kecepatan maksimum 350 km/jam. 
- Dipersenjatai dua senapan mesin berat, roket udara-darat (prototipe), dan bom ringan. 
- Rangka kokpit diperkuat untuk melindungi pilot dari tembakan ringan. 

Pesawat ini dirancang untuk memberikan dukungan udara dekat bagi pasukan darat, menyerang konvoi musuh, dan menghancurkan posisi artileri. 

Pengebom Strategis B-01 "Berserker" 
- Mengambil inspirasi dari Tupolev TB-3. 
- Mampu membawa muatan bom hingga 2.000 kg. 
- Memiliki jangkauan 800 km dengan kecepatan 230 km/jam. 

Pengebom ini dirancang untuk misi jarak jauh meskipun teknologinya sederhana dibandingkan standar modern. 

Angkatan Laut Quila 
Meskipun fokus utamanya bukan di laut, Quila mengembangkan kapal selam kecil dan kapal torpedo untuk menghadapi ancaman maritim secara strategis. 

Kapal Selam Mini KSN-01 "Kraken" 
- Terinspirasi dari kapal selam kelas M Soviet. 
- Dioperasikan oleh kru sebanyak 10 orang. 
- Dipersenjatai dengan dua torpedo berjangkauan pendek. 
- Ukurannya kecil sehingga sulit dideteksi. 

Kapal Torpedo KPT-01 "Tempest" 
- Memiliki kecepatan hingga 45 knot. 
- Dilengkapi empat tabung torpedo dan senjata anti-pesawat ringan. 

Strategi Quila di laut menitikberatkan pada penggunaan kapal kecil untuk melancarkan serangan gerilya terhadap konvoi musuh. 

Dengan kekuatan militer Quila yang berkembang pesat, rivalitas dengan Qua-Toyne semakin memanas. Qua-Toyne, yang mengandalkan teknologi modern dan kapal perang besar, memandang Quila sebagai ancaman yang mencoba mengubah keseimbangan kekuatan di Rodenius. Sebaliknya, Quila menganggap Qua-Toyne terlalu bergantung pada teknologi dan dukungan dari Indonesia. 

Insiden di perbatasan pada awal 1641 memperkeruh hubungan kedua negara. Konvoi tank Grom Quila secara tidak sengaja melintasi batas wilayah Qua-Toyne, memicu tuduhan provokasi. Qua-Toyne menuduh Quila mencoba menciptakan konflik, sedangkan Quila membantah dengan menyatakan itu hanya kesalahan navigasi. 

Menteri Pertahanan Quila menanggapi tuduhan tersebut dengan tegas: 
"Kami tidak mencari konflik, tetapi jika kami dipaksa, Quila akan bertahan dengan kekuatan yang kami miliki, tanpa bantuan dari siapa pun." 

Filosofi Quila yang menekankan pada kekuatan massal dan biaya rendah memungkinkan mereka membangun kekuatan militer dalam waktu singkat. Namun, pendekatan ini juga meningkatkan risiko konflik di kawasan, terutama dengan Qua-Toyne dan negara-negara tetangga lainnya.

Melihat perkembangan militer Quila yang pesat dan semakin agresif, Qua-Toyne tidak tinggal diam. Mereka memutuskan untuk memperluas Angkatan Bersenjata mereka, menggabungkan doktrin dan desain militer dari Inggris yang pernah menjadi musuh besar Indonesia di dunia lama mereka. Qua-Toyne berfokus pada kecanggihan teknologi, taktik modern, dan dominasi strategis untuk mempertahankan posisi mereka sebagai kekuatan utama di Rodenius.

Angkatan Darat Qua-Toyne.

Tank Medium NFL-32 "Lionheart".
- Desain: Terinspirasi dari tank Cruiser Mark III Britania Raya. 
- Persenjataan: Meriam 40 mm dan senapan mesin kaliber .303. 
- Kecepatan: 40 km/jam di medan datar, memungkinkan mobilitas tinggi. 
- Armor: Maksimal 20 mm, cukup untuk menahan senjata ringan dan pecahan artileri. 
- Peran: Digunakan sebagai pendukung utama infanteri, memberikan keunggulan di medan terbuka melawan unit mekanis Quila. 

Artileri Medan QAH-40 "Stormhowl".
- Kaliber: 105 mm, dengan jangkauan maksimum 12 km. 
- Mobilitas: Ditarik oleh truk serbaguna hasil produksi lokal. 
- Efektivitas: Cocok untuk menghancurkan posisi defensif musuh atau mendukung serangan infanteri. 

Doktrin Pertempuran:
- Qua-Toyne mengadopsi doktrin taktik serangan kilat ala Britania Raya, tetapi disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Pasukan mereka dilatih untuk memanfaatkan medan dengan baik, membangun parit, dan memasang rintangan defensif. Koordinasi antara infanteri, artileri, dan kavaleri mekanis menjadi prioritas utama. 

-Pesawat Tempur Biplane SU-20 "Swiftwind".
- Kecepatan: 320 km/jam, cukup untuk menghadapi pesawat musuh dalam pertempuran jarak dekat. 
- Persenjataan: Dua senapan mesin kaliber .303, dipasang di bagian depan. 
- Desain: Struktur kayu dengan rangka logam, dilengkapi mesin radial sederhana. 
- Peran: Menguasai langit Rodenius dan memberikan dukungan udara kepada pasukan darat. 

Pesawat Pengebom Ringan SUB-25 "Thunderstrike".
- Muatan: Hingga 800 kg bom. 
- Jangkauan: 900 km, memungkinkan serangan jarak jauh ke wilayah Quila jika diperlukan. 
- Kecepatan: 280 km/jam, cocok untuk misi pengeboman strategis di medan musuh. 

Prototipe Pesawat Monoplane SU-30 "Skyblade".
- Status: Dalam tahap uji coba, dirancang untuk menjadi pesawat tempur generasi berikutnya. 
- Kecepatan Maksimum: 400 km/jam, lebih cepat dibandingkan biplane yang ada. 
- Persenjataan: Dua senapan mesin kaliber .303 dengan opsi penambahan bom ringan. 
- Harapan: Jika berhasil, Skyblade akan menjadi pesawat dominan di Rodenius, menggeser ketergantungan pada biplane. 

Tahun 1642 menjadi awal yang penuh ketegangan di Republik Indonesia. Selama beberapa tahun sejak kedatangan bangsa ini ke dunia baru, Indonesia telah menjadi kekuatan utama di Rodenius dan sekitarnya, tetapi perjalanan tersebut tidak tanpa pengorbanan. Perang Rodenius, ekspansi diplomatik, serta konflik politik dalam negeri telah meninggalkan luka yang dalam di hati rakyat. 

Pemilihan umum yang diadakan pada bulan Januari tahun itu bukan sekadar peristiwa politik. Itu adalah momen penentuan arah masa depan bangsa—apakah Indonesia akan terus berjalan di bawah kepemimpinan Presiden Alfian yang dikenal ambisius namun kontroversial, ataukah akan ada pemimpin baru yang membawa visi berbeda. 

Alfian, presiden muda yang memimpin Indonesia melalui Perang Rodenius dan berbagai transformasi besar, awalnya dielu-elukan sebagai simbol harapan. Namun, kepemimpinannya mulai kehilangan daya tarik seiring berjalannya waktu. 

- Kritik Terhadap Alfian: 
  1. Perang Rodenius: Meskipun kemenangan tercapai, banyak yang menganggapnya sebagai kemenangan kosong. Ribuan nyawa melayang, dan rakyat tidak melihat manfaat nyata bagi Indonesia selain hanya membuang-buang sumber daya. 
  2. Ekonomi: Kebijakan ekonomi Alfian dianggap tidak adil oleh sebagian besar rakyat. Ketergantungan pada ekspor teknologi ke negara-negara seperti Qua-Toyne dan Quila membuat banyak sektor domestik terbengkalai. 
  3. Ketimpangan Sosial: Sementara kawasan urban mulai makmur, daerah-daerah terpencil merasa diabaikan, menciptakan jurang antara pusat dan pinggiran. 

Meski demikian, Alfian tetap maju mencalonkan diri untuk masa jabatan kedua. Ia mengusung kampanye bertema "Kestabilan dan Kemajuan," berharap rakyat masih mempercayainya untuk melanjutkan kepemimpinannya. 

Anna Maria Weiss, wanita berdarah campuran Indonesia-Kaukasus, muncul sebagai ancaman terbesar bagi Alfian. Ia adalah keturunan pengungsi Jerman yang melarikan diri dari kekacauan dunia lama, sebuah garis keturunan yang membuatnya unik di panggung politik Indonesia. 

Anna dikenal karismatik, tegas, dan memiliki cara berbicara yang menusuk hati. Ia sering berbicara dengan nada melankolis tentang penderitaan rakyat kecil, mengaitkan ceritanya dengan sejarah keluarganya yang pernah hidup dalam ketakutan di dunia lama. 

Kampanye Anna berfokus pada "Membangun Kembali Rakyat," slogan yang menyerukan redistribusi sumber daya, pembangunan desa, dan pengakhiran keterlibatan militer di luar negeri. 

Anna membawa pesan kuat: Indonesia telah melupakan rakyatnya sendiri dalam ambisi untuk menjadi kekuatan dunia. Ia berbicara tentang anak-anak di desa yang kelaparan, para veteran perang yang diabaikan, dan keluarga yang terpecah akibat kesenjangan ekonomi. 

Kampanye berjalan sengit, tetapi mulai jelas bahwa rakyat menginginkan perubahan. Setiap pidato Anna menarik ribuan pendukung, sementara rapat umum Alfian mulai kehilangan daya tariknya. 

Di hadapan ribuan orang, Anna berpidato di pelabuhan tua Surabaya. Ia berdiri di atas panggung sederhana, mengenakan pakaian sederhana pula. Suaranya menggema di antara deretan kapal-kapal tua yang menjadi saksi sejarah bangsa. 

"Kita datang ke dunia ini untuk menyelamatkan bangsa kita dari kehancuran, tapi apa yang kita lakukan? Kita meninggalkan mereka yang paling membutuhkan. Anak-anak kita kelaparan, desa-desa kita terlupakan, dan kita hanya berfokus pada kejayaan yang hampa. Indonesia bukan hanya tentang kekuatan militer atau pengaruh internasional. Indonesia adalah rakyatnya, dan rakyat telah berbicara. Mereka butuh harapan, bukan perang." 

Dalam debat terakhir, Alfian mencoba membela kebijakannya, tetapi ia terlihat lelah dan defensif. Anna, dengan kecerdasannya, menusuk kelemahan-kelemahan Alfian satu per satu, dari buruknya penanganan ekonomi hingga korban perang yang tak pernah mendapat penghargaan layak. 

Pada tanggal 20 Januari 1642, hasil pemilu diumumkan. Dalam sejarah pemilu modern Indonesia, kekalahan Alfian adalah salah satu yang paling telak. 

- Hasil Resmi:
  - Anna Weiss: 67,3% suara. 
  - Alfian: 30,8% suara. 
  - Lainnya: 1,9%. 

Ketika hasil diumumkan, Alfian hanya bisa berdiri di podium dan terdiam, menahan rasa amarah dan ketidaksukaannya.

Kemenangan Anna membawa harapan sekaligus ketakutan. Di satu sisi, rakyat kecil yang selama ini terpinggirkan merasa akhirnya suara mereka didengar. Di sisi lain, elit politik dan militer mulai waspada terhadap kebijakan radikal Anna yang mungkin mengguncang status quo. 

Namun, satu hal yang pasti: Januari 1642 adalah awal dari bab baru dalam sejarah Indonesia. Di tengah kegaduhan politik, depresi ekonomi, dan ancaman eksternal, bangsa ini berdiri di persimpangan jalan. 

Ketika hasil pemilu diumumkan pada Januari 1642, kekalahan telak Alfian seharusnya menandai akhir masa jabatannya. Namun, ambisi yang terbakar dalam dirinya tak ingin membiarkan tahta itu lepas begitu saja. Rasa frustrasi, kemarahan, dan ketakutan akan hilangnya kekuasaan memaksa Alfian mengambil langkah yang berbahaya—langkah yang berpotensi memecah Indonesia yang sudah berada di ambang kehancuran. 

Dengan sisa-sisa loyalis di lingkaran pemerintahannya, Alfian membuat keputusan yang mengejutkan: melakukan lockdown total di Neo-Jakarta.

Andika, sang Menteri Pertahanan, merupakan pendukung setia Alfian, Andika dengan cepat mengerahkan pasukan dari Divisi Strategis yang masih mendukung pemerintahannya. Andrie, Panglima TNI juga Menguasai sebagian unit Angkatan Darat dan Polisi Militer, ia mengoordinasikan blokade akses masuk dan keluar Neo-Jakarta, memastikan pusat kota menjadi benteng yang tak bisa ditembus. 

Semua akses komunikasi, transportasi udara, dan logistik keluar-masuk Neo-Jakarta dihentikan. Dengan kota terbesar di Indonesia ini di bawah kendalinya, Alfian percaya ia masih memegang kartu truf. 

Ketika berita lockdown menyebar, Anna dengan cepat menyadari bahwa ini bukan sekadar perlawanan politik biasa. Neo-Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan, kini menjadi medan utama konflik. Namun, ia tahu bahwa rakyat dan sebagian besar TNI berada di sisinya. 

Dalam langkah yang mencerminkan kepemimpinan dan strategi cemerlang, Anna memindahkan pemerintahan sementara ke Surabaya. Kota ini dipilih karena lokasinya yang strategis, pelabuhan internasional yang besar, dan infrastruktur militer yang kuat. 

Surabaya menjadi simbol perlawanan baru. Dari sini, Anna mengoordinasikan mobilisasi besar-besaran TNI yang hampir seluruhnya loyal kepadanya.  Ia membentuk kabinet darurat untuk menjaga kelancaran roda pemerintahan dan memastikan rakyat tetap mendapat akses terhadap kebutuhan dasar. 

Sebagian besar jajaran TNI, dari Angkatan Darat hingga Angkatan Laut, menyatakan kesetiaan kepada Anna. Mereka melihat langkah Alfian sebagai penghinaan terhadap demokrasi dan ancaman bagi stabilitas bangsa. 

Mayoritas garnisun dan divisi, termasuk pasukan elit seperti Kopassus dan Kostrad, memihak Anna. Di bawah kepemimpinan jenderal-jenderal yang setia pada demokrasi, pasukan ini mulai bergerak menuju Neo-Jakarta. 

Armada utama yang berpusat di Surabaya memberikan dukungan logistik dan menjaga perairan strategis. Kapal-kapal perang memblokade jalur laut menuju Neo-Jakarta, memastikan Alfian tidak dapat melarikan diri atau menerima bantuan. 

Pesawat-pesawat tempur dan pengangkut dikirim untuk mengamankan wilayah udara di sekitar Jakarta. 

Di dalam Neo-Jakarta, suasana penuh ketegangan. Penduduk sipil menjadi sandera dalam permainan kekuasaan ini. Penduduk yang terjebak di dalam kota menghadapi kelangkaan makanan dan air bersih akibat blokade. Ketakutan akan kekerasan memuncak, dengan jalan-jalan utama dijaga ketat oleh tentara bersenjata. 

Alfian menggunakan media yang masih berada di bawah kendalinya untuk menyebarkan propaganda, menggambarkan Anna sebagai ancaman bagi stabilitas bangsa. Sementara itu, media independen di luar Neo-Jakarta menyiarkan cerita tentang penderitaan warga dan upaya militer yang mendukung Anna untuk merebut kembali kota. 

Konflik ini tidak hanya menarik perhatian rakyat Indonesia, tetapi juga daerah lokal. Negara-negara seperti Qua-Toyne dan Quila memantau dengan cermat perkembangan ini, mengantisipasi dampak besar yang mungkin terjadi di kawasan Rodenius. 

- Qua-Toyne: Secara diplomatik menyatakan dukungannya kepada Anna, yang dianggap sebagai pemimpin sah hasil pemilu demokratis. 
- Quila: Memilih netral, tetapi tetap waspada terhadap potensi kekacauan yang dapat merembet ke wilayah mereka.

Di tengah pengepungan dan tekanan internasional, Alfian muncul di televisi yang dikendalikan pemerintah untuk memberikan pidato yang penuh emosi: 

"Saya tidak melawan rakyat, saya melawan pengkhianatan. Saya melawan kekuatan yang ingin menjatuhkan Indonesia ke dalam kekacauan. Apa yang saya lakukan adalah untuk melindungi bangsa ini dari kehancuran. Neo-Jakarta adalah benteng terakhir demokrasi sejati, dan saya tidak akan mundur." 

Namun, kata-katanya hanya menambah jumlah orang yang berlawanan dengan Alfian.

Sementara itu, Anna memberikan pidato balasan yang disiarkan dari Surabaya: 

"Indonesia bukan milik satu orang. Bukan milik Alfian atau milik saya. Indonesia adalah milik rakyat. Dan rakyat telah berbicara. Tidak ada tempat bagi diktator di negara ini. Alfian, ini adalah akhir perjalananmu. Demi rakyat, demi demokrasi, kami akan merebut kembali Jakarta." 

Dengan kedua pihak yang bersiap untuk konfrontasi, Indonesia berdiri di tepi jurang perang saudara. Tentara di kedua sisi mempersiapkan senjata mereka, sementara rakyat yang tidak berdosa terperangkap dalam ketidakpastian. 

..
.....

Neo-Jakarta, Sebuah kota yang dulunya menjadi simbol kemajuan kini berubah menjadi medan tempur potensial. 

Sejarah akan mencatat peristiwa ini sebagai salah satu titik terendah bangsa. Apakah Anna dapat menyelamatkan Indonesia dari kehancuran? Ataukah ambisi Alfian akan menyeret negeri ini ke dalam kekacauan yang lebih besar? 

4 Februari 1642, Neo-Jakarta lautan api.

Neo-Jakarta tidak pernah tidur malam itu. Gemuruh artileri, letupan senapan mesin, dan sirene panjang bergema seperti simfoni kehancuran di kota yang dulunya menjadi simbol kejayaan Indonesia. 

Di tengah reruntuhan, Presiden Alfian berdiri di ruang perang bawah tanah Istana Negara. Tangannya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena beban keputusannya. Ia tahu ini mungkin malam terakhirnya sebagai presiden. Di seberang meja, Menteri Pertahanan Andika dan Panglima TNI Andrie berbicara dengan nada mendesak, mencoba menyusun strategi terakhir untuk mempertahankan ibu kota. 

"Neo-Jakarta adalah benteng terakhir kita." Kata Andika dengan suara tegas namun lelah. "Jika kita kalah, semua akan runtuh." 

Alfian hanya mengangguk pelan. Dalam hati, ia sudah tahu bahwa kekalahan bukan lagi kemungkinan; itu adalah kepastian. 

Ketika jam menunjukkan pukul 03.00 pagi, kota itu meledak dalam kekacauan. Pasukan Anna, dipersenjatai dengan senjata canggih dan kendaraan lapis baja modern, menyerang dari empat arah sekaligus. 

Di sisi selatan, Divisi Kostrad dan Kopassus memimpin serangan darat. Mereka bergerak cepat, menggunakan taktik gerilya perkotaan yang mereka kuasai dengan sempurna. Jalan-jalan sempit yang dipenuhi barikade menjadi ladang pembantaian. Loyalis Alfian, yang sebagian besar terdiri dari polisi militer dan sukarelawan sipil, berjuang keras dengan persenjataan seadanya. 

Di udara, drone dan jet tempur dari KRI Kutai melancarkan serangan presisi, menghancurkan pos-pos pertahanan Alfian satu per satu. Rudal jelajah menghujam jantung kota, meninggalkan kawah besar di tempat yang dulu menjadi gedung-gedung megah. 

Laut juga tidak memberikan ampun. KRI Kutai, kapal induk super yang megah, meluncurkan serangan udara tanpa henti. Empat kapal penghancur yang mengawalnya menembakkan rudal ke arah dermaga dan pangkalan militer terakhir Alfian di Tanjung Priok. 

Kota itu berubah menjadi neraka.  Jalanan Dipenuhi Mayat Tentara, warga sipil, bahkan anak-anak—tidak ada yang selamat dari kehancuran ini. Mayat-mayat berserakan di trotoar, sebagian terbakar, sebagian membeku dalam posisi terakhir mereka, tangan mereka masih memegang senjata atau mencoba melindungi diri. Bau kematian memenuhi udara. 

Gedung-gedung Runtuh Bangunan ikonik seperti Monumen Nasional dan Stasiun Gambir menjadi puing-puing. Ledakan-ledakan besar mengguncang tanah, seolah bumi sendiri meratapi tragedi ini. Ribuan warga sipil yang tidak sempat mengungsi terperangkap di tengah baku tembak. Mereka berlindung di basement, stasiun kereta bawah tanah, atau bahkan saluran pembuangan, berharap dapat selamat dari badai laser dan bom. 

Pada malam hari, pasukan Anna telah berhasil mengepung Istana Negara. Benteng terakhir Alfian kini dikelilingi dari segala sisi. Tank-tank Vajra dan kendaraan lapis baja merangsek mendekat, sementara VTOL Bangau berputar-putar di udara, bersiap melancarkan serangan terakhir. 

Di dalam istana, Alfian menatap layar monitor yang menunjukkan situasi di luar. Tentara yang masih setia padanya bertempur mati-matian, tetapi jumlah mereka terus berkurang. "Presiden." Kata Andika pelan, "kita harus menyerah. Ini sudah berakhir." 

Alfian menoleh dengan mata merah. "Menyerah? Tidak. Jika kita jatuh, maka kita akan jatuh dengan kehormatan." 

Pada pukul 23.45, pasukan Anna meluncurkan serangan terakhir mereka ke Istana Negara. 

Kopassus Memimpin Serangan. Pasukan elit ini menyerbu masuk melalui gerbang utama, menembus pertahanan terakhir loyalis Alfian dengan granat asap dan senjata laser. Setiap ruangan di istana menjadi arena pertempuran brutal. Darah mengalir di lantai marmer, mencoreng lambang negara yang terpampang di dinding.

Kendaraan tempur menghancurkan tembok-tembok luar istana, membuka jalan bagi infanteri untuk masuk. Ledakan besar mengguncang bangunan hingga retak dan hampir runtuh. Drone yang melayang di atas istana mengarahkan setiap serangan, memastikan tidak ada tempat untuk bersembunyi. 

Alfian, bersama Andika dan Andrie, akhirnya mundur ke ruang bawah tanah istana. Mereka tahu ini adalah akhirnya. Suara ledakan semakin dekat, dan getaran dari pertempuran terasa di dinding beton tebal. 

"Kita tidak akan menyerah." Kata Alfian dengan suara penuh keputusasaan. Namun, bahkan Andika yang paling setia pun tampak ragu. 

Pada pukul 02.15 dini hari, pintu ruang bawah tanah berhasil dijebol oleh Kopassus. Alfian, Andika, dan Andrie ditangkap dalam keadaan hidup, meskipun beberapa loyalis mereka memilih bunuh diri daripada menyerah. 

Ketika matahari terbit pada 5 Februari, Anna berdiri di reruntuhan Istana Negara. Dikelilingi oleh pasukan yang kelelahan namun penuh kemenangan, ia berbicara kepada bangsa melalui siaran langsung. 

"Saudara-saudaraku, malam yang panjang telah berakhir. Neo-Jakarta telah kembali, dan begitu pula harapan kita. Namun, ini bukan kemenangan tanpa luka. Ribuan dari kita telah berkorban, dan kota ini kini menjadi saksi bisu dari tragedi kita. Tapi dari abu ini, kita akan membangun sesuatu yang lebih baik, lebih kuat. Indonesia akan bangkit, tidak lagi di bawah bayang-bayang tirani." 

Kota itu tidak lagi terlihat seperti ibu kota yang megah. Bangunan yang selamat berdiri seperti kerangka kosong, tanpa atap dan tanpa jiwa. Jalan-jalan dipenuhi kawah akibat ledakan, membuat Neo-Jakarta lebih mirip medan perang daripada kota. 

Korban selamat mencari anggota keluarga mereka di antara reruntuhan, seringkali hanya menemukan mayat. Tangisan memenuhi udara, mengalahkan keheningan pagi. 

Anna segera memerintahkan dimulainya rekonstruksi, tetapi ia tahu bahwa membangun kembali kota ini secara fisik jauh lebih mudah daripada menyembuhkan luka di hati rakyatnya. 

Perang saudara ini akan terus menghantui Indonesia, menjadi pengingat kelam dari harga ambisi dan kesetiaan yang salah tempat.

...
......

Di bawah langit abu-abu yang berat, angin dingin dari utara membawa hawa ancaman ke perairan selatan Kekaisaran Parpaldia, mendekati wilayah laut Qua-Toyne. Armada Laut Kekaisaran Parpaldia, terdiri dari kapal-kapal yang perkasa buatan Galangan kapal Parpaldia, tengah bergerak dengan kekuatan penuh, menembus gelombang. 

Armada Kapal Perang Parpaldia  yang dikerahkan.

1. IPN Gladius Maximus. 
   - Tipe: Battleship 
   - Desain: Mengingatkan pada HMS Rodney, dengan tiga turret utama di bagian haluan dan anjungan berada di belakang, masing-masing memiliki tiga meriam kaliber besar 16 inci. 
   - Kecepatan: 23 knot, lambat namun kuat. 
   - Peran: Kapal Bendera, bertugas memberikan tekanan psikologis sekaligus daya tembak masif. 

2. IPN Aquila Rex.
   - Tipe: Heavy Cruiser 
   - Desain: Terinspirasi dari HMS Norfolk, dengan delapan meriam utama kaliber 8 inci. 
   - Kecepatan: 31 knot, jauh lebih cepat daripada Gladius Maximus.
   - Peran: Penjelajah berat, dirancang untuk melibatkan musuh lebih ringan atau memimpin serangan kilat. 

3. IPN Rapax Talon.
   - Tipe: Destroyer 
   - Desain: Mengacu pada kapal penghancur kelas V Britania, dengan torpedo berkecepatan tinggi dan senjata anti-udara. 
   - Kecepatan: 36 knot, kelas kapal tercepat dalam Angkatan Laut Parpaldia. 
   - Peran : Penyerang dan pengintai. 

4. IPN Imperator's Vow.
   - Tipe: Aircraft Carrier 
   - Desain: Prototipe kapal induk dengan sedikit kemiripan dengan HMS Furious. Hanggar kecil dan dek penerbangan yang sempit membuat operasinya belum efisien. 
   - Pesawat: 20 biplane bersenjata torpedo dan beberapa pesawat pengintai. 
   - Peran: Mendukung operasi dengan pengintaian dan serangan jarak jauh. 

Pada pagi yang berkabut di pertengahan Februari 1642, armada Parpaldia, dipimpin oleh IPN Gladius Maximus, memasuki perairan yang berada dekat dengan Zona Ekonomi Eksklusif Qua-Toyne. Laut di selatan Rodenius yang sebelumnya tenang kini dipenuhi oleh suara mesin kapal yang berat. 

Komandan armada, Laksamana Tertius Valgard, berdiri tegak di jembatan komando Gladius Maximus. Matanya yang tajam menatap cakrawala. Ia tahu betul tindakan ini bisa dianggap provokasi langsung, namun bagi Kekaisaran Parpaldia, ini adalah permainan kekuasaan. 

"Naikkan bendera perang." Katanya singkat. Bendera Kekaisaran Parpaldia dengan lambang burung elang emas berkibar di setiap kapal, melawan angin dingin. 

Manuver ini sengaja dilakukan dengan pola agresif. Destroyer Rapax Talon melesat mendahului armada utama, mendekati kapal patroli Qua-Toyne yang sedang menjaga perbatasan laut. Para pelaut Qua-Toyne hanya bisa menatap dengan wajah tegang, tidak yakin apakah mereka harus membuka komunikasi atau segera melapor ke markas besar. 

Di pusat komando militer Qua-Toyne, pesan darurat dari kapal patroli itu diterima dengan cepat. "Ini Kapal Patroli QRS Vigilance Armada Parpaldia mendekati wilayah kita! Mereka menunjukkan formasi tempur!"

"Hubungi Perdana Menteri." Perintah salah satu komandan dengan wajah pucat. 

Sementara itu, di atas kapal induk Imperator’s Vow, pesawat-pesawat biplane bersiap di dek penerbangan. Mesin-mesin pesawat tua itu meraung, menandakan kesiapan mereka untuk lepas landas jika terjadi eskalasi. 

"Apa mereka cukup gila untuk memakan umpan kita?" Salah satu pilot bertanya, wajahnya dipenuhi keringat meskipun udara dingin. 

"Ini bukan soal menyerang." Jawab temannya sambil mengencangkan helm kulitnya. “Ini soal menunjukkan kepada mereka siapa yang lebih kuat.” 

Di kapal Aquila Rex, para kru mempersiapkan torpedo. Setiap langkah terdengar seperti detak jam, perlahan namun tak terhindarkan. 

"Komandan." Seorang perwira di Gladius Maximus berkata sambil melapor. "Qua-Toyne telah mengirimkan sinyal peringatan."

Laksamana Valgard tersenyum tipis. "Biarkan mereka panik. Kita di sini untuk memberi pelajaran."

Namun, di balik senyum itu, ia tahu ini adalah perjudian besar. Qua-Toyne mungkin bukan ancaman besar secara langsung, tetapi teknologi dan dukungan yang mereka dapatkan dari Indonesia telah membuat mereka jauh lebih tangguh daripada yang Parpaldia perkirakan sebelumnya. 

Di markas besar militer Qua-Toyne, para pemimpin sedang berdiskusi sengit. 

"Kita tidak bisa membiarkan ini terus terjadi!" Teriak seorang Jenderal. "Mereka sudah melanggar perbatasan kita dengan jelas!” 

Namun Perdana Menteri Kanata, mengangkat tangan untuk menenangkan ruangan. 

"Kita tidak akan menjadi pihak yang memulai perang." Katanya dengan suara tenang namun tegas. "Tetapi jika mereka menyerang, kita akan membalas tanpa ragu."

Sementara itu, di pangkalan udara Qua-Toyne, skuadron pesawat tempur biplane mereka telah dipersiapkan. Para pilot berdiri di depan pesawat masing-masing, menunggu perintah. Pesawat-pesawat ini mungkin tidak secanggih pesawat modern Indonesia, tetapi mereka adalah kebanggaan bangsa. 

Ketegangan di laut mencapai puncaknya saat armada Kekaisaran Parpaldia terus menunjukkan manuver provokatif mereka di dekat perbatasan maritim Qua-Toyne. Namun, pada sore hari tanggal 16 Februari 1642, di bawah tekanan diplomasi dan taktik bertahan yang cermat dari pihak Qua-Toyne, armada Parpaldia akhirnya memutuskan untuk mundur kembali ke perairan netral. 

Saat kapal patroli Qua-Toyne, QRS Vigilance, terus memantau pergerakan armada musuh, sebuah perubahan signifikan terdeteksi. Kapal perang IPN Gladius Maximus, yang memimpin armada, memutar haluan dengan perlahan, diikuti oleh kapal lainnya. Sirene yang sebelumnya menggema kini terhenti, meninggalkan kesunyian yang hanya dipecahkan oleh deru mesin kapal. 

Laksamana Tertius Valgard berdiri di jembatan komando Gladius Maximus.Wajahnya terlihat tegang, namun tatapannya tetap tegas. "Kita sudah cukup memberikan pesan." Katanya dengan suara yang nyaris berbisik, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. 

Keputusan itu bukan tanpa alasan. Qua-Toyne, meski tidak memiliki teknologi paling canggih, telah menunjukkan kemampuan bertahan yang tak terduga. Pesawat biplane Qua-Toyne terbang rendah di atas armada Parpaldia, memberikan peringatan visual yang jelas bahwa pertempuran udara bisa segera dimulai jika mereka melangkah lebih jauh. Kapal patroli QRS Vigilance dan beberapa kapal kecil lainnya bahkan telah memblokade rute terdekat menuju perairan Qua-Toyne, menunjukkan tekad yang kuat meskipun mereka berhadapan dengan armada yang jauh lebih profesional. 

Selain itu, tekanan dari pihak lain, seperti diplomat Quila yang aktif mengamati situasi, memberikan tekanan tambahan kepada Parpaldia untuk mundur. 

Di markas besar militer Qua-Toyne, laporan mengenai mundurnya armada Parpaldia disambut dengan kelegaan yang sunyi. 

"Armada mereka mundur." Lapor seorang perwira dengan suara gemetar, meski penuh rasa lega. 

Perdana Menteri Kanata, yang selama ini tetap tenang di tengah perdebatan sengit, menghela napas panjang. "Kita menang tanpa harus menumpahkan darah." Katanya dengan suara rendah namun penuh rasa hormat terhadap rakyat dan militernya. "Tapi ini hanya awal. Mereka akan kembali, dan kali ini kita harus lebih siap." 

Saat armada Parpaldia melintasi batas perairan netral, atmosfer di setiap kapal terasa berat. Laksamana Valgard, yang sebelumnya percaya bahwa kekuatan superior armadanya akan cukup untuk memaksa Qua-Toyne tunduk, kini menyadari kesalahan besar dalam strategi ini. 

"Qua-Toyne bukan lagi negara agraris kecil." Gumamnya pelan kepada wakilnya. "Mereka telah berkembang, dan kita terlalu meremehkan mereka." 

Kapal-kapal Parpaldia kini bergerak dalam formasi ketat, kembali ke pelabuhan utama mereka di utara Rodenius. Di dek kapal Aquila Rex, para awak berdiskusi dengan suara pelan, sebagian menyatakan rasa lega karena tidak ada pertempuran, sementara yang lain merasa marah karena mundur dianggap sebagai kekalahan moral. 

Mundurnya armada Parpaldia ke perairan netral bukanlah akhir dari konflik ini. Qua-Toyne memahami bahwa provokasi ini hanyalah awal dari upaya Kekaisaran Parpaldia untuk menunjukkan dominasi mereka di kawasan Rodenius. 

Di Qua-Toyne, langkah ini menjadi pemicu untuk mempercepat program modernisasi militer mereka. Para pemimpin militer dan sipil sepakat bahwa sistem pertahanan laut harus diperkuat, termasuk pembangunan kapal perang yang lebih besar dan lebih canggih, serta pengembangan angkatan udara untuk memperluas pengawasan wilayah laut mereka. 

Bagi Parpaldia, mundur ke perairan netral adalah langkah yang perlu dilakukan untuk menghindari konflik langsung. Namun, di balik layar, para pemimpin kekaisaran merancang rencana baru, memastikan bahwa ketika mereka kembali, kekuatan mereka akan tak tertandingi. 

Saat malam tiba, perairan Qua-Toyne kembali tenang. Para pelaut dari kapal patroli QRS Vigilance yang sempat berjaga siang dan malam akhirnya bisa beristirahat, namun pikiran mereka tetap dipenuhi bayangan kapal perang Parpaldia yang besar dan angkuh. 

Di pusat kota Qua-Toyne, rakyat menyambut berita kemenangan tanpa perang dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu, bayangan Kekaisaran Parpaldia masih membayangi mereka dari utara, dan kedamaian ini mungkin hanya sementara. 

Namun untuk malam itu, mereka bersyukur atas keberanian militer mereka dan strategi kepemimpinan yang berhasil mencegah tragedi yang lebih besar. 

Pada awal tahun 1642, Kerajaan Quila, di bawah kepemimpinan Raja Aldros VII, mulai mempertimbangkan langkah strategis untuk merespons tindakan Kekaisaran Parpaldia yang semakin agresif di wilayah Rodenius. Dalam dua tahun terakhir, Parpaldia sangat bergantung pada minyak dari Quila, dengan hampir 40 persen kebutuhan energinya berasal dari ladang minyak kaya di barat Quila. Namun, dewan kerajaan mulai menyadari bahwa keuntungan ekonomi ini memiliki risiko besar: mereka secara tidak langsung memperkuat mesin perang Parpaldia. 

Pada pertengahan Februari, Dewan Kebijakan Kerajaan Quila mengadakan pertemuan darurat di Istana Agung Trogata. Bangunan megah dengan dinding marmer putih itu menjadi saksi bisu diskusi yang akan mengubah dinamika geopolitik Rodenius. 

"Parpaldia telah menjadi ancaman nyata." Ujar Perdana Menteri Lord Tharion, suaranya tegas namun penuh kehati-hatian. "Mereka menggunakan kekayaan dari minyak kita untuk memperkuat armada mereka, dan kini mereka berani memprovokasi Qua-Toyne. Jika mereka terus seperti ini, tidak lama lagi mereka akan mengalihkan perhatian mereka kepada kita." 

"Namun, jika kita menghentikan ekspor minyak secara tiba-tiba, mereka akan merasa terpojok." Jawab Duke Elveran, Menteri Perdagangan. "Mereka memiliki sejarah merespons provokasi dengan kekuatan militer. Kita harus mengambil langkah yang bijak, namun tegas." 

Raja Aldros VII, yang dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana namun berani, akhirnya angkat bicara. "Quila tidak akan menjadi alat bagi Parpaldia untuk menyebarkan kehancuran. Kita akan mulai mengurangi pasokan mereka, namun secara perlahan. Kita harus memastikan bahwa ini tidak hanya menjadi langkah ekonomi, tetapi juga pesan yang jelas bahwa Quila tidak akan tunduk." 

Keputusan pun diambil. Kerajaan Quila akan memberlakukan kebijakan pengurangan ekspor minyak secara bertahap, dimulai dengan kenaikan harga yang signifikan. Pada Maret 1642, harga minyak Quila untuk Parpaldia naik hampir dua kali lipat. Alasan resmi yang diberikan adalah gangguan logistik dan kebutuhan domestik yang meningkat. 

Langkah berikutnya adalah secara perlahan menurunkan jumlah minyak yang diekspor. Dalam waktu tiga bulan, ekspor minyak ke Parpaldia berkurang sebesar 20 persen, cukup untuk menciptakan tekanan ekonomi tanpa memicu perang langsung. 

Di Kekaisaran Parpaldia, dampaknya langsung terasa. Harga bahan bakar melonjak, dan tekanan mulai dirasakan oleh industri dan militer. Para Pedagang dan Industrialis di Ibu Kota kekaisaran, Esthirant, mulai mengeluhkan kebijakan ini kepada kaisar. 

Kaisar Ludius, yang terkenal dengan sifat ambisiusnya, memandang tindakan ini sebagai penghinaan. "Quila telah meremehkan kita." Ujarnya dengan nada marah kepada penasihatnya. "Mereka lupa bahwa kita adalah kekaisaran besar. Jika mereka terus memotong pasokan minyak, kita akan mencari cara untuk memaksa mereka tunduk." 

Namun, ancaman itu tidak mudah diwujudkan. Alternatif sumber minyak sulit ditemukan, dan memulai konflik langsung dengan Quila akan membutuhkan sumber daya yang lebih besar dari yang dimiliki Parpaldia saat itu. 

Sementara itu, di dalam Kerajaan Quila, kebijakan ini menjadi kebanggaan nasional. Rakyat melihat langkah ini sebagai bukti keberanian kerajaan dalam menghadapi kekuatan besar seperti Parpaldia. Namun, ada juga kekhawatiran di kalangan bangsawan dan pedagang, terutama karena pendapatan dari ekspor minyak mulai menurun. 

Raja Aldros VII mencoba menenangkan rakyatnya dengan janji bahwa pendapatan yang hilang akan digantikan melalui diversifikasi ekonomi. Ia mendorong peningkatan ekspor produk agrikultur dan teknologi, serta memperkuat hubungan dagang dengan Qua-Toyne dan negara-negara kecil di sekitar Rodenius. 

Embargo minyak ini bukan hanya langkah ekonomi, tetapi juga pernyataan politik yang tegas. Quila, yang sebelumnya dikenal sebagai kerajaan damai dan pragmatis, kini menunjukkan taringnya. 

Namun, bayangan konflik tetap membayangi. Parpaldia, yang terpojok secara ekonomi, mulai mencari cara untuk membalas. Dengan Qua-Toyne yang memperkuat militernya dan Parpaldia yang semakin frustrasi, kawasan Rodenius tampaknya menuju krisis besar. 

Kerajaan Quila, meskipun berdiri teguh, berada di persimpangan jalan. Apakah mereka akan terus menantang Parpaldia, atau mencari solusi diplomatik sebelum semuanya terlambat? Di bawah cahaya purnama yang menghiasi langit Trogata, Raja Aldros VII merenung. Sebagai pemimpin, ia tahu bahwa setiap langkah yang diambil dapat menentukan nasib kerajaannya dan seluruh Rodenius.

Pada tahun 1642, kurang lebih beginilah bentuk Militer Kerajaan Qua-Toyne dan Kerajaan Quila.

Angkatan Darat.
1. Total Prajurit Aktif: 100.000.
   - Divisi Infanteri: 8 Divisi (~80.000 prajurit) 
   - Divisi Mekanis: 2 Divisi (~20.000 prajurit)

2. Alutsista Utama:
   - Tank medium, NFL-32: ~200 unit.
   - Artileri Lapangan: ~500 unit.
     Campuran antara howitzer ringan dan sedang.
   - Truk Militer: ~800 unit untuk transportasi pasukan dan logistik.

3. Senjata Infanteri:
   - Standar senapan: M16A1 (hasil bantuan Indonesia). 
   - Senjata pendukung: Bren Gun (senapan mesin ringan), Mortir Ringan (81mm). 

Angkatan Udara:
1. Total Personel:5.000.

2. Pesawat:
   - Biplane Tempur: ~100 unit.  - Pesawat Pembom Ringan:~20 unit  
   - Pesawat Transportasi: ~10 unit (lisensi desain Douglas C-47).

Kerajaan Quila.
Kerajaan Quila mengikuti pendekatan yang lebih mirip dengan Uni Soviet, dengan menekankan kuantitas dan produksi massal. Meski teknologi mereka belum sebaik Qua-Toyne, mereka memiliki jumlah yang lebih besar.

Angkatan Darat:
1. Total Prajurit Aktif: 150.000 
   - Divisi Infanteri: 10 Divisi (~120.000 prajurit). 
   - Divisi Mekanis: 3 Divisi (~30.000 prajurit). 

2. Alutsista Utama:
   - Tank Medium: ~300 unit.
   - Tank Ringan: ~500 unit.
   - Artileri Lapangan: ~800 unit.
   - Campuran howitzer berat dan mortir.
   - Kendaraan Lapis Baja: ~200 unit.

3. Senjata Infanteri:
   - Standar senapan: FN FAL (lisensi produksi lokal). 
   - Senjata pendukung: PKM (senapan mesin berat), RPG-2 (anti-tank).

Angkatan Udara:

1. Total Personel: 7.000 

2. Pesawat:
   - Biplane Tempur: ~150 unit. 
   - Pesawat Pembom Ringan: ~30 unit.
   - Pesawat Transportasi: ~15 unit (desain sederhana, adaptasi lokal).

Perbandingan Strategis:
1. Qua-Toyne:
   - Kekuatan pada kualitas pasukan dan teknologi. 
   - Infrastruktur militer lebih maju, terutama dalam komunikasi dan logistik. 
   - Namun, jumlah pasukan dan alutsista mereka kalah dibanding Quila. 

2. Quila:
   - Memiliki jumlah personel dan peralatan yang lebih besar, cocok untuk perang skala besar. 
   - Namun, teknologi mereka sedikit tertinggal dibandingkan Qua-Toyne, dengan ketergantungan pada desain sederhana. 

Meskipun baru tiga tahun setelah modernisasi, kedua kerajaan ini telah berhasil menciptakan kekuatan militer yang cukup signifikan untuk mempertahankan wilayah mereka dan menjaga pengaruh di Benua Rodenius. Qua-Toyne unggul dalam teknologi dan profesionalisme, sementara Quila memanfaatkan kekuatan massal untuk menunjukkan dominasinya.

Tahun 1642, di tengah masa transisi politik dan ekonomi yang rapuh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) mendeteksi sesuatu yang mengusik keheningan orbit di atas wilayah Indonesia. Sebuah objek, berukuran kecil namun penuh misteri, melintasi orbit geostasioner tepat di atas Nusantara. Analisis awal menunjukkan bahwa ini adalah sebuah satelit pengintai—bukan milik Indonesia, dan bukan bagian dari aliansi mana pun yang memiliki hubungan baik dengan republik tersebut. 

"Ini bukan kebetulan." Ujar Direktur LAPAN dalam briefing darurat di Neo-Surabaya. "Satelit ini berada pada orbit yang terlalu strategis untuk dianggap tak sengaja. Mereka mengawasi kita." 

Presiden Anna menerima laporan itu di ruang kerja pribadinya. Di bawah sinar lampu yang redup, laporan dari LAPAN dan TNI-AU terpampang di layar holografis di depannya.

"Kita tidak bisa membiarkan ini terjadi," kata Anna dengan suara dingin. Dia berjalan ke jendela besar yang menghadap ke kota Surabaya yang menjadi Ibukota sementara sampai Neo-Jakarta dapat dihuni kembali, tangannya mengepal erat. "Mereka pikir bisa mengawasi kita tanpa konsekuensi. Ini adalah pelanggaran terhadap kedaulatan kita." 

Setelah beberapa saat hening, Anna berbalik dan memberikan perintah yang akan membuat sejarah. "Hubungi TNI-AU. Siapkan F-55 Jalak. Kita akan menjatuhkan mereka dari langit."

F-55 Jalak, jet tempur generasi 6+ yang dirancang dan diproduksi sepenuhnya oleh Indonesia, adalah puncak dari teknologi militer Nusantara. Cepat, tangkas, dan mematikan, Jalak telah menjadi simbol kebanggaan dan kekuatan Indonesia di dunia baru ini. Namun, malam ini, ia akan menjalankan misi yang belum pernah dilakukan sebelumnya di dunia ini: menghancurkan satelit di orbit. 

Misil "Satellite Killer" atau yang dikenal sebagai SATR-X1, adalah hasil pengembangan rahasia. Dengan hulu ledak kinetik yang dirancang untuk menghancurkan target di ruang angkasa tanpa menghasilkan puing-puing yang terlalu banyak, SATR-X1 adalah jawaban Indonesia untuk ancaman orbital. 

Di pangkalan udara Andalas, dua F-55 Jalak lepas landas di bawah kegelapan malam. Mesin mereka menderu seperti petir, membelah udara yang dingin. Pilot utama, Mayor Agus Prakoso, mendengar perintah langsung dari komando pusat. 

"Target berada di koordinat yang sudah diberikan. Lock-on, dan hancurkan." Suara dingin seorang perwira terdengar di saluran komunikasi. 

Ketika Jalak mencapai ketinggian optimal, radar onboard mengunci targetnya: satelit Parpaldia yang melayang tanpa suara di atas lautan Nusantara. 

"Target terkunci." Lapor Mayor Agus. Ia merasakan adrenalin memuncak. Menekan tombol pelepasan, misil SATR-X1 meluncur keluar dari pesawat, melesat menuju langit seperti bintang jatuh terbalik. 

Beberapa detik kemudian, SATR-X1 menghantam targetnya dengan presisi sempurna. Sebuah kilatan terang terlihat di langit malam, seperti kembang api yang tidak dirayakan. Satelit itu pecah menjadi serpihan kecil, sebagian besar terbakar saat kembali memasuki atmosfer. 

Di ruang kontrol LAPAN, tepuk tangan membahana. "Sukses! Satelit musuh telah dihancurkan." Lapor seorang teknisi dengan nada lega. 

Namun, Presiden Anna tidak tersenyum. Dia menatap layar holografis di ruang kerjanya, di mana gambar satelit yang meledak ditampilkan secara real-time. "Ini baru permulaan," katanya pelan. "Mereka ingin mengawasi kita? Biarkan ini menjadi peringatan bahwa kita tidak akan tunduk." 

...
......

Jauh di utara, di sebuah istana megah yang terbuat dari marmer putih dan kristal, seorang Elf berusia ratusan tahun duduk di depan layar holografis. Gambar-gambar satelit mereka yang meledak ditampilkan dalam waktu nyata.

"Bangsa baru ini..." Katanya perlahan, suaranya bergetar antara kemarahan dan rasa ingin tahu. "Mereka menghancurkan satelit kita seperti itu? Tanpa rasa takut?"

Para penasihat Kekaisaran berkumpul dalam kepanikan. Salah satu dari mereka, seorang manusia dengan jubah berwarna biru tua, berbicara dengan nada mendesak. "Yang Mulia, mereka jelas memiliki teknologi yang melampaui pemahaman kita tentang negara-negara di sekitar Rodenius. Mereka harus diawasi lebih lanjut. Tetapi... apakah kita harus langsung membalas?"

Di atas takhta emas yang dihiasi permata, Kaisar Milishial, seorang Elf pria dengan rambut perak dan mata tajam penuh wibawa, duduk dengan tenang. Jubah ungunya yang melambangkan kekuasaan tampak kontras dengan ekspresi wajahnya yang mendalam. Ketika laporan terakhir selesai dibacakan, keheningan menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada sang kaisar, menunggu reaksinya. 

"Membalas?" Kaisar Milishial akhirnya berbicara, suaranya dalam dan resonan seperti denting lonceng kuno. "Apa maksudmu? Ini berita bagus!" 

Hening seketika menyelimuti ruangan. Para penasihat saling bertukar pandang, bingung oleh tanggapan kaisar yang tampaknya tidak sesuai dengan situasi. 

Kaisar tersenyum tipis, lalu berdiri dari singgasananya. "Artinya, ada negara yang memiliki kemampuan menyerupai atau bahkan setara dengan kita! Kalian tidak melihat potensi besar ini? Peluang kita untuk menang melawan Ravernal dalam tahun-tahun mendatang akan semakin tinggi!"

Gelak tawa bahagia Kaisar menggema di ruang itu, tapi bukan kebahagiaan yang meredakan ketegangan. Justru, tawa itu terasa menakutkan bagi sebagian besar yang hadir, terutama bagi mereka yang lebih mengutamakan stabilitas dan kehati-hatian. 

"Yang Mulia." Seorang penasihat memberanikan diri berbicara. "Namun, kita juga harus mempertimbangkan kemungkinan ancaman. Republik Indonesia ini jelas memiliki teknologi militer yang tak biasa. Mereka menembak jatuh satelit kita—teknologi yang hanya kita negara di dunia ini yang mampu melakukannya."

"Ah, ancaman, katamu?" Kaisar menatap pria itu dengan sorot tajam, membuatnya mundur setengah langkah. "Justru inilah peluang! Jika mereka mampu menghancurkan satelit kita, itu berarti mereka mungkin memahami nilai teknologi yang setara dengan kita. Tapi ingatlah, Mirishial tidak berdiri di puncak dunia ini dengan rasa takut! Kita harus merangkul tantangan ini."

...
.....

Malam itu, Kaisar berdiri sendirian di balkon pribadinya, memandang ke bintang-bintang. Ia mendengar suara angin yang berbisik di antara pilar-pilar marmer. 

"Indonesia." Gumamnya pelan, hampir seperti doa. "Apakah kalian sekutu yang dikirim oleh takdir, atau ujian yang harus kami lewati? Hanya waktu yang akan menjawab."

Angin malam membawa gema tawa sang kaisar yang tadi siang, namun kini tawa itu terasa lebih sendu, seolah-olah mencerminkan kegelisahan yang ia sembunyikan di dalam hati. Dunia ini, dengan segala misterinya, sedang bergerak ke arah yang tak terduga. 

Di kejauhan, sebuah bintang meluncur melintasi langit—mungkin hanya komet biasa, atau mungkin simbol dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan mengubah jalannya sejarah dunia baru ini.

TBC.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip