15 - Perasaan Yang Ambigu

awesome banner by grochinov- 

 • • •  

  But you're so ambiguous, I want "Black Or White" 

Dumb Dumb by Red Velvet 

  • • •  

KATANYA keadaan tertekan dan beban pikiran yang berlebihan bisa membuat seseorang hilang arah. Seolah mata mengabur, jiwa berkeliaran, tapi raga tak dapat bergerak.

Seperti saat ini, meski hanya ada tiga kata dan satu tanda baca yang tertera di layar ponselnya, Zara tidak dapat mencerna bahkan satu kata pun. Matanya tak dapat fokus meski hanya melihat satu titik, seolah jiwanya masih ada pada beberapa jam yang lalu, ketika ia masih terduduk di kafe tepat di hadapan Lala yang menyatakan perasaannya selama ini. Zara tidak tahu harus bertindak apa saat ini.

Zara menyentuh layar ponselnya, jarinya ia gerakkan ke kanan. Satu buah pesan kembali masuk dengan pertanyaan yang sama.

14.45

Ryan : Ra, Lo dimana?

15.03

Ryan : Latihan dimana?

15.03

Ryan : Ra, gue jemput ya?

15.15

Ryan : Dimana Ra? Gue otw

Zara menghela napas jengah, mengunci layar ponselnya tanpa membalas pesan Ryan. Seharusnya Zara tidak boleh seperti ini. Ryan yang terlalu perhatian bisa saja menimbulkan kecemburuan pada Lala. 

"Zara? Lo gak balik?" Tepukan di pundakya membuat Zara berbalik badan. Menghadap Lala yang sudah berganti baju dan merapikan tatanan rambutnya. Latihan hari ini sungguh melelahkan, tepatnya hari ini sungguh melelahkan. 

"Iya, bentar lagi," balas Zara seadanya. 

"Lo dijemput Ryan lagi?" tanya Lala. Ia hanya ingin memastikan bahwa Zara akan pulang dengan selamat, setidaknya Zara tidak pulang sendirian. Karena Lala sangat tahu bahwa Zara sangat teledor dan bisa saja gadis itu tertidur selama perjalanan kalau ia berani-beraninya menaiki angkutan umum. 

"Eng-enggak kok La," balas Zara cepat. Sebelum Lala menanyakan pertanyaan lagi, ponsel Zara berdering nyaring sekali. Gadis itu mengumpat ketika melihat siapa yang meneleponnya. Dan Lala pun melihat bahwa nama Ryan yang tercetak jelas di layar ponsel Zara. 

Tangan Zara segera ingin buru-buru menolak panggilan tersebut, namun Lala menarik ponsel Zara dan mengangkatnya. 

"Lo mau jemput Zara kan? Dia di sekolah, buruan ke sini, gercep!" 

Kemudian Lala mematikan sambungan teleponnya. Alisnya berkedut heran perihal sikap Zara yang berubah secara tiba-tiba. Apakah perasaan Lala terhadap Ryan justru membebani Zara? 

"Gue ngebebanin lo ya?" tanya Lala dengan suara pelan. Gadis itu tidak mau basa-basi, kalau memang iya, maka Lala akan mencoba untuk melupakannya.

Zara sontak membulatkan matanya kaget. Sebenarnya bukan seperti ini. 

"Lo suka sama Ryan?" Satu pertanyaan yang dalam bayangan terliarnya Zara itu tidak pernah terlintas sedikit pun kini terlontar begitu saja dari bibir Lala. Zara dengan cepat menggeleng. Zara jelas tahu bahwa dirinya benar-benar tidak memiliki perasaan apapun pada Ryan.

"Terus kenapa lo jadi gini sih?" tanya Lala lagi. Pertanyaan Lala terdengar begitu mengintimidasi. Zara benci ketika ia ditanyai hal-hal yang jawabannya pasti tidak atau tidak tahu sama sekali. Zara yakin ia tidak memiliki perasaan apapun pada Ryan, tapi Zara tidak tahu mengapa rasanya begitu canggung ketika orang yang paling banyak memberikan perhatian padanya disukai oleh temannya sendiri.

Namun reaksi Lala kini semakin membingungkan Zara. Dan satu pertanyaan itu justru seakan menabrak semua kesadaran fikiran Zara hingga mati. Seolah seperti gumpalan benang kusut tak beraturan, banyak pertanyaan berkelebat dalam benaknya yang jawabannya hanya ada dua, benar atau salah, dan fakta atau bukan.

"Atau karena Ryan suka sama lo?" 

Zara terdiam. Tidak dapat menjawab pertanyaan Lala yang satu ini. Mana mungkin Ryan menaruh perasaan padanya kan? 

"Kalau itu kenyataannya, gue udah masuk RSJ dari kemarin." Zara tertawa renyah. Memastikan ucapan Lala hanyalah hal konyol yang tak beralasan. "Lo ngerti kan maksud gue, Ryan gak mungkin suka sama gue. Ryan bukan tipe orang yang tega ngerusak persahabatannya." Zara tersenyum penuh yakin ketika mengucapkan hal itu.

Dan Lala hanya bisa tersenyum miris menanggapinya. 

"Justru karena hal itu yang buat Ryan terus bohong sama perasaannya." Gumaman kecil dari bibir Lala terasa menyakitkan terdengar di telinga Zara. Benarkah? Kalau iya, apa yang harus ia lakukan sekarang?

Rasanya apa yang ada di depan matanya hanyalah hitam atau putih, sama seperti ya atau tidak. Menerka jawaban yang tak pasti, berspekulasi banyak hal, yang ujungnya hanya akan terngiang terus menerus dalam benak. Sungguh menyebalkan.  Haruskah Zara memastikannya? 

• • •

Saat ini hanya ada keheningan yang menemani keduanya. Zara sibuk dengan fikirannya, sedang Ryan masih fokus pada jalanan di depan.

Angin yang berembus sore ini kembali menerpa rambut Zara yang menggantung dari dalam helm yang ia kenakan.

Ada perasaan bimbang yang berkecamuk dalam hatinya. Dengan ragu Zara mengeratkan pelukannya pada pinggang Ryan, lalu menaruh kepalanya di atas punggung laki-laki itu. Seketika dapat ia rasakan Ryan menoleh sedikit ke arahnya.

Perasaan canggung ini datang lagi. Ketika Zara mencoba untuk lebih dekat dengan Ryan, laki-laki itu pasti akan terlihat berubah. Bohong jika Zara tidak memikirkan satu hal ini; Apakah Ryan menaruh perasaan lebih padanya?

Dan karena itu Zara selalu mencoba untuk tidak menghiraukannya, meyakinkan bahwa perhatian yang Ryan berikan hanyalah semata-mata karena mereka seorang sahabat sejak kecil.

Namun saat ini justru Zara ingin membuktikan keyakiannya, karena dirinya, tidak akan pernah bisa membalas perasaan itu bagaimana pun keadaannya.

Terus kalo dia suka sama lo, lo mau apa? Jauhin dia?

Lo mau ngerusak persahabatan kalian?

Zara menggeleng kala ia mendengar seolah bayangan dalam dirinya berbisik. Ryan yang menyadari perubahan sikap Zara yang aneh malah membawa satu tangannya memegang tangan Zara yang melingkari pinggangnya. "Lo sakit Ra?" katanya seraya memastikan suhu tubuh Zara dengan menyentuh tangannya.

"Enggak, gue ngantuk." 

Ryan hanya terdiam mendengar ucapan Zara. Ryan yakin seyakin-yakinnya bahwa ada sesuatu yang Zara sembunyikan. Ryan dengan kecepatan penuhnya membawa motornya melintasi jalanan kota yang penuh dengan kerlap-kerlip lampu. Membiarkan angin yang menerpa keduanya, membagi kehangatan pada Zara yang justru saat ini terlelap memeluknya erat.

Hingga kecepatan mesin beroda dua itu melambat ketika memasuki gang perumahan dimana Zara tinggal. Langit yang sebelumnya berawarna biru cerah kini berganti menjadi jingga berpadu dengan warna ungu yang menyejukkan. Dengan hati-hati Ryan memarkirkan motornya di halaman rumah Zara. Kemudian ia membawa Zara ke dalam, menggendongnya dengan hati-hati karena Zara masih tertidur.

Ryan melangkahkan kakinya sedikit cepat, lantas membuka pintu berwarna cokelat tua yang sangat ia kenali itu. Jelas saja karena Zara sedikit berat dengan tambahan tas ranselnya yang pasti berisi baju ganti dan sepatu milik gadis itu.

"Tante, aku izin ke kamar Zara." Ryan masuk ke dalam rumah tanpa menoleh ke arah lain selain tangga menuju kamar Zara. Ryan yakin Tante Anne sedang berada di dapur. "Zara ketiduran," lanjutnya lagi seraya mengangkat kaki sebelah kanannya untuk menaiki tangga. 

Terdengar sahutan dari arah dapur yang mengatakan kalau Tante Anne setuju dengan izin Ryan dan nampaknya wanita itu segera berlari dari dapur hendak melihat keadaan putrinya. Atau mengomelinya mungkin.

Namun langkah Ryan terhenti seketika pada anak tangga ke-lima. Seseorang memegang pundaknya dari belakang membuat ia menoleh. Ryan sempat menggigit bibir bagian bawahnya karena tertangkap basah akan rahasianya, juga Zara. Kenapa ada di sini sih? erangnya dalam hati masih mengatur ekspresinya agar tidak terlihat canggung.

Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip