Final Chapter

Awal tahun 1648 di Dunia Baru menjadi saksi munculnya konflik yang semakin memanas, melebihi batas perang konvensional. Pengungkapan bahwa Indonesia, melalui tangan dingin Presiden Anna, telah mengendalikan Sindikat dan menguasai fasilitas senjata nuklir Kekaisaran Suci Mirishial menjadi pukulan telak bagi dunia.

Rasa takut menjalar di seluruh penjuru Dunia Baru. Dari istana kekaisaran Mirishial hingga balai penguasa Kerajaan Mu dan istana megah Parpaldia, pertemuan-pertemuan darurat digelar untuk merancang langkah balasan. Mereka tidak bisa membiarkan Indonesia tetap menjadi ancaman global yang tak terkendali.

Namun, upaya apapun terasa pincang. Selama Sindikat tetap menguasai fasilitas nuklir Mirishial, dunia berada dalam ancaman kehancuran. Pasukan ekspedisi gabungan dibentuk dengan Mirishial sebagai pemimpin utama, didukung oleh Kerajaan Mu, Kekaisaran Parpaldia, dan aliansi kecil lainnya.

Operasi pembebasan fasilitas nuklir dimulai pada awal Februari 1648. Pangkalan nuklir Mirishial tersebar di berbagai lokasi strategis, mulai dari lembah bersalju hingga pegunungan berbatu. Pasukan ekspedisi gabungan tiba dengan keyakinan bahwa mereka bisa merebut kembali kendali tanpa melibatkan konflik besar-besaran. Namun, kenyataan di lapangan jauh berbeda.

Di lembah Arkaris yang luas, pangkalan nuklir utama Mirishial dikelilingi oleh medan yang sulit dilalui. Tank Vajra, kendaraan tempur utama buatan Indonesia yang disumbangkan oleh Presiden Anna kepada Sindikat, berjajar rapi di sekitar pangkalan. Senjata berat dan sistem pertahanan canggih telah diposisikan dengan sempurna.

Ketika pasukan Mirishial mencoba mendekati area tersebut, mereka langsung disambut dengan hujan tembakan presisi dari tank-tank Vajra. Serangan itu menghancurkan kendaraan-kendaraan tempur Mirishial dalam hitungan menit.

"Serang sisi timur!" Teriak seorang komandan Mirishial.

Namun, upaya itu sia-sia. Tank Vajra, dengan pelindung baja dan teknologi senjata termutakhir, membungkam pergerakan pasukan darat Mirishial.

Di sisi lain, para prajurit Sindikat bertempur dengan semangat yang tak tertandingi. Mereka seperti makhluk tanpa jiwa, bertarung dengan brutal, tak peduli berapa banyak peluru yang menghujam tubuh mereka. Pasukan gabungan mulai kehilangan kepercayaan diri.

"Kapten! Kita tidak bisa melanjutkan serangan ini! Pasukan kita terjebak!"

"Mundur?!" Bentak sang kapten. "Jika kita mundur, dunia akan hancur! Lanjutkan serangan!"

Namun, perintah itu hanya menjadi bukti lebih lanjut dari ketidakberdayaan pasukan gabungan.

Di markas utama pasukan gabungan, para pemimpin Mirishial, Mu, dan Parpaldia mempelajari situasi dengan cemas.

"Tank-tank Vajra ini melampaui ekspektasi kita." Kata seorang jenderal Mirishial. "Bahkan kendaraan tempur terbaik kita pun tak sanggup melawan mereka."

"Dan Sindikat." Tambah seorang jenderal dari Mu. "Mereka bertarung seperti tak punya rasa takut. Mereka bahkan tidak mundur ketika terluka parah."

Rencana baru disusun untuk melancarkan serangan kedua dengan strategi yang lebih terfokus. Pasukan udara Mirishial mengirimkan skuadron-skuadron pesawat pengebom untuk menghancurkan pertahanan Sindikat. Namun, Sindikat telah menyiapkan sistem anti-udara yang canggih. Pesawat-pesawat pengebom itu jatuh satu per satu sebelum mereka bisa mendekati pangkalan.

Sementara itu, di garis depan, tank-tank Vajra terus membuktikan diri sebagai momok yang tak terhentikan. Dengan persenjataan yang jauh lebih canggih daripada tank-tank Mirishial, mereka menghancurkan barisan demi barisan pasukan darat.

"Tank-tank kita tidak efektif!" teriak seorang komandan Mirishial.

"Kita tidak punya pilihan lain!" jawab bawahannya. "Jika kita mundur, fasilitas nuklir itu tetap berada di tangan Sindikat!"

Namun, kenyataan pahit tetap tidak bisa dihindari. Setiap serangan hanya membawa lebih banyak korban, sementara Sindikat terus bertahan dengan kekuatan penuh.

Di luar medan perang, dunia menyaksikan konflik ini dengan rasa takut dan frustrasi. Media di setiap negara menyiarkan gambar-gambar mengerikan dari pertempuran di sekitar fasilitas nuklir Mirishial. Korban tewas dari pasukan gabungan terus meningkat, sementara Sindikat tetap tak tergoyahkan.

Di ibukota Parpaldia, seorang rakyat jelata yang melihat berita di layar besar kota berkata dengan getir. "Apakah ini akhir dari dunia? Jika tempat itu meledak, tidak ada yang akan selamat."

Namun, bagi Presiden Anna, ini semua adalah bagian dari rencananya. Dari ruang kendalinya di Neo-Jakarta, ia menyaksikan perkembangan perang dengan senyuman tipis. Baginya, setiap korban, setiap kehancuran, adalah bagian dari narasi besar yang akan mengukuhkan Indonesia sebagai kekuatan yang tak tergoyahkan di Dunia Baru.

Ketika bulan Maret 1648 tiba, pasukan gabungan melancarkan serangan terakhir mereka. Dengan kekuatan penuh, mereka mencoba merebut kembali fasilitas nuklir utama di Arkaris. Namun, seperti sebelumnya, Sindikat tidak memberikan celah sedikit pun.

Di bawah komando rahasia Anna, tank-tank Vajra terus menghancurkan setiap upaya pasukan gabungan. Di medan yang penuh dengan asap dan api, para prajurit Mirishial dan Mu bertempur mati-matian, hanya untuk menyaksikan teman-teman mereka jatuh satu per satu.

Ketika malam tiba, pertempuran di sekitar Arkaris mencapai puncaknya. Namun, seperti malam-malam sebelumnya, pasukan gabungan gagal merebut kendali.

"Lapor!" Kata seorang komandan Mirishial melalui radio. "Kami kehilangan separuh pasukan kami. Tank Vajra masih mendominasi. Kami butuh perintah selanjutnya."

Tidak ada jawaban. Di markas utama, para pemimpin gabungan terdiam. Mereka tahu bahwa mereka sedang berhadapan dengan kekuatan yang jauh melampaui pemahaman mereka.

Ketika pertempuran berhenti sejenak untuk memberikan ruang bagi kedua belah pihak memperkuat barisan mereka, dunia mulai menyadari bahwa konflik ini bukan sekadar tentang fasilitas nuklir. Ini adalah simbol dari perubahan besar yang sedang melanda Dunia Baru.

Indonesia, melalui tangan Anna dan Sindikat, telah menciptakan ketakutan global yang belum pernah terjadi sebelumnya. Pasukan gabungan, meskipun memiliki kekuatan besar, terus menghadapi tembok yang tak tertembus.

Namun, di balik semua kehancuran ini, satu hal menjadi jelas: Dunia Baru tidak akan pernah sama lagi. Dengan setiap hari yang berlalu, bayang-bayang kehancuran total semakin mendekat, dan hanya waktu yang akan menentukan siapa yang akan bertahan dalam perang tanpa akhir ini.

Pada awal tahun 1648, kekuatan besar Kekaisaran Gra Valkas mengalihkan perhatian dunia dengan memobilisasi salah satu armada laut terbesarnya untuk menyerang Indonesia. Armada ini terdiri dari lebih dari 200 kapal perang, termasuk battleship kelas berat, destroyer, cruiser, kapal selam, dan kapal logistik. Dipimpin langsung oleh Laksamana Caesar, seorang ahli strategi yang dihormati, armada ini bertolak dari pelabuhan utama Gra Valkas dengan tujuan menginvasi Indonesia yang saat itu dikecam dunia.

Teknologi Gra Valkas memang tertinggal, menyerupai era tahun 1970-an di Bumi, tetapi kuantitas dan pengalaman kru mereka menjadi keunggulan utama. Sementara itu, Indonesia yang berasal dari masa depan (tahun 2100+) memiliki kapal-kapal canggih dengan senjata laser dan railgun. Namun, kemampuan ini diuji karena mayoritas kru Angkatan Laut Indonesia adalah prajurit baru yang minim pengalaman dalam pertempuran laut skala besar.

Pada tanggal April, ketika armada Gra Valkas mendekati perairan timur Indonesia di sekitar Kepulauan Solomon, mereka disambut oleh armada Indonesia yang terdiri dari 50 kapal, termasuk KRI Ahmad Yani, battleship kelas Iowa yang telah dimodifikasi dengan teknologi futuristik, dan KRI Kutai, kapal induk super dengan drone tempur canggih.

Pertempuran dimulai dengan serangan mendadak dari pihak Indonesia. Rudal hipersonik ditembakkan dari destroyer Indonesia, menghantam kapal logistik Gra Valkas yang berada di belakang formasi. Ledakan besar mengguncang lautan, menghancurkan suplai bahan bakar dan amunisi mereka.

Dari bawah laut, kapal selam nuklir Indonesia menyerang kapal-kapal logistik dan transportasi Gra Valkas. Torpedo berpemandu presisi menghantam lambung kapal-kapal tersebut, mengurangi mobilitas armada Gra Valkas secara signifikan.

Namun, Gra Valkas segera merespons. Kapal-kapal battleship mereka mulai membombardir posisi armada Indonesia dengan salvo meriam kaliber besar. Meski teknologi mereka tertinggal, volume tembakan yang luar biasa menciptakan gelombang serangan yang sulit diatasi oleh kapal-kapal Indonesia.

Meskipun teknologi Indonesia jauh lebih canggih, permasalahan internal mulai muncul di tengah pertempuran. Sistem senjata canggih pada destroyer Indonesia mengalami overheat akibat penggunaan terus-menerus tanpa jeda. Beberapa railgun gagal berfungsi, sementara sistem laser kehilangan akurasi karena kerusakan pada sensor optik akibat tembakan musuh.

Selain itu, banyak kru Indonesia yang kurang berpengalaman panik ketika diserang balik oleh kapal-kapal Gra Valkas. Mereka tidak terbiasa menghadapi taktik serangan masif seperti itu, yang mengakibatkan manuver kapal menjadi tidak efektif. Beberapa destroyer Indonesia, meskipun dilengkapi dengan teknologi mutakhir, tenggelam setelah ditembak oleh salvo terkoordinasi dari cruiser dan battleship Gra Valkas.

KRI Kutai, meskipun dilengkapi dengan drone tempur dan pesawat tempur yang efektif, mengalami kerusakan pada sistem komunikasi akibat gangguan elektronik dari serangan Gra Valkas. Hal ini membuat pengendalian drone menjadi kacau, dan beberapa drone serta F-55 Jalak jatuh tanpa sempat memberikan dampak signifikan.

Grade Atlastar, kapal bendera armada Gra Valkas, menjadi pusat komando yang mengoordinasikan serangan. Dengan meriam besar dan ketahanan yang luar biasa, battleship ini memimpin serangan langsung ke KRI Ahmad Yani.

Meskipun KRI Ahmad Yani memiliki perisai energi yang mampu menahan beberapa tembakan, sistem perlindungan tersebut akhirnya runtuh setelah dihantam salvo bertubi-tubi dari Grade Atlastar dan kapal-kapal battleship lainnya. Railgun pada KRI Ahmad Yani berhasil menenggelamkan satu battleship Gra Valkas, tetapi kerusakan besar pada lambung kapal membuatnya kehilangan kemampuan manuver.

KRI Ahmad Yani, simbol kekuatan Angkatan Laut Indonesia, akhirnya tenggelam setelah ledakan besar melumat ruang mesin kapal tersebut. Para kru yang selamat terpaksa dievakuasi oleh kapal-kapal lain di tengah hujan tembakan musuh.

Di sisi lain, KRI Kutai menjadi target utama serangan udara Gra Valkas. Meskipun kapal induk ini dilengkapi dengan sistem pertahanan anti-udara mutakhir, serangan terus-menerus dari pesawat tempur musuh, yang jumlahnya jauh lebih banyak, menyebabkan kerusakan besar pada dek penerbangan dan ruang mesin.

Upaya kru untuk mempertahankan kapal akhirnya sia-sia. Sebuah torpedo dari kapal selam Gra Valkas menghantam lambung KRI Kutai, menciptakan ledakan dahsyat yang memecah kapal menjadi dua bagian. Kapal induk super ini akhirnya tenggelam ke dasar laut, membawa serta banyak kru yang tidak sempat dievakuasi.

Meski kehilangan KRI Ahmad Yani, KRI Kutai, dan banyak destroyer, Indonesia berhasil memukul mundur armada Gra Valkas. Kapal-kapal selam Indonesia memainkan peran penting dalam menghancurkan logistik dan kapal-kapal utama musuh. Teknologi rudal hipersonik dan railgun juga berhasil menenggelamkan sebagian besar battleship Gra Valkas.

Grade Atlastar, meskipun mengalami kerusakan berat, berhasil mundur bersama sekitar 30 kapal yang tersisa. Laksamana Caesar, dengan raut wajah penuh kelelahan, mengakui kekalahan armadanya.

"Kita meremehkan mereka." Katanya kepada stafnya. "Meskipun mereka menderita kerugian besar, kita tidak bisa mengabaikan teknologi mereka. Ini adalah pelajaran yang harus kita ingat."

Di pihak Indonesia, kemenangan ini dirayakan dengan perasaan campur aduk. Presiden Anna, dalam pidatonya, menyebut kemenangan ini sebagai simbol keberanian bangsa, tetapi tidak mengabaikan kerugian besar yang diderita.

"Pertempuran ini membuktikan bahwa kita tidak akan pernah menyerah, apa pun yang terjadi." Ucap Anna di hadapan rakyatnya. "Namun, kita juga harus belajar dari apa yang telah terjadi. Kita harus bersatu untuk memastikan bahwa bangsa ini tetap berdiri tegak."

Kemenangan ini tidak mengakhiri ancaman dari Gra Valkas. Kekaisaran tersebut, dengan rasa malu dan dendam, mulai merencanakan serangan balasan yang lebih besar. Di sisi lain, Indonesia harus menghadapi kenyataan bahwa meskipun teknologinya unggul, kerugian besar dalam pertempuran ini menunjukkan kelemahan dalam persiapan dan pelatihan militernya.

Langit di atas perairan timur Indonesia kini dipenuhi oleh sisa-sisa pertempuran: bangkai kapal, pecahan rudal, dan tumpahan minyak. Namun, di balik kehancuran tersebut, bayang-bayang perang yang lebih besar mulai menyelimuti dunia. Indonesia dan Gra Valkas, dua kekuatan besar dari masa yang berbeda, kini bersiap untuk menghadapi babak berikutnya dalam konflik yang tampaknya tidak akan pernah berakhir.

Kekalahan Gra Valkas di perairan timur Indonesia mengejutkan dunia, termasuk Kerajaan Parpaldia, yang selama ini memandang Indonesia sebagai ancaman besar. Dorongan dari Kekaisaran Mirishial dan keinginan untuk menunjukkan kekuatan mereka di tengah konflik global mendorong Parpaldia untuk mengerahkan armada lautnya ke perairan barat Indonesia.

Teknologi Parpaldia tidak terlalu maju jikalau dibandingkan dengan Indonesia atau bahkan Gra Valkas, tapi mereka menang dalam hal jumlah. Mereka menggunakan kapal perang bertipe dreadnought, kapal penjelajah berbahan besi, kapal perusak kecil, dan beberapa kapal logistik. Walaupun mereka tidak memiliki kapal selam atau pesawat tempur, keyakinan pada keunggulan jumlah dan pengalaman mereka membuat armada ini penuh percaya diri.

Di sisi lain, Indonesia telah memantau gerakan Parpaldia melalui jaringan satelit dan drone pengintai. Presiden Anna, yang memimpin dengan tangan besi, memerintahkan Angkatan Laut Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan di perairan Sumatra. Apapun yang terjadi dan apapun harganya.

Pada tanggal 20 April 1648, armada Parpaldia, yang terdiri dari 250 kapal perang, memasuki perairan Sumatra. Kapal-kapal dreadnought mereka, memimpin barisan tempur, dengan meriam kaliber besar yang siap menghancurkan apa pun yang ada di hadapan mereka.

Namun, tidak jauh dari sana, di garis pantai Sumatra dan Selat Malaka, ratusan baterai rudal anti-kapal Indonesia sudah disiapkan. Rudal Harpoon II, Rudal Exocet Blok 5, dan sistem misil darat-ke-laut berbasis C-705 yang direstorasi secara cepat mendengar ancaman laut yang makin banyak, siap mengunci target.

Ketika armada Parpaldia mendekati jarak serangan, rudal-rudal Indonesia dilepaskan. Gelombang pertama rudal terbang dengan kecepatan tinggi, meninggalkan jejak api di langit dan menghantam kapal-kapal terdepan armada musuh.

Dreadnought IPS Indolatria, yang menjadi kapal andalan, terkena tiga rudal di lambungnya. Ledakan dahsyat menggema di perairan, melemparkan pecahan logam ke segala arah. Meskipun kapal itu tidak langsung tenggelam, kebakaran hebat mulai melahap dek utamanya.

Kapal-kapal perang Parpaldia mencoba membalas serangan rudal tersebut dengan tembakan artileri mereka. Meriam besar mereka melepaskan proyektil ke arah pantai Sumatra, tetapi tanpa sistem pemandu modern, tembakan mereka melenceng jauh dari target.

Kapal-kapal penjelajah mereka, yang lebih ringan dan cepat, mencoba mendekati pantai untuk memberikan serangan yang lebih terarah. Namun, sistem rudal pantai TNI-AD yang tersembunyi di bunker bawah tanah terus menghujani mereka dengan rudal presisi.

IPS Martelion, dreadnought kedua Parpaldia, menjadi korban berikutnya. Rudal Indonesia menghantam gudang amunisi di kapal itu, menyebabkan ledakan besar yang membelah kapal menjadi dua bagian. Puing-puingnya perlahan tenggelam ke dasar laut, bersama ratusan pelaut yang tidak sempat menyelamatkan diri.

Sementara itu, di bawah laut, kapal selam nuklir Indonesia, termasuk KRI Nagapasa dan KRI Cakra, mulai bergerak mendekati formasi kapal logistik Parpaldia. Kapal logistik ini menjadi target utama karena membawa suplai amunisi dan bahan bakar untuk armada.

Dengan torpedo berpemandu presisi, kapal selam Indonesia menghancurkan dua kapal logistik utama. Ledakan dari bahan bakar yang terbakar menyulut api besar di lautan, mengubah perairan menjadi neraka cair.

Kapal-kapal kecil Parpaldia mencoba menyerang balik dengan depth charge primitif mereka, tetapi teknologi mereka terlalu usang untuk mendeteksi keberadaan kapal selam modern Indonesia. Atau bahkan mereka tidak sadar akan kehadiran dua kapal Selam nuklir ini.

Serangan dari darat dan laut sudah cukup untuk membuat armada Parpaldia terpecah-pecah. Namun, TNI-AU, melalui pesawat drone tempur yang diluncurkan dari kapal perang dan pangkalan udara di Sumatra, memberikan pukulan terakhir.

Drone bersenjata meluncurkan roket presisi ke kapal-kapal Parpaldia yang tersisa. Kapal perusak dan penjelajah kecil, yang berusaha melarikan diri, dihancurkan satu per satu.

Sebuah penjelajah besi yang mencoba mundur ke arah laut lepas, dihantam roket di ruang mesinnya. Kapal itu akhirnya berhenti bergerak, menjadi sasaran empuk untuk tembakan berikutnya.

Dari 250 kapal perang yang dikirim oleh Parpaldia, hanya 15 yang berhasil melarikan diri. Kapal-kapal ini melarikan diri dalam keadaan rusak parah, membawa cerita mengerikan tentang teknologi militer Indonesia yang jauh melampaui apa yang bisa mereka bayangkan.

Di sisi Indonesia, pertempuran ini menjadi kemenangan yang signifikan, tetapi juga menyisakan luka. Beberapa peluru meriam Parpaldia yang meleset dari target jatuh di desa-desa kecil di sepanjang pantai, menyebabkan korban sipil yang tidak sedikit. Selain itu, KRI Belitung, sebuah frigate yang ditempatkan di Selat Malaka, tenggelam setelah dihantam peluru meriam dreadnought Parpaldia.

Pertempuran di perairan Sumatra menambah daftar panjang konflik yang melibatkan Indonesia. Kemenangan ini semakin mempertegas posisi Indonesia sebagai kekuatan yang sulit ditaklukkan, tetapi juga semakin memicu kebencian dan ketakutan dari negara-negara lain.

Di Parpaldia, kekalahan ini menjadi pukulan telak bagi reputasi militer mereka. Pemerintah mereka mulai mempertimbangkan untuk menarik diri dari aliansi dengan Mirishial, sementara rakyat Parpaldia memprotes pengiriman pasukan ke "Perang Yang Mustahil Dimenangkan."

Namun, bagi Presiden Anna, kemenangan ini hanyalah salah satu langkah dalam rencana besar yang telah dirancangnya. Dia tahu, dunia tidak akan berhenti mencoba menghancurkan Indonesia. Tetapi dengan teknologi yang terus berkembang dan rakyat yang semakin bersatu, Indonesia akan siap menghadapi apa pun yang datang.

Di Laut Sumatra, puing-puing kapal Parpaldia yang tenggelam menjadi saksi bisu pertempuran ini. Sementara gelombang laut perlahan membawa kembali ketenangan, dunia tahu bahwa badai yang lebih besar masih akan datang.

Pada pagi yang suram tanggal 25 April 1648, Presiden Anna mengumumkan pemberlakuan darurat militer di seluruh wilayah Indonesia. Wajahnya terpancar dari layar-layar holografis dan siaran televisi di seantero negeri. Dengan nada yang penuh wibawa, ia menyampaikan bahwa dunia telah mengkhianati Indonesia, dan negara harus bersiap untuk menghadapi ancaman yang terus membayangi.

"Saudara-saudaraku, kita berada di titik penting dalam sejarah bangsa kita. Dunia tidak lagi menghormati kedaulatan kita. Mereka memandang rendah kita hanya karena kita adalah pendatang dari dunia lain. Kini, saatnya kita menunjukkan bahwa Indonesia adalah bangsa besar yang tidak akan tunduk kepada siapa pun."

Keputusan ini langsung menggerakkan roda militer di semua cabang TNI. Di bawah perintah langsung Presiden Anna, 300 hulu ledak nuklir yang telah direstorasi dalam waktu singkat kini berdiri siap di peluncur-peluncur mereka. Masing-masing hulu ledak memiliki daya ledak setara dengan 10 kali Tsar Bomba, bom nuklir terbesar yang pernah diledakkan di Bumi.

Di fasilitas bawah tanah yang tersembunyi di pulau-pulau terpencil dan bunker-bunker di pegunungan, rudal-rudal balistik interkontinental, mulai aktif. Sistem penguncian dan pengisian bahan bakar berjalan dalam kesunyian yang menegangkan. Para operator, insinyur, dan teknisi bekerja tanpa henti, memastikan bahwa setiap peluncur berada dalam kondisi siap tempur.

Di ruang kendali utama, layar besar menampilkan peta dunia dengan target-target potensial yang sudah dipetakan. Kota-kota besar, fasilitas militer, dan titik strategis di setiap benua terdeteksi dalam sistem otomatis rudal Indonesia. Para perwira tinggi memandang layar dengan mata penuh determinasi.

"Kita tidak akan menyerang dulu." Ujar seorang Jenderal yang cukup muda, salah satu penasihat militer utama Presiden Anna. "Namun, jika mereka menyerang, kita tidak akan ragu untuk membalas dengan kekuatan penuh."

Masyarakat Indonesia, meskipun dilanda kelelahan akibat perang yang terus berlangsung, mulai bersatu di bawah narasi Presiden Anna. Mereka percaya bahwa ini adalah perjuangan terakhir mereka untuk bertahan hidup. Dengan propaganda yang disebarkan secara masif, Anna berhasil membakar semangat nasionalisme rakyatnya, yang kini berdiri mendukung pemerintah tanpa keraguan.

Sementara itu, di sebrang lautan, aliansi besar yang dipimpin oleh Kekaisaran Mirishial mengumumkan mobilisasi militer terbesar dalam sejarah. Pasukan dari berbagai negara, termasuk Mu, Gra Valkas, dan Kerajaan Parpaldia, berkumpul di tanah Parpaldia, yang kini telah disulap menjadi basis militer global.

Di pelabuhan-pelabuhan Parpaldia, kapal-kapal perang dari berbagai negara berjejer rapi. Salah satunya adalah Kapal induk milik Mirishihial, Sol Invictus, komando armada laut aliansi. Kapal ini dikelilingi oleh destroyer modern dari Mirishial, kapal penjelajah dari Gra Valkas, dan beberapa dreadnought yang masih bertahan dari armada Parpaldia.

Di darat, ribuan kendaraan lapis baja bergerak ke barak-barak yang baru dibangun. Tank-tank berat dari Gra Valkas, seperti Panzer VIII, berjejer di lapangan parade, sementara pasukan infanteri dari Mu dan Mirishial mulai berlatih bersama.

Di ruang konferensi militer di ibu kota Parpaldia, para pemimpin aliansi duduk mengelilingi meja besar. Di tengah meja, peta besar Indonesia terpampang, menunjukkan target-target strategis yang akan dihancurkan.

"Kita tidak bisa membiarkan Indonesia terus menebar teror." Ujar Laksamana Magnus dari Kekaisaran Mirishial. "Jika kita tidak bertindak sekarang, dunia ini akan berada di bawah ancaman nuklir selamanya."

Namun, tantangan terbesar mereka adalah 300 hulu ledak nuklir yang dikuasai Indonesia. Meskipun mereka telah merancang strategi untuk menyerang fasilitas-fasilitas tersebut, risiko kehancuran besar tetap menghantui.

Operasi Tempest dirancang sebagai rencana besar untuk menyerang Indonesia. Operasi ini akan dimulai dengan serangan udara besar-besaran menggunakan pesawat tempur generasi kelima milik Mirishial dan Mu, diikuti dengan pendaratan amfibi di beberapa pulau utama.

Dunia kini berada di ujung tanduk. Di satu sisi, Indonesia berdiri sebagai bangsa yang dipersenjatai dengan teknologi futuristik dan senjata nuklir yang siap diluncurkan. Di sisi lain, aliansi global yang dipimpin oleh Mirishial mengerahkan segala sumber daya mereka untuk menggulingkan Indonesia dan mempertahankan diri mereka sebagai putra putri Bumi "Erebea".

Di tengah-tengah konflik ini, rakyat sipil di seluruh dunia menjadi korban ketakutan. Kota-kota besar di berbagai negara mulai menyiapkan bunker perlindungan nuklir. Media internasional memberitakan perkembangan situasi dengan nada cemas, sementara protes anti-perang mulai bermunculan di berbagai tempat.

Pada malam tanggal 28 April, langit di atas Parpaldia dipenuhi oleh suara mesin-mesin perang. Pesawat angkut militer membawa pasukan dan peralatan, sementara kapal-kapal induk mulai bergerak ke arah timur, menuju garis pertempuran.

Di Indonesia, para pemimpin militer bersiap menghadapi invasi yang tampaknya tak terelakkan. Rudal-rudal nuklir tetap berada dalam kondisi siaga, menunggu perintah terakhir dari Presiden Anna.

Dunia kini hanya memiliki dua kemungkinan: kehancuran total atau kemenangan yang penuh pengorbanan. Awan gelap menyelimuti peradaban, sementara jarum waktu terus berdetak menuju bencana yang tak terhindarkan.

..
....
.......

Langit di ujung barat Nusantara kembali menggulung murka. Armada Dunia, hasil kolaborasi berbagai bangsa yang tersatukan oleh satu tujuan-mengakhiri ancaman Indonesia-meluncur dengan langkah berat, seperti hujan badai yang tak terbendung. Gelombang kapal perang dari negara-negara maju dan adidaya menghempas perairan Hindia, membawa janji kehancuran bagi tanah Sumatra.

Namun, di balik barikade dan garis pertahanan yang koyak oleh perang saudara, Indonesia berdiri. Bukan sebagai negara yang takut, melainkan sebagai bangsa yang berjuang. Prajurit, rakyat, dan mesin-semua bersatu untuk mempertahankan tanah yang telah menjadi saksi keberanian tak bertepi.

Hari itu, 1 Mei 1648, pagi datang tanpa matahari. Langit penuh awan kelabu yang menutupi segala kecerahan. Ratusan kapal pendarat milik Armada Dunia bergerak serempak, mengarah ke pantai-pantai Aceh yang masih basah oleh darah pertempuran sebelumnya. Destroyer dan cruiser dunia melindungi mereka, sementara kapal-kapal induk mereka berada di kejauhan, mengirimkan gelombang jet tempur dan drone pengintai.

Namun, Indonesia tidak berdiam diri. F-55 Jalak, burung besi buatan tangan-tangan negeri ini, mengaum di angkasa, seperti elang yang melindungi sarangnya. Rudal-rudal berpemandu melesat dari udara, menghantam kapal-kapal pendarat dengan presisi yang membuat para prajurit dunia merasakan teror. Satu demi satu kapal tenggelam, terbakar hebat, membawa jeritan mereka yang ada di dalamnya ke dasar laut.

Destroyer TNI-AL yang tersisa, seperti KRI Gajah Mada dan KRI Sayuti Melik, bergabung dalam simfoni kehancuran. Railgun mereka menghantam kapal-kapal musuh dari jarak jauh, sementara misil-misil berpemandu mereka meluncur seperti hujan api. Meski sedikit, kapal selam nuklir Indonesia bergerak dengan senyap di bawah laut, menargetkan kapal logistik dan amunisi musuh dengan kejam.

Namun, jumlah Armada Dunia terlalu besar. Kapal-kapal pendarat yang berhasil mencapai pantai mulai menurunkan ribuan pasukan infanteri yang segera menyerbu pantai Aceh. Tanah basah dengan darah, bom, dan ledakan menjadi saksi dari perlawanan pertama Indonesia.

Saat pasukan global melintasi pantai, mereka dikejutkan oleh kemunculan prajurit robot milik Indonesia. Ribuan mesin tempur, lebih mirip bayangan manusia yang tanpa rasa takut, berdiri tegak di hadapan mereka.

Robot-robot itu bukan sekadar teknologi tempur biasa. Mereka dirancang untuk bertahan dan menyerang tanpa ampun. Senapan laser mereka menyala seperti petir, sementara misil-misil mini yang terpasang di tubuh mereka menghancurkan barisan musuh dengan kecepatan yang tidak terbayangkan.

Tidak berhenti di situ, teknologi nano-rekonstruksi memungkinkan robot-robot ini memperbaiki diri di tengah medan perang. Di saat musuh kelelahan, mereka kembali berdiri, tanpa goyah, tanpa gentar. Para prajurit Dunia menganggap mereka sebagai iblis, bukan sekadar mesin.

Namun, meski robot-robot itu tangguh, mereka tidak sempurna. Indonesia telah mempercepat produksi mereka dalam waktu singkat, dan beberapa di antaranya mulai mengalami kerusakan sistemik di tengah medan perang. Dalam beberapa kasus, unit-unit ini berhenti berfungsi, meninggalkan celah bagi pasukan global untuk melanjutkan serangan mereka.

Sementara itu, rakyat Aceh tidak tinggal diam. Dengan senjata sederhana di tangan mereka, mereka berjuang seperti singa yang melindungi anaknya. Mereka menggunakan medan hutan, sungai, dan reruntuhan kota untuk menyerang pasukan global dengan taktik gerilya.

Setiap malam, kelompok-kelompok kecil rakyat menyerang kamp-kamp musuh, menghancurkan logistik dan membunuh para penjaga dengan senjata tradisional maupun improvisasi. "Kami adalah tanah ini, kami adalah darah yang mengalir di sungainya!" Seru seorang pemuda sebelum melancarkan serangan bunuh diri yang menghancurkan tank musuh.

Setelah tiga minggu pertempuran tanpa henti, Armada Dunia akhirnya merebut Aceh. Kota-kota di provinsi itu hancur lebur, dan darah mengalir di jalanannya seperti sungai kecil. Namun, kemenangan ini tidak mudah didapat.

Armada Dunia kehilangan ratusan ribu prajurit dalam pertempuran ini, termasuk lebih dari sepertiga kekuatan laut mereka. Tank-tank mereka hancur, kapal-kapal pendarat mereka tenggelam, dan jet-jet tempur mereka ditembak jatuh oleh rudal-rudal Nusantara.

Indonesia kehilangan Aceh, tetapi bukan tanpa harga mahal bagi musuh. Puluhan ribu pasukan TNI-AD dan TNI-AL berhasil mundur ke pedalaman Sumatra, merencanakan serangan balasan yang lebih ganas.

Pada 25 Mei, Nusantara menunjukkan taringnya sekali lagi. Ribuan robot, tank MBT, dan drone tempur meluncurkan serangan balasan besar-besaran di garis pertahanan musuh. Langit di atas Sumatra kembali dipenuhi oleh jet-jet tempur F-55 Jalak yang menghancurkan posisi-posisi musuh.

Namun, Indonesia juga menghadapi keterbatasan. Sumber daya mereka mulai menipis, dan perlawanan rakyat, meskipun heroik, tidak mampu menggantikan kehilangan alat perang modern yang tak tergantikan.

Sumatra kini menjadi medan pertempuran yang tidak mengenal akhir. Setiap jengkal tanah dipertahankan dengan darah dan nyawa, setiap kota menjadi benteng terakhir bagi mereka yang berjuang.

Dunia mungkin telah merebut Aceh, tetapi kemenangan mereka terasa hampa. Mereka mulai mempertanyakan apakah perang ini sepadan dengan harga yang harus dibayar. Sementara itu, di tengah reruntuhan Sumatra, Indonesia tetap berdiri.

Matahari terbenam di ufuk barat, memancarkan warna merah keemasan di atas laut yang dipenuhi kapal-kapal karam. Dunia menyadari, ini bukan sekadar perang antara negara. Ini adalah perang kehormatan, keberanian, dan keteguhan jiwa manusia melawan takdir yang tampak mustahil.

3 Mei, 1648.

Aceh, bumi Serambi Mekah, kini menjadi neraka yang paling dalam di tengah perjuangan hidup dan mati. Langitnya muram, kelam seperti kemarahan semesta atas tragedi yang terjadi. Di atas tanah yang sudah basah oleh darah, pasukan Indonesia bersiap untuk melancarkan serangan balasan yang paling brutal dalam sejarah.

Di setiap wajah prajurit Indonesia, baik manusia maupun mesin, terpancar tekad yang tak terbendung. Mereka bukan hanya bertarung untuk tanah mereka, tetapi untuk kehormatan, identitas, dan nyawa bangsa yang telah dihempas oleh dunia. Kali ini, tidak ada kompromi.

Malam yang pekat dipecahkan oleh raungan ribuan jet tempur F-55 Jalak dan drone bersenjata. Rudal-rudal berpemandu dengan presisi tak terbayangkan meluncur dari segala arah, menghantam barisan pertahanan Dunia yang tersebar di sepanjang Aceh.

Tank-tank Vajra mulai bergerak dari garis belakang, diiringi oleh prajurit robot yang diprogram untuk menyerang tanpa henti. Prajurit manusia, TNI, dan Marinir, meski kelelahan, berlari di belakang mereka, melantunkan pekik perjuangan yang menggetarkan jiwa.

Setiap senjata yang dimiliki Nusantara digunakan tanpa ampun. Mortir plasma, peluncur roket otomatis, hingga senapan laser membuat garis pertahanan musuh seolah meledak menjadi kepingan-kepingan kecil. Para prajurit Dunia mencoba bertahan, namun mereka seperti melawan amukan badai yang tidak bisa dihentikan.

Di tengah kekacauan itu, prajurit rakyat Aceh kembali muncul, melancarkan serangan-serangan gerilya yang menyasar titik-titik logistik musuh. Mereka tidak hanya melawan, tetapi menghancurkan setiap celah yang dimiliki musuh.

Garis depan menjadi tempat yang tidak mengenal ampun. Tank-tank musuh dihancurkan oleh rudal yang diluncurkan dari drone, sementara kapal-kapal pendarat yang berusaha memasok pasukan tambahan dihancurkan oleh torpedo yang diluncurkan dari kapal selam Indonesia.

Prajurit-prajurit Dunia mulai kehilangan moral. Banyak yang menyerah, banyak pula yang berlari mundur hanya untuk ditembak oleh komandannya sendiri.

Di tengah kekacauan itu, pasukan robot Indonesia yang sudah memperbarui diri mereka melalui teknologi nano terus maju, menebar kehancuran. Mereka seperti iblis mekanis yang tidak mengenal rasa lelah atau belas kasihan.

Setelah lima jam serangan bertubi-tubi, barisan Dunia mulai goyah. Komunikasi mereka kacau, logistik mereka dihancurkan, dan semangat mereka hancur berkeping-keping. Tidak ada lagi jalan lain selain mundur.

Pasukan yang tersisa, yang jumlahnya sudah terpangkas lebih dari setengah, mulai bergerak ke arah pantai. Mereka mencari perlindungan di kapal-kapal perang Armada Dunia yang berlabuh di perairan barat Aceh.

Namun, Indonesia tidak membiarkan mereka pergi begitu saja. Drone-drone bersenjata dan rudal balistik jarak pendek terus memburu pasukan yang mundur. Jalan-jalan penuh dengan tubuh dan reruntuhan.

Di atas lautan, Armada Dunia yang terdiri dari ratusan kapal perang tampak seperti tempat perlindungan terakhir. Destroyer, kapal induk, dan kapal pendarat mereka siap mengevakuasi pasukan yang tersisa. Komandan Dunia berpikir, setidaknya mereka masih bisa menyelamatkan sebagian besar kekuatan mereka.

Namun, pemerintah Indonesia telah merencanakan sesuatu yang lebih besar. Di pusat komando darurat di Jakarta, Presiden Anna mengeluarkan perintah dengan dingin dan penuh ketenangan.

"Luncurkan ICBM. Target: Armada musuh di perairan barat."

Dua rudal balistik antarbenua (ICBM) diluncurkan dari silo bawah tanah di Kalimantan Timur. Rudal itu membawa hulu ledak dengan daya ledak sepuluh kali lipat dari Tsar Bomba, senjata nuklir terbesar yang pernah diledakkan manusia.

Melintasi atmosfer dengan kecepatan hipersonik, rudal itu tiba di targetnya hanya dalam waktu delapan menit. Kapal-kapal perang Dunia tidak sempat bereaksi. Alarm peringatan berbunyi, tetapi semuanya terlambat.

Ledakan pertama menghantam pusat armada, menghancurkan kapal induk utama dan kapal-kapal logistik di sekitarnya. Gelombang panas dan ledakan dahsyat menciptakan bola api raksasa yang terlihat dari daratan Aceh.

Ledakan kedua menyusul, menyapu sisa kapal perang di pinggiran armada. Gelombang kejut yang dihasilkan mengangkat kapal-kapal besar ke udara sebelum menghancurkannya menjadi serpihan-serpihan kecil.

Dalam hitungan detik, Armada Dunia yang begitu megah dan besar telah musnah. Lautan menjadi kuburan masal bagi ribuan prajurit yang berusaha menyelamatkan diri.

Laut barat Aceh kini menjadi danau api, penuh dengan puing-puing kapal dan tubuh-tubuh tak bernyawa. Dunia, yang sebelumnya begitu percaya diri akan kekuatannya, kini terdiam dalam ketakutan.

Di sisi lain, Indonesia berdiri di atas reruntuhan. Mereka menang, tetapi kemenangan ini membawa beban moral yang tidak terkatakan. Negeri ini tidak lagi sama.

Presiden Anna menyaksikan semuanya dari layar besar di ruang komando. Di wajahnya yang cantik jelita, hanya terdapat kegilaan dan senyuman yang tidak bisa dibuat oleh manusia normal. "Dunia menginginkan kehancuran kita." Katanya dengan pelan, namun terdapat bukti kegilaan. "Kita hanya membalasnya."

..
....
......

Langit menjadi panggung terakhir dari tragedi umat manusia. Pada pagi yang kelam itu, sirene di seluruh dunia meraung seperti tangisan terakhir bumi. Radar-radar militer di berbagai negara mulai mendeteksi sesuatu yang mengerikan-peluncuran rudal nuklir dari fasilitas Mirishial yang dikuasai Sindikat.

Dunia, yang sebelumnya sudah berdiri di ujung kehancuran, kini didorong ke jurang tanpa dasar. Satu per satu, rudal balistik antarbenua dengan hulu ledak yang mampu menghanguskan seluruh kota meluncur ke udara, meninggalkan jejak api yang menyayat langit.

Di pusat komando Gra Valkas, para operator radar menyaksikan layar mereka penuh dengan tanda peringatan merah. Ratusan rudal nuklir terdeteksi, meluncur ke segala arah. Targetnya jelas: seluruh negara yang berani menentang Indonesia dan Sindikat.

Kaisar Gra Lux, pemimpin Kekaisaran Gra Valkas, berdiri kaku di ruang komandonya di Istana. Ia tahu, waktu untuk berdebat telah berakhir. "Luncurkan semua senjata nuklir kita." Perintahnya dengan suara serak. "Jika ini akhirnya, kita akan menyeret mereka bersama kita."

Rudal-rudal balistik milik Gra Valkas mulai meluncur dari kapal selam, silo bawah tanah, dan pesawat pembom jarak jauh. Langit malam di wilayah kekaisaran itu berubah menjadi siang, diterangi oleh api peluncuran yang mengerikan.

Di ruang komando darurat di Jakarta, Presiden Anna Lynne duduk di kursinya dengan senyuman kecil. "Kita tidak bisa membiarkan mereka menghancurkan kita tanpa balasan." Katanya kepada para jenderal yang terlihat ragu dan ketakutan, beberapa bahkan menangis sesegukan.

"Luncurkan semuanya." Perintahnya dengan nada datar. "Biarkan dunia mengingat nama kita sebagai bangsa yang tidak pernah tunduk."

Indonesia, dengan teknologi nuklir abad ke-22 yang menghancurkan, mengaktifkan seluruh persenjataan nuklirnya. Lebih dari 300 ICBM yang telah direstorasi, masing-masing membawa daya ledak sepuluh kali Tsar Bomba, meluncur ke udara. Targetnya jelas: setiap negara yang dianggap musuh.

Rudal-rudal dari semua pihak melintasi atmosfer, saling bersilangan seperti hujan meteor yang terbalik. Di darat, di laut, di udara, manusia hanya bisa memandang dengan putus asa. Sistem pertahanan rudal di seluruh dunia mencoba menembak jatuh sebagian, tetapi jumlahnya terlalu banyak, terlalu cepat.

Beberapa rudal yang berhasil ditembak jatuh meledak di atmosfer, menciptakan bola api raksasa yang membakar langit. Namun, sisanya melanjutkan perjalanan, menuju target mereka dengan ketepatan yang mengerikan.

Kota-kota besar di seluruh dunia-Otaheit, Runepolis, Jin-Hark, Ragna, Esthirant, Belluma-semuanya dihantam dalam waktu yang hampir bersamaan. Ledakan dahsyat menciptakan bola api yang menelan segalanya dalam radius ratusan kilometer.

Gelombang kejut menyapu daratan, menghancurkan bangunan, memadamkan kehidupan. Langit menjadi hitam oleh debu dan abu. Dunia, yang pernah berdiri megah dengan peradabannya, kini hanya menjadi lautan api dan kehancuran.

Di tengah kekacauan ini, siaran langsung dari Jakarta mulai disiarkan ke seluruh dunia. Presiden Anna Lynne, wanita yang membawa dunia ke jurang kehancuran, berdiri dengan tenang di depan kamera. Di belakangnya, layar besar menampilkan rudal-rudal yang meluncur dan kota-kota yang dihancurkan.

Ia memandang kamera dengan tatapan tajam, penuh teka-teki.

"Apakah ini kegilaan? Atau justru ini adalah bentuk paling murni dari kedamaian? Sebuah akhir yang tak bisa ditawar, sebuah jawaban yang selalu kita hindari?"

Suaranya tenang, tetapi ada kegilaan yang membara dalam setiap kata-katanya.

"Manusia, kalian adalah makhluk fana. Kita hidup dengan ilusi akan keabadian, berpikir bahwa kita bisa menghindari ajal kita. Namun, lihatlah... inilah kita. Di titik ini, bukan perang yang menghancurkan kita, tetapi obsesi kita akan kemenangan, akan kesempurnaan."

Ia tertawa kecil, seperti berbicara kepada dirinya sendiri.

"Mereka menyebut saya gila. Mungkin saya memang gila. Tetapi siapa yang benar-benar waras di dunia ini? Kalian, yang membangun senjata pemusnah massal untuk mempertahankan kedamaian? Kalian, yang membunuh atas nama moralitas? Atau saya, yang hanya menunjukkan kepada kalian cermin dari keburukan kalian sendiri?"

Ia melangkah mendekati kamera, wajahnya semakin jelas.

"Perdamaian itu ilusi. Kegilaan adalah kenyataan kita. Dan di ujung perjalanan ini, kalian akan melihat bahwa semuanya... tidak pernah benar-benar ada. Kemenangan, kekalahan, moralitas-semuanya hanyalah mimpi yang kini telah hancur."

Anna menarik napas panjang, memandang layar di belakangnya yang menunjukkan bola api nuklir melahap dunia.

"Selamat datang di neraka, manusia. Kalian menciptakannya sendiri."

Siaran itu berakhir dengan suara gemuruh ledakan terakhir. Jakarta sendiri akhirnya menjadi korban dari rudal yang menghantam langsung pusat kota. Dunia yang penuh dengan ambisi, konflik, dan obsesi, kini menjadi abu.

Langit gelap. Tidak ada lagi suara. Hanya keheningan yang tersisa, menceritakan akhir dari sebuah peradaban. Akhir yang pilu dan penuh penderitaan.

Sebuah kisah tidak selamanya harus berakhir bahagia. Kadang, terlepas dari rasa sakit dari dunia itu sendiri, bisa dibilang akhir yang bahagia.

Suara terakhir dari rekaman kode morse, disiarkan di seluruh frekuensi secara terus menerus dari sumber yang tidak diketahui :

... . .-.. .- -- .- - / .--. .- --. .. --..-- / ... . .-.. .- -- .- - / ... .. .- -. --. / -.. .- -. / ... . .-.. .- -- .- - / -- .- .-.. .- -. / -.. ..- -. .. .- .-.-.- / - .. -.. ..- .-. / -. -.-- . -. -.-- .- -.- / -.. .- .-.. .- -- / -- . .-.. --- -.. .. / -.- . .... .- -. -.-. ..- .-. .- -. .-.-.-

END

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip