10 - Mengulang Kembali dan Memulainya
DERAP langkah terdengar begitu terburu-buru, alas sepatu beradu dengan lantai menimbulkan bunyi berketuk yang menggema. Jelas saja karena lima belas menit lagi bel akan berbunyi. Seluruh pasang mata menatapnya, terasa seolah sebuah sorot lampu tengah menyinari dirinya.
Seulas senyum manis terpampang di wajahnya yang seputih susu. Rambutnya panjang bergelombang bak bintang iklan sampo di televisi. Tak sedikit pasang mata yang memerhatikannya. Bukan tatapan benci ataupun sinis, bukan pula memuji seolah ia adalah ratu.
"Del." Seorang siswi bertubuh mungil dengan rambut lurus sebahu memanggil namanya. Pundaknya ditepuk dua kali membuat gerakan memutar pada badannya.
"Yaampun Chik, tarik napas... buang," instruksinya ketika melihat siswi itu, atau sebut saja Chika tengah kehabisan napas karena mengejarnya.
Chika tersenyum lebar menampakkan deretan gigi putihnya. "Hehe, daritadi aku panggilin. Ternyata Adel pake headset."
Refleks Adel melepas headset di telinganya. Sebenarnya, ia tidak mendengarkan satu lagu pun. "Sorry," katanya.
"Gapapa, yaudah yuk ke kelas." Chika menarik lengan Adel dan membawanya menuju kelas sebelas bahasa satu.
Membosankan pikirnya. Pergi ke sekolah setiap pagi, pulang ketika sore hari dan mengikuti bimbingan belajar sampai malam hari. Sabtu dan Minggu hanya diluangkan waktunya untuk ekstrakurikuler.
Menjadi tontonan setiap pagi dari gerbang sekolah sampai memasuki kelas, atau berjalan beriringan dengan Chika, hanya berdua.
Bolehkah dirinya kembali pada masa-masa sebelum seperti ini?
Kalau diibaratkan sebuah bidang datar yang membentuk bintang, ia adalah salah satu dari titik sudut itu. Begitupun dengan Chika. Namun menyatukan yang telah hancur pasti akan begitu susah.
Atau malah, dirinya dan Chika tidak pernah menjadi bagian itu, hanya sekadar pemanis rasa pada sebuah cerita. Malah bisa saja mereka adalah pisau tajam yang menyakitkan bagi ketiga yang lainnya.
"Adel?"
Suara bariton khas yang selalu terngiang di pikirannya semenjak beberapa tahun lalu itu menyadarkan dirinya dari lamunan tak berujung. Tubuhnya membeku seketika, perlahan ia membalikkan badan.
Chika yang berdiri di sebelahnya sudah lebih dulu melihatnya. Dari sisi matanya ia dapat melihat Chika begitu terkejut.
"Dewa?" Chika membulatkan matanya. Lalu detik setelahnya ia tersenyum lebar. "Kok di sini?"
"Gue udah pindah dari seminggu yang lalu." Dewa ikut tersenyum melihat kedua orang di hadapannya kini.
Namun Adel masih terpaku, matanya menajam melihat Dewa. Air wajahnya berubah, mengeras seakan ia siap meledak saat ini juga.
"Chik, gue pinjem Adelnya bentar ya?" Dewa memberikan senyuman tipis yang dihadiahi anggukan semangat Chika. "Ya, jangan dibikin nangis lagi ya."
Dan satu lambaian tangan gadis mungil itu seakan menohok hatinya. Ia hanya dapat tersenyum canggung dan menyaksikan punggung Chika menghilang di balik pintu kelas.
"Gausah basa basi," tandas Adel cepat. Meskipun tubuhnya tepat berada di hadapan Dewa, matanya tidak menatap ke arah Dewa sama sekali. Dalam hatinya terasa seolah bergumuruh hebat, ia ingin meledak-ledak dan menanyakan perihal kepulangannya. "Kenapa lo balik lagi?" Itulah yang saat ini mengganjal di hatinya.
Dewa mengambil langkah maju, mendekat ke arah Adel yang dengan cepat direspon oleh gadis itu dengan mundur selangkah. Melihat itu Dewa terdiam, kakinya seakan terpaku dengan lantai abu-abu yang menjadi pijakannya.
Ia menelan ludahnya untuk mengusir kegugupan. "Maaf," katanya pelan.
Meski banyak sekali ribuan kata dalam otaknya, tidak juga ia dapat menemukan satu kalimat yang tepat.
Ada jeda beberapa lama sebelum Adel menjawab. Dewa menatapnya penuh harap. Pantaskah dirinya memohon maaf saat ini?
"Maaf? Setelah lo hancurin semuanya dan lo pergi gitu aja? Sekarang lo minta maaf?" Mata Adel terasa panas, setitik air bening memaksa untuk keluar dari kedua matanya.
"Lo tau? Ketika lo kembali, Zara gak akan pernah bisa benci lo, gak akan pernah De. Betapa gak adilnya ketika gue ngeliat dia dan dia menganggap gue musuh terbesarnya. Dan Ryan...." Adel mengusap matanya, mencegah air mata turun membasahi pipinya.
"Ryan kenapa?"
KRINGG
"Meskipun gue kasih tau kenapa, lo gak akan pernah peduli. Jangan ketemu gue lagi." Adel membalikkan badannya, tanpa memandang barang sekali ke arah Dewa. Terakhir ia menyempatkan untuk menghela napas seolah napas yang terhempas tadi adalah secuil beban yang berada di punggungnya selama ini.
***
"Ryan! Nanti jemput gue ya di Abraco Cafe jam tujuh!" teriak Zara ke arah ponselnya. Sengaja ia perbesarkan suaranya karena suasana yang ramai dengan live music yang mengisi setiap sudut ruangan. Ryan yang berada di seberang sana hanya bergumam tak jelas. Sepertinya laki-laki ini baru saja terbangun dari mimpinya. Pukul empat Zara baru sampai di sini, sebuah kafe bergaya klasik dengan ornamen khas berbagai daerah di Indonesia. Memang, tempat ini terbilang unik untuk dijadikan tempat nongkrong anak SMA. Terlalu tradisional dan terkesan tua, tapi Zara suka suasana di sini. Dan dekat dengan sekolahnya.
"Ra, lo dijemput Ryan?" Seorang perempuan yang masih mengenakan seragam cheers dan jaket tim sekolah mereka menghampiri Zara dengan dua buah cup plastik berisi green tea frappuccino di tangan kanan dan kirinya. Tanpa menunggu temannya itu menempatkan diri di sofa, Zara sudah menyambar miliknya dan menyeruputnya pelan. Zara mengangguk sebagai jawaban lalu ia berkata, "Iya. Emang mau sama siapa lagi?"
"Sopir-zone, " komentar gadis di hadapan Zara ini.
"Apaan sih La, dikira timezone." Zara tertawa pelan, lalu menyesap kembali minuman miliknya.
"Kenapa gak sama Dewa aja?"
Sontak pipi Zara memerah, ia menggigit ujung sedotan seketika dan terdiam seperti membeku. "Y-ya... yakali sama Dewa," katanya gugup.
"Lah? Lo masih deket kan sama Dewa?"
Zara menggangguk. Satu pertanyaan dari temannya ini membuatnya bungkam.
"Dan lo mantan dia. Demi ya sahabat jadi pacar terus jadi mantan dan akhirnya masih sahabatan lagi itu, langka. Dan...."
Dan satu pernyataan itu membuat Zara berpikir. Ia menelan ludahnya susah payah dan menggangguk. "Te... rus? Kenapa gitu? Gue dan Dewa cuma salah satu dari yang langka itu," katanya pelan. Lalu menghela napas jengah sebelum menggigit ujung sedotannya lagi dan menyeruput sedikit minuman miliknya.
"Tapi Dewa masih kasih perhatian yang berlebihan menurut gue. Jangan pikir gue gak tau seberapa dinginnya makhluk satu itu, bahkan wajah kalemnya itu malah lebih parah dari kampretnya si Ryan."
Zara kemudian terdiam lagi. Untuk beberapa saat hanya ada keheningan dan ocehan gadis di hadapannya ini.
"La, apa mungkin... Dewa masih suka sama gue?" Zara memegang tangan Lala dengan erat. Hanya satu jawaban yang ia butuhkan saat ini.
"Ya... bisa jadi, lagian cara dia mutusin lo itu terlalu gak masuk akal menurut gue. Mungki--"
"Mungkin dia punya alesan untuk ngelakuin hal itu, iya kan La?"
Kemudian, Lala mengangguk pelan. Namun Zara melihatnya sebagai anggukan semangat dan kepercayaan yang sangat bisa ia harapkan.
Meski untuk yang kesejuta kalinya Zara jatuh hati, hanya pada Dewa ia menaruh harapannya. Entahlah ia tidak begitu peduli bagaimana nantinya, ia hanya percaya setiap perjuangan akan ada hasilnya. Dan ia akan memulainya, saat ini.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip