8 - Unrequited
SATU setengah jam pelajaran Biologi memang tidak lama, tapi terasa seperti satu abad bagi Zara. Ia selalu membenci semua pelajaran yang ujung-ujungnya harus menghafal. Dari awal guru mata pelajaran biologi menginjakkan kaki di kelas, Zara sudah menanti bel berbunyi nyaring dua kali. Karena itu tandanya pelajaran olahraga akan segera dimulai. Dari sekian banyak pelajaran yang ada di sekolahnya, Zara sangat ahli dalam bidang olahraga. Dengan semangat, gadis itu melangkahkan kakinya menuju lapangan indoor setelah berganti pakaian.
Materi hari ini basket. Tidak ada pengambilan nilai, hanya bermain basket sepuasnya selama pelajaran berlangsung. Minggu pertama di awal bulan memang tidak ada pengambilan nilai. Cukup senang bagi Zara, karena ia bisa memanfaatkan dua jam pelajaran ini sesukanya. Namun berbeda dengan Dewa yang justru malah menghela napas lega ketika sang guru menyuruh mereka bermain basket di lapangan tanpa ada pengambilan nilai atau pun pemberian materi.
Dewa yang terdiam diri di bangku penonton kini menarik perhatian Zara. Gadis itu meninggalkan bola basket di tangannya dan berjalan mendekati Dewa.
"Gak main basket? Ryan udah main dari tadi," ucap Zara. Tangannya ia masukkan ke dalam kantung jaket yang ia kenakan. Cuacanya sedang tidak baik kali ini. Meski berada di lapangan indoor, tetap terasa dingin yang menusuk dan menjalar ke setiap tulang-tulang dalam tubuhnya. Zara sangat tidak tahan dengan udara dingin, apalagi kalau hujan lebat dengan angin kencang seperti sekarang. Rasanya saat ini Zara ingin sekali berada dalam kamarnya dengan penghangat ruangan dan selimut tebal miliknya.
"Lagi males, mau liatin Zara aja...." Dewa tidak menyadari bahwa perkataannya barusan membuat pipi Zara merona merah. Tidak ada ucapan spesial namun entahlah, Zara sendiri tidak mengerti mengapa dirinya saat ini malah menjadi kikuk dan berakhir dengan Zara yang menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali dan berjalan mundur dengan pelan seraya melambaikan tangan ke arah Dewa. "Ya, yaudah gue mau main. Dah?" Dan setelahnya ia berlari kencang ke arah gerombolan temannya dan tersenyum sumringah selama pelajaran berlangsung.
Ryan yang menatap mereka dari arah lain lagi-lagi hanya bisa tersenyum masam. Tidakkah ada kesempatan untuknya sekali saja mendapat tatapan seperti yang Dewa dapatkan dari Zara? Bisakah senyummnya beralih menjadi milik Ryan satu-satunya?
***
Dimulai dengan melangkahkan kaki perlahan, badan ditundukkan lebih rendah dari jendela ruangan di sebelahnya. Terakhir tidak menimbulkan suara sedikit pun. Dan akhirnya Zara bisa melewati ruang BK untuk menuju kantin.
Pelajaran matematika pun bisa ia lewati dengan bersantai-santai di ruangan segi empat yang bisa dibilang sangat besar dengan berbagai macam penjual makanan mengelilinginya. Baru saja menginjakkan kaki di dalam kantin, ia sudah bisa mencium sedapnya aroma nasi goreng Mas Epri. Nasi goreng terlezat setelah buatan Mama, menurut Zara.
Zara melangkahkan kakinya dengan semangat menuju gerobak Mas Epri. "Mas Eep, nasi goreng spesial yang pedes banget satu ya! Teh manis panas satu ya, harus yang panas banget!" Tangan Zara menunjukkan angka satu dengan telunjuknya. Ia tersenyum lebar setelah Mas Epri berkata, "Siap non Zara!"
Kaki mungil Zara hendak melangkah mencari tempat yang terpencil agar ia tidak ketahuan berada di kantin apabia ada guru yang melewat. Namun sebuah tarikan pada jaket yang ia kenakan membuatnya berjalan mundur terpaksa. Zara berteriak kencang. "Yaaaaa! Ampun Pa saya laper!" teriaknya getar-getir. Dalam hati ia merutuki dirinya sendiri bagaimana bisa ia tertangkap basah sedang jajan di jam pelajaran matematika.
"Berani bolos ya? Laporin Tante Anne baru tau rasa."
Zara jelas tahu siapa pemilik suara ini. Gadis itu berbalik badan dengan wajah ditekuk. Ia berkacak pinggang menunjukkan kekesalannya. "Ryan! Lo ngagetin gue!" katanya.
Ryan tertawa pelan, tangannyaa bergerak mengacak rambut Zara membuat gadis itu bersungut-sungut. "Kenapa sih lo suka banget ngacak-ngacak rambut gue?" keluh Zara.
Ryan tidak menggubris. Ia mendorong bahu Zara untuk mencari tempat duduk. "Kenapa lo suka banget sama Dewa?" Ryan malah membalas dengan pertanyaan. Kini laki-laki itu menopang dagunya dengan tangan kiri, matanya menatap Zara lamat-lamat seolah ia menuntut balasan, pengakuan perasaan.
Zara masih terdiam. Gadis itu menatap langit-langit, berfikir jawaban apa yang tepat. Namun tidak ada satu kata pun yang bisa mendeskripsikan perasaannya.
"Kenapa lo malah nanya ginian?" Hanya itu yang menjadi balasan Zara. Dan jelas, terdengar seperti pertanyaan.
Ryan mengangat bahunya. "Entah," katanya. Ketika Zara memalingkan wajahnya dan tidak lagi mau melanjutkan percakapan dengan Ryan, laki-laki di hadapannya kini menatap Zara tanpa gadis itu sadari. "Karena ketika gue ngelakuin hal itu, gue yakin kalo lo masih ada di deket gue," lirihnya dalam hati.
"Yan! Kok lo bolos juga? Dewa gak curiga gitu?" Tiba-tiba Zara teringat sesuatu. Ketika ia keluar dari kelas, Dewa masih sibuk dengan soal-soal yang ia kerjakan. Lagipula tidak ada guru di kelas mereka, Zara semakin suntuk kalau harus berlama-lama di dalam kelas yang berisik. Dan ia juga tidak mau mengganggu Dewa.
"Dewa ke perpus, lagian dia tau ko kalo lo sering bolos ke kantin kalo gak ada guru," balas Ryan. Wajahnya mendongak seraya mengucapkan itu, pesanan Zara datang. Ryan memberi isyarat kepada Mas Epri untuk membuatkan pesanan yang sama seperti Zara untuknya.
Mata Zara membulat sempurna. Tangannya menggebrak meja kantin sedikit kencang. "Serius lo Yan?! Lo pasti yang bocorin ini ke dia kan? Parah banget. Pasti Dewa ilfeel sama gue." Zara meringis, kepalanya ia sandarkan di atas meja. Mendorong piring berisi nasi goreng lezat dengan tangannya. Tiba-tiba saja rasa laparnya hilang.
"Yaelah lebay. Dewa malah ilfeel kalo lo ngerubah diri kaya gini." Ryan membalas dengan malas. Bisa tidak Zara bersikap lebih realistis? Rasanya Ryang ingin menjatuhkan kepalanya ke atas meja berkali-kali, siapa tahu bisa menghilangkan peningnya menghadapi ocehan gadis di hadapannya ini tentang bagaimana Dewa melihatnya.
"Tapi Yan. Cewek itu gak mau terlihat jelek di mata cowok, dan sebaliknya," tutur Zara meyakinkan pemikirannya. Ryan hanya manggut-manggut tidak peduli. Sesekali menyeruput es teh manis miliknya. "Gue juga cowok, tapi lo kaya berandalan di depan gue. Cerewet gak bisa diem, terlalu aktif, sering jailin gue lagi. Kalo lagi nonton film horor suka nendangin punggung gue, kan gak berperasaan."
Refleks Zara menarik rambut Ryan dengan sadis. Namun tenaganya sangat kecil dibandingkan Ryan, laki-laki itu malah tertawa karena melihat ekspresi Zara. Gemas. Jelas saja, Zara sangat menarik ketika ia marah-marah. "IH IYANN!! GUE GAK SEJAHAT ITU!" teriaknya masih menjambak rambut Ryan.
"Ya! Ya! Lepasin ah geli tau," kata Ryan masih tertawa terbahak-bahak. Setelah akhirnya Zara melepaskan tahanannya itu, memberi ampun. Zara melipat kedua tangannya di depan dada, bibirnya ia kerucutkan seperti bebek karet yang biasa dibawa saudaranya untuk mandi.
Tangan Ryan yang bebas pun beralih mengacak rambut Zara pelan setelah ia merapihkan rambut miliknya akibt ulah Zara. "Uuuu adik kecil makan dulu nasi gorengnya nanti dingin," kata Ryan dan diakhiri dengan tawanya yang semakin meledak. Zara menepis tangan Ryan yang masih mengacak-acak rambutnya sambil berusungut-sungut.
Akhirnya Zara menyendokkan nasi goreng ke dalam pertama dengan dongkol. Mulutnya mengunyah tidak beraturan seolah ia ingin melahap manusia di hadapannya saat ini. Tatapannya sinis melihat Ryan yang masih dengan bahagia menertawainya. "Lo sama Dewa tuh beda. Walaupun lo cowok, tapi Dewa itu orang yang gue suka. Lo juga pasti bakal melakukan hal yang sama di depan orang yang lo suka," jelas Zara masih menekuk wajahnya.
Dan setelahnya Ryan memberhentikan tawanya. Menatap Zara yang sudah kembali hanyut dengan nasi goreng kesukaannya. Jelas sudah bahwa Zara hanya melihatnya sebagai sahabat. Namun pernyataan terakhir Zara masih ingin ia bantah. Dengan usaha terakhirnya Ryan memberanikan diri untuk mengutarakan perasaan yang terus menyangkut di hatinya. Perasaan yang selalu ia pendam karena tidak mau membuat gadis di hadapannya ini terluka karena dirinya.
"Lo salah," kata Ryan. Zara mendongak, mengangkat sebelah alisnya menantang jawaban dari Ryan. "Buktinya... gue selalu jadi diri sendiri di depan lo Ra."
Bạn đang đọc truyện trên: TruyenTop.Vip