24 - Satu Hal Dua Rasa Tiga Hati
Keajaiban itu datangnya tiba-tiba. Karena memang bukan tidak direncakan oleh akal sehat manusia. Tuhan merencanakan berbagai hal yang tak pernah kita tahu betapa hebatnya itu.
Hari ini, di Sabtu pagi yang menyebalkan ini, Zara merasa nyawanya terselamatkan. Kalian masih ingat kan janji Zara dan Lala yang dibuat kemarin? Nah, begitu. Lala datang Jum'at malam dan menginap di rumah Zara.
Kalau menurut jadwal yang dulu sebelum Ryan dan Zara merenggang, laki-laki itu pasti akan datang Jum'at malam dan menginap sampai Minggu pagi. Sayangnya tidak. Tidak lagi.
Laki-laki itu mungkin lebih memilih menginap di rumah Dewa. Dan itulah yang terpikirkan oleh Zara kemarin malam. Ketika Lala sudah terlelap di sebelah Zara yang masih terjaga memikirkan alasan apa yang akan dia buat di Sabtu pagi.
"Ma! Sepatu aku yang putih kok hilang?" Zara berlari kecil di tangga sambil mengunyah roti bakar di mulutnya. Lala yang berjalan di belakangnya hanya mengekor dan menggeleng pelan melihat tingkah Zara.
Oh there she is, that bossy girl. Lala tau bagaimana tingkah Zara yang sesungguhnya walaupun gadis itu sebisa mungkin menutupnya. Lala tidak pernah masalah dengan hal itu, lagipula Lala sudah menganggap Zara benar-benar teman dekatnya meskipun Lala juga tahu kalau Zara menutup banyak hal darinya.
Zara tidak percaya kepadanya. Semua orang tahunya kalau Zara menyebalkan. Si gadis badut kelas yang hanya akan diam ketika ada yang bicara tentangnya. Tetapi Lala tahu kalau Zara tidak begitu. Lala hanya merasa kalau ia harus menjadi temannya. Konyol? Tidak. Karena perasaan seseorang yang begitu rapuh tidak sekonyol yang mereka pikirkan.
"Ma? Mama dimana?" Zara memelankan suaranya. Gadis itu berjalan menuju dapur. Lala memutuskan untuk duduk di sofa ruang tengah dan membereskan beberapa majalah berserakan di sana. Ulah Zara itu sudah pasti.
"Aduh sayang jangan teriak pagi-pagi. Itu ih temen kamu masa gak dikasih sarapan?" Wanita berambut hitam legam sebahu dengan celemek biru langit melekat di tubuhnya baru saja keluar dari dapur. Sebelum sempat anak bungsunya itu menghampiri dirinya.
"Tadi udah aku suruh makan katanya gak bisa makan pagi-pagi. Jam delapanan paling, Ma." Zara mengekor Mamanya yang berjalan menuju ruang tengah. Di tangannya memegang seloyang pie yang baru keluar dari oven.
"Buat siapa Ma?" Zara mengambil piring kecil ketika pie yang terlihat sangat lezat itu mendarat di atas meja. Dengan sigap, Anne, wanita yang Zara sebut Mamanya itu menahan tangan Zara.
"Punya kamu di dapur. Bawa tuh buat temen kamu juga. Kamu tuh ya, ada temen kok dianggurin. Ryan juga dari semalem kamu anggurin."
Dan saat itu juga piring yang Zara pegang jatuh. Disambut dengan teriakan nyaring Anne membuat dua orang penghuni lain di rumahnya berangsur berlari menuju dapur.
Detik itu juga mata Zara dapat menangkap sosok laki-laki yang sangat Zara hafal bahkan dari aroma tubuhnya saja. Ryan Adhikari Azzam berada di hadapannya dan Lala berdiri di sebelahnya membantu mengurusi pecahan beling yang nyaris mengenai kaki telanjang Zara.
Kesadaran Zara pulih ketika satu orang lagi datang dan menyingkirkan Zara dari sana. Laki-laki paruh baya yang merebakkan aroma green tea dari tubuhnya. Oh Ayahnya baru saja selesai mandi.
"Kamu kenapa loh, Ra?" Ayahnya berjongkok, mengecek kaki putri bungsunya dengan sangat khawatir. Mungkin ini alasan sifat Zara yang sangat manja dan kekanakan. Seluruh anggota keluarganya terlalu memanjakan gadis bungsu ini.
Ryan berdehem memecah lamunan Zara. Ia berjalan menjauh dari ruangan itu. Tidak ada yang bisa ia lakukan karena semuanya sudah dilakukan orang lain.
"Yah, kok Iyan ada di sini?" Zara membuka suara. Untung saja tidak ada pecahan beling yang mengenai kakinya. Zara duduk di kursi makan, sedangkan Ayahnya mengambil air putih untuk dirinya.
"Semalem dia ke rumah Tante Ezra, ngambil baju katanya. Terus kebetulan Ayah di sana jadi Ayah suruh aja nginep di rumah."
"Tante Ezra tuh Mamanya Adel?" Zara spontan membulatkan matanya. Oh ya selama ini Ryan menyembunyikan banyak hal darinya. Kenapa harus Adel?
"Iya atuh siapa lagi kan dia sepupuan sama Ryan," balas Ayahnya dengan medok Sunda yang sangat kental.
What the heck. Zara nyaris mengumpat kalau ia tidak ingat dia sedang berbicara dengan Ayahnya. Kenapa Zara baru tahu? Dari sekian tahun Zara bersama Ryan, kenapa dia tidak pernah cerita?
"Ko Zara gak tau?" Zara menyeplos. Tapi sungguh, bukankah aneh kalau Zara tidak tahu? Pertama kali bertemu Adel ketika mereka masih duduk di bangku kelas delapan SMP. Zara masih ingat siapa yang bertanya nama pada gadis itu pertama kali. Kalau Ryan tidak mengenalnya tidak mungkin laki-laki itu bertanya seolah ia tidak mengenal Adel.
"Ryan juga baru tau pas mau UN SMP apa ya? Lupa Ayah teh. Kamu kenapa lagi coba? Kan bisa nanya sama Ryan, berantem ya?"
Zara membalas dengan tatapan kosong. Ayahnya sangat ahli membaca pikiran Zara.
"Engga, Ryan lagi sensi kali sama Zara." Zara hendak melenggang pergi menuju kamarnya karena Zara tahu Lala sedang sendiri di sana, tapi niatnya terurungkan ketika ia melihat Ryan berdiri di belakangnya dengan segelas air putih di tangannya.
Argh please jangan denger percakapan gue, batin Zara.
"Kirain lo yang sensi." Ucapan Ryan membuat Zara membatu. Kakinya ingin melangkah tapi rasanya seperti ada jeli yang tiba-tiba datang di bawah kakinya. Gila pikirnya, mana ada jeli di kakinya?
Setelah kesadarannya kembali Zara segera berlari menuju kamarnya seolah tidak ada sesuatu yang sebelumnya terjadi.
"Kamu berantem sama Zara, Yan?" Pertanyaan Ayahnya Zara membuat Ryan yang sekarang diam. Ia menghela napas dan duduk di sofa sebelah laki-laki paruh baya itu duduk.
"Enggak Om, Zara lagi sebel sama Ryan," balas Ryan. Sepertinya tidak ada lagi rahasia yang harus ditutupi, kan? Lagipula Zara juga sudah tahu dua rahasia terbesarnya. Adelia dan tentang hatinya.
"Kenapa?"
"Gara-gara Ryan bilang suka sama dia," jawab Ryan polos. Benar, tidak ada lagi yang harus ditutupi. Sayangnya jawaban polos Ryan itu membuat Ayahnya Zara mengaga tidak percaya.
"Om jangan kaget dong, lagian Zaranya gak suka sama aku."
"Bukan gitu, Dewa udah tau?"
Laki-laki ini memang tahu semuanya. Laki-laki yang sering disebut Om Danar oleh Ryan ini seperti teman curhat bagi Zara, Ryan, dan Dewa. Itupun sebelum Dewa pergi. Setelah kejadian itu? Semuanya lebih memilih untuk diam dan merahasiakan semuanya.
"Dari sebelum mereka pacaran kali Om, kudet ah." Ryan tertawa di akhir kalimatnya. Percakapan ini terasa terlalu serius bagi Ryan meskipun tidak sama sekali bagi Danar.
"Lah? Terus terus?"
"Si Om malah ngegosip."
"Gak ngerti lagi Om sama anak muda zaman sekarang. Untung Zara pacarannya sama Dewa waktu itu, kalo gak udah Om kurung dia kali ya? Anak SMP kok udah pacaran." Danar menggelengkan kepalanya. Mendengar itu Ryan tertawa pelan. Benar juga, bukannya ini terlalu menyebalkan? Kenapa hidupnya terlalu seperti sinetron yang ada di televisi?
"Tapi tetep izinan juga kan, Om?" Ryan tersenyum mengejek. Danar memang aneh, katanya Zara tidak boleh menjalin hubungan apapun dengan laki-laki sebelum ia dewasa tapi kalau Dewa yang menjadi pasangannya ia malah masa bodo. Ryan ingat sekali ketika pertama kali kedua sahabatnya itu ketahuan menjalin hubungan dan bukannya amarah yang didapat Zara, malah ledekan dari Ayah dan kedua kakaknya.
"Iya gimana lagi atuh, sama Dewa ini lah gak bakal macem-macem dia mah. Paling juga dianua cuek sama Zara yang manja banget itu."
Benar! Sangat benar. Ryan kadang tak habis pikir apakah sebenarnya mereka saling suka atau tidak. Yah meskipun sekarang Ryan tahu kenyataannya. Sekarang Ryan bahkan tidak bisa sekadar mengetuk pintu hati Zara, apalagi mencoba masuk?
"Kalau sama Ryan gimana Om?" Ryan kembali tersenyum jenaka. Ia sedikit bercanda dan ditangkap benar oleh Danar.
"Dasar kamu, izinnya sama Dewa sana. Becandanya jangan sekarang, Yan. Zara mau kesini tuh nanti dia ngambek lagi." Tawa Danar pecah setelah mengabiskan kata terakhirnya.
"Ayah! Makan bubur di luar kuy!"
"Ya kali ga kuy."
Ryan kadang tidak mengerti kenapa keluarga mereka terlalu hangat. Candaan di pagi hari ini sangat membuat hati Ryan sedikit tenang. Meskipun melihat sosok Zara banyak membuatnya hilang akal.
"Ayo Ryan, Lala, kita makan di luar."
Mungkin pagi ini Ryan bisa memperbaiki hubungan mereka walaupun tidak sepenuhnya.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip