6 - Kepingan Hati Yang Hilang
DUA puluh hari setelah Dewa memutuskan untuk kembali pada masa lalunya. Tentu bukan mengenang untuk menyesali yang telah terjadi, toh selama ini ia sudah belajar untuk kembali bangkit. Menyikapi keadaan saat ini dan memberikan penolakan pada hal yang pastinya akan berujung penyesalan, sama seperti dulu.
Ketika ia harus pergi juga tetap harus berada di sisinya. Ketika itu ia harus memilih, menjauh untuk membuat hatinya kembali utuh atau tetap menyakiti hatinya dengan berada di sisinya. Meski ia tahu resiko terbesar yang akan terjadi. Saat ia pergi, pasti akan banyak sekali perubahan yang terjadi.
Dewa terus berusaha menghalau pikiran aneh mengenai gadis yang dulu sempat menempati hatinya, mengisi seluruh ruang di otaknya. Dan sepertinya bahkan hingga saat ini, gadis itu masih membayanginya.
Ingin sekali ia merasa percaya diri dengan perasaan gadis itu. Tatap sendu yang selalu ia berikan juga gerak-gerik yang sudah seperti gambaran setiap harinya yang ia lihat, meski gadis itu sedang tidak berada di dekatnya. Harusnya ia bisa melupakan, tapi lagi-lagi seperti ia masih ingin menggenggam erat tangan rapuh itu, yang sempat menjadikan Dewa sebagai penopangnya. Kini, kalau justru ia yang membuat gadis itu hancur, apa yang bisa ia harapkan dengan kembali di hadapannya dengan seluruh kenangan pahit yang terputar begitu saja ketika mereka bertatap mata.
Benar, banyak perubahan yang terjadi selama ia menghilang, menghindar dari kenyataan yang seharusnya ia hadapi sejak dulu. Kini, ia bahkan tidak sekali pun bisa membaca arti dari senyum yang terpampang jelas di wajahnya, atau bahkan sedikit saja menyadari tatapan matanya.
Inginnya ia kembali merebut gadis itu dalam pelukannya. Namun kehadirannya justru membuat dirinya sendiri takut. Kalau saja ia sekali lagi menyakiti gadis itu. Sebenarnya, berada di antara itu memang yang paling tidak mudah, dibandingkan dengan pergi begitu saja atau tanpa memperdulikan lainnya dengan ia berkata sejujurnya.
Mungkin hal terbaik yang harusnya ia lakukan adalah menjauh perlahan, melupakan perasaan yang sepertinya memang hanya sekedar ilusi. Cinta itu tidak segalanya, tapi mencintainya sudah menjadi bagian hidup Dewa.
Dewa menekan tuts piano yang sedari tadi ia tatap. Perlahan, seakan nada-nada yang ia ciptakan dari sebuah deret hitam putih menjadikannya penyembuh hati. Setidaknya ia merasa sedikit tenang.
Dua tahun lalu tepatnya ia memutuskan kisah mereka. Dan saat itu ia berjalan menjauh tanpa melihat bahwa gadisnya itu menatap ia kosong. Tanpa harapan sedikit pun.
Kita mungkin gak bisa terus kaya gini, kamu tau kan maksud aku.
Intro lagu seperated milik Usher mengalun lembut dari piano yang Dewa mainkan. Sama seperti lirik yang ada dalam lagu tersebut. If love was a bird then we wouldn't have a wing, if love was a sky we'd be blue.
Kenyataan begitu pahit, melepaskan itu tidak mudah. Mengenangnya dalam deret kata sendu juga bukan hal yang menyenangkan. Melupakannya tentu bukan suatu pilihan yang baik. Sedangkan gadis itu masih saja membayanginya.
Mengapa Zara masih bersikap sama seperti dua tahun lalu sedangkan ia sudah menyakitinya lebih-lebih dari yang bisa dibayangkan dengan akal sehat?
***
"Ra, hari ini pulang sama Dewa dulu ya." Ryan menepuk kepala Zara dengan buku catatan matematika milik Zara yang ia pinjam dua hari lalu. Setelah menaruh buku itu di atas meja ia beralih ke meja di belakangnya dan menaruh tas biru dongker miliknya.
"E-eh? Kok lo di belakang gue? Gue duduk sama siapa dong?" Tangan Zara meraih tas biru Ryan kala ia mengucapkan pertanyaan itu. Namun tangan Ryan menahannya. "Lo duduk sama Dewa. Emang lo belum tau dia sekelas sama kita?" Ryan membalas setengah hati. Ia sedikit tidak rela sebenarnya, tapi untuk apa ia berusaha menarik tali yang ia sudah tahu kalau nantinya akan putus juga? Sama sepetti hatinya.
"Kok bisa? Terus kenapa harus gue yang duduk sama Dewa? Kan gue duduknya sama lo, gimana sih?" Pertanyaan gadis itu justru membuat Ryan ingin menaikkan kedua ujung bibirnya. Untung saja ia mampu menahannya.
"Lo tau kan bokap gue gak mau kita pisah? Jadi ya ... gitu deh. Lagian ...," Alis Zara terangkat, meminta Ryan melanjutkan bicaranya. Namun Ryan sebenarnya enggan untuk melanjutkan. Ada rasa ngilu seperti yang ditimbulkan oleh dua sendok yang saling diadu, ia tidak pernah nyaman dengan suara yang dihasilkan oleh kedua benda logam itu. "Gaya banget ah lo gak mau duduk sama Dewa. Dewa yang minta kok, kayanya dia masih belum move on dari lo juga," lanjutnya dengan tawa renyah yang ia buat-buat.
Dan beginilah akhirnya, yang tidak ia harapkan sama sekali. Zara tertawa pelan dan bersemu merah. Wajahnya ia tundukkan. Tangannya ia sibukkan membolak-balikkan novel yang tidak ia baca saat ini. "Ih Iyan apaan sih," gumamnya namun terdengar oleh Ryan yang menatap gadis itu dengan perasaan bercampur aduk.
Setelahnya hanya ada keheningan yang tercipta di antara mereka berdua. Keduanya sibuk dengan pikirannya masing-masing. Seakan angin sunyi yang berembus dari balik jendela kelasnya adalah saksi bahwa Ryan telah menyatakan ia menyerah. Merelakan perasaannya untuk yang kesekian kali.
Tangannya bergerak merogoh saku celananya. Mengambil benda persegi panjang hitam dan mengetikkan sesuatu pada layarnya.
Ryan Adhikari : Lo duduk sama Zara ya.
Dewa Putra : Oke!
Dewa Putra : Tunggu, emang dia mau duduk sama gue?
Ryan Adhikari : Dia emang duduk sendiri
Dewa Putra : Ohh oke
Ryan menghembuskan napas dengan kasar, menaruh ponselnya ke dalam tas miliknya dengan sembarang. Sejurus kemudian ia sudah menghilang dari balik pintu. Meninggalkan Zara dengan seribu pertanyaan dalam benaknya. Ryan tidak pernah segelisah ini.
Namun pikirannya akan Ryan buyar begitu saja ketika sosok laki-laki bertubuh tegap dengan mata tajam namun teduh khasnya berjalan ke arahnya dengan senyum sejuta watt yang mampu membuat siapapun kehabisan kata. Zara salah satunya.
Masih sama, sungguh perasaan yang Zara rasakan masih sama. Atau bahkan lebih. Tidak peduli orang berkata ia gila, ia benar-benar mencintai sosok laki-laki di hadapannya saat ini. Dewa Aditya Putra.
"Dewa." Zara menggeser sedikit ke kiri, jarak kursi mereka terlalu dempet. Ia tidak ingin jantungnya terus memompa dan berdetak tidak karuan.
"Pagi Zara bawel." Sapaan Dewa membuat kedua sisi bibir Zara terangkat. Matanya yang sedikit sipit terlihat begitu manis dengan kulit susunya.
Sudah jelas hal ini membuat Dewa merasakan gelenyar aneh yang terjadi pada tubuhnya. Reaksi yang sangat menyebalkan apabila ia bertatap langsung dengan Zara. Namun melegakan dalam waktu yang bersamaan.
Hanya dengan melihat senyumnya, Dewa memastikan kalau Zara baik-baik saja. Setidaknya untuk saat ini.
"Pagi juga Dewa jelek," balas Zara. Tangan Zara menutup novel yang sebelumnya ia baca. Menaruh buku itu ke dalam tas ransel merah miliknya.
"Gue berasa aneh nih jadi anak baru," Dewa melepas tas yang ia kenakan. Menggantungkannya pada gantungan di meja sebelah kanan. "Di Bratasena lagi," katanya.
Zara tertawa pelan. Membuat detak jantung Dewa bekerja dua kali lebih cepat. "Lebay deh De."
Bukan Dewa namanya kalau bukan ahli dalam menyembunyikan perasaannya. Bahkan gadis di hadapannya kini tidak tahu, dan tidak pernah tahu apa yang Dewa rasakan.
"Eh, lo mau ikut ekskul apa?" tanya Zara setelah tawanya mereda. Dewa tampak berfikir sejenak sebelum menjawab dengan antusias. "Padus dong," katanya.
"Kalo basket?" tanya Zara yang terdengar seperti tawaran. Kali ini Dewa terdiam, entah berfikir apa. Tidak mungkin kan Dewa tidak memilih basket? Zara sangat tahu kalau Dewa maupun Ryan adalah partner terbaik dalam basket. Bahkan dalan hal apapun.
Zara terus menunggu jawaban Dewa. Terlalu lama, ia kembali bicara. "Gue jadi manager basket loh ... dan ketua cheers," Zara menggeserkan badannya menghadap Dewa. Ia menopang dagunya dengan kedua tangan yang ia kepalkan.
"Yah, gue masih inget semua mimpi kita." Dewa menghembuskan napas kasar. Mengingat mimpi-mimpi yang mereka rangkai ketika dulu. Sebelum semuanya berubah dan keadaan seakan menjadi bumerang bagi keduanya. Antara dipaksa untuk berhenti berjuang atau tetap berjalan seperti ini.
"Kalo gue ikut basket itu berarti mimpi kita terwujudkan. Apa lo bahagia?" tanya Dewa setelahnya.
"Bahagia dong! Gue akan jadi penyemangat nomor satu buat kalian!" ucap Zara menggebu-gebu.
Kalau begini apa yang bisa Dewa lakukan selain memgangguk dan melihat Zara tersenyum bahagia? Mungkin dengan cara ini ia bisa melihat Zara tersenyum lagi, karenanya.
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip